Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA DI STADION VÉLODROME, MARSEILLE (PRANCIS) 23 September 2023 : LONJAKAN IMAN

Bacaan Ekaristi : 2 Sam 6:1-15; Luk 1:39-45.

 

Kitab Suci memberitahu kita bahwa, setelah mendirikan kerajaannya, Raja Daud memutuskan untuk mengangkut Tabut Perjanjian ke Yerusalem. Setelah memanggil orang-orang, ia bangkit dan berangkat membawa Tabut Perjanjian; dalam perjalanan, ia dan orang-orang menari-nari di depannya, bersukacita di hadapan Tuhan (bdk. 2 Sam 6:1-15). Dengan latar belakang adegan inilah penginjil Lukas menceritakan kunjungan Maria kepada sanaknya Elisabet. Maria juga bangkit dan berangkat ke wilayah Yerusalem, dan ketika ia memasuki rumah Elisabet, anak yang dikandungnya, menyadari kedatangan Mesias, melonjak kegirangan dan mulai menari-nari seperti yang dilakukan Daud di depan Tabut Perjanjian (bdk. Luk 1:39-45).

 

Kemudian Maria ditampilkan sebagai Tabut Perjanjian yang sesungguhnya, yang memperkenalkan Tuhan yang menjelma ke dalam dunia. Ia adalah Perawan muda yang pergi menemui perempuan tua yang mandul dan, dengan membawa Yesus, menjadi tanda kunjungan Tuhan yang mengatasi segala kemandulan. Ia adalah Bunda yang pergi ke pegunungan Yehuda, untuk memberitahu kita bahwa Tuhan sedang mencari kita dengan kasih-Nya, sehingga kita dapat kegirangan dengan penuh sukacita. Allahlah yang sedang berangkat!

 

Dalam diri kedua perempuan ini, Maria dan Elisabet, kunjungan Tuhan kepada umat manusia terungkap. Yang satu muda dan yang satu lagi tua, yang satu masih perawan dan yang satu lagi mandul, namun keduanya mengandung dengan cara yang “mustahil”. Inilah karya Allah dalam kehidupan kita; Ia membuat mungkin bahkan apa yang tampak mustahil, Ia menghasilkan kehidupan bahkan di tengah kemandulan.

 

Saudara-saudari, marilah kita bertanya pada diri kita dengan jujur, dari hati: Percayakah kita bahwa Allah sedang bekerja dalam kehidupan kita? Apakah kita percaya bahwa Allah, dengan cara yang tersembunyi dan seringkali tidak dapat diduga, bertindak dalam sejarah, mempertunjukkan keheranan, dan sedang bekerja bahkan dalam masyarakat kita yang ditandai oleh sekularisme duniawi dan ketidakpedulian terhadap agama tertentu?

 

Ada cara untuk membedakan apakah kita mempunyai kepercayaan kepada Tuhan atau tidak. Apa caranya? Bacaan Injil mengatakan bahwa “ketika Elisabet mendengar salam Maria, melonjaklah anak yang di dalam rahimnya” (ayat 41). Ini tandanya: melonjak kegirangan. Siapa pun yang percaya, siapa pun yang berdoa, siapa pun yang menyambut Tuhan akan melonjak dalam Roh, dan merasakan ada sesuatu yang sedang bergerak di dalam batinnya, dan “menari-nari” dengan penuh sukacita. Saya ingin membahas hal ini : lonjakan iman.

 

Pengalaman iman, yang pertama dan terutama, menimbulkan suatu lonjakan tertentu dalam menghadapi kehidupan. Melonjak berarti “menyentuh batin”, merasakan getaran batin, merasakan ada sesuatu yang bergerak di dalam hati kita. Hal ini kebalikan dari hati yang datar dan dingin, terbiasa hidup tenang, terbungkus dalam ketidakpedulian dan menjadi kedap air. Hati yang demikian menjadi mengeras dan tidak peka terhadap segala hal dan siapa pun, bahkan terhadap tragisnya pencampakkan kehidupan manusia, yang saat ini terlihat dalam penolakan terhadap banyak imigran, terhadap banyak sekali anak-anak yang masih dalam kandungan, dan orang-orang lanjut usia yang terlantar. Hati yang dingin dan datar menyeret kehidupan secara mekanis, tanpa nafsu, tanpa dorongan, tanpa hasrat. Dalam masyarakat Eropa, kita bisa menjadi sakit karena semua ini dan menderita sinisme, kekecewaan, kepasrahan, ketidakpastian, dan kesedihan yang menyeluruh – semua ini tergabung : kesedihan, kesedihan yang tersembunyi di dalam hati manusia tersebut. Seseorang menyebut watak ini sebagai “hasrat yang menyedihkan” dan ditemukan pada orang-orang yang tidak “melonjak dalam menghadapi kehidupan”.

Sebaliknya, mereka yang dilahirkan dalam iman akan mengenali kehadiran Tuhan, seperti bayi dalam rahim Elisabet. Mereka mengenali karya-Nya seiring fajar menyingsing dan menerima pandangan baru untuk melihat kenyataan. Bahkan di tengah kerja keras, permasalahan dan penderitaan, setiap hari mereka menyadari kunjungan Allah di antara kita serta merasa ditemani dan didukung oleh-Nya. Berhadapan dengan misteri kehidupan dan tantangan masyarakat, mereka yang beriman memiliki semangat dalam langkah mereka, hasrat, mimpi untuk dikembangkan, minat yang mendorong mereka untuk berkomitmen secara pribadi. Sekarang kita masing-masing dapat bertanya pada diri kita : apakah aku merasakan hal-hal ini? Apakah aku mempunyai hal-hal ini? Mereka yang seperti ini tahu bahwa dalam segala hal Tuhan hadir, memanggil dan mengajak mereka untuk bersaksi tentang Injil dengan lemah lembut, guna membangun dunia baru, dengan menggunakan karunia dan karisma yang telah mereka terima.

 

Selain memampukan kita untuk melonjak dalam menghadapi kehidupan, pengalaman iman juga mendorong kita untuk melonjak ke arah sesama kita. Memang benar, dalam misteri kunjungan Maria kepada Elisabet, kita melihat bahwa kunjungan Allah tidak terjadi melalui peristiwa-peristiwa surgawi yang luar biasa, melainkan dalam sebuah perjumpaan yang sederhana. Allah datang ke ambang pintu sebuah rumah keluarga, dalam pelukan lembut antara dua perempuan, dalam jalinan dua kehamilan yang penuh keheranan dan harapan. Di sana kita melihat kepedulian Maria, keheranan Elisabet, dan sukacita berbagi.

 

Marilah kita selalu mengingat hal ini dalam Gereja : Allah itu relasional dan sering mengunjungi kita melalui perjumpaan antarmanusia, ketika kita tahu bagaimana bersikap terbuka terhadap orang lain, ketika ada “gejolak” dalam diri kita yang memihak kepada orang-orang yang berpapasan dengan kita setiap hari, dan ketika hati kita tidak tetap tenang dan tidak peka terhadap luka-luka orang yang rapuh. Kota-kota besar kita dan banyak negara Eropa seperti Perancis, di mana berbagai budaya dan agama hidup berdampingan, merupakan kekuatan yang kuat melawan individualisme, keegoisan dan penolakan yang berlebihan yang menimbulkan kesepian dan penderitaan. Marilah kita belajar dari Yesus bagaimana menggerakkan diri kita untuk membantu orang-orang yang tinggal di sekitar kita. Marilah kita belajar dari Dia yang tergerak hati-Nya oleh belas kasihan di hadapan orang banyak yang letih dan lelah (bdk. Mrk 6:34) dan “melonjak o0leh belas kasihan” di hadapan orang-orang yang terluka yang kita temui. Sebagaimana didesak oleh salah seorang santo besarmu, Vinsensius a Paulo, “maka kita hendaknya melembutkan hati kita dan menyadarkan hati kita akan penderitaan dan kesengsaraan sesama kita. Kita harus memohon kepada Allah untuk memberikan kepada kita roh belas kasihan yang merupakan Roh Allah sendiri,” sampai pada titik mengakui bahwa orang miskin adalah “tuan dan guru kita” (Korespondensi, wawancara, dokumen, Paris 1920-25, 341; 392-393).

Saudara-saudari, saya memikirkan banyak “kegaduhan” di Prancis, dengan sejarahnya yang kaya akan kekudusan dan budaya; para seniman dan pemikir yang telah menginspirasi banyak generasi. Saat ini juga, kehidupan kita dan kehidupan Gereja, Prancis dan Eropa membutuhkan hal ini: rahmat sebuah lonjakan maju, sebuah lonjakan baru dalam iman, kasih dan harapan. Kita perlu mengobarkan kembali semangat dan antusiasme kita, untuk membangkitkan kembali keinginan kita untuk berkomitmen pada persaudaraan. Kita perlu sekali lagi mengambil risiko untuk mengasihi keluarga kita dan berani mengasihi yang paling lemah, dan menemukan kembali dalam Injil rahmat yang mengubah rupa yang membuat kehidupan menjadi indah.

 

Marilah kita memandang Maria, yang menyusahkan diri dengan memulai suatu perjalanan dan yang mengajari kita bahwa inilah jalan Allah: Ia menyusahkan kita, membuat kita bergerak dan membuat kita “melonjak”, serupa dengan pengalaman Elisabet. Kita ingin menjadi umat Kristiani yang berjumpa Allah dalam doa, dan saudara-saudari kita dalam kasih; umat Kristiani yang melonjak, berdenyut, dan menerima api Roh Kudus dan kemudian membiarkan diri mereka terkobar oleh pertanyaan-pertanyaan di zaman kita, oleh tantangan-tantangan di Mediterania, oleh jeritan kaum miskin – dan oleh “utopia-utopia suci” persaudaraan dan perdamaian yang menunggu untuk diwujudkan.

 

Saudara-saudari, bersamamu, saya berdoa kepada Bunda Maria, Notre Dame de la Garde, agar ia menjaga hidupmu, agar ia menjaga Prancis dan menjaga seluruh Eropa, serta agar ia membuat kita melonjak ke dalam Roh. Saya ingin memanjatkan doa ini dengan menggunakan kata-kata Paul Claudel: “Aku melihat gereja, buka…. Aku tidak mempunyai apa pun untuk ditawarkan dan tidak ada yang perlu ditanyakan. Aku datang, Bunda, hanya untuk memandangmu. Memandangmu, menangis bahagia, mengetahui bahwa aku adalah putramu, dan bahwa kamu ada di sana…. Bersamamu, Maria, di tempat di mana kamu berada…. Karena kamu ada di sana, selalu… Karena kamu Maria semata … Karena kamu ada semata… Bunda Yesus Kristus, syukur kepadamu (“Perawan di Waktu Malam”, Puisi Perang 1914-1916, Paris, 1992).

 

[Kata Perpisahan di Akhir Misa Kudus]

 

Yang Mulia, saya berterima kasih atas kata-katamu dan saudara-saudari, saya berterima kasih kepada kamu semua, atas kehadiran dan doamu : terima kasih!

Setelah kunjungan ini berakhir, saya ingin mengucapkan terima kasih atas sambutan hangat yang saya terima, serta atas seluruh upaya dan persiapan yang dilakukan selama kunjungan ini. Saya berterima kasih kepada Presiden Republik Prancis dan, melalui dia, saya menyampaikan salam ramah kepada semua pria dan wanita di Prancis. Saya menyapa Perdana Menteri yang datang menyambut saya di bandara dan saya juga menyapa pihak berwenang yang hadir, khususnya Walikota Marseille.

 

Saya merangkul seluruh Gereja Marseille, dengan paroki dan komunitas keagamaannya, berbagai lembaga pendidikan dan organisasi amalnya. Keuskupan Agung ini adalah keuskupan pertama di dunia yang dikonsekrasikan kepada Hati Kudus Yesus, pada saat wabah penyakit merebak pada tahun 1720. Oleh karena itu, di dalam hatimulah ada tanda kasih Allah yang lembut, juga di tengah “epidemi ketidakpedulian” yang terjadi saat ini. Terima kasih atas pelayananmu yang lembut dan penuh komitmen, yang menjadi saksi kedekatan dan kasih sayang Tuhan!

 

Beberapa dari kami datang ke sini dari berbagai penjuru Prancis : merci à vous! Saya ingin menyapa saudara-saudari dari Nice, yang didampingi oleh uskup dan walikota mereka. Saya mengingat serangan mengerikan yang terjadi pada tanggal 14 Juli 2016, dan kamu adalah orang-orang yang selamat. Marilah kita dengan penuh doa mengenang semua orang yang kehilangan nyawa dalam tragedi tersebut, serta semua aksi teroris yang dilakukan di Prancis dan di seluruh belahan dunia. Terorisme itu pengecut. Janganlah kita bosan berdoa untuk perdamaian di wilayah yang dilanda perang, dan khususnya bagi rakyat Ukraina yang dilanda perang.

 

Dengan sepenuh hati saya menyapa orang sakit, anak-anak, dan orang tua, yang merupakan kenangan peradaban. Saya terutama memikirkan mereka yang berada dalam kesulitan dan semua pekerja di kota ini: Jacques Loew, imam pekerja pertama di Prancis, bekerja di pelabuhan Marseille. Semoga martabat pekerja dihormati, ditinggikan dan dilindungi!

 

Saudara-saudari terkasih, saya akan mengingat perjumpaan hari-hari ini dalam hati saya. Semoga Notre Dame de la Garde menjaga kota ini, yang merupakan mosaik harapan, seluruh keluargamu, dan kamu masing-masing. Saya memberkatimu. Mohon jangan lupa untuk mendoakan saya. Pekerjaan ini tidak mudah! Terima kasih.

____

(Peter Suriadi - Bogor, 24 September 2023)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA DI STEPPE ARENA, ULAANBAATAR, MONGOLIA 3 September 2023 : IMAN KRISTIANI ADALAH JAWABAN ATAS KEHAUSAN AKAN KASIH

Bacaan Ekaristi : Yer. 20:7-9; Mzm. 63:2,3-4,5-6,8-9; Rm. 12:1-2; Mat. 16:21-27.

 

Dengan kata-kata Mazmur Tanggapan, kita berdoa : “ Ya Allah, ... jiwaku haus kepada-Mu, tubuhku letih merindukan Engkau, seperti tanah yang kering dan kehausan, tiada berair” (Mzm 63:2). Permohonan yang luar biasa ini menyertai perjalanan kita menjalani kehidupan, di tengah seluruh padang gurun yang harus kita lalui. Justru di padang gurun itulah kita mendengar kabar baik bahwa kita tidak sendirian dalam perjalanan kita; masa-masa kekeringan tersebut tidak dapat memandulkan kehidupan kita selamanya; jeritan kehausan kita bukan tidak terdengar. Allah Bapa telah mengutus Putra-Nya untuk memberi kita air hidup Roh Kudus untuk memuaskan jiwa kita (bdk. Yoh 4:10). Yesus, sebagaimana kita dengar dalam Bacaan Injil, menunjukkan kepada kita cara untuk memuaskan kehausan kita. Kehausan kita dipuaskan dengan jalan kasih, yang Ia ikuti bahkan hingga di kayu salib, dan yang melaluinya Ia memanggil kita untuk mengikuti-Nya, dengan mengurbankan nyawa kita agar memperoleh kepuasan tersebut (bdk. Mat 16:24-25).

 

Marilah kita renungkan bersama dua hal ini : kehausan yang ada di dalam diri kita, dan kasih yang memuaskan kehausan tersebut.

 

Pertama, kita dipanggil untuk mengakui kehausan dalam diri kita. Pemazmur berseru kepada Allah dalam kekeringannya, karena hidupnya laksana padang gurun. Kata-katanya bergema terutama di negeri seperti Mongolia : negeri yang luas, kaya akan sejarah dan budaya, namun juga ditandai dengan kegersangan padang rumput yang luas dan padang gurun. Banyak di antara kamu yang memahami kepuasan dan kehausan dalam perjalanan, yang membangkitkan aspek dasariah spiritualitas biblis yang diwakili oleh Abraham dan, dalam arti yang lebih luas, oleh umat Israel dan tentu saja setiap murid Tuhan. Karena kita semua adalah “pengembara Allah”, pengembara yang mencari kebahagiaan, pengembara yang haus akan kasih. Maka padang gurun yang dibicarakan Pemazmur adalah kehidupan kita. Kita adalah tanah kering yang haus akan air segar, air yang dapat memuaskan dahaga terdalam kita. Hati kita rindu untuk menemukan rahasia kebahagiaan sejati, kebahagiaan yang bahkan di tengah kegersangan keberadaan, dapat menemani dan menopang kita. Jauh di dalam diri kita, kita mempunyai kehausan akan kebahagiaan yang tak terpuaskan; kita mencari makna dan arah dalam kehidupan kita, alasan atas semua yang kita lakukan setiap hari. Meebihi segalanya, kita haus akan kasih, karena hanya kasih yang benar-benar dapat memuaskan kita, memberi kita kepuasan; hanya kasih yang bisa membuat kita bahagia, mengilhami kepastian batin, dan memungkinkan kita menikmati indahnya kehidupan. Saudara dan saudari terkasih, iman Kristiani adalah jawaban terhadap kehausan ini; sungguh, tanpa mengabaikannya atau berusaha menggantinya dengan obat penenang atau pengganti. Karena di dalam kehausan inilah terdapat misteri besar kemanusiaan kita: kehausan ini membuka hati kita kepada Allah yang hidup, Allah kasih, yang datang menjumpai kita dan menjadikan kita anak-anak-Nya, saudara saudari satu sama lain.

 

Hal ini membawa kita pada hal kedua: kasih yang memuaskan kehausan kita. Yang pertama adalah kehausan kita yang dalam dan menyangkut keberadaan, dan kini kita merenungkan kasih yang memuaskan kehausan kita. Inilah pokok iman Kristiani : Allah, yang adalah Kasih, telah mendekat kepadamu, kepadaku, kepada semua orang, dalam Putra-Nya Yesus, dan ingin ambil bagian dalam hidupmu, pekerjaanmu, impianmu dan kehausanmu akan kebahagiaan. Memang benar bahwa, kadang-kadang, kita merasa seperti “tanah yang kering dan kehausan, tiada berair”, tetapi juga benar bahwa Allah peduli terhadap kita dan menawarkan kepada kita air yang jernih dan menyegarkan, air hidup Roh Kudus, yang memancar di dalam diri kita untuk memperbaharui dan membebaskan kita dari risiko kekeringan. Yesus memberi kita air tersebut. Sebagaimana dikatakan Santo Agustinus kepada kita, “…jika kita mengenali diri kita sebagai orang yang haus, kita juga dapat mengenali diri kita sebagai orang yang memuaskan kehausan” (Tentang Mazmur, 63:1). Memang kalau dalam kehidupan ini kita sering mengalami padang gurun yang sarat kesepian, keletihan, dan kehampaan, hendaknya kita juga ingat, bersama Agustinus, bahwa, “jangan sampai kita pingsan di padang gurun ini, maka Allah akan menyegarkan kita dengan embun sabda-Nya… Benar, Ia membuat kita merasa haus, namun kemudian datang untuk memuaskan kehausan tersebut… Allah telah berbelas kasihan kepada kita; Ia telah membukakan kita jalan raya di padang gurun : Tuhan kita Yesus Kristus”. Dan itulah jalan melewati padang gurun kehidupan kita. “Ia telah menawarkan kepada kita sumber penghiburan di padang gurun: para pengkhotbah firman-Nya. Ia telah menawarkan kita air di padang gurun tersebut, dengan memenuhi para pengkhotbah itu dengan Roh Kudus, sehingga menciptakan, di dalamnya, sumber air yang memancar hingga kehidupan kekal” (idem., 1, 6). Kata-kata ini, para sahabat terkasih, berbicara kepadamu tentang sejarahmu. Di tengah padang gurun kehidupan dan kesulitan yang terkait dengan komunitas kecil, Tuhan telah memastikan bahwa kamu tidak kekurangan air sabda-Nya, terutama terima kasih kepada para pengkhotbah dan misionaris yang, diurapi oleh Roh Kudus, menaburkan benih keindahannya di antaramu. Sabda tersebut senantiasa membawa kita kembali pada hal yang penting, pada pokok iman kita: memperkenankan diri kita dikasihi Allah dan pada gilirannya menjadikan kehidupan kita sebagai persembahan kasih. Karena hanya kasih yang benar-benar memuaskan kehausan kita. Janganlah kita lupa: hanya kasih yang sungguh dapat memuaskan kehausan kita.

 

Hal itulah yang dikatakan Yesus kepada rasul Petrus dalam Bacaan Injil hari ini. Petrus tidak bisa menerima kenyataan bahwa Yesus harus menderita, didakwa para pemuka umat, menjalani sengsara-Nya dan kemudian wafat di kayu salib. Petrus bereaksi, ia memprotes, ia mencoba meyakinkan Yesus bahwa Yesus keliru, karena, dalam pikiran Petrus – dan kita juga sering mempunyai gagasan yang sama – Mesias tidak mungkin berakhir dengan kegagalan, wafat di kayu salib laksana penjahat yang ditinggalkan Allah. Tuhan kemudian menegur Petrus karena ia memikirkan “apa yang dipikirkan dunia”, dan bukan apa yang dipikirkan Allah (bdk. Mat 16:21-23). Jika kita berpikir bahwa kesuksesan, kekuasaan, atau materi sudah cukup untuk memuaskan kehausan dalam hidup kita, maka kita memikirkan apa yang dipikirkan dunia. Keduniawian semacam itu tidak membuahkan hasil; memang, hal ini membuat kita semakin haus. Yesus justru menunjukkan caranya kepada kita: "Jika seseorang mau menjadi pengikut-Ku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku. Sebab siapa yang mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; siapa yang  kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya” (Mat 16:24-25).

 

Saudara dan saudari terkasih, hal ini tentu saja merupakan cara terbaik: memeluk salib Kristus. Pokok kekristenan adalah sebuah pesan yang menakjubkan dan luar biasa. Jika kamu kehilangan nyawamu, jika kamu memberikannya sebagai persembahan yang murah hati dalam pelayanan, jika kamu mempertaruhkannya dengan memilih untuk mengasihi, jika kamu menjadikannya sebagai karunia cuma-cuma untuk orang lain, maka karunia tersebut akan kembali kepadamu dalam kelimpahan, dan kamu akan diliputi oleh sukacita tiada akhir, kedamaian hati, dan kekuatan serta dukungan batin; dan kita membutuhkan kedamaian batin.

 

Inilah kebenaran yang diinginkan Yesus untuk kita temukan, kebenaran yang ingin Ia ungkapkan kepada kamu semua dan negeri Mongolia ini. Kamu tidak perlu menjadi terkenal, kaya atau berkuasa untuk menjadi bahagia. Tidak! Hanya kasih yang memuaskan kehausan hati kita, hanya kasih yang menyembuhkan luka-luka kita, hanya kasih yang memberikan sukacita sejati. Inilah cara yang diajarkan Yesus kepada kita; inilah jalan yang Ia buka di hadapan kita.

 

Semoga kita juga, saudara dan saudari terkasih, mengindahkan apa yang dikatakan Tuhan kepada Petrus atas jawabannya : “Enyahlah Iblis” (Mat 16:23). Dengan kata lain, jadilah murid-Ku, ikutilah jejak langkah-Ku dan berhentilah memikirkan apa yang dipikirkan dunia. Jika kita melakukan hal ini, dengan rahmat Kristus dan Roh Kudus, kita akan mampu menempuh jalan kasih. Bahkan ketika kasih menuntut kita untuk menyangkal diri kita, melawan bentuk-bentuk keegoisan pribadi dan duniawi, dan mengambil risiko menjalani kehidupan persaudaraan sejati. Memang benar bahwa semua hal ini membutuhkan usaha dan pengorbanan, dan terkadang memikul salib, bahkan sungguh sangat benar bahwa, ketika kita kehilangan nyawa kita demi Injil, Tuhan akan mengembalikannya kepada kita secara berlimpah, dalam bentuk kepenuhan kasih dan sukacita untuk selama-lamanya.

[Sapaan Paus Fransiskus di akhir Misa Kudus]

 

Saya ingin menggunakan kesempatan ini, di hadapan dua saudara uskup ini – Uskup Emeritus Hong Kong (Kardinal John Tong Hon) dan Uskup Hong Kong saat ini (Stephen Chow) – untuk menyampaikan salam yang tulus kepada rakyat Tiongkok yang mulia. Saya menyampaikan harapan baik saya kepada mereka semua : selalu bergerak maju, selalu bergerak maju! Dan kepada umat Katolik Tiongkok: saya memintamu untuk menjadi umat Kristiani yang baik dan warga negara yang baik. Kepada kamu semua, terima kasih.

Terima kasih, Yang Mulia, atas kata-katamu yang ramah, dan terima kasih atas pemberianmu! Kamu menyebutkan bahwa pada hari-hari ini kamu dapat merasakan betapa saya sangat menyayangi umat Tuhan di Mongolia. Itu benar: Saya memulai peziarahan ini dengan penuh harap, dengan keinginan untuk bertemu dengan kamu semua dan mengenalmu. Sekarang saya bersyukur kepada Allah karenamu, karena melalui dirimu, Ia berkenan menggunakan apa yang kecil untuk mencapai hal-hal besar. Terima kasih, karena kamu adalah umat Kristiani yang baik dan warga negara yang jujur. Majulah, dengan lembut dan tanpa rasa takut, sadari kedekatan dan dorongan seluruh Gereja, dan yang terpenting adalah tatapan Tuhan yang lembut, yang tidak melupakan siapa pun dan memandang dengan kasih kepada setiap anak-anak-Nya.

 

Saya menyapa saudara-saudara saya para uskup, para imam, para pelaku hidup bakti, dan semua sahabat yang datang ke sini dari berbagai negara, khususnya dari berbagai wilayah di benua Asia yang luas, di mana saya merasa dihormati. Saya memeluk kamu semua dengan penuh kasih sayang. Secara khusus saya berterima kasih kepada semua orang yang membantu Gereja lokal dengan dukungan spiritual dan material.

Saat ini, delegasi penting Pemerintah Mongolia telah hadir di setiap acara. Saya mengucapkan terima kasih kepada Presiden dan Pemerintah Mongolia atas sambutan dan keramahtamahan mereka, serta atas segala persiapan yang telah dilakukan. Saya merasakan secara langsung keramahan tradisionalmu; terima kasih!

 

Saya juga menyampaikan salam hangat kepada saudara-saudari kita yang beragama kristiani lainnya dan penganut agama lain. Semoga kita terus bertumbuh semakin dekat dalam persaudaraan, sebagai benih perdamaian di dunia yang secara tragis hancur karena banyaknya peperangan dan pertikaian.

 

Terima kasih yang sebesar-besarnya juga saya sampaikan kepada semua orang yang telah bekerja keras dan dalam jangka waktu yang lama, sehingga perjalanan saya dapat terlaksana dan berhasil, dan kepada semua orang yang telah mempersiapkannya dengan doa-doa mereka.

 

Yang Mulia, kamu mengingatkan kami bahwa dalam bahasa Mongolia kata “Terima kasih” berasal dari kata kerja “bergembira ria”. Ucapan terima kasih saya sangat cocok dengan wawasan bahasa lokal yang luar biasa ini, karena penuh dengan sukacita. Ucapan “terima kasih” yang sebesar-besarnya kepada rakyat Mongolia, atas karunia persahabatan yang saya terima pada hari-hari ini, atas kemampuanmu yang tulus dalam menghargai aspek kehidupan yang paling sederhana sekalipun, dengan bijak menjaga hubungan dan tradisi, serta membina kehidupan sehari-hari dengan kepedulian dan perhatian.

 

Misa itu sendiri merupakan cara mengucap syukur : “Ekaristi”. Merayakan Misa di negeri ini mengingatkan saya pada doa yang dipanjatkan oleh Pastor Pierre Teilhard de Chardin, SJ, kepada Allah tepat seratus tahun yang lalu, di padang gurun Ordos, tidak jauh dari sini. Ia berdoa : “Ya Allah, aku bersujud di hadirat-Mu di dalam alam semesta yang kini menjadi kobaran api yang hidup: di hadapan raut muka semua orang yang akan kujumpai hari ini, semua yang terjadi padaku, semua yang kucapai, hanya Engkaulah yang aku inginkan, Engkau aku tunggu”. Pastor Teilhard de Chardin terlibat dalam penelitian geologi. Ia sangat ingin merayakan Misa Kudus, namun kekurangan roti dan anggur. Maka ia menyusun “Misa di Dunia”, mengungkapkan persembahannya dengan kata-kata berikut: “Terimalah, ya Tuhan, hosti yang merangkul segalanya ini, yang segenap ciptaan-Mu, tergerak oleh daya tarik-Mu, persembahkan kepada-Mu pada awal hari yang baru ini”. Doa serupa telah terbentuk dalam dirinya ketika ia bertugas sebagai pembawa tandu di garis depan selama Perang Dunia I. Imam ini, yang sering disalahpahami, memiliki naluri bahwa “Ekaristi selalu dirayakan di altar dunia” dan merupakan “pusat kehidupan alam semesta, pusat yang berkelimpahan kasih dan kehidupan yang tiada habisnya” (Laudato Sì', 236), bahkan di masa seperti sekarang ini, yang ditandai dengan pertikaian dan peperangan. Maka, marilah kita berdoa pada hari ini, seturut kata-kata Pastor Teilhard de Chardin: “Sabda yang bercahaya, Kekuatan yang menyala-nyala, Engkau yang membentuk berbagai macam hal untuk memberikan kehidupan ke dalamnya, aku berdoa kepada-Mu, serahkan kepada kami tangan-Mu itu - yang penuh kuasa, perhatian, ada di mana-mana”.

 

Saudara-saudari Mongolia yang terkasih, terima kasih atas kesaksianmu. Bayarlalaa! [Terima kasih!]. Semoga Allah memberkatimu. Kamu ada di hatiku, dan di hatiku kamu akan tetap ada. Tolong ingatlah aku, dalam doamu dan dalam pikiranmu. Terima kasih.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 3 September 2023)