Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI MINGGU BIASA III (HARI MINGGU SABDA ALLAH) 22 Januari 2023 : TIGA ASPEK TUJUAN SABDA ALLAH

Bacaan Ekaristi : Yes. 8:23b-9:3; Mzm. 27:1,4,13-14; 1Kor. 1:10-13,17; Mat. 4:12-23.


Yesus meninggalkan kehidupan Nazaret yang tenang dan tersembunyi serta pindah ke Kapernaum, sebuah kota pelabuhan yang terletak di sepanjang Danau Galilea, di persimpangan berbagai bangsa dan budaya. Kemendesakan yang mendorong-Nya adalah pewartaan Sabda Allah, yang harus disampaikan kepada setiap orang. Memang, kita melihat dalam Injil bahwa Tuhan mengundang semua orang untuk bertobat dan memanggil para murid pertama agar mereka juga dapat menyebarkan terang Sabda Allah kepada orang lain (bdk. Mat 4:12-23). Marilah kita menghargai dinamisme ini, yang akan membantu kita menghayati Hari Minggu Sabda Allah : Sabda Allah adalah untuk semua orang, Sabda Allah memanggil setiap orang untuk bertobat, Sabda Allah menjadikan kita para pewarta.

 

Sabda Allah adalah untuk semua orang. Bacaan Injil menyajikan kepada kita Yesus yang selalu bergerak, dalam perjalanan-Nya kepada orang lain. Tidak pernah dalam kehidupan publik-Nya Ia memberi kita gagasan bahwa Ia adalah seorang guru yang tidak bergerak, seorang guru besar yang duduk di kursi; sebaliknya, kita melihat-Nya sebagai seorang pengembara, kita melihat-Nya sebagai seorang peziarah, bepergian melalui kota dan desa, menjumpai wajah-wajah dan kisah mereka. Kaki-Nya adalah kaki utusan yang mewartakan kabar baik tentang kasih Allah (bdk. Yes 52:7-8). Di Galilea, wilayah bangsa-bangsa lain, di jalur laut, di seberang sungai Yordan, di mana Yesus berkhotbah, ada – catatan teks – bangsa yang diam dalam kegelapan : orang-orang asing, para penyembah berhala, manusia dari berbagai daerah dan budaya (bdk. Mat 4: 15-16). Kini mereka juga bisa melihat terang. Maka Yesus “memperbesar batas” : Sabda Allah, yang menyembuhkan dan membangkitkan, tidak hanya diperuntukkan bagi orang benar Israel, tetapi untuk semua orang; dia ingin menjangkau mereka yang jauh, Ia ingin menyembuhkan orang-orang sakit, Ia ingin menyelamatkan para pendosa, Ia ingin mengumpulkan domba-domba yang hilang dan mengangkat orang-orang yang hatinya lelah dan tertindas. Singkatnya, Yesus 'menjangkau' untuk memberitahu kita bahwa belas kasihan Allah adalah untuk semua orang. Janganlah kita melupakan hal ini : belas kasihan Allah adalah untuk semua orang, untuk kita masing-masing. Setiap orang bisa berkata, “belas kasihan Allah untukku”.

 

Aspek ini juga dasariah bagi kita. Aspek ini mengingatkan kita bahwa Sabda Allah adalah karunia yang ditujukan kepada setiap orang; oleh karena itu kita tidak pernah dapat membatasi ranah tindakannya, karena di luar semua perhitungan kita, Sabda Allah muncul secara spontan, tidak terduga dan tidak dapat diprediksi (bdk. Mrk 4:26-28), dengan cara dan waktu yang diketahui oleh Roh Kudus. Terlebih lagi, jika keselamatan ditakdirkan untuk semua orang, bahkan orang yang paling jauh dan hilang, maka pewartaan Sabda Allah harus menjadi prioritas utama komunitas gerejawi, seperti halnya Yesus. Semoga tidak terjadi kita mengakui Allah dengan hati yang luas, namun menjadi Gereja dengan hati yang tertutup – hal ini, saya berani katakan, akan menjadi kutukan; semoga tidak terjadi kita mengkhotbahkan keselamatan untuk semua orang, namun menjadikan cara untuk menerimanya menjadi tidak praktis; semoga tidak terjadi kita menyadari bahwa kita dipanggil untuk mewartakan Kerajaan, namun mengabaikan Sabda Allah, kehilangan diri kita dalam begitu banyak kegiatan atau diskusi sekunder. Marilah kita belajar dari Yesus untuk menempatkan Sabda Allah sebagai pusat, memperluas batasan kita, membuka diri kita terhadap orang lain, dan mengembangkan pengalaman perjumpaan dengan Tuhan, menyadari bahwa Sabda Allah “tidak terbungkus dalam rumusan abstrak atau statis, tetapi memiliki kekuatan dinamis dalam sejarah yang berupa orang-orang dan peristiwa-peristiwa, perkataan dan perbuatan, perkembangan dan ketegangan”.[1]

 

Sekarang marilah kita sampai pada aspek kedua : Sabda Allah, yang ditujukan kepada semua orang, mengajak semua orang untuk bertobat. Nyatanya, Yesus mengulangi dalam khotbah-Nya : “"Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!” (Mat 4:17). Ini berarti kedekatan dengan Allah bukanlah hal yang remeh, kehadiran-Nya tidak meninggalkan segala sesuatu sebagaimana adanya, tidak menganjurkan kehidupan yang tenang. Sebaliknya, Sabda-Nya mengguncang kita, mengganggu kita, mendorong kita untuk berubah, untuk bertobat. Sabda-Nya melemparkan kita ke dalam krisis karena Sabda-Nya “hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua mana pun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita” (Ibr 4:12). Seperti pedang, Sabda Allah menembus kehidupan, memampukan kita melakukan pembedaan roh terhadap perasaan dan pikiran hati, yaitu, membuat kita melihat di mana terang kebaikan harus diberi ruang dan di mana, sebaliknya, kegelapan pekat kejahatan dan dosa harus ditentang. Saat memasuki diri kita, Sabda Allah mengubah hati dan pikiran kita; sabda Allah mengubah diri kita dan menuntun kita untuk mengarahkan hidup kita kepada Tuhan.

 

Inilah undangan Yesus : Allah telah datang dekat denganmu; kenali kehadiran-Nya, berikan ruang untuk sabda-Nya, dan kamu akan mengubah pandangan hidupmu. Saya juga bisa mengatakannya seperti ini : letakkan hidupmu di bawah sabda Allah. Inilah jalan yang ditunjukkan Gereja kepada kita. Kita semua, bahkan para gembala Gereja, berada di bawah otoritas sabda Allah. Bukan karena selera, kecenderungan dan kecenderungan kita, tetapi di bawah satu Sabda Allah yang membentuk kita, mempertobatkan kita dan memanggil kita untuk dipersatukan dalam satu Gereja Kristus. Jadi, saudara-saudari, kita bisa bertanya pada diri kita sendiri : Ke mana arah hidupku, dari mana pedomannya? Dari banyak “perkataan” yang kudengar, dari ideologi, atau dari sabda Allah yang menuntun dan menyucikan diriku? Apa saja aspek dalam diriku yang membutuhkan perubahan dan pertobatan?

 

Akhirnya – langkah ketiga – Sabda Allah, yang ditujukan kepada semua orang dan memanggil kita untuk bertobat, menjadikan kita pewarta. Memang, Yesus berjalan di sepanjang pantai Danau Galilea dan memanggil Simon dan Andreas, dua bersaudara yang adalah nelayan. Dengan Sabda-Nya Ia mengundang mereka untuk mengikuti-Nya, memberitahu mereka bahwa Ia akan menjadikan mereka "penjala manusia" (Mat. 4:19) : tidak lagi hanya mahir dalam urusan perahu, jala dan ikan, tetapi mahir dalam mencari sesama. Dan sama seperti dalam berlayar dan menangkap ikan mereka telah belajar untuk meninggalkan pantai dan menebarkan jala ke tempat yang dalam, dengan cara yang sama mereka akan menjadi rasul yang mampu berlayar di laut lepas dunia, pergi keluar untuk berjumpa saudara-saudari mereka dan mewartakan sukacita Injil. Inilah dinamisme Sabda Allah : Sabda Allah menarik kita ke dalam “jaring” kasih Bapa dan menjadikan kita para rasul yang digerakkan oleh keinginan yang tak terpadamkan untuk membawa semua orang yang kita jumpai ke dalam perahu Kerajaan Allah. Ini bukan penyebaran agama karena sabda Allahlah yang memanggil kita, bukan perkataan kita sendiri.

 

Hari ini marilah kita juga mendengar ajakan untuk menjadi penjala manusia : marilah kita merasa bahwa kita dipanggil oleh Yesus secara pribadi untuk mewartakan Sabda-Nya, memberikan kesaksian tentangnya dalam kehidupan sehari-hari, menghayatinya dalam keadilan dan amal kasih, dipanggil untuk “mendagingkannya” dengan merawat orang-orang yang menderita dengan lembut. Inilah perutusan kita : menjadi pencari orang yang tersesat, tertindas dan putus asa, bukan untuk membawakan mereka diri kita, tetapi penghiburan Sabda Allah, pewartaan Allah yang mengganggu yang mengubah rupa kehidupan, membawa sukacita memahami Ia adalah Bapa kita yang menyapa kita masing-masing, membawa keindahan dengan mengatakan, “Saudara, saudari, Allah telah datang dekat denganmu, dengarkanlah dan kamu akan menemukan dalam sabda-Nya karunia yang menakjubkan!”.

 

Saudara-saudari, saya ingin mengakhiri dengan berterima kasih semata kepada mereka yang bekerja untuk memastikan bahwa Sabda Allah dibagikan, diwartakan dan ditempatkan di pusat kehidupan kita. Terima kasih kepada mereka yang mempelajari dan mendalami kekayaan Sabda Allah. Terima kasih kepada para pekerja pastoral dan kepada semua umat Kristiani yang terlibat dalam karya memperdengarkan dan menyebarkan Sabda Allah, terutama para lektor dan katekis. Hari ini saya akan menganugerahkan pelayanan ini kepada beberapa dari kamu. Terima kasih kepada mereka yang telah menerima banyak undangan yang telah saya buat untuk membawa Injil ke mana-mana dan membacanya setiap hari. Dan akhirnya, saya secara khusus berterima kasih kepada para diakon dan imam kita. Terima kasih saudara-saudara terkasih, karena kamu tidak membiarkan umat Allah yang kudus kehilangan santapan sabda Allah. Terima kasih telah berkomitmen untuk merenungkannya, mengamalkannya, dan mewartakannya. Terima kasih atas jasa dan pengorbananmu. Kiranya sukacita manisnya pewartaan Sabda keselamatan menjadi penghiburan dan ganjaran bagi kita semua.


(Peter Suriadi - Bogor, 22 Januari 2023)



[1]Sabda Allah dalam Kehidupan dan Perutusan Gereja, Sarana Kerja untuk Sidang Umum Biasa Sinode Para Uskup XII, 2008, no. 10.

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI RAYA PENAMPAKAN TUHAN 6 Januari 2023 : TIGA TEMPAT KITA DAPAT BERJUMPA TUHAN

Bacaan Ekaristi : Yes. 60:1-6; Mzm. 72:1-2,7-8,10-11,12-13; Ef. 3:2-3a, 5-6; Mat. 2:1-12.

 

Laksana bintang terbit (bdk. Bil 24:17), Yesus datang untuk menerangi semua orang dan menerangi malam umat manusia. Hari ini, bersama para Majus, marilah kita menengadah ke surga dan bertanya : “Di manakah Anak yang baru dilahirkan itu?" (Mat 2:2). Di mana kita dapat menemukan dan menjumpai Tuhan kita?

 

Dari pengalaman para Majus, kita belajar bahwa “tempat” pertama yang Ia sukai untuk dicari adalah pertanyaan yang menggelisahkan. Petualangan menarik para bijak dari Timur ini mengajarkan kita bahwa iman tidak lahir dari ganjaran, pemikiran, dan teori kita. Iman justru merupakan karunia Allah. Rahmat-Nya membantu kita menghilangkan sikap acuh tak acuh kita dan membuka pikiran kita untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan penting dalam hidup. Pertanyaan-pertanyaan yang menantang kita untuk meninggalkan anggapan bahwa kita semuanya baik-baik saja, pertanyaan-pertanyaan yang membuka kita kepada apa yang ada di luar jangkauan kita. Bagi para Majus, itulah awalnya : kegelisahan yang membuat mereka ingin bertanya. Dipenuhi dengan kerinduan akan sosok yang tak terbatas, mereka memindai langit, menemukan diri mereka mengagumi kecemerlangan bintang, serta mengalami pencarian sosok yang transenden yang mengilhami kemajuan peradaban dan pencarian hati manusia yang tak kenal lelah. Bintang itu meninggalkan mereka dengan sebuah pertanyaan : Di manakah Anak yang baru dilahirkan itu?


Saudara-saudari, perjalanan iman dimulai setiap kali, berkat rahmat Allah, kita memberi ruang bagi kegelisahan yang membuat kita tetap terjaga dan waspada. Perjalanan iman dimulai ketika kita bersedia untuk mengajukan pertanyaan, ketika kita tidak puas dengan rutinitas harian kita dan menganggap serius tantangan setiap hari. Ketika kita melangkah keluar dari zona nyaman kita dan memutuskan untuk menghadapi aspek-aspek kehidupan yang tidak nyaman : hubungan kita dengan orang lain, kejadian tak terduga, proyek yang perlu dikerjakan, impian yang harus diwujudkan, ketakutan yang harus dihadapi, penderitaan fisik dan mental. Pada saat-saat seperti itu, jauh di lubuk hati kita, kita dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan yang tak tertahankan yang menuntun kita untuk mencari Tuhan : Di manakah aku menemukan kebahagiaan? Di mana aku menemukan kepenuhan hidup yang kucita-citakan? Di manakah aku menemukan kasih yang tidak memudar, kasih yang bertahan bahkan di hadapan kelemahan, kegagalan, dan pengkhianatan? Peluang tersembunyi apa yang ada di tengah krisis dan penderitaanku?


Namun setiap hari udara yang kita hirup penuh dengan "penenang jiwa", pengganti yang dimaksudkan untuk menenangkan kegelisahan batin kita dan menekan pertanyaan-pertanyaan tersebut : barang baru untuk dikonsumsi, janji kesenangan kosong dan kontroversi media tanpa henti, penyembahan berhala kebugaran. Semuanya sepertinya memberitahu kita: Jangan terlalu memikirkan banyak hal; lepaskanlah dan nikmatilah hidup! Seringkali kita mencoba menenangkan hati kita dengan kenyamanan ciptaan. Jika para Majus melakukan itu, mereka tidak akan pernah bertemu dengan Tuhan. Bahayanya adalah kita menenangkan hati kita, menenangkan jiwa kita untuk memadamkan kegelisahan batin kita. Tetapi, Allah selalu ada, di sana dalam pertanyaan kita yang gelisah. Dalam pertanyaan itu, kita “mencari-Nya seperti malam mencari fajar… Ia hadir dalam kesunyian yang menyusahkan kita dalam menghadapi kematian dan akhir seluruh keagungan manusia. Ia hadir dalam kerinduan akan keadilan dan kasih jauh di lubuk hati kita. Ia adalah misteri suci yang menjawab kerinduan kita akan sosok yang lain sepenuhnya; kerinduan akan keadilan, rekonsiliasi, dan perdamaian yang sempurna dan terlaksana” (C.M. Matini, Incontri al Signore Risorto. Il cuore dello spirito cristiano, Cinisello Balsamo, 2012, 66). Maka, itulah tempat pertama di mana kita dapat berjumpa Tuhan : dalam pertanyaan yang menggelisahkan. Jangan takut untuk masuk ke dalam pertanyaan yang menggelisahkan ini, karena itulah jalan yang membawa kita kepada Yesus.

 

Tempat kedua adalah dalam risiko bepergian. Mempertanyakan, termasuk pertanyaan rohani, dapat menyebabkan frustrasi dan kesedihan kecuali kita memulai suatu perjalanan, kecuali kita mengarahkan diri kita, dalam kedalaman keberadaan kita, kepada wajah Allah dan keindahan sabda-Nya. Benediktus XVI berkata tentang para Majus : “Peziarahan lahiriah mereka adalah ungkapan perjalanan batin mereka, peziarahan batin hati mereka” (Homili Hari Raya Penampakan Tuhan, 6 Januari 2013). Para Majus sebenarnya tidak hanya mempelajari langit dan merenungkan cahaya bintang; mereka memulai perjalanan yang penuh risiko, tanpa jalan yang aman dan peta yang jelas. Mereka ingin menemukan Raja orang Yahudi ini, untuk mengetahui di mana Ia dilahirkan, di mana mereka dapat menemukan-Nya. Maka, mereka bertanya kepada Herodes, yang pada gilirannya memanggil para pemuka rakyat dan para ahli Taurat yang mempelajari Kitab Suci. Para Majus sedang dalam perjalanan; sebagian besar kata kerja yang digunakan untuk menggambarkannya adalah kata kerja gerakan.

Hal yang sama berlaku untuk iman kita : tanpa perjalanan terus menerus dalam dialog terus-menerus dengan Tuhan, tanpa mendengarkan sabda-Nya dengan penuh perhatian, tanpa ketekunan, iman tidak dapat tumbuh. Tidaklah cukup hanya memikirkan gagasan yang kabur tentang Allah, mengucapkan doa yang menenangkan hati nurani kita. Kita perlu menjadi murid, mengikuti Yesus dan Injil-Nya, membawa segalanya kepada-Nya dalam doa, mencari Dia dalam peristiwa-peristiwa kehidupan kita sehari-hari dan di hadapan saudara-saudari kita. Dari Abraham, yang berangkat ke tanah yang tidak diketahui, hingga para Majus, yang berangkat mengikuti bintang, iman selalu merupakan perjalanan, peziarahan, sejarah awal dan awal kembali. Janganlah kita pernah lupa bahwa iman adalah sebuah perjalanan, sebuah peziarahan, sebuah sejarah awal dan awal kembali. Marilah kita mengingatkan diri kita bahwa iman yang statis tidak bertumbuh; kita tidak dapat mengurung iman dalam suatu devosi pribadi atau membatasinya di dalam keempat tembok gereja kita; kita perlu membawanya ke luar dan menjalaninya dalam perjalanan terus-menerus menuju Allah dan saudara-saudari kita. Hari ini, marilah kita bertanya pada diri kita : Apakah aku melakukan perjalanan menuju Tuhan kehidupan, untuk menjadikan-Nya Tuhan atas hidupku? Yesus, siapa Engkau bagiku? Ke mana Engkau sedang memanggilku untuk pergi, dan apa yang Engkau mohonkan dari hidupku? Keputusan apa yang Engkau ajak untuk kuperbuat demi orang lain?

 

Akhirnya, setelah bertanya-tanya tanpa henti dan risiko melakukan perjalanan, tempat ketiga di mana kita berjumpa dengan Tuhan adalah keheranan penyembahan. Di akhir perjalanan panjang dan pencarian yang melelahkan, para Majus memasuki rumah, di mana “mereka melihat Anak itu bersama Maria, ibu-Nya, lalu sujud menyembah Dia” (ayat 11). Inilah yang benar-benar penting : kegelisahan kita, pertanyaan kita, perjalanan rohani kita dan penerapan iman kita semuanya harus menyatu dalam penyembahan kepada Tuhan. Di sana mereka menemukan pusat dan sumbernya, karena di sanalah segala sesuatu dimulai, karena Tuhan sendiri memampukan kita untuk merasakan dan bertindak. Semuanya dimulai dan diakhiri di sana, karena tujuan dari segala sesuatu bukanlah untuk mencapai tujuan pribadi atau menerima kemuliaan bagi diri kita, tetapi berjumpa Allah. Membiarkan diri kita diselimuti oleh kasih-Nya, yang menjadi dasar pengharapan kita, yang membebaskan kita dari kejahatan, membuka hati kita untuk mengasihi sesama, dan menjadikan kita umat yang mampu membangun dunia yang lebih adil dan bersaudara. Kegiatan pastoral kita tidak akan membuahkan hasil kecuali kita menempatkan Yesus sebagai pusatnya dan bersujud di hadapan-Nya. Keheranan penyembahan. Kemudian kita akan belajar untuk berdiri di hadapan Allah, bukan untuk meminta sesuatu atau melakukan sesuatu, tetapi hanya berhenti dalam diam dan menyerahkan diri kita pada kasih-Nya, membiarkan Ia memegang tangan kita dan memulihkan kita dengan belas kasihan-Nya. Kita sering berdoa, meminta sesuatu atau merenung … tetapi biasanya kita melupakan doa penyembahan. Kita telah kehilangan rasa penyembahan karena kita telah kehilangan pertanyaan yang menggelisahkan dan kehilangan keberanian untuk melanjutkan perjalanan kita dengan segala resikonya. Hari ini, Tuhan memanggil kita untuk meneladan para Majus. Seperti para Majus, marilah kita bersujud dan mempercayakan diri kita kepada Allah dalam keheranan penyembahan. Marilah kita menyembah Allah, bukan diri kita; marilah kita menyembah Allah dan bukan berhala palsu yang tergoda oleh daya pikat kebanggaan atau kekuasaan, atau daya pikat berita palsu; marilah kita mengasihi Allah dan tidak tunduk sebelum melewati hal-hal dan pikiran jahat, menggoda namun hampa dan kosong.

 

Saudara-saudara, marilah kita membuka hati kita terhadap kegelisahan, marilah kita memohon keberanian untuk melanjutkan perjalanan kita, dan marilah kita menyelesaikan dalam penyembahan! Janganlah kita takut, karena inilah jalan para Majus, jalan semua orang kudus sepanjang sejarah : menyambut kegelisahan kita, berangkat dan menyembah. Saudara-saudari, semoga kita tidak pernah berhenti bertanya tanpa henti; semoga kita tidak pernah mengganggu perjalanan kita dengan menyerah pada sikap acuh tak acuh atau kenyamanan; dan dalam perjumpaan kita dengan Tuhan, semoga kita menyerahkan diri pada keheranan penyembahan. Kemudian kita akan menemukan bahwa terang bersinar bahkan di malam yang paling gelap : terang Yesus, bintang fajar yang bersinar, matahari keadilan, kemegahan belas kasih Allah, yang mengasihi setiap manusia, dan semua orang di bumi.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 6 Januari 2023)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA PEMAKAMAN PAUS EMERITUS BENEDIKTUS XVI 5 Januari 2023

Bacaan Ekaristi : Yes 29:16-19; 1Ptr 1:3-9; Luk 23:39-46.

 

“Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku" (Luk 23:46). Ini adalah kata-kata terakhir yang diucapkan oleh Tuhan di kayu salib; napas terakhir-Nya, seolah-olah, yang merangkum seluruh hidup-Nya : penyerahan diri tanpa henti ke tangan Bapa-Nya. Tangan-Nya adalah pengampunan dan kasih sayang, penyembuhan dan belas kasihan, pengurapan dan berkat, yang juga menuntun-Nya untuk mempercayakan diri ke tangan saudara-saudari-Nya. Tuhan, terbuka terhadap setiap orang dan kisah mereka yang Ia jumpai di sepanjang jalan, memperkenankan diri-Nya dibentuk oleh kehendak Bapa. Ia memikul seluruh akibat dan kesulitan yang ditimbulkan oleh Injil, bahkan sampai melihat tangannya tertusuk demi kasih. “Lihatlah tangan-Ku”, katanya kepada Tomas (Yoh 20:27), dan kepada kita masing-masing : “Lihatlah tangan-Ku”. Tangan tertusuk yang terus-menerus menjangkau kita, mengundang kita untuk mengenali kasih Allah kepda kita dan mempercayai kasih itu (bdk. 1 Yoh 4:16).[1]

 

"Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku". Inilah ajakan dan program hidup yang secara diam-diam Ia ilhamkan dalam diri kita. Seperti seorang tukang periuk (bdk. Yes 29:16), Ia ingin membentuk hati setiap gembala, sampai selaras dengan hati Kristus Yesus (bdk. Flp 2:5). Selaras dalam pengabdian penuh syukur, dalam pelayanan kepada Tuhan dan umat-Nya, sebuah pelayanan yang lahir dari ucapan syukur atas karunia yang sangat berlimpah : “Engkau kepunyaan-Ku… engkau kepunyaan mereka”, Tuhan berbisik, “engkau berada di bawah perlindungan tangan-Ku. Engkau berada di bawah perlindungan hati-Ku. Tetaplah di dalam tangan-Ku dan berikanlah kepunyaanmu”.[2] Di sini kita melihat "kerendahan hati" dan kedekatan Allah, yang siap mempercayakan diri-Nya ke dalam tangan murid-murid-Nya yang lemah, agar mereka dapat menggembalakan umat-Nya dan mengatakan bersama-Nya : Ambil dan makanlah, ambil dan minumlah, karena inilah tubuh-Ku yang diserahkan bagimu (bdk. Luk 22:19). Synkatabasis ("pembungkukan") Allah yang sempurna.

 

Selaras dalam pengabdian yang sarat doa, pengabdian yang diam-diam dibentuk dan disempurnakan di tengah tantangan dan perlawanan yang harus dihadapi setiap gembala (bdk. 1Ptr 1:6-7) dalam mempercayai ketaatan kepada perintah Tuhan untuk menggembalakan kawanan domba-Nya (bdk. Yoh 21:17). Laksana seorang Guru, seorang gembala memikul beban pengantaraan dan tekanan mengurapi umatnya, terutama dalam situasi di mana kebaikan harus berjuang untuk menang dan martabat saudara-saudari kita terancam (bdk. Ibr 5:7-9). Dalam doa pengantaraan ini, Tuhan diam-diam menganugerahkan roh kelemahlembutan yang siap untuk memahami, menerima, berharap dan mengambil risiko, terlepas dari kesalahpahaman yang mungkin terjadi. Sumber kelimpahan yang tak terlihat dan sulit dipahami, yang lahir karena sang gembala tahu kepada siapa ia harus mengandalkan (bdk. 2 Tim 1:12). Sebuah kepercayaan yang lahir dari doa dan penyembahan, mampu memahami apa yang diharapkan dari seorang gembala serta membentuk hati dan keputusannya selaras dengan baiknya waktu Allah (bdk. Yoh 21:18) : “Menggembalakan berarti mengasihi, dan mengasihi juga berarti siap menderita. Mengasihi berarti memberi domba apa yang benar-benar baik, memelihara kebenaran Allah, sabda Allah, memelihara kehadiran-Nya”.[3]

 

Selaras pula dalam pengabdian yang ditopang oleh penghiburan Roh, yang selalu mendahului gembala dalam perutusannya. Dalam usahanya yang penuh semangat untuk mengomunikasikan keindahan dan sukacita Injil (bdk. Gaudete et Exsultate, 57). Dalam kesaksian yang berbuah dari semua orang yang, seperti Maria, dalam banyak hal berdiri di kaki salib. Dalam ketenangan yang menyakitkan namun tabah yang tidak menyerang atau memaksa. Dalam pengharapan yang gigih namun sabar bahwa Tuhan akan setia pada janji-Nya, janji yang Ia buat kepada nenek moyang kita dan keturunan mereka selamanya (bdk. Luk 1:54-55).

 

Berpegang teguh pada kata-kata terakhir Tuhan dan kesaksian sepanjang hidup-Nya, kita juga, sebagai komunitas gerejawi, ingin mengikuti jejak-Nya dan menyerahkan saudara kita ke tangan Bapa. Semoga tangan yang penuh belas kasih itu mendapati pelitanya menyala dengan minyak Injil yang ia sebarkan dan beri kesaksian sepanjang hidupnya (bdk. Mat 25:6-7).

 

Di akhir Regula Pastoralnya, Santo Gregorius Agung mendesak seorang rekannya untuk memberikan pendampingan rohani ini kepadanya : “Di tengah kandasnya kehidupan sekarang, dukunglah aku, aku mohon, dengan pokok doamu, agar, sejak aku sendiri menenggelamkan bebanku, tangan pahalamu sudi mengangkatku”. Di sini kita melihat kesadaran seorang gembala yang tidak dapat memikul sendiri apa yang sebenarnya tidak dapat ia pikul, dan dengan demikian dapat mempersembahkan dirinya untuk mendoakan dan memperhatikan umat yang dipercayakan kepadanya.[4] Umat Allah yang setia, yang berkumpul di sini, sekarang menemani dan mempercayakan kepadanya kehidupan orang-orang yang menjadi gembala mereka. Seperti para perempuan di depan kubur, kita juga datang dengan keharuman syukur dan balsem harapan, untuk sekali lagi menunjukkan kasih yang abadi. Kita ingin melakukan ini dengan kebijaksanaan, kelembutan, dan devosi yang sama yang ia berikan kepada kita selama bertahun-tahun. Bersama-sama, kita ingin mengatakan : "Bapa, ke dalam tanganmu kami menyerahkan nyawanya".

 

Benediktus, sahabat setia Sang Mempelai Laki-Laki, semoga sukacitamu menjadi lengkap saat engkau mendengar suara-Nya, sekarang dan selamanya!

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 6 Januari 2023)



[1]bdk. Benediktus XVI, Deus Caritas Est, 1.

[2]bdk. Benediktus XVI, Homili Misa Krisma, 13 April 2006.

[3]Benediktus XVI, Homili Permulaan Masa Kepausan, 24 April 2005.

[4]Benediktus XVI, Homili Permulaan Masa Kepausan, 24 April 2005.

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI RAYA SANTA MARIA BUNDA ALLAH (HARI PERDAMAIAN SEDUNIA KE-56) 1 JanuarI 2023 : CEPAT-CEPAT BERANGKAT DAN MENJUMPAI

Bacaan Ekaristi : Bil. 6:22-27; Mzm. 67:2-3,5,6,8; Gal. 4:4-7; Luk. 2:16-21.

 

Bunda Allah yang kudus! Ini adalah seruan penuh sukacita Umat Allah yang bergema di jalan-jalan Efesus pada tahun 431, ketika para Bapa Konsili menyatakan Maria sebagai Bunda Allah. Kebenaran ini adalah data iman yang dasariah, tetapi terutama, adalah fakta yang luar biasa. Allah memiliki ibu dan dengan demikian terikat selamanya dengan kemanusiaan kita, seperti seorang anak dengan ibunya, sampai-sampai kemanusiaan kita adalah kemanusiaan-Nya. Kebenaran yang menakjubkan dan menghibur tersebut, sedemikian rupa sehingga Konsili terbaru, yang bertemu di sini di Santo Petrus, menyatakan bahwa, “Sebab Dia, Putera Allah, dalam penjelmaan-Nya dengan cara tertentu telah menyatukan diri dengan setiap orang. Ia telah bekerja memakai tangan manusiawi, Ia berpikir memakai akal budi manusiawi, Ia bertindak atas kehendak manusiawi[ ], Ia mengasihi dengan hati manusiawi. Ia telah lahir dari Perawan Maria, sungguh menjadi salah seorang di antara kita, dalam segalanya sama seperti kita, kecuali dalam hal dosa” (Gaudium et Spes, 22). Itulah apa yang dilakukan Allah dengan dilahirkan dari Maria : Ia menunjukkan kasih-Nya yang nyata bagi kemanusiaan kita, merangkulnya dengan sungguh-sungguh dan sepenuhnya. Saudara dan saudari, Allah tidak mengasihi kita dengan kata-kata tetapi dengan perbuatan; bukan dari “tempat tinggi”, tetapi “dari dekat”, tepatnya dari “di dalam” daging kita, karena di dalam Maria Sabda menjadi daging, karena Kristus terus memiliki hati daging yang berdetak untuk kita masing-masing!

 

Bunda Allah yang kudus! Banyak buku dan kitab tebal telah ditulis tentang gelar Bunda Maria ini. Namun kata-kata ini sebagian besar memasuki pikiran dan hati Umat Allah yang kudus melalui doa sederhana dan akrab yang mengiringi irama hari-hari kita, saat-saat kelelahan kita dan pengharapan terbesar kita : Salam Maria. Setelah beberapa kalimat diambil dari sabda Allah, bagian kedua dari doa itu berlanjut : “Santa Maria, Bunda Allah, doakanlah kami yang berdosa ini…”. Doa ini, yang sering diulang sepanjang hari, telah memungkinkan Allah untuk mendekati, melalui Maria, hidup dan sejarah kita. Bunda Allah, doakanlah kami yang berdosa… Doa itu diucapkan dalam berbagai bahasa, pada manik-manik rosario dan pada saat dibutuhkan, di hadapan gambar suci atau selama perjalanan. Doa ini senantiasa ditanggapi oleh Bunda Allah; ia mendengar permohonan kita; menggendong Putranya, ia memberkati kita dan memberi kita kasih lembut Allah yang menjadi manusia. Singkatnya, Maria memberi kita harapan. Di awal tahun ini, kita membutuhkan harapan, sebagaimana bumi membutuhkan hujan. Tahun ini yang dibuka dengan Hari Raya Santa Maria Bunda Allah dan hari raya kita, memberitahu kita bahwa kunci pengharapan adalah Maria dan antifon pengharapan adalah seruan, Bunda Allah yang kudus. Dan hari ini, kita mempercayakan Paus Emeritus Benediktus XVI yang terkasih kepada Bunda Tersuci kita, agar ia sudi menemaninya dalam perjalanannya dari dunia ini menuju Allah.

 

Marilah secara khusus kita berdoa kepada Bunda kita untuk putra-putrinya yang sedang menderita dan tidak lagi memiliki kekuatan untuk berdoa, serta untuk banyak saudara dan saudari kita di seluruh dunia yang menjadi korban perang, melewati liburan ini dalam kegelapan dan kedinginan, dalam kemiskinan dan ketakutan, tenggelam dalam kekerasan dan ketidakpedulian! Bagi semua orang yang tidak memiliki kedamaian, marilah kita memohon kepada Maria, perempuan yang melahirkan Sang Raja Damai ke dunia (bdk. Yes 9:6; Gal 4:4). Di dalam dirinya, Sang Ratu Damai dipenuhi berkat yang kita dengar dalam Bacaan pertama : “Tuhan menghadapkan wajah-Nya kepadamu dan memberi engkau damai sejahtera” (Bil 6:26). Di tangan seorang ibu, damai sejahtera Allah ingin masuk ke dalam rumah, hati dan dunia kita. Tetapi apa yang harus kita lakukan untuk menerima damai sejahtera itu?

 

Marilah kita dibimbing oleh orang-orang yang kita jumpai dalam Bacaan Injil hari ini, yang pertama kali melihat Ibu dan Sang Anak: para gembala Betlehem. Mereka adalah kaum miskin dan mungkin agak canggung, dan malam itu mereka sedang bekerja. Tetapi mereka, bukan kaum terpelajar atau kaum yang berkuasa, yang pertama kali mengenali Allah di antara kita, Allah yang menjadi miskin dan senang berada bersama kaum miskin. Bacaan Injil menekankan dua hal yang sangat sederhana yang dilakukan para gembala tersebut : hal-hal yang sederhana tetapi tidak senantiasa mudah. Mereka berangkat dan menjumpai. Dua tindakan : berangkat dan menjumpai.

 

Pertama, berangkat. Bacaan Injil memberitahu kita bahwa para gembala “cepat-cepat berangkat” (Luk 2:16). Mereka tidak menunggu. Saat itu malam, mereka harus menjaga kawanan domba mereka, dan tentu saja mereka lelah : mereka dapat dengan mudah menunggu fajar, menunggu sampai matahari terbit untuk berangkat dan menjumpai Sang Anak yang terbaring di dalam palungan. Sebaliknya, mereka cepat-cepat berangkat, karena jika menyangkut hal-hal penting, kita perlu segera bereaksi dan tidak menunggu, karena “rahmat Roh Kudus tidak dapat ditunda” (Santo Ambrosius, Ulasan tentang Santo Lukas, 2). Maka mereka menjumpai Sang Mesias, yang ditunggu selama berabad-abad, yang telah lama dicari oleh banyak orang.

 

Saudara dan saudari, jika kita ingin menyambut Allah dan damai sejahtera-Nya, kita tidak bisa berpuas diri, menunggu keadaan menjadi lebih baik. Kita perlu bangun, mengenali saat-saat rahmat, berangkat dan mengambil risiko. Kita perlu mengambil risiko! Hari ini, di awal tahun, daripada berdiam diri, berpikir dan berharap bahwa keadaan akan berubah, kita malah harus bertanya pada diri kita : “Tahun ini, ke mana aku ingin berangkat? Siapa yang bisa kubantu?” Begitu banyak orang, di dalam Gereja dan masyarakat, sedang menunggu kebaikan yang kamu dan kamu sendiri dapat lakukan, mereka menunggu bantuanmu. Hari ini, di tengah kelesuan yang menumpulkan indra kita, ketidakpedulian yang melumpuhkan hati kita, dan godaan untuk membuang waktu terpaku pada papan ketik di depan layar komputer, para gembala memanggil kita untuk berangkat dan terlibat dalam dunia kita, mengotori tangan kita dan melakukan kebaikan. Mereka sedang mengundang kita untuk menyingkirkan banyak rutinitas dan kenyamanan kita guna membuka diri kita terhadap hal-hal baru Allah, yang ditemukan dalam kerendahan hati pelayanan, dalam keberanian memedulikan orang lain. Saudara-saudara, marilah kita meneladan para gembala : marilah kita cepat-cepat berangkat!

 

Ketika mereka tiba, Bacaan Injil memberitahu kita, para gembala “menjumpai Maria dan Yusuf dan bayi itu, yang sedang berbaring di dalam palungan” (ayat 16). Kemudian dikatakan bahwa "setelah menjumpai" Sang Anak (bdk. ayat 17), mereka berangkat, dengan penuh keheranan, untuk menceritakan kepada orang lain tentang Yesus, memuliakan dan memuji Allah atas segala sesuatu yang telah mereka dengar dan lihat (bdk. ayat 17-18, 20). Yang penting mereka telah menjumpai-Nya. Yang penting adalah menjumpai, menjumpai sekeliling dan, seperti para gembala, berhenti di depan Sang Anak yang beristirahat dalam pelukan ibu-Nya. Tidak mengatakan apa-apa, tidak bertanya apa-apa, tidak melakukan apa-apa. Hanya menjumpai dalam keheningan, menyembah serta merenungkan kasih Allah yang lembut dan menghibur yang menjadi manusia, dan Bunda-Nya, dan Bunda kita. Di awal tahun ini, di antara semua hal lain yang ingin kita lakukan dan alami, marilah kita mencurahkan waktu untuk menjumpai, membuka mata kita dan menjaganya tetap terbuka di hadapan apa yang benar-benar penting : Allah dan saudara-saudara kita. Marilah kita berani mengalami keajaiban perjumpaan, yang merupakan gaya Allah. Itu adalah sesuatu yang sangat berbeda dengan rayuan dunia, yang tampaknya menenangkan kita. Keajaiban Allah dan keajaiban perjumpaan memberi kita kedamaian; dunia hanya bisa membius kita dan memberikan ketenangan pikiran.

 

Berapa kali, dalam kehidupan kita yang sibuk, kita gagal untuk berhenti, bahkan sesaat, dekat dengan Tuhan dan mendengarkan sabda-Nya, berdoa, menyembah dan memuji-Nya. Kita melakukan hal yang sama dengan orang lain : terjebak dalam urusan kita atau untuk maju, kita tidak punya waktu untuk mendengarkan istri kita, suami kita, berbicara dengan anak-anak kita, bertanya kepada mereka tentang bagaimana diri mereka sesungguhnya, dan tidak hanya tentang studi mereka atau kesehatan mereka. Dan alangkah baiknya kita meluangkan waktu dan mendengarkan kaum tua, kakek dan nenek kita, untuk mengingat makna hidup kita yang lebih dalam dan memulihkan akar kita. Marilah kita juga bertanya pada diri kita, apakah kita mampu melihat orang-orang di sebelah, orang-orang yang tinggal di gedung yang sama, orang-orang yang kita jumpai setiap hari di jalan. Saudara-saudara, marilah kita meneladan para gembala : marilah kita belajar menjumpai! Memahami dengan menjumpai dengan hati kita. Marilah kita belajar menjumpai.

 

Berangkat dan menjumpai. Hari ini Tuhan telah datang di antara kita dan Bunda Allah yang kudus menempatkannya di depan mata kita. Marilah kita temukan kembali semangat untuk berangkat dan keajaiban melihat rahasia yang dapat membuat tahun ini benar-benar “baru”, dan dengan demikian mengatasi keletihan terjebak atau kedamaian palsu dari rayuan.

 

Dan kini, saudara-saudari, saya mengundang kamu semua untuk memandang Perawan Maria. Marilah kita memanggilnya tiga kali, sebagaimana dilakukan oleh jemaat Efesus: Bunda Allah yang kudus! Bunda Allah yang kudus! Bunda Allah yang kudus!

______

(Peter Suriadi - Bogor, 1 Januari 2023)