Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XXVI (PENUTUPAN KONGRES NASIONAL EKARISTI KE-27) DI KOTA MATERA 25 September 2022 : ROTI HARUS DIBAGIKAN DI MEJA DUNIA

Bacaan Ekaristi : Am 6:1a,4-7; Mzm. 146:7,8-9a,9bc-10; 1Tim. 6:11-16; Luk. 16:19-31.


Tuhan mengumpulkan kita di sekeliling meja-Nya, menjadikan diri-Nya roti untuk kita : "Roti pesta di atas meja anak-anak, [...] menciptakan hal berbagi, memperkuat ikatan, memiliki citarasa persekutuan" (Madah Rohani XVII Kongres Nasional Ekaristi, Matera 2022). Namun, Bacaan Injil yang baru saja kita dengar memberitahu kita bahwa roti tidak selalu dibagikan di meja dunia : ini benar; aroma persekutuan tidak selalu terpancar; roti tidak selalu dipecah-pecahkan secara adil.

 

Ada baiknya kita berhenti di depan adegan dramatis yang digambarkan oleh Yesus dalam perumpamaan yang telah kita dengar ini : di satu sisi, orang kaya berpakaian jubah ungu dan kain halus, yang memamerkan kemewahan dan pesta poranya; di sisi lain, orang miskin, penuh dengan borok, yang berbaring di dekat pintu mengharapkan dapat memakan remah-remah yang jatuh dari meja orang kaya. Dan dalam menghadapi kontradiksi ini - yang kita lihat setiap hari - di hadapan kontradiksi ini kita bertanya pada diri kita : untuk apakah sakramen Ekaristi, sumber dan puncak kehidupan Kristiani, mengundang kita?


Pertama-tama, Ekaristi mengingatkan kita akan keutamaan Allah. Orang kaya dalam perumpamaan itu tidak terbuka terhadap hubungan dengan Allah : ia hanya memikirkan kesejahteraannya, memuaskan kebutuhannya, menikmati hidup. Dan dengan ini ia juga kehilangan nama. Bacaan Injil tidak mengatakan siapa namanya : Injil menamainya dengan kata sifat "kaya", sebaliknya orang miskin disebut namanya : Lazarus. Kekayaan membawamu ke sini, kekayaan juga melucuti dirimu dari namamu. Puas dengan dirinya sendiri, mabuk dengan uang, terpana oleh perkara kesia-siaan, tidak ada ruang bagi Allah dalam hidupnya karena ia hanya menyembah dirinya sendiri. Tidak mengherankan, namanya tidak disebutkan sehubungan dengan dirinya : kita menyebutnya "kaya", kita mendefinisikannya hanya dengan kata sifat karena ia sekarang telah kehilangan namanya, ia telah kehilangan jatidirinya yang hanya diberikan oleh barang yang dimilikinya. Betapa menyedihkan kenyataan ini bahkan hari ini, ketika kita merancukan siapa diri kita dengan apa yang kita miliki, ketika kita menilai orang dari kekayaan yang mereka miliki, dengan gelar yang mereka tunjukkan, dengan peran yang mereka pegang atau dengan merek pakaian yang mereka kenakan. Agama yang berkenaan dengan memiliki dan penampilan, yang sering mendominasi pemandangan dunia ini, tetapi pada akhirnya meninggalkan kita dengan tangan kosong : selalu. Faktanya, orang kaya dalam Bacaan Injil ini bahkan tidak memiliki nama. Ia bukan siapa-siapa lagi. Sebaliknya, orang miskin itu bernama, Lazarus, yang berarti "Allah menolong". Bahkan dalam kondisi miskin dan terpinggirkan, ia dapat menjaga martabatnya tetap utuh karena ia hidup dalam hubungan dengan Allah. Dalam namanya terkandung sesuatu dari Allah dan Allah adalah harapan yang tak tergoyahkan dalam hidupnya.

 

Kemudian di sinilah tantangan tetap yang ditawarkan Ekaristi bagi hidup kita : menyembah Allah dan bukan diri kita, bukan diri kita. Menempatkan Allah sebagai pusat dan bukan kesombongan diri kita. Mengingatkan kita bahwa hanya di sinilah tantangan tetap yang ditawarkan Ekaristi bagi hidup kita : menyembah Allah dan bukan diri kita, bukan diri kita. Menempatkan Dia sebagai pusat dan bukan kesombongan diri kita. Mengingatkan kita bahwa hanya Tuhan adalah Allah dan segala sesuatu yang lainnya adalah rahmat-Nya bagi kita. Karena jika kita menyembah diri kita, kita mati dalam sesak napas kecilnya diri kita; jika kita menyembah kekayaan dunia ini, mereka menguasai dan memperbudak kita; jika kita menyembah ilah penampilan dan mabuk pemborosan, cepat atau lambat kehidupan itu sendiri akan menagih kita. Hidup selalu menagih kita. Di sisi lain, ketika kita menyembah Tuhan Yesus yang hadir dalam Ekaristi, kita juga menerima pandangan baru dalam hidup kita : aku bukan hal-hal yang kumiliki atau keberhasilan yang kuperoleh; nilai hidupku tidak tergantung pada seberapa banyak aku berhasil menunjukkannya dan juga tidak berkurang ketika aku menghadapi kegagalan demi kegagalan. Aku adalah anak terkasih, kita masing-masing adalah anak terkasih; aku diberkati oleh Allah; Ia ingin mendandaniku dengan kecantikan dan Ia ingin aku bebas, Ia ingin aku bebas dari segala perbudakan. Marilah kita ingat hal ini : siapa pun yang menyembah Allah tidak menjadi budak siapa pun : ia bebas. Marilah temukan kembali doa penyembahan, doa yang sering terlupakan.

 

Menyembah, doa penyembahan, marilah kita temukan kembali : doa penyembahan membebaskan kita dan memulihkan martabat kita sebagai anak-anak, bukan sebagai hamba.

 

Selain keutamaan Allah, Ekaristi memanggil kita untuk mengasihi saudara kita. Roti ini terutama adalah sakramen kasih. Kristuslah yang menawarkan diri-Nya dan kelegaan bagi kita serta meminta kita untuk melakukan hal yang sama, sehingga hidup kita menjadi gandum pokok dan menjadi roti yang memberi makan saudara-saudara kita. Orang kaya dalam Bacaan Injil gagal dalam tugas ini; ia hidup dalam kemewahan, berpesta pora bahkan tanpa memperhatikan tangisan sunyi Lazarus yang malang, yang terbaring kelelahan di depan pintunya. Hanya pada akhir hidupnya, ketika Allah membalikkan nasibnya, ia akhirnya melihat Lazarus, tetapi Abraham mengatakan kepadanya : "Selain dari pada itu di antara kami dan engkau terbentang jurang yang tak terseberangi" (Luk 16:26). Tetapi kamu menetapkanya : kamu sendiri. Ini adalah kita, ketika dalam keegoisan kita membelalak pada jurang. Orang kayalah yang menggali jurang antara dirinya dan Lazarus selama hidupnya di dunia dan sekarang, dalam kehidupan abadi, jurang itu tetap ada. Karena masa depan kekal kita bergantung pada kehidupan sekarang ini : jika sekarang kita menggali sebuah jurang dengan saudara-saudari kita -, kita “menggali kubur” untuk alam baka; jika sekarang kita membangun tembok melawan saudara-saudari kita, kita tetap terpenjara dalam kesepian dan kematian bahkan setelahnya.

 

Saudara-saudari yang terkasih, sungguh menyakitkan melihat perumpamaan ini masih menjadi sejarah di zaman kita : ketidakadilan, kesenjangan, sumber daya bumi yang disalurkan secara tidak merata, yang kuat menyalahgunakan yang lemah, ketidakpedulian terhadap jeritan orang miskin, jurang yang kita gali setiap hari dengan menghasilkan marginalisasi, tidak bisa - semua ini - meninggalkan kita acuh tak acuh. Maka hari ini, bersama-sama, kita mengakui bahwa Ekaristi adalah nubuat tentang dunia baru, kehadiran Yesus meminta kita untuk berkomitmen agar terjadi pertobatan yang efektif : pertobatan dari ketidakpedulian menjadi belas kasih, pertobatan dari pemborosan menjadi berbagi, pertobatan dari keegoisan menjadi kasih, pertobatan dari individualisme menjadi persaudaraan.

 

Saudara-saudara, kita bermimpi. Kita memimpikan sebuah Gereja seperti ini : Gereja Ekaristis. Terdiri dari pria dan wanita yang dipecah seperti roti untuk semua orang yang mengunyah kesepian dan kemiskinan, untuk mereka yang haus akan kelembutan dan kasih sayang, untuk mereka yang hidupnya hancur karena ragi harapan yang baik telah gagal. Sebuah Gereja yang berlutut di hadapan Ekaristi dan menyembah Tuhan hadir dalam rupa roti dengan keheranan; tetapi yang juga tahu bagaimana membungkuk dengan belas kasih dan kelembutan di depan luka-luka orang-orang yang menderita, membebaskan orang-orang miskin, mengeringkan air mata orang-orang yang menderita, menjadikan diri mereka roti harapan dan sukacita bagi semua orang. Karena tidak ada ibadat Ekaristi sejati tanpa belas kasihan bagi banyak "Lazarus" yang bahkan hari ini berjalan di samping kita. Banyak!

 

Saudara, saudari, dari kota Matera ini, "kota roti", saya ingin memberitahumu : marilah kembali kepada Yesus, marilah kembali kepada Ekaristi. Marilah kita kembali kepada citarasa roti, karena sementara kita haus akan kasih dan harapan, atau kita hancur oleh kesulitan dan penderitaan hidup, Yesus menjadi santapan yang memberi kita makan dan menyembuhkan kita. Marilah kita kembali kepada citarasa roti, karena sementara ketidakadilan dan diskriminasi terhadap orang miskin terus dikonsumsi di dunia, Yesus memberi kita Roti berbagi dan mengutus kita setiap hari sebagai rasul persaudaraan, rasul keadilan, rasul perdamaian. Marilah kita kembali kepada citarasa roti untuk menjadi Gereja Ekaristis, yang menempatkan Yesus sebagai pusat dan menjadi roti kelembutan, roti rahmat bagi semua orang. Marilah kita kembali kepada citarasa roti untuk mengingat bahwa, sementara keberadaan duniawi kita sedang dikonsumsi, Ekaristi mengantisipasi janji kebangkitan dan membimbing kita menuju kehidupan baru yang mengalahkan kematian.

 

Hari ini marilah kita memikirkan dengan sungguh-sungguh orang kaya dan Lazarus. Ini terjadi setiap hari. Dan berkali-kali juga - biarlah kita malu - perjuangan ini terjadi di dalam diri kita, di antara kita, di dalam masyarakat. Dan ketika harapan padam dan kita merasakan dalam diri kita kesepian hati, kelelahan batin, siksaan dosa, ketakutan tidak tergantikan, kita kembali lagi kepada citarasa roti. Kita semua adalah orang berdosa: kita masing-masing membawa dosa kita sendiri. Tetapi, orang-orang berdosa, marilah kita kembali kepada citarasa Ekaristi, citarasa roti. Marilah kita kembali kepada Yesus, kita menyembah Yesus, kita menyambut Yesus. Karena hanya Dia yang mengalahkan maut dan selalu memperbaharui hidup kita.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 25 September 2022)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA DI EXPO GROUNDS, NUR-SULTAN (KAZAKHSTAN) 14 September 2022 : ULAR YANG MEMAGUT DAN ULAR YANG MENYELAMATKAN

Bacaan Ekaristi : Bil. 21:4-9; Mzm. 78:1-2,34-35,36-37,38; Flp. 2:6-11; Yoh. 3:13-17.

 

Salib adalah tiang gantung kematian. Namun hari ini kita merayakan peninggian salib Kristus, karena di kayu salib itu Yesus menanggung sendiri semua dosa kita dan kejahatan dunia kita, serta mengalahkannya dengan kasih-Nya. Itulah sebabnya kita merayakan Pesta hari ini. Sabda Allah yang baru saja kita dengar memberitahu kita jalannya, dengan membandingkan ular yang memagut dengan ular yang menyelamatkan. Marilah kita renungkan kedua gambar ini.

 

Pertama, ular yang memagut. Ular-ular ini menyerang orang-orang yang telah jatuh kembali ke dalam dosa karena berbicara menentang Allah. Berbicara menentang Allah seperti itu lebih dari sekadar menggerutu dan berkeluh-kesah; pada tingkat yang lebih dalam, tanda bahwa di dalam hati mereka, orang-orang Israel telah kehilangan kepercayaan kepada-Nya dan janji-janji-Nya. Saat umat Allah berjalan melalui padang gurun menuju tanah perjanjian, mereka menjadi lelah dan tidak dapat lagi menahan hati (bdk. Bil 21:4). Mereka menjadi putus asa; mereka kehilangan harapan, dan, pada titik tertentu, mereka bahkan tampak melupakan janji Tuhan. Mereka bahkan tidak memiliki kekuatan untuk percaya bahwa Tuhan sendiri yang sedang membimbing mereka menuju tanah kelimpahan.

 

Bukan suatu kebetulan bahwa orang-orang yang tidak lagi percaya kepada Allah dipagut ular tedung. Kita diingatkan akan ular pertama yang disebutkan dalam Kitab Suci, dalam Kitab Kejadian : si penggoda, yang meracuni hati Adam dan Hawa serta membuat mereka meragukan Allah. Iblis, dalam bentuk ular, menipu mereka dan menabur benih ketidakpercayaan kepada mereka, meyakinkan mereka bahwa Allah tidak baik, dan bahkan iri terhadap kebebasan dan kebahagiaan mereka. Sekarang, di padang gurun, ular muncul kembali, kali ini sebagai "ular-ular tedung" (ayat 6). Dengan kata lain, dosa asal kembali : orang Israel meragukan Allah; mereka tidak percaya kepada-Nya; mereka bersungut-sungut dan memberontak terhadap Dia yang memberi mereka kehidupan, serta dengan demikian mereka menemui ajal mereka. Di situlah hati yang tidak percaya berakhir!

 

Saudara-saudari terkasih, bagian pertama narasi ini meminta kita untuk memeriksa dengan cermat saat-saat dalam kehidupan pribadi dan komunitas kita ketika kepercayaan kita kepada Tuhan dan satu sama lain telah gagal. Seberapa sering kita menjadi kering, berkecil hati dan tidak sabar di padang gurun pribadi kita, dan kehilangan tujuan perjalanan kita! Di sini juga, di negara yang luas ini, ada padang gurun. Seluruh keindahan alamnya yang luar biasa juga dapat mengingatkan kita akan keletihan dan kegersangan yang kadang-kadang kita tanggung di dalam hati kita. Saat letih dan mengalami pencobaan, ketika kita tidak lagi memiliki kekuatan untuk menengadah kepada Allah. Situasi dalam hidup kita ketika, sebagai individu, sebagai Gereja dan sebagai masyarakat, kita dapat dipagut oleh ular ketidakpercayaan, diracuni oleh kekecewaan dan keputusasaan, pesimisme dan kepasrahan, dan hanya terjebak dengan diri kita sendiri, kurang antusias.

 

Namun negeri ini telah mengalami "pagutan" lain yang menyakitkan dalam sejarahnya. Saya memikirkan ular-ular tedung kekerasan, penganiayaan ateis dan seluruh masa sulit ketika kebebasan orang-orang terancam dan martabat mereka dihina. Sebaiknya kita tetap menghidupkan ingatan akan penderitaan itu dan tidak melupakan saat-saat suram tertentu; jika tidak, kita dapat menganggap semuanya itu sebagai air di bawah jembatan dan berpikir bahwa sekarang, segera dan untuk selamanya, kita berada di jalan yang benar. Tidak. Perdamaian tidak pernah tercapai sekali dan untuk selamanya; sebagaimana pembangunan seutuhnya, keadilan sosial dan hidup berdampingan yang rukun dari berbagai kelompok etnis dan tradisi agama harus kembali dicapai setiap hari. Semua pihak dituntut untuk berkomitmen jika Kazakhstan ingin terus bertumbuh dalam “persaudaraan, dialog, dan pemahaman… membangun jembatan kesetiakawanan dan kerjasama dengan orang-orang, bangsa-bangsa, dan budaya-budaya lainnya” (Santo Yohanes Paulus II, Wejangan pada Upacara Penyambutan, 22 September 2001). Namun bahkan sebelum itu, kita perlu memperbarui iman kita kepada Tuhan : menengadah, memandang kepada-Nya dan belajar dari kasih-Nya yang bersifat semesta dan tersalib.

 

Maka kita sampai pada gambar kedua : ular yang menyelamatkan. Ketika banyak orang mati karena terpagut ular tedung, Allah mendengar doa pengantaraan Musa dan mengatakan kepadanya : “Buatlah ular tedung dan taruhlah itu pada sebuah tiang; maka setiap orang yang terpagut, jika ia melihatnya, akan tetap hidup” (Bil 21:8). Dan memang, “jika seseorang dipagut ular, dan ia memandang kepada ular tembaga itu, tetaplah ia hidup” (ayat 9). Namun, kita mungkin bertanya : Mengapa Allah tidak membinasakan ular-ular tedung itu saja daripada memberikan petunjuk terperinci ini kepada Musa? Cara Allah bertindak mengungkapkan kepada kita cara-Nya menghadapi kejahatan, dosa, dan ketidakpercayaan umat manusia. Kemudian, seperti sekarang, dalam pertempuran rohani besar yang terus berlanjut sepanjang sejarah, Allah tidak menghancurkan hal-hal yang keji dan tidak berharga yang menjadi dipilih untuk dikejar oleh manusia. Ular tedung tidak menghilang; mereka selalu ada, menunggu, selalu siap memagut. Kemudian apa yang telah berubah, apa yang dilakukan Allah?

 

Yesus memberitahu kita dalam Bacaan Injil : “Sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal” (Yoh 3:14-15). Ini adalah perubahan yang menentukan : ular yang menyelamatkan sekarang telah datang di antara kita. Yesus, yang ditinggikan di tiang salib, tidak memperkenankan ular tedung yang menyerang kita menyebabkan kematian. Menghadapi kesengsaraan kita, Allah memberi kita cakrawala baru : jika kita tetap menatap Yesus, sengat kejahatan tidak bisa lagi menguasai kita, karena di kayu salib Ia mengambil racun dosa dan kematian, serta menghancurkan kekuasaannya. Itulah tanggapan Bapa terhadap penyebaran kejahatan di dunia : Ia memberi kita Yesus, yang mendekat kepada kita dengan cara yang tidak pernah kita bayangkan. “Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita” (2 Kor 5:21). Begitulah keagungan belas kasih ilahi yang tak terbatas : Yesus “menjadi dosa” karena kita. Yesus, dapat kita katakan, di kayu salib “menjadi seekor ular”, sehingga dengan memandang kepada-Nya kita dapat menahan pagutan berbisa dari ular-ular jahat yang menyerang kita.

 

Saudara-saudari, inilah jalan, jalan menuju keselamatan kita, kelahiran kembali dan kebangkitan kita : melihat Yesus yang disalibkan. Dari ketinggian salib, kita dapat melihat hidup kita dan sejarah bangsa kita secara baru. Karena dari salib Kristus kita belajar kasih, bukan kebencian; belas kasihan, bukan ketidakpedulian; pengampunan, bukan balas dendam. Tangan Yesus yang terentang adalah pelukan kasih yang lembut yang dengannya Allah ingin memeluk kita. Semua menunjukkan kepada kita panggilan kasih persaudaraan yang harus kita memiliki satu sama lain dan terhadap semua orang. Semua menunjukkan kepada kita jalan, jalan Kristiani. Bukan suatu jalan pembebanan dan pemaksaan, kekuasaan dan status; tidak pernah mengacung-acungkan salib Kristus terhadap saudara-saudari kita yang demi mereka Ia memberikan nyawa-Nya! Jalan Yesus, jalan keselamatan berbeda : jalan Yesus adalah jalan kasih yang bersifat semesta dan berlimpah kerendahan hati, tanpa "seandainya", "dan" atau "tetapi".

 

Ya, karena di kayu salib Kristus, bisa ular kejahatan menyingkir. Maka, menjadi seorang Kristiani, berarti hidup tanpa racun : tidak saling memagut, tidak berkeluh-kesah, menyalahkan dan memfitnah, tidak menyebarkan kejahatan, tidak mencemari bumi dengan dosa dan ketidakpercayaan yang berasal dari si jahat. Saudara-saudari, kita telah dilahirkan kembali dari lambung tertikam Yesus yang disalibkan. Semoga kita bebas dari racun maut (bdk. Keb 1:14), dan berdoa agar berkat rahmat Allah kita dapat menjadi semakin kristiani sepenuhnya : saksi-saksi kehidupan baru, kasih dan damai yang penuh sukacita.

 

[Ucapan terima kasih pada akhir Misa Kudus]

 

Terima kasih, Uskup Agung Peta, atas sambutan ramahmu baik. Terima kasih juga atas segala upaya yang dilakukan untuk persiapan perayaan ini dan kunjungan saya. Saya juga kembali mengungkapkan terima kasih saya yang tulus kepada otoritas sipil dan agama di negara ini. Saya menyapa kamu semua, saudara dan saudari, dan khususnya kamu yang datang dari negara-negara lain di Asia Tengah dan dari negara-negara yang jauh dari negeri yang luas ini. Dengan kasih sayang yang besar, saya memberkati orang tua dan orang sakit, anak-anak dan orang muda.

 

Hari ini, pada Pesta Salib Suci ini, kita merasa bersatu secara rohani dengan Tempat Suci Nasional Ratu Damai di Oziornoje. Uskup Tomash mengingatkan kita akan salibnya yang besar, bertuliskan kata-kata : "Terima kasih kepada Rakyat Kazakhstan" dan "Damai bagi Umat Manusia". Rasa syukur kepada Tuhan atas umat Allah yang kudus yang tinggal di negara besar ini, digabungkan dengan rasa syukur atas komitmennya untuk mempromosikan dialog, memohonkan perdamaian, perdamaian yang sangat dirindukan dunia kita.

 

Pikiran saya tertuju ke semua wilayah yang dilanda perang di dunia kita, dan khususnya Ukraina tercinta. Semoga kita tidak pernah terbiasa dengan perang, atau menyerah pada keniscayaan. Marilah kita datang untuk membantu mereka yang menderita dan bersikeras bahwa upaya tulus dilakukan untuk mencapai perdamaian. Apa yang masih perlu terjadi, dan berapa banyak kematian masih akan dibutuhkan, sebelum pertikaian menghasilkan dialog untuk kebaikan orang, bangsa dan seluruh umat manusia? Satu-satunya solusi adalah perdamaian dan satu-satunya cara untuk mencapai perdamaian adalah melalui dialog. Saya sedih mengetahui bahwa pada jam-jam ini telah terjadi ketegangan baru di wilayah Kaukasus. Marilah kita terus berdoa agar, di negeri-negeri ini juga, diskusi damai dan kerukunan akan menang atas ketidaksepakatan. Semoga dunia kita belajar bagaimana membangun perdamaian, paling tidak dengan membatasi perlombaan senjata dan mengubah jumlah besar yang dihabiskan untuk perang menjadi bantuan nyata bagi masyarakat. Saya berterima kasih kepada semua orang yang percaya akan hal ini; saya berterima kasih kepada kamu semua, serta semua pria dan wanita yang menjadi pembawa perdamaian dan persatuan!
_____

(Peter Suriadi - Bogor, 14 September 2022)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA BEATIFIKASI PAUS YOHANES PAULUS I (MISA HARI MINGGU BIASA XXIII) 4 September 2022

Bacaan Ekaristi : Keb. 9:13-18; Mzm. 90:3-4,5-6,12-13,14,17; Flm. 9b-10,12-17; Luk. 14:25-33.

 

Yesus sedang dalam perjalanan ke Yerusalem, dan Bacaan Injil hari ini mengatakan kepada kita bahwa “banyak orang berduyun-duyun mengikuti Yesus” (Luk 14:25). Bepergian dengan Yesus berarti mengikuti-Nya, menjadi murid-murid-Nya. Namun, pesan Tuhan kepada orang-orang itu tidak begitu menarik; sebenarnya, pesan tersebut cukup menuntut : Barangsiapa yang tidak mencintai-Nya lebih dari keluarganya sendiri, barangsiapa tidak memikul salibnya, barangsiapa tetap terikat pada barang-barang duniawi, tidak dapat menjadi murid-Nya (bdk. ayat 26-27.33). Mengapa Yesus mengatakan hal-hal ini kepada orang banyak? Apa yang dimaksud dengan peringatan-peringatan ini? Marilah kita mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan ini.

 

Pertama, kita melihat banyak orang mengikuti Yesus. Kita bisa membayangkan bahwa banyak yang tertarik dengan kata-kata-Nya, heran dengan hal-hal yang Ia lakukan, dan melihat-Nya sebagai sumber harapan untuk masa depan. Apa yang akan dilakukan oleh guru manapun pada waktu itu atau, dalam hal ini, apa yang akan dilakukan oleh para pemimpin yang cerdik, melihat bahwa kata-kata dan karisma-Nya menarik banyak orang dan meningkatkan popularitas-Nya? Hal yang sama terjadi hari ini, pada saat krisis pribadi atau sosial, ketika kita menjadi mangsa perasaan marah atau takut akan hal-hal yang mengancam masa depan kita. Kita menjadi lebih rentan dan dengan demikian, pada gelombang emosi, kita melihat mereka yang dapat dengan cerdik memanfaatkan situasi, mengambil keuntungan dari ketakutan masyarakat dan berjanji untuk menjadi "penyelamat" yang dapat menyelesaikan semua masalahnya, padahal kenyataannya mereka mencari persetujuan yang lebih luas dan kekuasaan yang lebih besar, berdasarkan kesan yang mereka buat, kemampuan mereka untuk menangani segala sesuatu.

 

Bacaan Injil memberitahu kita bahwa ini bukan jalan Yesus. Gaya Allah berbeda. Penting untuk memahami gaya Allah, bagaimana Ia bertindak. Allah bertindak menurut suatu gaya, dan gaya Allah berbeda dengan gaya orang-orang tertentu, karena Ia tidak mengeksploitasi kebutuhan kita atau menggunakan kerentanan kita untuk kepentingan-Nya. Ia tidak ingin merayu kita dengan janji-janji yang menipu atau membagikan bantuan murahan; Ia tidak tertarik pada kerumunan orang banyak. Ia tidak terobsesi dengan angka; Ia tidak meminta persetujuan; Ia tidak mengidolakan kesuksesan pribadi. Sebaliknya, Ia tampak khawatir ketika orang-orang mengikuti-Nya dengan penuh semangat dan antusias. Akibatnya, alih-alih menyerah pada daya pikat popularitas – karena popularitas itu memikat – Ia meminta setiap orang untuk memahami dengan cermat alasan mereka mengikuti-Nya dan konsekuensi yang akan ditimbulkannya. Sebagian dari orang banyak itu mungkin telah mengikuti Yesus karena mereka berharap Ia akan menjadi seorang pemimpin yang dapat membebaskan mereka dari musuh-musuh mereka, seseorang yang, sekali berkuasa, dapat berbagi kuasa itu dengan mereka, atau seseorang yang dengan melakukan mukjizat dapat mengenyahkan kelaparan dan penyakit. Kita dapat mengikuti Tuhan untuk sejumlah alasan. Beberapa di antaranya, harus diakui, bersifat duniawi. Lahiriah religius yang sempurna dapat berfungsi untuk menyembunyikan kepuasan kebutuhan kita, pencarian prestise pribadi kita, keinginan untuk status sosial tertentu atau untuk menjaga hal-hal di bawah kendali, haus akan kekuasaan dan hak istimewa, keinginan untuk pengakuan dan sebagainya. Hal ini terjadi bahkan saat ini di antara umat kristiani. Namun itu bukanlah gaya Yesus. Itu tidak bisa menjadi gaya murid-murid-Nya dan Gereja-Nya. Jika seseorang mengikuti Yesus dengan kepentingan pribadi seperti ini, ia telah salah jalan.

 

Tuhan menuntut sikap yang berbeda. Mengikuti-Nya tidak berarti menjadi bagian dari pengadilan atau prosesi kemenangan, atau bahkan menerima polis asuransi seumur hidup. Sebaliknya, mengikuti Tuhan berarti “memikul salib” (Luk 14:27) : memikul, seperti Dia, beban sendiri dan orang lain, menjadikan hidup kita sebagai karunia, bukan kepemilikan, menghabiskannya dengan meneladan kemurahan hati dan kasih sayang-Nya kepada kita. Ini adalah keputusan yang melibatkan totalitas hidup kita. Karena alasan ini, Yesus menginginkan agar murid-murid-Nya tidak memilih apa pun untuk cinta ini, bahkan kasih sayang terdalam dan harta terbesar mereka.

 

Untuk melakukan hal ini, kita perlu memandang Dia lebih dari pada diri kita sendiri, belajar bagaimana mencintai, dan mempelajari hal ini dari Yesus yang tersalib. Di dalam Dia, kita melihat cinta yang melimpahkan dirinya sampai akhir, tanpa ukuran dan tanpa batas. Ukuran cinta adalah mencintai tanpa ukuran. Dalam kata-kata Paus Yohanes Paulus, “kita adalah obyek cinta abadi Allah” (Doa Malaikat Tuhan, 10 September 1978). Cinta abadi : cinta tidak pernah tenggelam di bawah cakrawala kehidupan kita; cinta menyinari kita dan menerangi bahkan malam tergelap kita. Ketika kita memandang kepada Tuhan yang tersalib, kita dipanggil menuju ketinggian cinta itu, dimurnikan dari ide-ide kita yang menyimpang tentang Allah dan dari keasyikan diri kita, serta mencintai Allah dan sesama, dalam Gereja dan masyarakat, termasuk mereka yang tidak melihat hal-hal yang kita lakukan, mencintai bahkan musuh kita.

 

Mencintai bahkan dengan harga pengorbanan, keheningan, kesalahpahaman, kesendirian, perlawanan dan penganiayaan. Mencintai dengan cara ini, bahkan dengan harga ini, karena, sebagaimana juga dikatakan Beato Yohanes Paulus, jika kamu ingin mencium Yesus yang tersalib, “kamu tidak dapat menahan diri untuk tidak membungkuk di atas salib dan membiarkan dirimu ditikam oleh beberapa duri dari mahkota di atasnya. kepala Tuhan” (Audiensi Umum, 27 September 1978). Cinta yang bertahan sampai akhir, duri dan segalanya : tidak meninggalkan hal-hal setengah jadi, tidak ada jalan pintas, tidak ada kesulitan melarikan diri. Jika kita gagal mencapai tujuan yang tinggi, jika kita menolak untuk mengambil risiko, jika kita puas dengan iman yang encer, kita, seperti yang dikatakan Yesus, seperti mereka yang ingin membangun sebuah menara tetapi tidak memperkirakan biayanya; mereka "meletakkan dasar", tetapi kemudian "tidak dapat menyelesaikannya" (ayat 29). Jika rasa takut kehilangan diri kita membuat kita berhenti memberi diri kita, kita meninggalkan hal-hal yang belum terselesaikan : hubungan dan pekerjaan kita, tanggung jawab dan komitmen kita, impian kita dan bahkan iman kita. Dan kemudian kita akhirnya menjalani hidup setengah jalan – dan berapa banyak orang yang menjalani hidup setengah jalan, dan kita juga sering tergoda untuk menjalani hidup setengah jalan – tanpa pernah mengambil langkah tegas – inilah artinya menjalani hidup setengah jalan – tanpa pernah terbang, tanpa pernah mengambil risiko untuk kebaikan, dan tanpa pernah benar-benar berkomitmen untuk membantu orang lain. Yesus menanyakan hal ini kepada kita secara tepat : hayati Injil dan kamu akan menghayati hidupmu, bukan setengah jalan tetapi sepenuhnya. Hayati Injil, hayati hidup, tanpa kompromi.

 

Saudara-saudari terkasih, Beato kita yang baru hidup seperti itu : dalam sukacita Injil, tanpa kompromi, penuh kasih sampai akhir. Ia mewujudkan kemiskinan murid, yang tidak hanya terlepas dari harta benda, tetapi juga kemenangan atas godaan untuk menempatkan diri di pusat, mencari kemuliaan diri. Sebaliknya, mengikuti teladan Yesus, ia adalah seorang gembala yang lemah lembut dan rendah hati. Ia menganggap dirinya sebagai debu yang pada dirinya Allah berkenan untuk menulis (bdk. A. Luciani/Yohanes Paulus I, Opera Omnia, Padua, 1988, vol. II, 11). Itulah sebabnya ia bisa mengatakan: “Tuhan sangat menganjurkannya : jadilah rendah hati. Bahkan jika kamu telah melakukan hal-hal besar, katakanlah : 'Kami adalah hamba yang tidak berguna'” (Audiensi Umum, 6 September 1978).

 

Dengan senyuman, Paus Yohanes Paulus berhasil menyampaikan kebaikan Tuhan. Alangkah indahnya Gereja dengan wajah bahagia, teduh dan tersenyum, Gereja yang tidak pernah menutup pintu, tidak pernah mengeraskan hati, tidak pernah mengeluh atau menyimpan dendam, tidak menjadi marah atau tidak sabar, tidak terlihat muram atau menderita nostalgia masa lalu, jatuh ke dalam sikap mundur. Marilah kita berdoa kepadanya, bapa kita dan saudara kita, dan memintanya untuk mendapatkan bagi kita "senyuman jiwa", senyuman transparan yang tidak menipu, senyuman jiwa. Marilah kita berdoa, dengan kata-katanya : “Tuhan, terimalah aku apa adanya, dengan segala aibku, dengan kekuranganku, tetapi jadikanlah aku seperti yang Engkau inginkan” (Audiensi Umum, 13 September 1978). Amin.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 4 September 2022)