Bacaan Ekaristi : Zef. 3:14-18a; MT Yes. 12:2-3,4bcd,5-6; Flp. 4:4-7; Luk. 3:10-18.
Orang
banyak bertanya kepada Yohanes Pembaptis, “Jika demikian, apakah yang harus
kami perbuat?” (Luk 3:10). Apa yang harus kita perbuat? Kita harus mendengarkan
pertanyaan ini dengan saksama, karena pertanyaan ini mengungkapkan keinginan
untuk pembaruan rohani dan kehidupan yang lebih baik. Yohanes mewartakan
kedatangan Mesias yang telah lama dinantikan, dan mereka yang mendengarkan
khotbahnya ingin dipersiapkan untuk perjumpaan ini: perjumpaan dengan Mesias,
perjumpaan dengan Yesus.
Injil
Lukas memberitahu kita bahwa mereka yang mengungkapkan keinginan untuk bertobat
adalah "orang luar". Mereka bukan orang yang secara umum dianggap
paling dekat, orang-orang Farisi dan para ahli Taurat, tetapi orang yang paling
jauh, para pemungut cukai, yang dianggap sebagai orang berdosa, dan para
prajurit yang bertanya, "Guru, apakah yang harus kami perbuat?" (Luk
3:14). Ini adalah pertanyaan indah yang mungkin dapat kita doakan sebelum tidur
malam ini: "Tuhan, apa yang harus kuperbuat untuk mempersiapkan hatiku
untuk Natal?". Mereka yang menganggap diri mereka benar tidak diperbarui.
Di sisi lain, mereka yang dianggap sebagai pendosa di muka umum, ingin
meninggalkan kehidupan lama mereka yang penuh ketidakjujuran dan kekerasan,
serta memulai kehidupan baru. Mereka yang jauh menjadi dekat setiap kali
Kristus mendekat. Yohanes menanggapi para pemungut cukai dan para prajurit itu
dengan mendesak mereka untuk bersikap adil, tidak licik, dan jujur (lih. Luk
3:13-14). Pemberitaan kedatangan Tuhan menggugah hati nurani. Pemberitaan
tersebut terutama menarik bagi orang miskin dan orang yang tercampakkan, karena
Ia datang bukan untuk menghukum, melainkan untuk menyelamatkan mereka yang
hilang (bdk. Luk 15:4-32). Cara terbaik untuk membuka hati kita terhadap
keselamatan yang dibawa oleh Yesus adalah berkata jujur: "Tuhan, aku orang
berdosa". Kita semua di sini hari ini adalah orang berdosa. Kita semua.
"Tuhan, aku orang berdosa". Jadi, kita mendekati Yesus dalam
kebenaran, bukan dengan kemewahan kebenaran palsu. Sesungguhnya, Ia datang
justru untuk menyelamatkan orang berdosa.
Itulah
sebabnya hari ini kita juga dapat mengajukan pertanyaan yang sama seperti yang
diajukan orang banyak kepada Yohanes Pembaptis. Di Masa Adven ini, marilah kita
menemukan keberanian untuk bertanya tanpa rasa takut, "Lalu apa yang harus
kuperbuat?", "Lalu apa yang harus kami perbuat?" untuk
mempersiapkan hati yang sederhana, hati yang percaya untuk kedatangan Tuhan.
Kitab
Suci yang telah kita dengar memaparkan kepada kita dua cara berbeda untuk menantikan
Mesias: kita dapat menantikan dengan curiga atau dengan harapan yang penuh
sukacita. Kita dapat menantikan keselamatan dengan dua sikap ini: dengan curiga
atau dengan harapan yang penuh sukacita. Marilah kita merenungkan dua sikap
rohani ini.
Sikap
pertama, yaitu kecurigaan, penuh dengan ketidakpercayaan dan kecemasan. Ketika
kita terus-menerus memikirkan diri dan kebutuhan kita, kita kehilangan roh
sukacita. Alih-alih menantikan masa depan dengan harapan, kita melihatnya
dengan keraguan. Terjebak dalam kekhawatiran duniawi, kita tidak terbuka
terhadap cara kerja pemeliharaan Allah. Kita tidak tahu bagaimana menanti
dengan harapan yang dibawa Roh Kudus kepada kita. Perkataan Santo Paulus dapat
berfungsi sebagai penawar untuk membangkitkan kita dari kelesuan:
"Janganlah khawatir tentang apa pun juga" (Flp 4:6). Ketika menguasai
kita, kesedihan menghancurkan kita. Penderitaan, baik penderitaan fisik maupun
luka yang disebabkan oleh tragedi keluarga, adalah satu hal, tetapi kesedihan
yang sangat berbeda. Sebagai orang kristiani, kita tidak boleh diliputi oleh
kesedihan. Berhentilah tertekan, kecewa, atau sedih. Betapa meluasnya penyakit
rohani ini saat ini, terutama di tempat-tempat di mana konsumerisme merajalela!
Saya telah melihat begitu banyak orang di jalanan Roma akhir-akhir ini yang
pergi berbelanja, sedang berbelanja, diliputi oleh kecemasan konsumerisme yang
kemudian menghilang dan meninggalkan kehampaan dalam dirimu. Masyarakat yang
hidup dengan konsumerisme menjadi tua; mereka tetap tidak puas, karena mereka
tidak lagi tahu bagaimana memberi. Jika kita hidup hanya untuk diri kita
sendiri, kita tidak akan pernah menemukan kebahagiaan. Jika kita hidup seperti
ini (tangan terkepal) dan tidak seperti ini (tangan yang terbuka) kita tidak
akan bahagia. Saya pikir jika kita hidup dengan tangan kita seperti ini
(terkepal), alih-alih menggunakan tangan kita untuk memberi, membantu dan
berbagi, kita tidak akan pernah bahagia. Ini adalah kejahatan yang dapat
menimpa kita semua, segenap umat kristiani, bahkan para imam, para uskup dan
para kardinal, kita semua, bahkan Paus.
Rasul
Paulus mengusulkan solusi yang efektif ketika ia menulis, “Nyatakanlah dalam
segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan
syukur” (Flp 4:6). Beriman kepada Allah memberi harapan! Kongres yang baru saja
berlangsung di Ajaccio menekankan pentingnya menumbuhkan iman dan menghargai
pentingnya kesalehan populer. Marilah kita mengambil contoh doa Rosario.
Mengambil Rosario dan mendoakannya dengan baik melatih kita untuk menjaga hati
kita terpusat pada Yesus Kristus dengan ambil bagian dalam tatapan kontemplatif
Maria. Kita juga dapat memikirkan persaudaraan amal tradisional, yang
mengajarkan banyak hal kepada kita tentang melayani sesama dengan murah hati melalui
karya belas kasih rohani dan jasmani. Perkumpulan amal umat beriman ini, yang
begitu kaya dalam sejarah, secara aktif berpartisipasi dalam liturgi dan doa
Gereja, yang mereka perkaya dengan lagu dan devosi populer. Saya mendorong para
anggota persaudaraan amal untuk semakin hadir, terutama bagi mereka yang sangat
membutuhkan, dan dengan cara ini mempraktikkan iman mereka melalui tindakan
amal. Persaudaraan amal yang mempunyai devosi khusus ini hadir bagi setiap
orang, hadir untuk menolong sesama mereka.
Hal
ini membawa kita kepada sikap kedua: harapan yang penuh sukacita. Sikap pertama
adalah menunggu dengan curiga. Bagi saya ini berarti menunggu dengan tangan
terkepal. Sikap kedua adalah harapan yang penuh sukacita. Tidak mudah untuk
bersukacita. Sukacita kristiani bukan sukacita yang dangkal atau fana, seperti
sukacita yang berasal dari kepergian ke pasar malam. Tidak, tidak seperti itu.
Sebaliknya, sukacita kristiani adalah sukacita yang berakar di dalam hati dan
dibangun di atas landasan yang kokoh. Dalam pengertian ini, Nabi Zefanya dapat
memberitahu orang-orang yang mendengarkannya untuk bersukacita, karena
"Tuhan, Allahmu ada di tengah-tengahmu. Dialah pejuang yang memberikan
kemenangan" (Zef. 3:17). Percayalah kepada Tuhan yang ada di tengah-tengah
kita, yang tinggal di antara kita. Kita sering melupakan hal ini: Ia ada di
tengah-tengah kita ketika kita berbuat baik, ketika kita mendidik anak-anak
kita, ketika kita merawat kaum tua. Namun, Ia tidak ada di tengah-tengah kita
ketika kita bergosip atau ketika kita berbicara buruk tentang orang lain. Tuhan
tidak hadir di sana, hanya kita yang hadir. Kedatangan Tuhan membawa
keselamatan kepada kita: itulah alasan sukacita kita. Allah itu “perkasa”,
Kitab Suci memberitahu kita. Ia dapat menebus hidup kita karena Ia mampu
menggenapi apa yang Ia janjikan! Sukacita kita bukan penghiburan sesaat yang
membantu kita melupakan kesedihan hidup. Tidak, sukacita kita bukan penghiburan
sesaat. Sukacita kita adalah buah Roh Kudus, yang lahir dari iman kepada
Kristus Sang Juruselamat, yang mengetuk pintu hati kita serta membebaskan kita
dari kesedihan dan kelesuan. Kehadiran Tuhan di tengah-tengah kita adalah
alasan untuk bersukacita; kehadiran-Nya memenuhi masa depan setiap orang dengan
harapan. Dalam persekutuan dengan Yesus, kita menemukan sukacita hidup yang
sejati dan kita menjadi tanda-tanda harapan yang sangat dicari oleh dunia kita.
Dan
tanda pertama dari harapan itu adalah kedamaian. Dia yang datang adalah
Imanuel, Allah beserta kita, yang menganugerahkan kedamaian kepada mereka yang
berkenan kepada Tuhan (lih. Luk 2:14). Dan saat kita bersiap menyambut Yesus
selama Masa Adven ini, semoga komunitas kita bertumbuh dalam kemampuan mereka
untuk mendampingi setiap orang, khususnya kaum muda yang mempersiapkan diri untuk
Sakramen Baptis dan sakramen-sakramen lainnya. Dan khususnya, kaum tua juga.
Kaum tua adalah kebijaksanaan suatu umat. Jangan pernah melupakan hal itu! Dan
kita masing-masing dapat bertanya kepada diri kita: bagaimana reaksiku terhadap
kaum tua? Apakah aku berusaha merawat mereka? Apakah aku meluangkan waktu
bersama mereka? Apakah aku mendengarkan mereka? "Oh tidak, cerita-cerita
mereka sangat membosankan!". Apakah aku menelantarkan mereka? Berapa
banyak anak yang menelantarkan kedua orang tua mereka di panti jompo! Saya
ingat suatu kali, di keuskupan lain, saya pergi mengunjungi panti jompo. Dan
ada seorang wanita di sana yang memiliki tiga atau empat anak. Saya bertanya
kepadanya: "Bagaimana kabar anak-anakmu?" - "Mereka baik-baik
saja! Saya punya banyak cucu" - "Dan apakah mereka datang untuk
menjengukmu?" – “Ya, mereka selalu datang”. Ketika saya meninggalkan
ruangan, perawat berkata, “Mereka datang setahun sekali”. Namun sang ibu
menutupi kekurangan anak-anaknya. Begitu banyak orang menelantarkan kaum tua.
Mereka mengucapkan Selamat Natal atau Paskah melalui telepon! Rawatlah kaum
tua; mereka adalah kebijaksanaan suatu umat.
Marilah
kita memikirkan kaum muda yang sedang mempersiapkan diri untuk Sakramen Baptis
dan sakramen-sakramen lainnya. Di Corsica, syukurlah, mereka banyak! Dan
selamat! Saya belum pernah melihat begitu banyak anak-anak seperti di sini!
Karunia Allah! Dan saya hanya melihat dua ekor anjing kecil. Saudara-saudari
terkasih, milikilah anak! Milikilah anak! Mereka akan menjadi sukacitamu,
penghiburanmu di masa depan. Saya mengatakan yang sebenarnya: Saya belum pernah
melihat begitu banyak anak. Saya hanya melihat sebanyak ini di Timor-Leste,
tetapi tidak di tempat lain. Inilah sukacita dan kemuliaanmu.
Sabda
Tuhan tidak pernah gagal untuk menyemangati kita. Meskipun penderitaan yang
menimpa bangsa-bangsa dan negara-negara, Gereja mewartakan harapan yang tak
tergoyahkan yang tidak mengecewakan, karena Tuhan telah datang dan tinggal di
tengah-tengah kita. Dan dalam kedatangan-Nya, upaya kita untuk bekerja demi
perdamaian dan keadilan menemukan kekuatan yang tak ada habisnya.
Saudara-saudari,
di setiap waktu dan di tengah setiap penderitaan, Kristus tetap hadir; Kristus
adalah sumber sukacita kita. Ia bersama kita dalam setiap kesengsaraan untuk
menolong kita melewatinya dan memberi kita sukacita. Marilah kita selalu
menumbuhkan sukacita ini di dalam hati kita, keyakinan bahwa Kristus menyertai
kita, berjalan bersama kita. Janganlah kita lupakan ini! Maka, dengan sukacita
ini, dengan keyakinan bahwa Yesus menyertai kita, kita akan berbahagia dan
membuat orang lain berbahagia. Inilah yang harus menjadi kesaksian kita.
______
(Peter Suriadi - Bogor, 15 Desember 2024)