Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI RAYA SANTO PETRUS DAN PAULUS 29 Juni 2021 : PETRUS DAN PAULUS DIBEBASKAN BERKAT PERJUMPAAN MEREKA DENGAN KRISTUS

Bacaan Ekaristi : Kis. 12:1-11; Mzm. 34:2-3,4-5,6-7,8-9; 2Tim. 4:6-8,17-18; Mat. 16:13-19.


Dua Rasul besar Injil dan dua pilar Gereja : Petrus dan Paulus. Hari ini kita merayakan pengenangan mereka. Marilah kita melihat lebih dekat kedua saksi iman ini. Inti kisah mereka bukanlah karunia dan kemampuan mereka; pusatnya adalah perjumpaan dengan Kristus yang mengubah hidup mereka. Mereka mengalami kasih yang menyembuhkan dan membebaskan mereka. Mereka kemudian menjadi rasul dan pelayan kebebasan bagi sesama.

 

Petrus dan Paulus dibebaskan karena mereka dibebaskan. Marilah kita berkaca dengan berpusat pada titik ini.

 

Petrus, nelayan dari Galilea, dibebaskan terutama dari rasa ketidakmampuan dan pengalaman pahitnya akan kegagalan, berkat kasih Yesus yang tanpa syarat. Kendati ia seorang nelayan yang terampil, berkali-kali, di tengah malam, ia merasakan kepahitan rasa frustrasi karena tidak menangkap apa-apa (bdk. Luk 5:5; Yoh 21:5) dan, melihat jala yang kosong, tergoda untuk berhenti mendayung. Meskipun kuat dan terburu nafsu, Petrus sering menyerah pada rasa takut (bdk. Mat 14:30). Meskipun seorang murid Tuhan yang sungguh-sungguh, ia terus berpikir dengan baku duniawi, dan dengan demikian gagal untuk memahami dan menerima makna salib Kristus (bdk. Mat 16:22). Bahkan setelah mengatakan bahwa ia siap memberikan nyawanya untuk Yesus, dicurigai bahwa ia adalah salah seorang murid Kristus membuatnya ketakutan sehingga menyangkal Tuhan (bdk. Mrk 14:66-72).

 

Yesus tetap mengasihi Petrus dan bersedia mengambil resiko atas dirinya. Ia mendorong Petrus untuk tidak menyerah, menebarkan jala sekali lagi, berjalan di atas air, menemukan kekuatan untuk menerima kerapuhannya, mengikuti-Nya di jalan salib, memberikan nyawanya untuk saudara-saudaranya, menggembalakan kawanan domba-Nya. Dengan cara ini, Yesus membebaskan Petrus dari rasa takut, dari perhitungan yang hanya berlandaskan kepentingan duniawi. Ia memberinya keberanian untuk mempertaruhkan segalanya dan sukacita menjadi penjala manusia. Petruslah yang dipanggil Yesus untuk menguatkan saudara-saudaranya dalam iman (bdk. Luk 22:32). Ia memberinya – seperti yang kita dengar dalam Bacaan Injil – kunci untuk membuka pintu menuju perjumpaan dengan Tuhan serta kuasa untuk mengikat dan melepaskan : mengikat saudara-saudarinya kepada Kristus serta melepaskan simpul dan rantai dalam kehidupan mereka (bdk. Mat 16:19).

 

Semua itu hanya mungkin karena – seperti yang kita dengar dalam Bacaan Pertama (Kis. 12:1-11) – Petrus sendiri telah dibebaskan. Rantai yang menahannya digugurkan dan, seperti pada malam ketika orang Israel dibebaskan dari perbudakan di Mesir, ia diperintahkan untuk segera bangun, mengencangkan ikat pinggang dan mengenakan sepatu serta pergi. Tuhan kemudian membuka pintu di hadapannya (bdk. Kis 12:7-10). Di sini kita melihat sejarah baru pembukaan, pembebasan, rantai yang gugur, keluaran dari rumah perbudakan. Petrus memiliki pengalaman Paskah : Tuhan membebaskannya.

 

Rasul Paulus juga mengalami kebebasan yang dibawa oleh Kristus. Ia dibebaskan dari bentuk perbudakan yang paling menindas, yaitu perbudakan terhadap dirinya sendiri. Dari Saulus, nama raja pertama Israel, ia menjadi Paulus, yang berarti “kecil”. Ia juga dibebaskan dari semangat keagamaan yang telah membuatnya menjadi pembela yang gigih adat istiadat nenek moyangnya (bdk. Gal 1:14) dan seorang penganiaya jemaat Kristiani yang kejam. Membebaskan. Ketaatan agama yang formal dan pembelaan yang gigih terhadap adat istiadat, alih-alih membuatnya terbuka terhadap kasih Allah dan saudara-saudarinya, telah mengeraskannya : ia adalah seorang fundamentalis. Allah membebaskannya dari hal ini, namun Ia tidak menyayangkan kerapuhan dan kesulitan untuk membuat perutusan penginjilannya semakin berbuah : ketegangan kerasulan, kelemahan jasmani (bdk. Gal 4:13-14); kekerasan dan penganiayaan, kapal karam, kelaparan dan kehausan, dan, seperti yang Ia sendiri katakan kepada kita, duri di dalam daging yang menyakitkan (bdk. 2Kor 12:7-10).

 

Dengan demikian Paulus menyadari bahwa “apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat” (1 Kor 1:27), bahwa kita dapat melakukan segala sesuatu melalui Dia yang menguatkan kita (bdk. Flp 4:13), dan tidak ada yang dapat memisahkan kita dari kasih-Nya (bdk. Rm 8:35-39). Karena alasan ini, di akhir hidupnya – seperti yang kita dengar dalam Bacaan Kedua (2Tim. 4:6-8,17-18) – Paulus dapat berkata : “Tuhan telah mendampingi aku” dan “Ia akan melepaskan aku dari setiap usaha yang jahat” (2 Tim 4:17). Paulus memiliki pengalaman Paskah : Tuhan membebaskannya.

 

Saudara dan saudari yang terkasih, Gereja memandang dua raksasa iman dan melihat dua Rasul yang membebaskan kuasa Injil di dunia kita ini, hanya karena pertama-tama mereka sendiri telah dibebaskan berkat perjumpaan mereka dengan Kristus. Yesus tidak menghakimi mereka atau mempermalukan mereka. Justru Ia ikut serta dalam kehidupan mereka dengan kasih sayang dan kedekatan. Ia mendukung mereka dengan doa-Nya, dan bahkan terkadang mencela mereka untuk membuat mereka berubah. Kepada Petrus, Yesus dengan lembut berkata : “Aku telah berdoa untuk engkau, supaya imanmu jangan gugur” (Luk 22:32). Dan kepada Paulus : “Saulus, Saulus, mengapakah engkau menganiaya Aku” (Kis 9:4). Ia melakukan hal yang sama terhadap kita: Ia meyakinkan kita tentang kedekatan-Nya dengan mendoakan dan mengantarai kita di hadirat Bapa, serta dengan lembut mencela kita setiap kali kita tersesat, sehingga kita dapat menemukan kekuatan untuk bangkit dan melanjutkan perjalanan.

 

Kita juga telah dijamah oleh Tuhan; kita juga telah dibebaskan. Namun kita perlu diberi waktu luang lagi dan lagi, karena hanya Gereja yang bebas yang merupakan Gereja yang dapat dipercaya. Seperti Petrus, kita dipanggil untuk dibebaskan dari rasa kegagalan sebelum kadang kala kita memancing bencana. Dibebaskan dari rasa takut yang melumpuhkan kita, membuat kita mencari perlindungan dalam keamanan kita, dan merampas keberanian kita untuk bernubuat. Seperti Paulus, kita dipanggil untuk dibebaskan dari penampilan lahiriah yang munafik, bebas dari godaan untuk menampilkan diri kita dengan kekuatan duniawi ketimbang dengan kelemahan yang memberi ruang bagi Allah, bebas dari keagamaan yang membuat kita kaku dan tidak luwes; bebas dari lembaga dengan kekuasaan yang meragukan serta dari rasa takut disalahpahami dan diserang.

 

Petrus dan Paulus mewariskan kepada kita gambaran Gereja yang dipercayakan ke tangan kita, namun dibimbing oleh Tuhan dengan kesetiaan dan kasih yang lembut, karena Dialah yang membimbing Gereja. Gereja yang lemah, namun menemukan kekuatan di hadirat Allah. Gambaran Gereja yang dibebaskan dan mampu menawarkan kepada dunia kebebasan yang tidak dapat diberikan oleh dunia itu sendiri : kebebasan dari dosa dan kematian, dari sikap pasrah menerima nasib, dan dari rasa ketidakadilan dan hilangnya harapan yang merendahkan kehidupan manusia di zaman kita.

 

Marilah kita bertanya, hari ini dalam perayaan ini tetapi juga setelahnya : sejauh mana kota-kota kita, masyarakat kita dan dunia kita membutuhkan kebebasan? Berapa banyak rantai yang harus digugurkan dan berapa banyak pintu yang lama tertutup harus dibuka! Kita dapat membantu membawa kebebasan ini, tetapi hanya jika kita terlebih dahulu memperkenankan diri kita dibebaskan oleh kebaruan Yesus, dan berjalan dalam kebebasan Roh Kudus.

 

Hari ini saudara kita para Uskup Agung menerima pallium. Tanda persatuan dengan Petrus ini mengingatkan perutusan gembala yang memberikan nyawa untuk kawanan dombanya. Dengan memberikan nyawanya, gembala tersebut, dirinya sendiri dibebaskan, menjadi sarana untuk membawa kebebasan bagi saudara-saudaranya. Hari ini juga, kita bergabung dengan delegasi Patriarkat Ekumenis, yang dikirim untuk kesempatan ini oleh saudara kita yang terkasih Bartholomew. Kehadiranmu yang disambut adalah tanda persatuan yang berharga dalam perjalanan kebebasan kita dari jarak yang secara memalukan memisahkan orang-orang percaya di dalam Kristus. Terima kasih atas kehadiranmu.

 

Kita mendoakanmu, seluruh gembala, Gereja dan kita semua : agar, dibebaskan oleh Kristus, kita dapat menjadi rasul kebebasan di seluruh dunia.

____

 

(Peter Suriadi - Bogor, 29 Juni 2021)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI RAYA TUBUH DAN DARAH KRISTUS 6 Juni 2021 : MEMAKNAI TIGA GAMBARAN INJIL MENGENAI PERJAMUAN TERAKHIR

Bacaan Ekaristi : Kel. 24:3-8; Mzm. 116:12-13,15,16bc,17-18; Ibr. 9:11-15; Mrk. 14:12-16,22-26.

 

Yesus mengutus murid-murid-Nya untuk pergi dan mempersiapkan tempat untuk merayakan perjamuan Paskah. Merekalah yang bertanya : "Ke tempat mana Engkau kehendaki kami pergi untuk mempersiapkan perjamuan Paskah bagi-Mu?" (Mrk 14:12). Saat kita merenungkan dan menyembah kehadiran Tuhan dalam Roti Ekaristi, kita juga dipanggil untuk bertanya pada diri sendiri : di "tempat" apakah kita ingin mempersiapkan Paskah Tuhan? "Tempat-tempat" apakah dalam hidup kita Allah meminta dijamu oleh kita? Saya ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan berpusat pada tiga gambaran Injil yang telah kita dengar (Mrk 14:12-16.22-26).

 

Gambaran pertama adalah seorang yang membawa kendi berisi air (bdk. ayat 13). Gambaran ini merupakan rincian yang tampaknya berlebihan. Namun orang yang benar-benar tidak dikenal itu menjadi pemandu para murid yang sedang mencari tempat yang nantinya akan disebut Ruang Atas. Dan kendi berisi air adalah tanda pengenalan : tanda yang membuat kita berpikir tentang umat manusia yang kehausan, selalu mencari sumber air yang memuaskan dan memperbaharuinya kembali. Kita semua menjalani hidup dengan kendi di tangan : kita semua, kita masing-masing haus akan kasih, sukacita, kehidupan yang berhasil di dunia yang semakin manusiawi. Dan terhadap kehausan ini, air hal-hal duniawi tidak berguna, karena ada kehausan yang lebih dalam, yang hanya dapat dipuaskan oleh Allah.

 

Kita masih mengikuti "sinyal" simbolik ini. Yesus memberitahu para pengikut-Nya bahwa ketika ada seorang dengan kendi berisi air menuntun mereka, mereka dapat merayakan Perjamuan Paskah. Oleh karena itu, untuk merayakan Ekaristi, pertama-tama kita harus mengenali kehausan kita akan Allah : merasa membutuhkan Dia, menginginkan kehadiran-Nya dan kasih-Nya, menyadari bahwa kita tidak dapat melakukannya sendiri tetapi kita membutuhkan makanan dan minuman kehidupan kekal yang menopang kita di jalan. Drama hari ini - bisa kita katakan - yakni kehausan sering kali telah sirna. Pertanyaan tentang Allah telah sirna, keinginan akan Dia telah memudar, para pencari Allah menjadi semakin langka. Allah tidak lagi menarik karena kita tidak lagi merasakan kehausan kita yang dalam. Tetapi hanya jika ada seorang dengan kendi berisi air - kita memikirkan perempuan Samaria, misalnya (bdk. Yoh 4:5-30) - Tuhan dapat menyatakan diri-Nya sebagai Sosok yang memberi kehidupan baru, yang memelihara impian dan cita-cita kita dengan harapan yang dapat diandalkan, kehadiran kasih yang memberi makna dan arah pada peziarahan duniawi kita. Sebagaimana telah kita catat, seorang dengan kendi itulah yang menuntun para murid ke ruangan tempat Yesus akan menetapkan Ekaristi. Kehausan akan Allah membawa kita ke altar. Jika tidak ada kehausan, perayaan kita menjadi kering. Kemudian, bahkan sebagai Gereja, kelompok kecil orang-orang yang biasa berkumpul untuk merayakan Ekaristi tidak memadai; kita harus pergi ke kota, bertemu orang-orang, belajar mengenali dan membangkitkan kehausan akan Allah dan hasrat akan Injil.

 

Gambaran kedua adalah sebuah ruangan atas yang besar (lihat ayat 15). Di sanalah Yesus dan umat-Nya akan mengadakan perjamuan Paskah dan ruangan ini terletak di rumah seseorang yang menjamu mereka. Don Primo Mazzolari berkata : "Di sini ada seorang tanpa nama, seorang tuan tanah, sedang meminjamkan ruangannya yang paling indah. […] Ia memberikan yang terbesar dari apa yang ia miliki karena segala sesuatu di sekitar sakramen agung itu agung, ruangan dan hati, perkataan dan tingkah laku” (La Pasqua, La Locusta 1964, 46-48).

 

Sebuah ruangan yang besar untuk sepotong kecil Roti. Allah menjadikan diri-Nya sekecil sepotong roti dan karena alasan inilah dibutuhkan hati yang besar untuk dapat mengenali, menyembah, menyambut-Nya. Kehadiran Allah begitu rendah hati, tersembunyi, terkadang kasat mata, sehingga membutuhkan hati yang siap, terpelihara, dan menyambut untuk mengenalinya. Sebaliknya jika hati kita, melebihi sebuah ruangan besar, menyerupai lemari tempat kita menyimpan barang-barang lama dengan penyesalan; jika terlihat seperti loteng di mana kita telah lama menempatkan kegairahan dan impian kita; jika terlihat seperti ruangan sempit, ruangan gelap karena kita hanya hidup pada diri kita, masalah dan kepahitan kita, maka mustahil untuk mengenali hadirat Allah yang hening dan rendah hati ini. Kita membutuhkan ruangan yang besar. Hati harus diperbesar. Meninggalkan ruangan kecil diri kita dan memasuki ruangan besar ketakjuban dan penyembahan diperlukan. Dan kita sangat merindukan hal ini! Kita tidak memiliki hal ini dalam banyak gerakan yang kita lakukan untuk bertemu, bersatu kembali, berpikir bersama tentang pelayanan pastoral … Tetapi jika hal ini tidak ada, jika tidak ada ketakjuban dan penyembahan, tidak ada jalan yang membawa kita kepada Allah. Bahkan tidak akan ada sinode, tidak ada apa-apa. Inilah sikap di depan Ekaristi, inilah yang kita butuhkan : penyembahan. Gereja juga harus menjadi aula yang besar. Bukan lingkaran kecil dan tertutup, tetapi komunitas dengan tangan terbuka, menyambut semua orang. Marilah kita bertanya pada diri kita sendiri : ketika seseorang yang terluka, yang telah berbuat salah, yang memiliki jalan hidup yang berbeda, mendekat, Gereja, Gereja ini, apakah sebuah ruangan besar untuk menyambutnya dan menuntunnya menuju sukacita perjumpaan dengan Kristus? Ekaristi ingin memberi makan mereka yang lelah dan lapar di sepanjang jalan, jangan lupakan hal itu! Gereja yang sempurna dan murni adalah sebuah ruangan di mana tidak ada ruang bagi siapa pun; Gereja dengan pintu terbuka, yang merayakan di sekitar Kristus, adalah sebuah ruangan besar di mana setiap orang - semua orang, baik orang benar maupun orang berdosa - dapat masuk.

 

Terakhir, gambaran ketiga, gambaran Yesus memecah-mecahkan Roti. Gambaran ini, terutama, mengisyaratkan Ekaristi, mengisyaratkan jatidiri iman kita, tempat perjumpaan kita dengan Allah yang mempersembahkan diri-Nya untuk membuat kita dilahirkan kembali kepada kehidupan baru. Isyarat ini juga mengejutkan : sampai saat itu domba dikorbankan dan dipersembahkan sebagai korban kepada Allah, sekarang Yesus yang menjadikan diri-Nya Anak Domba dan mengorbankan diri-Nya untuk memberikan kehidupan kepada kita. Dalam Ekaristi kita merenungkan dan menyembah Allah kasih. Tuhan tidak memecah-mecahkan siapa pun tetapi memecah-mecahkan diri-Nya. Tuhan tidak menuntut pengorbanan tetapi mengorbankan diri-Nya. Tuhan tidak meminta apapun selain memberikan segalanya. Merayakan dan menghayati Ekaristi, kita juga dipanggil untuk menghayati kasih ini. Karena kamu tidak dapat memecah-mecahkan Roti Hari Minggu jika hatimu tertutup terhadap saudara-saudaramu. Kamu tidak bisa makan Roti ini jika kamu tidak memberikan roti kepada orang-orang yang lapar. Kamu tidak dapat membagikan Roti ini jika kamu tidak ikut serta dalam penderitaan orang-orang yang membutuhkan. Pada akhir segalanya, bahkan akhir liturgi Ekaristi kita yang khusyuk, hanya kasih yang akan tetap ada. Dan mulai sekarang, Ekaristi kita mengubah rupa dunia sejauh kita memperkenankan diri diubahrupa dan menjadi roti bagi orang lain.

 

Saudara dan saudari, juga hari ini ke mana "mempersiapkan perjamuan Tuhan"? Perarakan Sakramen Mahakudus - ciri khas Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus, tetapi untuk saat ini kita belum bisa melakukannya - perarakan mengingatkan kita bahwa kita dipanggil untuk pergi membawa Yesus. Dengan kegairahan pergi keluar membawa Kristus kepada orang-orang yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Kita menjadi sebuah Gereja dengan kendi di tangan, yang membangkitkan kehausan dan membawa air. Marilah kita membuka hati kita dalam kasih, menjadi ruangan yang luas dan ramah di mana setiap orang dapat masuk untuk bertemu Tuhan. Marilah memecah-mecahkan hidup kita dalam kasih sayang dan kesetiakawanan, agar dunia melihat melalui kita keagungan kasih Allah. Dan kemudian Tuhan akan datang, Ia kembali akan mengejutkan kita, Ia akan menjadikan diri-Nya santapan untuk kehidupan dunia. Dan santapan itu akan memuaskan kita selamanya, sampai hari ketika, dalam perjamuan surgawi, kita akan merenungkan wajah-Nya dan bersukacita tanpa akhir.