Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA PEMBUKAAN SIDANG UMUM BIASA SINODE PARA USKUP 4 Oktober 2023 : TATAPAN YESUS

Bacaan Ekaristi : Gal 6:14-18; Mat 11:25-30.

 

Bacaan Injil yang baru saja kita dengar didahului oleh kisah tentang saat sulit dalam perutusan Yesus, yang mungkin kita sebut sebagai “kehancuran pastoral”. Yohanes Pembaptis meragukan apakah Yesus benar-benar Mesias; begitu banyak kota yang Ia lewati, meskipun berbagai mukjizat yang Ia lakukan, tidak bertobat; orang-orang menuduh-Nya sebagai seorang pelahap dan peminum, padahal tadinya mereka mengeluh tentang Yohanes Pembaptis karena ia terlalu keras (bdk. Mat 11:2-24). Tetapi kita melihat bahwa Yesus tidak membiarkan diri-Nya diliputi kesedihan, melainkan menengadah ke langit dan bersyukur kepada Bapa karena Ia telah menyatakan misteri Kerajaan Allah kepada orang kecil : “Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil” (Mat 11:25). Maka, di saat-saat kesedihan, Yesus memiliki tatapan yang mampu melihat lebih jauh: Ia memuji kebijaksanaan Bapa dan mampu melihat kebaikan yang tumbuh tak terlihat, benih Sabda yang disambut oleh orang-orang kecil, terang Kerajaan Allah yang menunjukkan jalan bahkan di malam hari.

 

Saudara para kardinal yang terkasih, saudara para uskup, para saudara dan saudari, kita sedang menghadiri pembukaan Sidang Umum Sinode. Di sini kita tidak memerlukan visi yang murni alami, yang berupa strategi manusiawi, perhitungan politis, atau pertarungan ideologis. Jika Sinode memperkenankan hal ini terjadi, “pihak lain” akan membukakan pintu untuknya. Ini tidak kita perlukan. Ki9ta di sini bukan untuk melaksanakan rapat dewan perwakilan rakyat atau rencana reformasi. Sinode, saudara dan saudari terkasih, bukan sebuah dewan perwakilan rakyat. Roh Kudus adalah tokoh utamanya. Kita di sini bukan untuk membentuk dewan perwakilan rakyat tetapi berjalan bersama dengan tatapan Yesus, yang bersyukur kepada Bapa dan menyambut orang-orang yang letih lesu dan berbeban berat. Maka marilah kita mulai dari tatapan Yesus, yaitu tatapan penuh berkat dan menyambut.

 

1.       Marilah kita lihat aspek pertama : tatapan yang penuh syukur. Sekalipun mengalami penolakan dan melihat di sekeliling begitu banyak kekerasan hati, Kristus tidak membiarkan diri-Nya terpenjara oleh kekecewaan, Ia tidak menjadi getir, Ia tidak berhenti memuji; hati-Nya, yang berlandaskan keutamaan Bapa, tetap tenang bahkan di tengah badai.

 

Tatapan Tuhan yang penuh syukur ini juga mengajak kita menjadi Gereja yang, dengan hati gembira, merenungkan perbuatan Allah dan melakukan pembedaan roh terhadap masa kini. Dan Gereja yang, di tengah gelombang zaman yang kadang-kadang bergejolak, tidak berkecil hati, tidak mencari celah ideologis, tidak membentengi diri di balik anggapan yang sudah ada sebelumnya, tidak menyerah pada penyelesaian yang mudah, tidak membiarkan dunia mendikte agendanya. Inilah kebijaksanaan rohani Gereja, yang dirangkum dengan teduh oleh Santo Yohanes XXIII : “Pertama-tama, Gereja tidak boleh menyimpang dari warisan suci kebenaran yang diterima dari para Bapa. Tetapi pada saat yang sama Gereja harus selalu melihat ke masa kini, pada kondisi-kondisi baru dan bentuk-bentuk kehidupan baru yang diperkenalkan ke dalam dunia modern yang telah membuka jalan-jalan baru bagi kerasulan Katolik” (Pidato pada Pembukaan Konsili Ekumenis Vatikan II, 11 Oktober 1962).

 

Tatapan Yesus yang penuh syukur mengajak kita menjadi Gereja yang tidak menghadapi tantangan dan persoalan masa kini dengan semangat memecah-belah dan suka bertengkar, tetapi sebaliknya, mengarahkan pandangan kepada Allah yang mempersatukan dan, dengan rasa heran dan rendah hati, bersyukur dan menyembah-Nya. , mengakui-Nya sebagai satu-satunya Tuhannya. Kita adalah milik-Nya dan – ingatlah – kita ada hanya untuk melahirkan-Nya ke dunia. Sebagaimana dikatakan Rasul Paulus kepada kita, kita “sekali-kali tidak mau bermegah, selain dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus” (Gal. 6:14). Ini cukup bagi kita; Ia cukup bagi kita. Kita tidak menginginkan kemegahan duniawi; kita tidak ingin menjadikan diri kita menarik di mata dunia, tetapi ingin menjangkaunya dengan penghiburan Injil, memberikan kesaksian tentang kasih Allah yang tak terbatas, dengan cara yang lebih baik dan kepada semua orang. Memang benar, sebagaimana dikatakan Benediktus XVI, tepatnya ketika berbicara di hadapan sidang sinode, “pertanyaan bagi kita adalah ini : Allah telah bersabda, Ia sungguh telah memecah keheningan yang besar, Ia telah menunjukkan diri-Nya, tetapi bagaimana kita dapat menyampaikan kenyataan ini kepada bangsa-bangsa dewasa ini, sehingga menjadi keselamatan?” (Permenungan, Kongregasi Umum I Sidang Umum Biasa XIII Sinode Para Uskup, 8 Oktober 2012). Ini adalah pertanyaan dasariah. Dan inilah tugas utama Sinode : memfokuskan kembali tatapan kita kepada Allah, menjadi Gereja yang memandang umat manusia dengan penuh belas kasihan. Sebuah Gereja yang bersatu dan bersaudara – atau setidaknya berupaya untuk bersatu dan bersaudara –, yang mendengarkan dan berdialog; sebuah Gereja yang memberkati dan memberi semangat, yang membantu mereka yang mencari Tuhan, yang dengan penuh kasih membangkitkan semangat mereka yang acuh tak acuh, yang membuka jalan untuk menarik orang ke dalam keindahan iman. Sebuah Gereja yang berpusat pada Allah dan oleh karena itu, tidak terpecah belah secara internal dan tidak pernah bersikap kasar secara eksternal. Sebuah Gereja yang mengambil risiko dalam mengikut Yesus. Inilah yang diinginkan Yesus dari Gereja, mempelai perempuan.

 

2.     Setelah merenungkan tatapan yang penuh syukur, kini marilah kita melihat tatapan Kristus yang menyambut. Ketika orang-orang yang menganggap dirinya bijak tidak menyadari karya Allah, Yesus bersukacita di dalam Bapa karena Ia menyatakan diri-Nya kepada orang-orang kecil, orang-orang sederhana, dan orang-orang yang miskin di hadapan Allah. Suatu ketika ada suatu masalah di sebuah paroki dan hal itu dibicarakan oleh umat. Inilah yang mereka katakan pada saya. Seorang perempuan yang sangat renta, seorang perempuan yang berasal dari masyarakat yang praktis buta huruf, turun tangan, seolah-olah ia adalah seorang teolog, dan dengan kelembutan dan kebijaksanaan rohani yang besar memberikan wawasannya. Saya mengingat dengan gembira saat tersebut sebagai penyataan diri Tuhan. Terlintas dalam benak saya untuk bertanya kepadanya : “Katakanlah kepada saya, Nyonya, di manakah kamu belajar teologi, bersama Royo Marín, seorang teolog hebatkah?” Orang bijak di antara kita mempunyai keyakinan seperti ini. Sepanjang hidup-Nya, Yesus memberikan tatapan yang menyambut kepada mereka yang paling lemah, yang menderita, dan yang terbuang. Khususnya kepada mereka, Ia menyampaikan kata-kata yang kita dengar : “"Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (Mat 11:28).

 

Tatapan Yesus yang menyambut ini juga mengajak kita untuk menjadi sebuah Gereja yang menyambut, bukan sebuah Gereja yang pintunya tertutup. Di masa yang begitu rumit seperti sekarang ini, muncul tantangan-tantangan budaya dan pastoral baru yang memerlukan sikap batin yang hangat dan ramah sehingga kita saling dapat bertemu tanpa rasa takut. Dalam dialog sinode, dalam “perjalanan Roh Kudus” yang indah yang kita jalani bersama sebagai Umat Allah, kita dapat bertumbuh dalam kesatuan dan persahabatan dengan Tuhan untuk melihat tantangan-tantangan dewasa ini dengan tatapan-Nya; menjadi, dengan menggunakan ungkapan halus Santo Paulus VI, sebuah Gereja yang “menjadikan dirinya bahan perbincangan” (Ensiklik Ecclesiam Suam, 65). Gereja “dengan kuk yang lemah lembut” (bdk. Mat 11:30), yang tidak membebani dan mengulangi kepada setiap orang: “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, yang tersesat atau merasa jauh, yang telah menutup pintu harapan : Gereja ada di sini untukmu!” Pintu Gereja terbuka untuk semua orang, semua orang, semua orang!

 

3.     Saudara dan saudari, Umat Allah yang kudus, dalam menghadapi kesulitan dan tantangan yang ada di depan, tatapan Yesus yang penuh syukur dan menyambut mencegah kita jatuh ke dalam godaan-godaan berbahaya: menjadi sebuah Gereja yang kaku – sebuah tempat tugas tertentu –, yang mempersenjatai diri melawan dunia dan melihat ke belakang; menjadi sebuah Gereja yang suam-suam kuku, yang menyerah pada mode dunia; menjadi Gereja yang letih lesu, menyerahkan diri pada dirinya sendiri. Dalam Kitab Wahyu, Tuhan bersabda, “Aku berdiri di depan pintu dan mengetuknya supaya dibukakan”; tetapi seringkali, saudara dan saudari, Ia berdiri di depan pintu sambil mengetuk pintu tetapi dari dalam Gereja sehingga kita dapat memperkenankan-Nya keluar bersama Gereja untuk mewartakan Injil-Nya.

 

Marilah kita berjalan bersama : rendah hati, bersemangat dan gembira. Marilah kita mengikuti jejak Santo Fransiskus dari Asisi, santo kemiskinan dan perdamaian, “orang dungu Allah” yang mengenakan stigmata Yesus di dalam tubuhnya dan, untuk mengenakannya, ia menanggalkan segalanya. Betapa sulitnya bagi kita semua untuk melakukan pengosongan diri lahir dan batin ini. Hal serupa juga berlaku bagi lembaga-lembaga. Santo Bonaventura menceritakan bahwa ketika ia sedang berdoa, Yesus yang tersalib berkata kepadanya, “Pergilah dan perbaikilah gereja-Nu” (Legenda maior, II, 1). Sinode berfungsi untuk mengingatkan kita akan hal ini : Bunda kita, Gereja, selalu membutuhkan pemurnian, “diperbaiki”, karena kita adalah umat yang terdiri dari para pendosa yang telah diampuni – kedua unsurnya: para pendosa yang telah diampuni –, yang selalu butuh kembali ke sumbernya yaitu Yesus dan menempatkan diri kita kembali pada jalan Roh untuk menjangkau semua orang dengan Injil-Nya. Fransiskus dari Asisi, di masa pergulatan dan perpecahan besar, antara kekuatan duniawi dan agama, antara lembaga Gereja dan aliran sesat, antara umat Kristiani dan umat beriman lainnya, tidak mengkritik atau menyerang siapa pun. Ia hanya menggunakan senjata Injil: kerendahan hati dan persatuan, doa dan amal kasih. Marilah kita melakukan hal yang sama: kerendahan hati, persatuan, doa dan amal kasih!

 

Dan jika umat Allah yang kudus bersama para gembalanya dari seluruh dunia mempunyai pengharapan, harapan dan bahkan ketakutan terhadap sinode yang sedang kita mulai, marilah kita terus mengingat bahwa sinode bukan sebuah ajang pertemuan politik, melainkan sebuah pertemuan dalam Roh; bukan dewan perwakilan rakyat yang terkutub-kutub, tetapi tempat kasih karunia dan persekutuan. Roh Kudus sering kali menghancurkan harapan kita untuk menciptakan sesuatu yang baru yang melampaui prediksi dan negativitas kita. Mungkin saya dapat mengatakan bahwa momen-momen Sinode yang lebih bermanfaat adalah momen-momen yang terhubung dengan doa, suasana doa, yang melaluinya Tuhan bekerja di dalam diri kita. Marilah kita membuka diri kita kepada-Nya dan berseru kepada-Nya, sang tokoh utama, Roh Kudus. Marilah kita memperkenankan-Nya menjadi tokoh utama Sinode! Dan marilah kita berjalan bersama-Nya, dengan penuh kepercayaan dan sukacita.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 4 Oktober 2023)

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.