Bacaan Ekaristi : Yes. 60:1-6; Mzm. 72:1-2,7-8,10-11,12-13. Ef. 3:2-3a,5-6; Mat. 2:1-12.
“Kami
telah melihat bintang-Nya di Timur dan kami datang untuk menyembah Dia” (Mat
2:2). Inilah kesaksian yang diberikan orang Majus kepada penduduk Yerusalem,
yang memberitahu mereka bahwa raja orang Yahudi telah lahir.
Orang
Majus memberikan kesaksian bahwa mereka telah berangkat ke arah yang berbeda
dalam hidup mereka karena mereka telah melihat cahaya baru di langit. Marilah
kita berhenti sejenak untuk merenungkan gambaran ini saat kita merayakan Hari
Raya Penampakan Tuhan selama Yubileum pengharapan ini. Saya ingin menyoroti
tiga karakteristik bintang yang dibicarakan oleh Matius sang penginjil: bintang
terang benderang, dapat dilihat oleh semua orang, dan menunjukkan jalan.
Pertama,
bintang terang benderang. Banyak penguasa pada zaman Yesus menyebut diri mereka
sebagai “bintang” karena mereka merasa penting, berkuasa, dan terkenal. Namun,
terang yang menyingkapkan mukjizat Natal kepada orang Majus bukan salah satu dari
“terang” ini. Kemegahan buatan mereka yang dingin, yang muncul dari rencana
jahat dan permainan kekuasaan mereka, tidak dapat memuaskan kebutuhan orang
Majus yang sedang mencari kebaruan dan pengharapan. Mereka justru dipuaskan
oleh jenis terang yang berbeda, yang dilambangkan oleh bintang, yang menerangi
dan menghangatkan orang lain dengan membiarkan dirinya bersinar terang dan
dipergunakan. Bintang berbicara kepada kita tentang terang yang unik yang dapat
menunjukkan kepada semua orang jalan menuju keselamatan dan kebahagiaan, yaitu
kasih. Inilah satu-satunya terang yang dapat membuat kita bahagia.
Terang
ini, terutaman, adalah kasih Allah, yang menjadi manusia dan menyerahkan
diri-Nya bagi kita dengan mengorbankan hidup-Nya. Maka, saat kita merenungkan,
kita dapat melihat bahwa terang ini juga memanggil kita untuk menyerahkan diri
kita bagi satu sama lain, menjadi, dengan pertolongan-Nya, tanda pengharapan
bersama, bahkan di malam tergelap dalam hidup kita. Marilah kita pikirkan ini:
apakah kita berseri-seri dengan pengharapan? Apakah kita mampu memberikan
pengharapan kepada sesama kita dengan terang iman kita?
Bintang
menuntun orang Majus ke Betlehem dengan terang benderangnya. Kita juga, dengan
kasih kita, dapat membawa orang-orang yang kita jumpai kepada Yesus,
memungkinkan mereka untuk melihat dalam diri Putra Allah yang menjadi manusia
keindahan wajah Bapa (lih. Yes 60:2) dan cara Dia mengasihi, yaitu melalui
kedekatan, bela rasa, dan kelembutan. Janganlah kita pernah melupakan ini:
Allah dekat, berbela rasa, dan lembut. Inilah kasih: kedekatan, bela rasa, dan
kelembutan. Lebih dari itu, kita bisa melakukannya tanpa memerlukan cara-cara
yang luar biasa atau metode yang canggih, tetapi cukup dengan menjadikan hati
kita bercahaya dengan iman, pandangan kita lapang dalam menyambut, gerak-gerik
dan tutur kata kita penuh dengan kelembutan dan kebaikan.
Maka,
saat kita merenungkan orang Majus, yang menengadah untuk mencari bintang,
marilah kita memohon kepada Tuhan agar kita dapat menjadi terang yang dapat
menuntun satu sama lain untuk berjumpa dengan Dia (bdk. Mat 5:14-16). Alangkah
menyedihkan ketika seseorang tidak menjadi terang bagi sesamanya.
Sekarang
kita sampai pada karakteristik bintang yang kedua: bintang terlihat oleh semua
orang. Orang Majus tidak mengikuti petunjuk dari sebuah kode rahasia, tetapi
bintang yang mereka lihat bersinar di langit. Sementara mereka mengamatinya,
orang lain – seperti Herodes dan para ahli Taurat – justru tidak menyadari
kehadirannya. Namun bintang selalu ada, dapat diakses oleh orang-orang yang
menengadah untuk mencari tanda pengharapan. Apakah kita menjadi tanda
pengharapan bagi sesama kita?
Ini
juga mengandung pesan penting. Allah tidak menyatakan diri-Nya kepada kelompok
eksklusif atau kepada segelintir orang yang memiliki hak istimewa. Allah
menawarkan persahabatan dan bimbingan-Nya kepada mereka yang mencari-Nya dengan
hati yang tulus (bdk. Mzm 145:18). Sungguh, Ia sering kali mengantisipasi
pertanyaan-pertanyaan kita, datang mencari kita bahkan sebelum kita menanyakan
(bdk. Rm 10:20; Yes 65:1). Karena alasan ini, dalam kisah kelahiran Yesus, kita
menggambarkan orang Majus dengan bercirikan segala usia dan ras: seorang muda,
seorang dewasa, seorang tua, yang mencerminkan berbagai bangsa di bumi. Kita
melakukan ini untuk mengingatkan diri kita bahwa Allah mencari semua orang,
selalu. Allah mencari semua orang, semua orang.
Kita
sebaiknya merenungkan hal ini hari ini, pada saat individu dan bangsa
dilengkapi dengan sarana komunikasi yang semakin menguasai, namun tampaknya
menjadi kurang bersedia untuk memahami, menerima, dan berjumpa orang lain dalam
keberagaman mereka!
Bintang,
yang bersinar di langit dan menawarkan cahayanya kepada semua orang,
mengingatkan kita bahwa Putra Allah datang ke dunia untuk menjumpai setiap
orang di bumi, apa pun kelompok etnis, bahasa atau bangsa mereka (lih. Kis
10:34-35; Why 5:9), dan Ia mempercayakan kepada kita perutusan universal yang
sama (lih. Yes 60:3). Dengan kata lain, Allah memanggil kita untuk menolak
segala sesuatu yang mendiskriminasi, mengecualikan atau mencampakkan orang, dan
sebagai gantinya, mempromosikan, di komunitas dan lingkungan kita, budaya
penerimaan yang kuat, di mana tempat-tempat sempit ketakutan dan kecaman
digantikan oleh ruang terbuka perjumpaan, perpaduan dan ambil bagian dalam
kehidupan; ruang aman di mana setiap orang dapat menemukan kehangatan dan
tempat berteduh.
Bintang
ada di langit, bukan untuk tetap jauh dan tidak dapat diakses, tetapi agar
cahayanya dapat terlihat oleh semua orang, sehingga dapat mencapai setiap rumah
dan mengatasi setiap penghalang, membawa pengharapan ke sudut-sudut paling
terpencil dan terlupakan di planet ini. Ia berada di langit agar dapat
memberitahu semua orang, melalui cahayanya yang cuma-cuma, bahwa Allah tidak
menolak atau melupakan siapa pun (bdk. Yes 49:15). Mengapa? Karena Ia adalah
Bapa yang sukacita terbesar-Nya melihat anak-anak-Nya kembali ke rumah,
berkumpul bersama dari seluruh penjuru dunia (bdk. Yes 60:4). Ia senang melihat
anak-anak-Nya membangun jembatan, membersihkan jalan, mencari mereka yang
tersesat dan menggendong mereka yang berjuang untuk berjalan, sehingga tidak
seorang pun tertinggal dan semua orang dapat ambil bagian dalam sukacita di
rumah Bapa.
Bintang
berbicara kepada kita tentang impian Allah bahwa setiap manusia di mana pun,
dalam segala keragaman mereka, akan bersama-sama membentuk satu keluarga yang
dapat hidup rukun dalam kemakmuran dan kedamaian (lih. Yes 2:2-5).
Ini
membawa kita kepada karakteristik bintang yang ketiga: menunjukkan jalan. Ini
juga merupakan wawasan yang bermanfaat, terutama dalam konteks Tahun Suci yang
sedang kita rayakan, di mana salah satu ciri utamanya adalah peziarahan.
Cahaya
bintang mengundang kita untuk melakukan perjalanan batin yang, sebagaimana
ditulis Santo Yohanes Paulus II, membebaskan hati kita dari segala hal yang
bukan kasih, guna “berjumpa Kristus sepenuhnya, mengakui iman kita kepada-Nya
dan menerima kelimpahan belas kasih-Nya” (Surat mengenai Peziarahan ke
Tempat-Tempat yang Terkait dengan Sejarah Keselamatan, 29 Juni 1999, 12).
Berjalan
bersama “secara tradisional dikaitkan dengan pencarian manusiawi kita akan
makna hidup” (bdk. Spes Non Confundit, 5). Dengan memandang bintang, kita juga
dapat memperbarui komitmen kita untuk menjadi laki-laki dan perempuan yang
mengikuti Jalan Tuhan, sebutan umat kristiani pada tahun-tahun pertama Gereja
(bdk. Kis 9:2).
Maka,
semoga Tuhan menjadikan kita terang yang menuntun sesama kita kepada-Nya;
semoga Ia menjadikan kita murah hati, seperti Maria, dalam memberi diri kita,
ramah dan rendah hati dalam berjalan bersama, sehingga kita dapat bertemu,
mengenali, dan menyembah Dia. Diperbarui oleh-Nya, semoga kita berangkat untuk
membawa terang kasih-Nya ke dunia.
______
(Peter Suriadi - Bogor, 6 Januari 2025)