Bacaan
Ekaristi : Yes. 9:1-6; Mzm. 96:1-2a,2b-3,11-12,13; Tit. 2:11-14; Luk. 2:1-14.
Malaikat
Tuhan, bermandikan cahaya, menerangi malam dan membawa kabar baik bagi para
gembala: "Sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar
untuk segala bangsa: Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Mesias,
Tuhan, di kota Daud" (Luk 2:10-11). Surga bersinar di bumi di
tengah-tengah keheranan orang miskin dan nyanyian para malaikat. Allah telah
menjadi salah seorang dari kita untuk menjadikan kita seperti diri-Nya; Ia
telah turun kepada kita untuk mengangkat dan mengembalikan kita ke pelukan Bapa.
Saudara-saudari,
inilah pengharapan kita. Allah adalah Imanuel, Allah beserta kita. Yang Maha
Besar telah menjadikan diri-Nya kecil; cahaya ilahi telah bersinar di tengah
kegelapan dunia kita; kemuliaan surga telah muncul di bumi. Dan bagaimana?
Sebagai seorang anak kecil. Jika Allah dapat mengunjungi kita, bahkan ketika
hati kita tampak seperti palungan yang hina, kita dapat benar-benar berkata:
Pengharapan tidak mati; pengharapan hidup dan merangkul hidup kita selamanya.
Pengharapan tidak mengecewakan!
Saudara-saudari,
dengan dibukanya Pintu Suci, kita telah meresmikan Yubileum baru, dan kita
masing-masing dapat memasuki misteri peristiwa yang luar biasa ini. Malam ini,
pintu pengharapan telah terbuka lebar bagi dunia. Malam ini, Allah berbicara
kepada kita masing-masing dan berkata: ada pengharapan juga bagimu! Ada
pengharapan bagi kita masing-masing. Dan jangan lupa, saudara-saudari, Allah
mengampuni segalanya, Allah senantiasa mengampuni. Jangan lupakan ini, yang
merupakan cara memahami pengharapan di dalam Tuhan.
Guna
menerima karunia ini, kita dipanggil untuk berangkat bersama keheranan para
gembala di padang Betlehem. Bacaan Injil memberitahu kita bahwa, setelah
mendengar pesan malaikat, mereka “cepat-cepat berangkat” (Luk 2:16). Dengan
cara yang sama, “cepat-cepat”, kita juga dipanggil untuk mengembalikan pengharapan
yang hilang, memperbarui pengharapan itu di dalam hati kita, serta menabur
benih pengharapan di tengah kesuraman zaman dan dunia kita. Dan ada begitu
banyak kehancuran saat ini. Kita memikirkan perang, anak-anak yang ditembaki,
pemboman di sekolah dan rumah sakit. Jangan menunda, jangan ragu, tetapi
perkenankanlah dirimu ditarik oleh Kabar Baik.
Maka,
marilah kita cepat-cepat berangkat memandang Tuhan yang lahir untuk kita, hati
kita penuh sukacita dan perhatian, siap untuk bertemu dengan-Nya dan kemudian
membawa pengharapan bagi cara kita menjalani kehidupan sehari-hari. Dan inilah
tugas kita: membawa pengharapan ke dalam berbagai situasi kehidupan. Sebab,
pengharapan kristiani bukan sebuah "akhir bahagia" sinematik yang
kita nantikan secara pasif, melainkan sebuah janji, janji Tuhan, untuk disambut
di sini dan saat ini di dunia kita yang penuh penderitaan dan keluh kesah.
Pengharapan adalah panggilan untuk tidak menunda, tertahan oleh kebiasaan lama
kita, atau berkubang dalam keadaan biasa-biasa saja atau kemalasan. Pengharapan
memanggil kita – sebagaimana dikatakan Santo Agustinus – untuk terganggu dengan
hal-hal yang salah dan menemukan keberanian untuk mengubahnya. Pengharapan
memanggil kita untuk menjadi peziarah yang mengupayakan kebenaran, pemimpi yang
tidak pernah lelah, manusia yang terbuka untuk ditantang oleh impian Allah,
yaitu sebuah dunia baru di mana kedamaian dan keadilan berkuasa.
Marilah
kita belajar dari para gembala. Pengharapan yang lahir malam ini tidak
menoleransi ketidakpedulian orang-orang yang berpuas diri atau kelesuan
orang-orang yang merasa cukup dengan kenyamanan mereka – dan banyak dari kita
yang berada dalam bahaya menjadi terlalu nyaman; pengharapan tidak menerima
kehati-hatian palsu dari orang-orang yang menolak untuk terlibat karena takut
membuat kesalahan, atau dari orang-orang yang hanya memikirkan diri mereka
sendiri. Pengharapan tidak sesuai dengan sikap acuh tak acuh orang-orang yang
menolak untuk menentang kejahatan dan ketidakadilan yang dilakukan dengan mengorbankan
orang miskin. Di sisi lain, pengharapan kristiani, seraya mengundang kita untuk
menunggu dengan sabar agar Kerajaan Allah tumbuh dan menyebar, juga menuntut
kita, bahkan sekarang, berani, bertanggung jawab, dan tidak hanya itu, bahkan
juga berbela rasa, dalam mengantisipasi penggenapan janji Tuhan. Dan di sini
mungkin ada baiknya kita bertanya pada diri kita sendiri tentang bela rasa:
apakah aku memiliki bela rasa? Apakah aku mampu untuk menderita bersama?
Marilah kita merenungkan hal ini.
Saat
merenungkan seberapa sering kita menyesuaikan diri dengan dunia dan mengikuti
cara berpikirnya, seorang imam dan penulis yang baik mendoakan Natal yang penuh
berkat dengan kata-kata ini: “Tuhan, aku memohonkan kepada-Mu sedikit
kekesalan, sedikit kegelisahan, sedikit penyesalan. Di hari Natal, aku ingin
mendapati diriku tidak puas. Bahagia, tetapi tidak puas. Bahagia karena apa
yang Engkau lakukan, tidak puas dengan kurangnya tanggapanku. Tolong,
singkirkanlah rasa puas diri kami dan sembunyikan beberapa duri di bawah jerami
‘palungan’ kami yang terlalu penuh. Penuhilah kami dengan keinginan untuk
sesuatu yang lebih besar” (a. pronzato,
La novena di Natale). Keinginan untuk sesuatu yang lebih besar. Jangan diam
saja. Janganlah kita lupa bahwa air yang tenang adalah yang pertama menjadi
tersendat.
Pengharapan
kristiani justru merupakan “sesuatu yang lebih besar”, yang seharusnya memacu
kita untuk "cepat-cepat" berangkat. Sebagai murid Tuhan, kita
dipanggil untuk menemukan pengharapan kita yang lebih besar di dalam Dia, dan
kemudian, tanpa menunda, membawa pengharapan itu bersama kita, sebagai peziarah
terang di tengah kegelapan dunia ini.
Saudara-saudari,
inilah Yubileum. Inilah masa pengharapan di mana kita diundang untuk menemukan
kembali sukacita bertemu Tuhan. Yubileum memanggil kita untuk memperbarui
rohani dan komitmen kita akan transformasi dunia kita, sehingga tahun ini
benar-benar menjadi saat yubileum. Sebuah yubileum untuk ibu Bumi kita, yang
dirusak oleh eksploitasi; saat yubileum untuk negara-negara miskin yang
terbebani utang yang tidak adil; saat yubelium untuk semua orang yang
terbelenggu oleh berbagai bentuk perbudakan lama dan baru.
Kita
semua telah menerima karunia dan tugas untuk membawa pengharapan di mana pun
pengharapan telah hilang, kehidupan telah hancur, janji tidak ditepati, mimpi
telah musnah dan hati telah diliputi oleh kesulitan. Kita dipanggil untuk
membawa pengharapan kepada mereka yang lelah yang tidak memiliki kekuatan untuk
terus maju, mereka yang kesepian yang tertekan oleh kepahitan kegagalan, dan
semua orang yang patah hati. Membawa pengharapan kepada hari-hari yang tak
berujung dan suram para narapidana, tempat tinggal yang dingin dan suram
orang-orang miskin, dan semua tempat yang dinodai oleh perang dan kekerasan.
Membawa harapan di sana, menabur pengharapan di sana.
Kini Yubileum telah dibuka, agar semua orang dapat menerima pengharapan, pengharapan
Injil, pengharapan kasih dan pengharapan pengampunan.
Saat
kita merenungkan palungan, saat kita menatapnya dan melihat kasih Allah yang
lembut dalam wajah Kanak Yesus, marilah kita bertanya kepada diri kita sendiri:
“Apakah hati kita penuh dengan pengharapan? Apakah pengharapan ini menemukan
tempatnya di sana? ... Saat kita merenungkan kebaikan kasih Allah yang
mengatasi keraguan dan ketakutan kita, marilah kita juga merenungkan keagungan
pengharapan yang menanti kita. ... Semoga visi pengharapan ini menerangi jalan
kita setiap hari” (C.M. Martini, Homili
Natal, 1980).
Saudara-saudari
terkasih, pada malam ini "pintu suci" hati Allah terbuka di
hadapanmu. Yesus, Allah beserta kita, lahir untukmu, untuk saya, untuk kita,
untuk setiap manusia. Dan ingatlah bahwa bersama Dia, sukacita tumbuh subur;
bersama Dia, hidup berubah; bersama-Nya, pengharapan tidak mengecewakan.
_____
(Peter Suriadi - Bogor, 25 Desember 2024)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.