Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA PERINGATAN 400 TAHUN KANONISASI SANTO IGNATIUS DARI LOYOLA, SANTO FRANSISKUS XAVERIUS, SANTA TERESA DARI AVILA, SANTO ISIDORUS SI PETANI DAN SANTO FILIPUS NERI DI GEREJA NAMA YESUS YANG TERSUCI (GEREJA GESU), ROMA, 12 Maret 2022 : MEMAKNAI EMPAT KATA KERJA DALAM PERISTIWA PERUBAHAN RUPA YESUS

Bacaan Ekaristi : Kej. 15:5-12,17-18; Mzm. 27:1,7-8,9abc,13-14; Flp. 3:17-4:1 Luk. 9:28b-36.

 

Peristiwa perubahan rupa Yesus dalam Bacaan Injil hari ini menyajikan kepada kita empat perbuatan Yesus. Sebaiknya kita merenungkannya, untuk menemukan dalam gerakan-gerakan ini arah yang jelas bagi perjalanan kita sebagai murid-murid-Nya.

 

Kata kerja pertama, perbuatan Yesus yang pertama ini, adalah membawa serta. Lukas memberitahu kita bahwa Yesus “membawa Petrus, Yohanes dan Yakobus” (9:28). Yesus “membawa” para murid, dan juga diri-Nya sendiri, untuk “bersama-Nya”. Kristus mengasihi, memilih dan memanggil kita. Semuanya dimulai dengan misteri rahmat, pilihan, "pemilihan". Pertama-tama, bukan kita yang memutuskan; sebaliknya, Yesus memanggil kita, terlepas apa pun jasa kita. Sebelum menjadi manusia yang menjadikan hidup kita suatu karunia, kita adalah orang-orang yang menerima karunia yang diberikan secara cuma-cuma : karunia kasih Allah secara cuma-cuma. Perjalanan kita, saudara-saudari, perlu dimulai lagi setiap hari dari rahmat awal ini. Seperti yang diperbuat-Nya dengan Petrus, Yakobus dan Yohanes, Yesus telah memanggil nama kita dan membawa serta kita. Ia menggandeng tangan kita. Ke mana? Ke gunung-Nya yang kudus, di mana bahkan sekarang Ia melihat kita beserta-Nya selamanya, diubah rupa oleh kasih-Nya. Rahmat, rahmat pertama ini, membawa kita ke sana. Jadi, ketika kita merasakan kepahitan atau kekecewaan, ketika kita merasa diremehkan atau disalahpahami, janganlah kita mengembara ke dalam keluhan atau nostalgia masa lalu. Ini adalah godaan yang menghalangi kemajuan kita, yang membawa kita ke mana-mana. Sebaliknya, marilah kita menyerahkan hidup kita ke dalam tangan kita, memulai yang baru dengan rahmat, dalam kesetiaan terhadap panggilan kita. Marilah kita menerima karunia melihat setiap hari sebagai langkah sepanjang jalan menuju tujuan akhir kita.

 

Yesus membawa serta Petrus, Yakobus dan Yohanes. Tuhan membawa serta para murid; Ia menganggap mereka sebagai komunitas. Panggilan kita berlandaskan persekutuan. Untuk memulai yang baru setiap hari, kita perlu mengalami sekali lagi misteri pemilihan kita dan rahmat hidup dalam Gereja, Bunda hierarkis kita, dan bagi Gereja, mempelai kita. Kita adalah milik Yesus, dan kita adalah milik-Nya sebagai sebuah Serikat. Marilah kita tidak pernah lelah memohon kekuatan untuk membentuk dan membina persekutuan, menjadi ragi persaudaraan bagi Gereja dan dunia. Kita bukan penyanyi solo dalam mencari hadirin, tetapi saudara-saudara tertata sebagai paduan suara. Marilah kita berpikir bersama Gereja dan menolak godaan untuk mengkhawatirkan keberhasilan atau pencapaian pribadi kita. Jangan sampai kita terjerumus ke dalam klerikalisme yang mengarah pada kekakuan atau ideologi yang mengarah pada perpecahan. Orang-orang kudus yang kita peringati hari ini adalah pilar persekutuan. Mereka mengingatkan kita bahwa, karena segala perbedaan karakter dan sudut pandang kita, kita dipanggil untuk bersama. Jika kita akan selamanya bersatu di surga, mengapa tidak mulai dari sini? Marilah kita menghargai keindahan karena telah “dibawa”, dipertemukan, dipanggil bersama, oleh Yesus. Inilah kata kerja pertama : membawa.

 

Kata kerja kedua adalah naik. Yesus "naik ke atas gunung" (ayat 28). Jalan Yesus adalah jalan pendakian, bukan jalan penurunan. Cahaya perubahan rupa tidak terlihat di dataran, tetapi hanya setelah pendakian yang berat. Dalam mengikut Yesus, kita juga perlu meninggalkan dataran biasa-biasa saja dan kaki bukit kenyamanan; kita perlu meninggalkan rutinitas kita yang meyakinkan dan memulai keluaran. Yesus, setelah naik ke atas gunung, berbicara kepada Musa dan Elia secara tepat tentang "keluaran, yang harus dilakukan-Nya di Yerusalem" (ayat 31). Musa dan Elia telah pergi ke Sinai atau Horeb setelah dua pengalaman "keluaran" di padang gurun (bdk. Kel 19; 1Raj 19); sekarang mereka berbicara dengan Yesus tentang keluaran yang menentukan, yaitu keluaran Paskah-Nya. Saudara-saudari, hanya pendakian salib yang mengarah ke tujuan kemuliaan. Inilah jalannya : dari salib menuju kemuliaan. Godaan duniawi adalah mencari kemuliaan dengan melewati salib. Kita lebih suka jalan yang akrab, langsung dan mulus, tetapi untuk menemukan terang Yesus kita harus terus-menerus meninggalkan diri kita dan mengikuti-Nya ke atas. Tuhan yang, sebagaimana kita dengar, pertama-tama “membawa Abraham ke luar” (Kej 15:5), juga mengundang kita untuk bergerak ke luar dan ke atas.

 

Bagi kita para Jesuit, perjalanan bergerak ke luar dan ke atas ini mengikuti jalan tertentu, yang dilambangkan dengan indah oleh gunung. Dalam Kitab Suci, puncak gunung melambangkan keekstriman, ketinggian, perbatasan antara langit dan bumi. Kita dipanggil untuk pergi dengan tepat ke sana, ke perbatasan antara langit dan bumi tempat manusia "menghadap" Allah dengan kesulitan-kesulitan mereka, sehingga kita pada gilirannya dapat menemani mereka dalam pencarian gelisah dan keraguan agama mereka. Di situlah kita perlu ada, dan untuk melakukannya, kita harus pergi ke luar dan ke atas. Musuh kodrat manusiawi akan membujuk kita untuk tetap berada di jalur rutinitas yang kosong namun nyaman dan bentangan yang akrab, sedangkan Roh mendorong kita kepada keterbukaan dan kedamaian yang tidak pernah meninggalkan kita dalam kedamaian. Ia mengutus murid-murid-Nya ke batas maksimum. Kita hanya perlu memikirkan Fransiskus Xaverius.

 

Dalam perjalanan ini, dalam mengikuti jalan ini, saya memikirkan perlunya perjuangan. Pikirkan malangnya Abraham yang sudah berusia senja, di sana dengan pengorbanannya, melawan burung-burung pemangsa yang akan memakannya (bdk. Kej 15:7-11). Bersama pembantunya, ia mengusir burung-burung pemangsa tersebut. Orang tua yang malang. Marilah kita memikirkan hal ini : berjuang untuk mempertahankan jalan ini, perjalanan ini, hal ini, penyerahan diri kita kepada Tuhan.

 

Di setiap zaman, murid-murid Kristus mendapati diri mereka di persimpangan jalan ini. Kita dapat berlaku seperti Petrus, yang menanggapi ramalan Yesus tentang keluaran-Nya dengan mengatakan, “Betapa bahagianya kami berada di tempat ini” (ayat 33). Inilah resiko dari iman yang statis, iman yang “terparkir dengan rapi”. Saya takut dengan iman yang "terparkir" ini. Kita berisiko menganggap diri kita sebagai murid yang "terhormat", tetapi sebenarnya tidak mengikuti Yesus; sebaliknya, kita secara pasif tetap diam, dan, tanpa menyadarinya, tertidur seperti para murid dalam Injil. Di Taman Getsemani murid-murid juga akan tertidur. Saudara-saudari, marilah kita berpikir bahwa bagi para pengikut Yesus, sekarang bukan waktunya untuk tidur, membiarkan jiwa kita dibius, dibius oleh budaya konsumerisme dan individualistis dewasa ini, dengan bersikap “hidup itu baik asalkan baik untukku". Dengan cara tersebut, kita dapat terus berbicara dan berteori, seraya kehilangan pandangan tentang daging saudara-saudari kita, dan keberwujudan Injil. Salah satu tragedi besar di zaman kita adalah penolakan untuk membuka mata kita terhadap kenyataan dan malahan melihat ke arah lain. Santo Teresa membantu kita untuk bergerak melampaui diri kita, naik ke atas gunung bersama Tuhan, untuk menyadari bahwa Yesus juga menyatakan diri-Nya melalui luka-luka saudara-saudari kita, perjuangan umat manusia, dan tanda-tanda zaman. Jangan takut untuk menjamah luka-luka tersebut : luka-luka tersebut adalah luka-luka Tuhan.

 

Bacaan Injil memberitahu kita bahwa Yesus naik ke atas gunung "untuk berdoa" (ayat 28). Inilah kata kerja ketiga : berdoa. “Ketika Ia sedang berdoa, rupa wajah-Nya berubah dan pakaian-Nya menjadi putih berkilau-kilauan” (ayat 29). Perubahan rupa berasal dari doa. Marilah kita bertanya pada diri kita, bahkan setelah bertahun-tahun pelayanan, dewasa ini apa artinya berdoa bagi kita, bagiku? Mungkin kekuatan kebiasaan atau ritual harian tertentu telah membuat kita berpikir bahwa doa tidak mengubah individu atau sejarah. Namun berdoa berarti mengubah kenyataan. Doa adalah perutusan aktif, pengantaraan yang langgeng. Doa tidak jauh dari dunia, tetapi mengubah dunia. Berdoa adalah membawa detak jantung perkara saat ini ke hadirat Allah, sehingga tatapan-Nya akan bersinar atas sejarah. Apa artinya berdoa bagi kita?

 

Hari ini sebaiknya kita menanyakan pada diri kita apakah doa membenamkan kita dalam perubahan ini. Apakah doa memberi pencerahan baru kepada sesama dan mengubah situasi mereka? Karena jika doa itu hidup, ia “membebaskan” hati kita, menyalakan kembali api perutusan, mengobarkan kembali sukacita kita, dan terus-menerus mendorong kita untuk membiarkan diri kita diganggu oleh permohonan semua orang yang menderita di dunia kita. Marilah kita juga bertanya : bagaimana kita sedang membawa peperangan dewasa ini ke dalam doa kita? Kita dapat melihat doa Santo Filipus Neri, yang melapangkan hatinya dan membuatnya membuka pintunya bagi anak-anak jalanan kota Roma pada masanya. Atau Santo Isidorus, yang berdoa di ladang dan membawa pekerjaan pertaniannya ke dalam doanya.

 

Setiap hari membawa secara baru panggilan pribadi kita dan sejarah komunitas kita; kemudian naik menuju ketinggian yang ditunjukkan Allah kepada kita; dan berdoa untuk mengubah dunia yang di dalamnya kita terbenam ini.

 

Namun ada juga kata kerja keempat, yang muncul dalam ayat terakhir Bacaan Injil hari ini : “Yesus tinggal seorang diri” (ayat 36). Ia tinggal, sementara segala sesuatu yang lain berlalu kecuali gema "kesaksian" Bapa : "Dengarkanlah Dia" (ayat 35). Bacaan Injil diakhiri dengan membawa kita kembali kepada apa yang penting. Kita sering tergoda, dalam Gereja dan dunia, dalam kerohanian kita dan dalam masyarakat kita, untuk lebih mengutamakan kepentingan banyak kebutuhan sekunder. Menjadikan sejumlah kebutuhan sekunder sebagai yang utama merupakan godaan setiap hari. Singkatnya, kita berisiko berfokus pada adat istiadat, kebiasaan, dan tradisi yang membuat hati kita terpaku pada hal-hal yang berlalu dan membuat kita melupakan apa yang tinggal. Betapa pentingnya kita bekerja menggunakan hati, sehingga kita dapat membedakan perkara Allah yang tinggal, dan perkara duniawi yang berlalu!

 

Saudara-saudari terkasih, semoga bapa suci kita Ignatius membantu kita menjaga kearifan, warisan berharga kita, sebagai harta yang selalu dicurahkan pada Gereja dan dunia. Karena kearifan memampukan kita untuk “melihat kembali segala sesuatu di dalam Kristus”. Memang, kearifan sangat penting, sehingga, sebagaimana ditulis Santo Petrus Faber, "kebaikan yang dapat dicapai, dipikirkan atau dikelola, dapat dilakukan dengan semangat yang baik, bukan yang jahat" (bdk. Memorial, Paris, 1959, no. .51). Amin.

______

 

(Peter Suriadi - Bogor, 13 Maret 2022)

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.