Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI MINGGU PALMA 10 April 2022 : YA BAPA, AMPUNILAH MEREKA, SEBAB MEREKA TIDAK TAHU APA YANG MEREKA PERBUAT!

Bacaan Ekaristi : Luk 19:28-40. Yes. 50:4-7; Mzm. 22:8-9,17-18a,19-20,23-24; Flp. 2:6-11; Luk. 22:14-23:56.

 

Di Kalvari, dua cara berpikir berbenturan. Dalam Bacaan Injil, perkataan Yesus yang disalibkan sangat kontras dengan perkataan orang-orang yang menyalibkan Dia. Orang-orang itu terus berkata : "Selamatkanlah diri-Mu". Para pemimpin bangsa berkata : “Biarlah sekarang Ia menyelamatkan diri-Nya sendiri, jika Ia adalah Mesias, orang yang dipilih Allah” (Luk 23:35). Para prajurit mengatakan hal yang sama : “Jika Engkau adalah raja orang Yahudi, selamatkanlah diri-Mu!” (ayat 37). Akhirnya, salah seorang penjahat, menggemakan perkataan mereka, berkata kepada-Nya : “Bukankah Engkau adalah Kristus? Selamatkanlah diri-Mu” (ayat 39). Selamatkanlah diri-Mu. Pedulikanlah diri-Mu. Pikirkanlah diri-Mu. Bukan orang lain, tetapi hanya kesejahteraan-Mu, keberhasilan-Mu, minat-Mu : kepunyaan-Mu, kuasa-Mu, citra-Mu. Selamatkanlah diri-Mu. Inilah pengulangan terus menerus dunia yang menyalibkan Tuhan. Marilah kita memikirkannya.

 

Lawan pola pikir yang egois ini adalah cara berpikir Allah. Mantra "selamatkanlah diri-Mu" bertabrakan dengan perkataan Sang Juruselamat yang menawarkan diri-Nya. Seperti musuh-musuh-Nya, Yesus berbicara tiga kali dalam Bacaan Injil hari ini (bdk. ayat 34. 43. 46). Namun Ia tidak mengklaim apa pun untuk diri-Nya; memang, Ia bahkan tidak membela atau membenarkan diri. Ia berdoa kepada Bapa dan menawarkan belas kasihan kepada penjahat yang baik. Salah satu perkataan-Nya, khususnya, menandai perbedaan sehubungan dengan mantra "selamatkanlah diri-Mu". Ia berkata, "Ya Bapa, ampunilah mereka" (ayat 34).

 

Marilah kita bercermin pada perkataan Tuhan. Kapan Ia mengatakannya? Pada saat yang sangat khas : ketika Ia disalibkan, ketika Ia merasakan paku menusuk pergelangan tangan dan kaki-Nya. Marilah kita mencoba membayangkan rasa sakit yang luar biasa yang diderita-Nya. Pada saat itu, di tengah rasa sakit jasmani yang paling membakar sengsara-Nya, Kristus memohon pengampunan bagi mereka yang sedang menikam-Nya. Pada saat seperti itu, kita akan berteriak dan melampiaskan segenap kemarahan dan penderitaan kita. Tetapi Yesus berkata : Ya Bapa, ampunilah mereka.

 

Tidak seperti para martir lain yang dibicarakan oleh Kitab Suci (bdk. 2Mak 7:18-19), Yesus tidak menegur para algojo-Nya atau mengancam hukuman atas nama Allah; sebaliknya, Ia mendoakan para pelaku kejahatan. Terikat pada tiang gantung penghinaan, sikap memberi-Nya menjadi sikap mengampuni.

 

Saudara dan saudari, Allah melakukan hal yang sama dengan kita. Ketika kita menyebabkan penderitaan akibat tindakan kita, Allah menderita tetapi hanya memiliki satu keinginan : mengampuni kita. Untuk menghargai hal ini, marilah kita menatap Tuhan yang tersalib. Dari luka-luka-Nya yang menyakitkan, dari aliran darah yang disebabkan oleh paku-paku keberdosaan kita, pengampunan terpancar. Marilah kita memandang Yesus di kayu salib dan menyadari bahwa perkataan yang lebih besar tidak pernah terucap : Ya Bapa, ampunilah. Marilah kita memandang Yesus di kayu salib dan menyadari bahwa kita tidak pernah dipandang dengan tatapan yang lebih lembut dan penuh kasih. Marilah kita memandang Yesus di kayu salib dan memahami bahwa kita belum pernah menerima pelukan yang lebih penuh kasih. Marilah kita memandang kepada Tuhan yang tersalib dan berkata, "Terima kasih, Yesus : Engkau mengasihiku dan senantiasa mengampuniku, bahkan pada saat-saat ketika aku merasa sulit untuk mengasihi dan mengampuni diriku sendiri".

 

Di sana, ketika Ia disalibkan, pada puncak rasa sakit-Nya, Yesus sendiri menaati perintah-Nya yang paling menuntut : agar kita mengasihi musuh kita. Marilah kita memikirkan seseorang yang, dalam hidup kita, melukai, menyinggung atau mengecewakan kita; seseorang yang membuat kita marah, yang tidak memahami kita atau yang memberi contoh buruk. Seberapa sering kita menghabiskan waktu untuk melihat kembali orang-orang yang telah berbuat salah kepada kita! Seberapa sering kita memikirkan kembali dan menjilat luka yang telah ditimpakan orang lain, kehidupan itu sendiri, dan sejarah terhadap diri kita. Hari ini, Yesus mengajar kita untuk tidak tinggal di sana, tetapi bereaksi, memutuskan lingkaran setan kejahatan dan kesedihan. Bereaksi terhadap paku dalam hidup kita dengan kasih, terhadap serangan kebencian dengan pelukan pengampunan. Sebagai murid Yesus, apakah kita mengikuti Sang Guru atau mengikuti keinginan kita sendiri untuk menyerang balik? Ini adalah pertanyaan yang harus kita ajukan kepada diri kita. Apakah kita mengikuti Sang Guru atau tidak?

 

Jika kita ingin menguji apakah kita benar-benar milik Kristus, marilah kita melihat bagaimana kita bersikap terhadap orang-orang yang telah menyakiti kita. Tuhan meminta kita untuk menanggapi bukan seperti yang kita rasakan, atau seperti yang dilakukan orang lain, tetapi dengan cara Ia bertindak terhadap kita. Ia meminta kita untuk keluar dari pola pikir yang mengatakan : “Aku akan mengasihimu jika kamu mengasihiku; aku akan menjadi sahabatmu jika kamu adalah sahabatku; aku akan menolongmu jika kamu menolongku”. Sebaliknya, kita harus menunjukkan kasih sayang dan belas kasihan kepada semua orang, karena Allah melihat seorang putra atau putri dalam diri setiap orang. Ia tidak memisahkan kita baik dan buruk, sahabat dan musuh. Kitalah yang melakukan hal ini, dan kita membuat Allah menderita. Bagi Dia, kita semua adalah anak-anak kesayangan-Nya, anak-anak yang ingin Ia peluk dan ampuni. Sama seperti dalam perumpamaan perjamuan kawin, di mana bapa sang mempelai laki-laki mengutus para hamba-Nya ke jalan dan berkata, "Undanglah setiap orang : putih, hitam, baik dan jahat, setiap orang, orang sehat, orang sakit, setiap orang ..." (bdk. .Mat 22:9-10). Kasih Yesus untuk semua orang; setiap orang memiliki hak istimewa yang sama : dikasihi dan diampuni.

 

Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat. Menurut Bacaan Injil, Yesus "tetap mengatakan" ini (bdk. ayat 34). Ia tidak mengatakannya sekali untuk selamanya ketika Ia dipaku di kayu salib; sebaliknya, Ia menghabiskan seluruh waktu-Nya di kayu salib dengan perkataan ini di bibir dan di dalam hati-Nya. Allah tidak pernah lelah mengampuni. Kita perlu memahami hal ini, tidak hanya dalam pikiran kita, tetapi juga dalam hati kita. Allah tidak pernah lelah mengampuni. Kitalah yang lelah memohon ampun. Tetapi Ia tidak pernah lelah mengampuni. Ia menerima kita dengan sabar untuk sementara waktu dan kemudian berubah pikiran, seperti yang coba kita lakukan. Yesus – begitu Injil Lukas mengajarkan kita – datang ke dunia untuk membawakan kita pengampunan atas dosa-dosa kita (bdk. Luk 1:77). Pada akhirnya, Ia memberi kita perintah yang jelas : menyampaikan pengampunan dosa kepada semua orang dalam nama-Nya (bdk. Luk 24:47). Marilah kita tidak pernah lelah mewartakan pengampunan Allah : kita para imam, jangan pernah lelah melayaninya; seluruh umat Kristiani, menerimanya dan menjadi saksinya. Marilah kita tidak pernah lelah dalam hal pengampunan Allah.

 

Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat. Marilah kita amati satu hal lagi. Yesus tidak hanya meminta agar mereka diampuni, tetapi juga menyebutkan alasannya : sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat. Bagaimana bisa? Mereka yang menyalibkan-Nya telah merencanakan pembunuhan-Nya, mengatur penangkapan dan pengadilan-Nya, dan sekarang mereka berdiri di Kalvari untuk menyaksikan wafat-Nya. Namun Kristus membenarkan orang-orang yang kejam itu dengan mengatakan : mereka tidak tahu. Begitulah cara Yesus bertindak dalam perkara kita : Ia menjadikan diri-Nya pembela kita. Ia tidak menempatkan diri-Nya melawan kita, tetapi untuk kita dan melawan dosa-dosa kita. Kata-katanya membuat kita berpikir : karena mereka tidak tahu. Ini adalah ketidaktahuan hati, yang kita semua miliki sebagai orang berdosa.

 

Ketika kita menggunakan kekerasan, kita menunjukkan bahwa kita tidak lagi tahu apa-apa tentang Allah, yang adalah Bapa kita, atau bahkan tentang orang lain, yang adalah saudara dan saudari kita. Kita lupa mengapa kita ada di dunia dan bahkan akhirnya melakukan tindakan kekejaman yang tidak masuk akal. Kita melihat hal ini dalam kebodohan perang, di mana Kristus disalibkan di lain waktu. Kristus sekali lagi dipaku di kayu Salib dalam diri ibu-ibu yang berduka atas ketidakadilan kematian suami dan anak mereka. Ia disalibkan dalam diri para pengungsi yang melarikan diri dari bom dengan anak-anak di tangan mereka. Ia disalibkan dalam diri para orang tua yang ditinggalkan mati sendirian; dalam diri kaum muda yang kehilangan masa depan; dalam diri para tentara yang dikirim untuk membunuh saudara-saudara mereka. Kristus sedang disalibkan di sana, hari ini.

 

Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat. Banyak orang mendengar perkataan yang luar biasa ini, tetapi hanya satu orang yang menanggapinya. Ia adalah seorang penjahat, yang disalibkan di sebelah Yesus. Kita dapat membayangkan bahwa belas kasihan Kristus membangkitkan dalam dirinya satu harapan terakhir dan menuntunnya untuk mengucapkan kata-kata ini : "Yesus, ingatlah akan aku" (Luk 23:42). Seolah-olah mau mengatakan : “Semua orang telah melupakanku, namun Engkau terus memikirkan orang-orang yang menyalibkan-Mu. Maka, bersama-Mu, ada juga tempat untukku”. Penjahat yang baik menerima Allah saat hidupnya berakhir, dan dengan cara ini, hidupnya dimulai lagi. Di neraka dunia ini, ia melihat surga terbuka : “Sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus” (ayat 43). Inilah keajaiban pengampunan Allah, yang mengubah permohonan terakhir seorang manusia yang dihukum mati menjadi kanonisasi pertama dalam sejarah.

 

Saudara dan saudari, dalam perjalanan pekan ini, marilah kita berpegang teguh pada kepastian bahwa Allah dapat mengampuni setiap dosa. Ia mengampuni semua orang. Ia dapat menjembatani setiap jarak, dan mengubah segala duka menjadi tarian (bdk. Mzm 30:12). Kepastian bahwa bersama Yesus senantiasa ada tempat bagi setiap orang. Bahwa bersama Kristus segala sesuatunya tidak pernah berakhir. Bahwa bersama-Nya, tidak ada kata terlambat. Bersama Allah, kita senantiasa bisa hidup kembali. Teguhkanlah hati! Marilah kita melakukan perjalanan menuju Paskah dengan pengampunan-Nya. Karena Kristus senantiasa menjadi Pengantara kita di hadapan Bapa (bdk. Ibr 7:25). Menatap dunia kita yang kejam dan tersiksa, Ia tidak pernah lelah mengulangi : Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat. Marilah kita sekarang melakukan hal yang sama, dalam keheningan, dalam hati kita, dan mengulangi : Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.

_____

 

(Peter Suriadi - Bogor, 10 April 2022)

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.