Bacaan Liturgi : Yer. 38:4-6,8-10; Mzm. 39:2-4.18; Ibr. 12:1-4; Luk. 12:49-53.
Saudara-saudari
terkasih,
Sukacita
dapat berkumpul bersama merayakan Ekaristi hari Minggu memberi kita sukacita
yang lebih mendalam. Sungguh, jika kedekatan hari ini saja sudah merupakan
anugerah dan mengatasi jarak dengan saling memandang, sebagai saudara-saudari
sejati, anugerah yang lebih besar adalah penaklukkan maut di dalam Tuhan. Yesus
telah menaklukkan maut — Hari Minggu adalah hari-Nya, hari Kebangkitan — dan
kita sudah mulai menaklukkannya bersama-Nya. Beginilah adanya: kita
masing-masing datang ke gereja dengan sedikit rasa lelah dan takut — terkadang
kecil, terkadang besar — dan seketika kita tidak lagi sendirian, kita bersama
dan kita menemukan sabda dan tubuh Kristus. Dengan demikian, hati kita menerima
kehidupan yang melampaui maut. Roh Kudus, Roh Yesus yang Bangkit, yang
melakukan hal ini di antara kita dan di dalam diri kita, secara diam-diam, hari
Minggu demi hari Minggu, hari demi hari.
Kita
menemukan diri kita di sebuah tempat suci kuno yang dindingnya merangkul kita.
Tempat itu disebut "Rotonda", dan bentuknya yang melingkar, seperti
Lapangan Santo Petrus dan gereja-gereja lain, baik yang lama maupun yang baru,
membuat kita merasa disambut dalam pangkuan Tuhan. Dari luar, Gereja, seperti
setiap realitas manusia, mungkin tampak kasar. Namun, realitas ilahinya terungkap
ketika kita melewati ambang pintunya dan menemukan penerimaan. Maka kemiskinan
kita, kerentanan kita, dan terutama, kegagalan yang karenanya kita mungkin
dihina dan dihakimi — dan terkadang kita membenci dan menghakimi diri kita
sendiri — akhirnya disambut dalam kekuatan Tuhan yang lembut, kasih tanpa
batas, kasih tanpa syarat. Maria, ibu Yesus, bagi kita adalah tanda dan
antisipasi akan keibuan Tuhan. Di dalam dirinya, kita menjadi Gereja induk,
yang melahirkan dan meregenerasi bukan berdasarkan kekuatan duniawi, melainkan
dengan kebajikan kasih.
Barangkali
apa yang dikatakan Yesus dalam Bacaan Injil yang baru saja kita baca
mengejutkan kita. Kita mencari kedamaian, tetapi kita telah mendengar:
"Kamu menyangka bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi? Bukan
damai, kata-Ku kepadamu, melainkan pertentangan" (Luk. 12:51). Dan kita
hampir menjawab: "Tetapi bagaimana mungkin, Tuhan? Engkau juga? Kita sudah
terlalu banyak mengalami pertentangan. Bukankah Engkau yang berkata pada
Perjamuan Terakhir: 'Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku
Kuberikan kepadamu'?" "Ya," jawab Tuhan, "Akulah ini."
Namun, ingatlah bahwa pada malam itu, malam terakhir-Ku, Aku langsung
menambahkan tentang damai sejahtera: "Aku memberi kepadamu tidak seperti dunia
memberi. Janganlah gelisah dan gentar hatimu" (bdk. Yoh. 14:27).
Sahabat-sahabat
terkasih, dunia membiasakan kita menukar kedamaian dengan kenyamanan, kebaikan
dengan ketenangan. Oleh karena itu, agar damai-Nya, shalom Allah, dapat hadir
di antara kita, Yesus harus berkata, "Aku datang untuk melemparkan api ke
bumi dan betapa Aku menginginkan api itu telah menyala!" (Luk. 12:49).
Mungkin keluarga kita, sebagaimana dinubuatkan Injil, dan bahkan
sahabat-sahabat kita, akan terbagi pendapatnya mengenai hal ini. Dan beberapa
orang akan menasihati kita untuk tidak mengambil risiko, melindungi diri kita,
karena penting untuk tetap tenang dan orang lain tidak pantas untuk dikasihi.
Namun, Yesus dengan berani membenamkan diri-Nya dalam kemanusiaan kita. Inilah "baptisan"
yang Ia bicarakan (ayat 50): baptisan salib, pembenaman total dalam risiko yang
ditimbulkan oleh kasih. Dan ketika kita, seperti kata mereka, "mengambil
komuni," kita dipupuk oleh karunia-Nya yang berani ini. Misa memelihara
keputusan ini. Itulah keputusan untuk tidak lagi hidup bagi diri kita sendiri,
untuk membawa api ke dunia. Bukan api senjata, bahkan bukan kata-kata yang
membakar orang lain. Bukan, bukan itu. Melainkan api kasih, yang merendahkan
diri dan melayani, yang melawan ketidakpedulian dengan kepedulian dan
kesombongan dengan kelembutan; api kebaikan, yang tidak semahal persenjataan,
melainkan memperbarui dunia dengan cuma-cuma. Mungkin saja ia harus menanggung
kesalahpahaman, cemoohan, bahkan penganiayaan, tetapi tak ada kedamaian yang
lebih besar daripada memiliki api di dalam dirinya sendiri.
Oleh
karena itu, hari ini saya ingin mengucapkan terima kasih, bersama Uskupmu,
Vincenzo, kepada kamu semua yang di Keuskupan Albano berkomitmen untuk membawa
api kasih. Dan saya mendorongmu untuk tidak membeda-bedakan di antara mereka
yang membantu dan mereka yang dibantu, antara mereka yang tampak memberi dan
mereka yang tampak menerima, antara mereka yang tampak miskin dan mereka yang
merasa menyumbangkan waktu, keterampilan, dan bantuan. Kita adalah Gereja
Tuhan, Gereja kaum miskin, semua berharga, semua subjek, masing-masing pembawa
Sabda Allah yang unik. Masing-masing adalah anugerah bagi sesama. Marilah kita
meruntuhkan tembok pemisah. Saya berterima kasih kepada mereka yang bekerja di setiap
komunitas kristiani untuk memfasilitasi perjumpaan antara orang-orang dari
berbagai latar belakang, situasi ekonomi, psikologis, dan emosional: hanya
bersama-sama, hanya dengan menjadi satu Tubuh di mana bahkan yang paling rapuh
pun berpartisipasi dengan penuh martabat, kitalah Tubuh Kristus, Gereja Allah.
Hal ini terjadi ketika api yang dibawa Yesus yang datang membakar habis
prasangka, kehati-hatian, dan ketakutan yang masih meminggirkan mereka yang
menanggung kemiskinan Kristus yang tertulis dalam sejarah mereka. Janganlah
kita mengecualikan Tuhan dari gereja-gereja kita, rumah-rumah kita, dan
kehidupan kita. Sebaliknya, marilah kita membiarkan-Nya masuk ke dalam diri
orang-orang miskin, dan dengan demikian kita juga akan berdamai dengan
kemiskinan kita sendiri, kemiskinan yang kita takuti dan sangkal ketika kita
mencari ketenangan dan rasa aman dengan segala cara.
Semoga
Perawan Maria, yang mendengar Simeon, penatua suci, mengacu Putranya, Yesus,
sebagai "tanda perbantahan" (Lukas 2:34), berdoa bagi kita. Semoga
pikiran hati kita terungkap, dan semoga api Roh Kudus mengubahnya dari hati
batu menjadi hati yang taat.
Santa
Maria dari Rotonda, doakanlah kami!
_______
(Peter Suriadi -
Bogor, 17 Agustus 2025)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.