Bacaan Ekaristi : Kej. 3:9-15,20; Mzm. 98:1,2-3ab,3bc-4; Ef. 1:3-6,11-12; Luk. 1:26-38.
“Salam,
hai Engkau yang dikaruniai” (Luk 1:28). Dengan kata-kata salam ini di rumah sederhana
di Nazaret, Malaikat menyingkapkan kepada Maria misteri hatinya yang tak
bernoda, “terpelihara bebas dari segala noda dosa asal” sejak saat ia dikandung
(Beato Pius IX, Ineffabilis Deus, 8
Desember 1854). Dengan berbagai cara, selama berabad-abad, umat kristiani telah
berusaha menggambarkan karunia itu dalam kata dan gambar, menekankan kelembutan
dan rahmat Bunda Maria, “yang terberkati di antara semua perempuan” (lih. Luk
1:42), dengan menggambarkannya dengan ciri dan kekhasan sejumlah orang dan
budaya pribumi yang berbeda.
Sebagaimana
diamati Santo Paulus VI, Bunda Allah menunjukkan kepada kita “apa yang kita
semua miliki di lubuk hati kita: gambaran sejati umat manusia... tak berdosa
dan suci... Keberadaan Maria adalah keselarasan, kejujuran, kesederhanaan
murni; keberadaan Maria adalah transparansi, kebaikan, kesempurnaan penuh;
keberadaan Maria adalah keindahan yang tak terlukiskan” (Homili pada Hari Raya Santa Perawan Maria Dikandung Tanpa Noda, 8
Desember 1963). Maria adalah keselarasan, kejujuran, dan kesederhanaan murni.
Marilah
kita berhenti sejenak untuk merenungkan kecantikan Maria dalam terang Sabda
Allah, dengan berfokus pada tiga aspek kehidupannya yang mengingatkan kita akan
kedekatannya dengan kita. Apakah ketiga aspek ini? Maria sebagai anak
perempuan, mempelai perempuan, dan ibu.
Pertama,
marilah kita membahas Perawan yang Tak Bernoda sebagai seorang anak perempuan.
Kitab Suci tidak berbicara tentang masa kanak-kanak Maria. Injil
memperkenalkannya kepada kita saat ia memasuki panggung sejarah: seorang gadis
belia dengan iman yang dalam, rendah hati dan sederhana. Maria adalah
"perawan" (lih. Luk 1:27) yang tatapannya mencerminkan kasih Bapa. Di
dalam hati Maria yang murni, kasih dan rasa syukurnya yang murah hati memberi
warna dan keharuman pada kekudusannya. Bunda Maria muncul di hadapan kita
sebagai bunga yang indah yang tumbuh tanpa disadari hingga akhirnya mekar dalam
pemberian diri. Kehidupan Maria adalah pemberian diri yang terus-menerus.
Hal
ini membawa kita kepada aspek kedua kecantikan Maria: kecantikan seorang
mempelai perempuan, yang dipilih oleh Allah sebagai pendamping bagi rencana
keselamatan-Nya (bdk. Lumen Gentium,
61). Inilah yang dikatakan Konsili: Allah telah memilih Maria. Ia telah memilih
seorang perempuan sebagai penolong-Nya untuk melaksanakan rencana keselamatan.
Tidak ada keselamatan tanpa seorang perempuan karena Gereja sendiri juga
seorang perempuan. Gereja menjawab “Ya” dengan mengatakan, “Aku ini hamba
Tuhan” (Luk 1:38). Ia adalah seorang “hamba” bukan dalam arti “budak” dan
“direndahkan”, tetapi dalam arti ia “dipercaya” dan “dihargai” sebagai orang
yang dipercayakan Tuhan harta-Nya yang paling berharga dan perutusan-Nya yang
paling penting. Kecantikan Maria, yang beraneka ragam seperti berlian, menyingkapkan
wajah baru: wajah kesetiaan, bakti dan perhatian yang penuh kasih, yang
semuanya merupakan ciri khas kasih yang saling menguntungkan di antara suami
istri. Santo Yohanes Paulus II memahami hal ini dengan menuliskan Perawan Tak
Bernoda “menerima pemilihannya sebagai Bunda Putra Allah, dibimbing oleh kasih
suami istri, kasih yang sepenuhnya ‘menguduskan’ manusia bagi Allah” (Redemptoris Mater, 39).
Kini
kita sampai pada aspek ketiga kecantikan Maria. Apakah aspek ketiga ini? Maria
sebagai ibu. Ia paling sering digambarkan sebagai seorang ibu dengan Kanak
Yesus dalam pelukannya atau membaringkan Putra Allah di palungan (bdk. Luk
2:7). Ia hadir di samping Putranya sepanjang hidup-Nya, senantiasa dekat dalam
kepedulian keibuannya namun tersembunyi dalam kerendahan hatinya. Kita
menyaksikan kedekatan ini di Kana, di mana ia menjadi perantara bagi kedua
mempelai (bdk. Yoh 2:3-5), di Kapernaum, di mana ia dipuji karena mendengarkan
Sabda Allah (bdk. Luk 11:27-28) dan akhirnya di kaki salib – ibu dari seorang
terhukum –, di mana Yesus sendiri memberikannya kepada kita sebagai ibu kita
(bdk. Yoh 19:25-27). Di sana, di kaki salib, Perawan yang Tak Bernoda tampak
cantik dalam kelimpahannya, karena ia menyadari bahwa ia harus mati bagi
dirinya sendiri agar dapat memberi kehidupan, melupakan dirinya sendiri agar
dapat peduli terhadap orang-orang miskin dan rentan yang datang kepadanya.
Semua
hal ini terkandung dalam hati Maria yang murni, hati yang bebas dari dosa, taat
pada karya Roh Kudus (bdk. Redemptoris
Mater, 13) dan siap untuk mempersembahkan kepada Allah, karena kasih,
“penyerahan sepenuhnya akal budi dan kehendak” (Dei Verbum, 5; bdk. Dei
Filius, 3).
Akan
tetapi, ada risiko menganggap bahwa kecantikan Maria jauh, tak terjangkau, dan
tak dapat diraih. Bukan itu masalahnya. Kita juga telah menerima kecantikan ini
sebagai karunia dalam Baptisan, saat kita dibebaskan dari dosa dan menjadi
putra dan putri Allah. Seperti Perawan Maria, kita dipanggil untuk menumbuhkan
kecantikan ini dengan cinta bakti, cinta suami istri, dan cinta keibuan.
Seperti dia, semoga kita bersyukur atas apa yang telah kita terima dan murah
hati dalam apa yang kita berikan kembali. Semoga kita menjadi manusia yang siap
untuk mengatakan "Terima kasih" dan "Ya", bukan hanya dengan
kata-kata kita, tetapi terutama dengan tindakan kita – sungguh indah menemukan
manusia yang mengatakan "Terima kasih" dan "Ya" melalui
tindakan mereka – selalu siap memberi ruang bagi Tuhan dalam rencana dan
aspirasi kita, ingin merangkul dengan kelembutan keibuan saudara-saudari yang
kita temui dalam perjalanan kita. Perawan yang Tak Bernoda bukanlah mitos,
ajaran abstrak atau cita-cita yang mustahil. Ia adalah model rencana yang indah
dan nyata, teladan sempurna kemanusiaan kita. Semoga kita semua, dengan rahmat
Allah, dapat meneladaninya dan membantu mengubah dunia kita menjadi lebih baik.
Sungguh
menyedihkan, jika kita melihat sekeliling kita, kita menyadari bahwa anggapan
bahwa kita dapat menjadi “seperti Allah” (lih. Kej 3:1-6), yang menyebabkan
dosa pertama, terus melukai keluarga manusia kita. Baik cinta maupun
kebahagiaan tidak dapat muncul dari anggapan tentang kemandirian ini. Mereka
yang melihat penolakan terhadap ikatan yang stabil dan langgeng dalam hidup
sebagai kemajuan tidak memberikan kebebasan. Mereka yang merampas rasa hormat
dari ayah dan ibu, mereka yang tidak menginginkan anak, mereka yang merendahkan
orang lain menjadi objek belaka atau memperlakukan mereka sebagai pengganggu,
mereka yang menganggap berbagi dengan orang lain sebagai pemborosan, dan
solidaritas sebagai pemiskinan, tidak dapat menyebarkan sukacita atau membangun
masa depan. Apa gunanya memiliki rekening bank yang penuh, rumah yang nyaman,
hubungan virtual yang tidak nyata, jika hati kita tetap dingin, kosong, dan tertutup?
Apa gunanya mencapai pertumbuhan keuangan yang besar di negara-negara tertentu
jika separuh dunia kelaparan atau dirusak oleh perang, dan negara-negara
lainnya melihat dengan acuh tak acuh? Apa gunanya bepergian keliling dunia jika
setiap pertemuan hanya menjadi kesan sesaat atau foto yang tidak akan diingat
siapa pun dalam beberapa hari atau bulan?
Saudara-saudari,
marilah kita memandang Maria yang Tak Bernoda dan memohon kepadanya untuk
menaklukkan kita melalui hatinya yang penuh kasih. Semoga ia menobatkan kita
dan menjadikan kita sebuah komunitas di mana kasih bakti, kasih suami istri dan
kasih keibuan akan menjadi aturan dan kriteria kehidupan. Hanya dengan demikian
keluarga akan bersatu, suami istri akan benar-benar berbagi segalanya, orang tua
akan hadir secara fisik dan dekat dengan anak-anak mereka dan anak-anak akan
peduli orang tua mereka. Itulah kecantikan yang kita lihat dalam diri Perawan
yang Tak Bernoda; itulah “kecantikan yang menyelamatkan dunia”. Seperti Maria,
kita juga ingin menanggapi dengan berkata kepada Tuhan: “Jadilah padaku menurut
perkataanmu itu” (Luk 1:38).
Kita
sedang merayakan Ekaristi ini bersama para kardinal baru. Saya telah meminta
mereka, saudara-saudaraku, untuk membantu saya dalam pelayanan pastoral saya
bagi Gereja Universal. Mereka datang dari pelbagai belahan dunia, membawa
kebijaksanaan yang luar biasa, untuk memberikan kontribusi bagi pertumbuhan dan
penyebaran Kerajaan Allah. Marilah kita sekarang mempercayakan mereka secara
khusus kepada perantaraan Bunda Sang Juruselamat kita.
_____
(Peter Suriadi - Bogor, 8 Desember 2024)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.