Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI RAYA SANTA PERAWAN MARIA DIKANDUNG TANPA NODA 8 Desember 2024 : MARIA SEBAGAI ANAK PEREMPUAN, MEMPELAI PEREMPUAN, DAN IBU

Bacaan Ekaristi : Kej. 3:9-15,20; Mzm. 98:1,2-3ab,3bc-4; Ef. 1:3-6,11-12; Luk. 1:26-38.

 

“Salam, hai Engkau yang dikaruniai” (Luk 1:28). Dengan kata-kata salam ini di rumah sederhana di Nazaret, Malaikat menyingkapkan kepada Maria misteri hatinya yang tak bernoda, “terpelihara bebas dari segala noda dosa asal” sejak saat ia dikandung (Beato Pius IX, Ineffabilis Deus, 8 Desember 1854). Dengan berbagai cara, selama berabad-abad, umat kristiani telah berusaha menggambarkan karunia itu dalam kata dan gambar, menekankan kelembutan dan rahmat Bunda Maria, “yang terberkati di antara semua perempuan” (lih. Luk 1:42), dengan menggambarkannya dengan ciri dan kekhasan sejumlah orang dan budaya pribumi yang berbeda.

 

Sebagaimana diamati Santo Paulus VI, Bunda Allah menunjukkan kepada kita “apa yang kita semua miliki di lubuk hati kita: gambaran sejati umat manusia... tak berdosa dan suci... Keberadaan Maria adalah keselarasan, kejujuran, kesederhanaan murni; keberadaan Maria adalah transparansi, kebaikan, kesempurnaan penuh; keberadaan Maria adalah keindahan yang tak terlukiskan” (Homili pada Hari Raya Santa Perawan Maria Dikandung Tanpa Noda, 8 Desember 1963). Maria adalah keselarasan, kejujuran, dan kesederhanaan murni.

 

Marilah kita berhenti sejenak untuk merenungkan kecantikan Maria dalam terang Sabda Allah, dengan berfokus pada tiga aspek kehidupannya yang mengingatkan kita akan kedekatannya dengan kita. Apakah ketiga aspek ini? Maria sebagai anak perempuan, mempelai perempuan, dan ibu.

 

Pertama, marilah kita membahas Perawan yang Tak Bernoda sebagai seorang anak perempuan. Kitab Suci tidak berbicara tentang masa kanak-kanak Maria. Injil memperkenalkannya kepada kita saat ia memasuki panggung sejarah: seorang gadis belia dengan iman yang dalam, rendah hati dan sederhana. Maria adalah "perawan" (lih. Luk 1:27) yang tatapannya mencerminkan kasih Bapa. Di dalam hati Maria yang murni, kasih dan rasa syukurnya yang murah hati memberi warna dan keharuman pada kekudusannya. Bunda Maria muncul di hadapan kita sebagai bunga yang indah yang tumbuh tanpa disadari hingga akhirnya mekar dalam pemberian diri. Kehidupan Maria adalah pemberian diri yang terus-menerus.

 

Hal ini membawa kita kepada aspek kedua kecantikan Maria: kecantikan seorang mempelai perempuan, yang dipilih oleh Allah sebagai pendamping bagi rencana keselamatan-Nya (bdk. Lumen Gentium, 61). Inilah yang dikatakan Konsili: Allah telah memilih Maria. Ia telah memilih seorang perempuan sebagai penolong-Nya untuk melaksanakan rencana keselamatan. Tidak ada keselamatan tanpa seorang perempuan karena Gereja sendiri juga seorang perempuan. Gereja menjawab “Ya” dengan mengatakan, “Aku ini hamba Tuhan” (Luk 1:38). Ia adalah seorang “hamba” bukan dalam arti “budak” dan “direndahkan”, tetapi dalam arti ia “dipercaya” dan “dihargai” sebagai orang yang dipercayakan Tuhan harta-Nya yang paling berharga dan perutusan-Nya yang paling penting. Kecantikan Maria, yang beraneka ragam seperti berlian, menyingkapkan wajah baru: wajah kesetiaan, bakti dan perhatian yang penuh kasih, yang semuanya merupakan ciri khas kasih yang saling menguntungkan di antara suami istri. Santo Yohanes Paulus II memahami hal ini dengan menuliskan Perawan Tak Bernoda “menerima pemilihannya sebagai Bunda Putra Allah, dibimbing oleh kasih suami istri, kasih yang sepenuhnya ‘menguduskan’ manusia bagi Allah” (Redemptoris Mater, 39).

 

Kini kita sampai pada aspek ketiga kecantikan Maria. Apakah aspek ketiga ini? Maria sebagai ibu. Ia paling sering digambarkan sebagai seorang ibu dengan Kanak Yesus dalam pelukannya atau membaringkan Putra Allah di palungan (bdk. Luk 2:7). Ia hadir di samping Putranya sepanjang hidup-Nya, senantiasa dekat dalam kepedulian keibuannya namun tersembunyi dalam kerendahan hatinya. Kita menyaksikan kedekatan ini di Kana, di mana ia menjadi perantara bagi kedua mempelai (bdk. Yoh 2:3-5), di Kapernaum, di mana ia dipuji karena mendengarkan Sabda Allah (bdk. Luk 11:27-28) dan akhirnya di kaki salib – ibu dari seorang terhukum –, di mana Yesus sendiri memberikannya kepada kita sebagai ibu kita (bdk. Yoh 19:25-27). Di sana, di kaki salib, Perawan yang Tak Bernoda tampak cantik dalam kelimpahannya, karena ia menyadari bahwa ia harus mati bagi dirinya sendiri agar dapat memberi kehidupan, melupakan dirinya sendiri agar dapat peduli terhadap orang-orang miskin dan rentan yang datang kepadanya.

 

Semua hal ini terkandung dalam hati Maria yang murni, hati yang bebas dari dosa, taat pada karya Roh Kudus (bdk. Redemptoris Mater, 13) dan siap untuk mempersembahkan kepada Allah, karena kasih, “penyerahan sepenuhnya akal budi dan kehendak” (Dei Verbum, 5; bdk. Dei Filius, 3).

 

Akan tetapi, ada risiko menganggap bahwa kecantikan Maria jauh, tak terjangkau, dan tak dapat diraih. Bukan itu masalahnya. Kita juga telah menerima kecantikan ini sebagai karunia dalam Baptisan, saat kita dibebaskan dari dosa dan menjadi putra dan putri Allah. Seperti Perawan Maria, kita dipanggil untuk menumbuhkan kecantikan ini dengan cinta bakti, cinta suami istri, dan cinta keibuan. Seperti dia, semoga kita bersyukur atas apa yang telah kita terima dan murah hati dalam apa yang kita berikan kembali. Semoga kita menjadi manusia yang siap untuk mengatakan "Terima kasih" dan "Ya", bukan hanya dengan kata-kata kita, tetapi terutama dengan tindakan kita – sungguh indah menemukan manusia yang mengatakan "Terima kasih" dan "Ya" melalui tindakan mereka – selalu siap memberi ruang bagi Tuhan dalam rencana dan aspirasi kita, ingin merangkul dengan kelembutan keibuan saudara-saudari yang kita temui dalam perjalanan kita. Perawan yang Tak Bernoda bukanlah mitos, ajaran abstrak atau cita-cita yang mustahil. Ia adalah model rencana yang indah dan nyata, teladan sempurna kemanusiaan kita. Semoga kita semua, dengan rahmat Allah, dapat meneladaninya dan membantu mengubah dunia kita menjadi lebih baik.

 

Sungguh menyedihkan, jika kita melihat sekeliling kita, kita menyadari bahwa anggapan bahwa kita dapat menjadi “seperti Allah” (lih. Kej 3:1-6), yang menyebabkan dosa pertama, terus melukai keluarga manusia kita. Baik cinta maupun kebahagiaan tidak dapat muncul dari anggapan tentang kemandirian ini. Mereka yang melihat penolakan terhadap ikatan yang stabil dan langgeng dalam hidup sebagai kemajuan tidak memberikan kebebasan. Mereka yang merampas rasa hormat dari ayah dan ibu, mereka yang tidak menginginkan anak, mereka yang merendahkan orang lain menjadi objek belaka atau memperlakukan mereka sebagai pengganggu, mereka yang menganggap berbagi dengan orang lain sebagai pemborosan, dan solidaritas sebagai pemiskinan, tidak dapat menyebarkan sukacita atau membangun masa depan. Apa gunanya memiliki rekening bank yang penuh, rumah yang nyaman, hubungan virtual yang tidak nyata, jika hati kita tetap dingin, kosong, dan tertutup? Apa gunanya mencapai pertumbuhan keuangan yang besar di negara-negara tertentu jika separuh dunia kelaparan atau dirusak oleh perang, dan negara-negara lainnya melihat dengan acuh tak acuh? Apa gunanya bepergian keliling dunia jika setiap pertemuan hanya menjadi kesan sesaat atau foto yang tidak akan diingat siapa pun dalam beberapa hari atau bulan?

 

Saudara-saudari, marilah kita memandang Maria yang Tak Bernoda dan memohon kepadanya untuk menaklukkan kita melalui hatinya yang penuh kasih. Semoga ia menobatkan kita dan menjadikan kita sebuah komunitas di mana kasih bakti, kasih suami istri dan kasih keibuan akan menjadi aturan dan kriteria kehidupan. Hanya dengan demikian keluarga akan bersatu, suami istri akan benar-benar berbagi segalanya, orang tua akan hadir secara fisik dan dekat dengan anak-anak mereka dan anak-anak akan peduli orang tua mereka. Itulah kecantikan yang kita lihat dalam diri Perawan yang Tak Bernoda; itulah “kecantikan yang menyelamatkan dunia”. Seperti Maria, kita juga ingin menanggapi dengan berkata kepada Tuhan: “Jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk 1:38).

 

Kita sedang merayakan Ekaristi ini bersama para kardinal baru. Saya telah meminta mereka, saudara-saudaraku, untuk membantu saya dalam pelayanan pastoral saya bagi Gereja Universal. Mereka datang dari pelbagai belahan dunia, membawa kebijaksanaan yang luar biasa, untuk memberikan kontribusi bagi pertumbuhan dan penyebaran Kerajaan Allah. Marilah kita sekarang mempercayakan mereka secara khusus kepada perantaraan Bunda Sang Juruselamat kita.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 8 Desember 2024)

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.