Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA PERINGATAN 50 TAHUN BERDIRINYA DEWAN KONFERENSI WALIGEREJA EROPA DI BASILIKA SANTO PETRUS (VATIKAN) 23 September 2021 : MEMPERHATIKAN, MEMBANGUN KEMBALI DAN BERTEMU

 

Bacaan Ekaristi : Hag. 1:1-8; Mzm. 149:1-2,3-4,5-6a,9b; Luk. 9:7-9.

 

Hari ini sabda Allah memberi kita tiga kata yang menantang kita sebagai umat Kristiani dan para uskup Eropa : memperhatikan, membangun kembali, dan bertemu.

 

Memperhatikan. Jadi Tuhan memberitahu kita, melalui nabi Hagai. Dua kali Ia berkata kepada umat : "Perhatikanlah keadaanmu!" (Hag 1:5.7). “Keadaan” mana yang hendaknya diperhatikan oleh umat Allah? Marilah kita mendengar apa yang dikatakan Tuhan : "Apakah sudah tiba waktunya bagi kamu untuk mendiami rumah-rumahmu yang dipapani dengan baik, sedang Rumah ini tetap menjadi reruntuhan?” (ayat 4). Umat, setelah kembali dari pembuangan, peduli untuk membangun kembali rumah mereka; sekarang, mereka nyaman berlindung di rumah, sementara rumah Allah tetap menjadi reruntuhan, tanpa ada yang membangunnya kembali. Kata-kata tersebut – “Perhatikanlah keadaanmu!” – menantang karena dewasa ini, di Eropa, kita umat Kristiani dapat tergoda untuk tetap berlindung dengan nyaman dalam tatanan, rumah, dan gereja kita, dalam keamanan yang disediakan oleh tradisi kita, puas dengan tingkatan kesepakatan tertentu, sementara di sekitar kita gereja-gereja kosong melompong dan Yesus semakin dilupakan.

 

Pertimbangkan berapa banyak orang yang tidak lagi lapar dan haus akan Allah! Bukan karena mereka jahat, tetapi karena tidak ada seorang pun yang membangkitkan dalam diri mereka rasa lapar akan iman dan memuaskan kehausan dalam hati manusia, "kehausan bawaan dan abadi" yang dikatakan Dante (Par., II, 19) dan yang berusaha ditekan oleh kediktatoran konsumerisme dengan lembut tetapi terus-menerus. Begitu banyak orang didorong untuk merasakan hanya kebutuhan materi, dan bukan kebutuhan akan Allah. Tentu kita “diasyikkan” dengan hal ini, tetapi apakah kita benar-benar “asyik” menanggapinya? Menilai orang-orang yang tidak percaya atau membuat daftar alasan untuk sekularisasi sangatlah mudah, tetapi pada ujung-ujungnya tidak ada gunanya. Sabda Allah menantang kita untuk melihat ke dalam diri kita. Apakah kita merasa prihatin dan berbelas kasih kepada orang-orang yang tidak memiliki sukacita perjumpaan dengan Yesus atau yang telah kehilangan sukacita itu? Apakah kita nyaman karena jauh di lubuk hati kita berjalan seperti biasa, atau apakah kita terganggu ketika melihat begitu banyak saudara dan saudari kita jauh dari sukacita Yesus?

 

Melalui nabi Hagai, Tuhan meminta umat-Nya untuk memperhatikan hal lain : “Kamu makan, tetapi tidak sampai kenyang; kamu minum, tetapi tidak sampai puas; kamu berpakaian, tetapi badanmu tidak sampai panas” (ayat 6). Dengan kata lain, umat memiliki semua yang mereka inginkan, tetapi mereka tidak bahagia. Apa yang kurang dari mereka? Yesus menyarankan jawabannya dengan kata-kata yang tampaknya menggemakan Hagai : “Sebab ketika Aku lapar, kamu tidak memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu tidak memberi Aku minum; ketika Aku telanjang, kamu tidak memberi Aku pakaian” (Mat 25:42-43). Kurangnya amal kasih menyebabkan ketidakbahagiaan, karena hanya kasih yang memuaskan hati manusia. Peduli hanya dengan urusan mereka, penduduk Yerusalem telah kehilangan rasa tanpa pamrih. Hal ini juga bisa menjadi persoalan kita : berkonsentrasi pada berbagai posisi dalam Gereja, pada diskusi, agenda dan strategi, dan kehilangan pandangan akan program yang sesungguhnya, yaitu Injil : dorongan cinta kasih, semangat tanpa pamrih. Solusi untuk persoalan dan keasyikan diri selalu merupakan pemberian tanpa pamrih. Tidak ada yang lain. Ini adalah sesuatu yang harus diperhatikan.

 

Setelah memperhatikan, ada langkah lain : membangun kembali. “Bangunlah Rumah itu", firman Tuhan melalui nabi Hagai (Hag 1:8), dan umat membangun kembali Bait Suci. Mereka berhenti merasa puas dengan pemberian penuh kedamaian dan mulai bekerja untuk masa depan. Namun karena beberapa orang menentang hal ini, Kitab Tawarikh memberitahu kita bahwa orang-orang bekerja dengan satu tangan di atas batu, untuk membangun, dan tangan lainnya di atas pedang, untuk mempertahankan proses pembangunan kembali ini. Bukan hal yang mudah untuk membangun kembali bait suci. Inilah yang diperlukan untuk membangun rumah bersama Eropa : meninggalkan kemanfaatan jangka pendek dan kembali ke visi para pendiri negara yang berpandangan jauh ke depan, apa yang saya berani sebutkan sebagai visi kenabian secara keseluruhan. Mereka tidak mencari kesepakatan singkat, tetapi memimpikan masa depan untuk semuanya. Beginilah cara dinding rumah Eropa didirikan, dan hanya dengan cara ini dinding rumah Eropa dapat dibangun. Hal yang sama berlaku untuk Gereja, rumah Allah. Untuk membuatnya indah dan ramah, kita perlu bersama-sama melihat ke masa depan, bukan mengembalikan masa lalu. Sayangnya, “restorasi” tertentu dari masa lalu saat ini sedang populer, yang membunuh kita semua. Tentu kita harus mulai dari landasan, ya benar-benar dari akar kita, karena di situlah pembangunan kembali dimulai : dari tradisi Gereja yang hidup, yang didasarkan pada apa yang paling penting, Kabar Baik, kedekatan dan kesaksian. Kita perlu membangun kembali Gereja dari landasannya di setiap waktu dan tempat, dari menyembah Allah dan mengasihi sesama, dan bukan dari selera kita, bukan dari persekutuan atau negosiasi apa pun yang mungkin kita buat untuk membela Gereja atau Kekristenan.

 

Saudara-saudara terkasih, saya ingin mengucapkan terima kasih atas pekerjaan pembangunan kembali yang sedang kamu kejar berkat rahmat Allah; ini tidak mudah. Terima kasih untuk lima puluh tahun pertama dalam pelayanan Gereja dan Eropa ini. Marilah kita saling menyemangati, tanpa pernah berputus asa atau menyerah pada kepasrahan. Tuhan memanggil kita untuk pekerjaan yang luar biasa, pekerjaan membuat rumah-Nya semakin ramah, sehingga setiap orang dapat masuk dan tinggal di sana, sehingga Gereja dapat membuka pintu bagi semua orang dan tidak seorang pun akan tergoda untuk hanya memikirka menjaga pintu dan mengganti kunci, godaan sederhana itu. Tidak, perubahan terjadi di tempat lain: perubahan berasal dari akarnya. Dari sanalah pembangunan kembali terjadi.

 

Orang Israel membangun kembali Bait Suci dengan tangan mereka sendiri. Begitu pula para pembangun besar iman di benua ini. Marilah kita lihat para kudus pelindungnya. Mereka melakukan bagian kecil mereka, percaya kepada Allah. Saya memikirkan para kudus seperti Martinus, Fransiskus, Dominikus, Pio dari Pietrelcina, yang pestanya kita rayakan hari ini; para kudus pelindung seperti Benediktus, Sirilus dan Metodius, Bridget, Katarina dari Siena dan Teresa Benedicta dari Salib. Mereka memulai dengan diri mereka, dengan mengubah hidup mereka dengan menerima rahmat Allah. Mereka tidak peduli dengan masa-masa kekelaman, kesulitan dan perpecahan yang selalu hadir. Mereka tidak membuang waktu untuk mengkritik atau menyalahkan. Mereka menghayati Injil, tanpa mengkhawatirkan sangkut-paut atau politik. Jadi, dengan kekuatan kasih Allah yang lembut, mereka mewujudkan gaya kedekatan, kasih sayang, dan kelembutan-Nya – karena itulah gaya Allah. Mereka membangun biara, mereklamasi tanah, menghidupkan semangat individu dan negara. Mereka tidak memiliki program "sosial", tetapi Injil semata. Dan mereka melaksanakan Injil.

 

Membangun kembali rumah-Ku. Di sini kata kerja "membangun kembali" dalam bentuk jamak. Semua pembangunan kembali terjadi bersama-sama, dalam kesatuan, dengan orang lain. Visi boleh berbeda, tetapi persatuan harus selalu dijaga. Karena jika kita memelihara rahmat secara keseluruhan, Tuhan terus membangun, bahkan ketika kita sendiri gagal. Rahmat secara keseluruhan. Inilah panggilan kita : menjadi Gereja, bersama-sama, sebagai satu Tubuh. Inilah panggilan kita sebagai para gembala : mengumpulkan kawanan domba; tidak mencerai-beraikannya atau menjaganya tetap tertutup oleh pagar halus, yang sebenarnya akan membunuhnya. Membangun kembali berarti menjadi pengrajin persekutuan, penjalin persatuan di setiap tingkatan : bukan dengan tipu muslihat tetapi dengan Injil.

 

Jika kita membangun kembali dengan cara ini, kita akan memungkinkan saudara-saudari kita untuk melihat. Inilah kata ketiga, yang muncul di akhir Bacaan Injil hari ini. Herodes berusaha supaya dapat "bertemu" dengan Yesus (bdk. Luk 9:9). Sekarang seperti dulu, banyak orang berbicara tentang Yesus. Pada masa itu, mereka mengatakan : “Yohanes telah bangkit dari antara orang mati ... Elia telah muncul kembali ... seorang dari nabi-nabi dahulu telah bangkit” (Luk 9:7-8). Semua orang itu menghormati Yesus, tetapi mereka tidak memahami kebaruan-Nya; mereka memasukkan-Nya ke dalam gagasan yang terbentuk sebelumnya : Yohanes, Elia, para nabi. Tetapi, Yesus tidak dapat dimasukkan ke dalam kotak desas-desus atau déja vu. Yesus selalu baru, selalu. Perjumpaan dengan-Nya selalu menimbulkan keheranan, dan jika kamu tidak merasakan keheranan itu dalam perjumpaan, kamu belum berjumpa dengan Yesus.

 

Begitu banyak orang di Eropa melihat iman sebagai d̩ja vu, peninggalan masa lalu. Mengapa? Karena mereka belum melihat Yesus bekerja dalam hidup mereka. Seringkali hal ini adalah karena kita, dengan hidup kita, belum cukup menunjukkan Dia kepada mereka. Allah menjadikan diri-Nya terlihat dalam wajah dan tindakan manusia yang diubahrupa oleh kehadiran-Nya. Jika umat Kristiani, alih-alih memancarkan sukacita Injil yang menjangkit, terus berbicara dalam bahasa religius intelektual dan moralistik yang sudah usang, orang tidak akan dapat melihat Sang Gembala yang Baik. Mereka tidak akan mengenali Dia yang mengasihi setiap domba-Nya, memanggil mereka dengan namanya, dan memanggul mereka di pundak-Nya. Mereka tidak akan melihat Dia yang sengsara-Nya luar biasa yang kita beritakan : karena itu adalah sengsara yang menghanguskan, sengsara demi umat manusia. Kasih yang ilahi, penuh belas kasihan dan kuat ini dengan sendirinya merupakan kebaruan Injil yang abadi. Saudara-saudara terkasih, kita dituntut membuat keputusan yang bijaksana dan berani, yang dibuat atas nama kasih yang gila yang dengannya Kristus telah menyelamatkan kita. Yesus tidak meminta kita untuk membuat alasan untuk Allah, Ia meminta kita untuk menunjukkan kepada-Nya, sama seperti yang dilakukan para kudus, bukan dengan kata-kata tetapi dengan hidup kita. Ia memanggil kita menuju doa dan kemiskinan, kreativitas dan ketanpapamrihan. Marilah kita membantu Eropa dewasa ini Рpingsan karena kelelahan yang merupakan penyakit Eropa dewasa ini Рuntuk menemukan kembali wajah muda Yesus dan Mempelai-Nya. Bagaimana kita bisa gagal mengabdikan diri sepenuhnya untuk membuat semua orang melihat keindahan yang tak pernah pudar ini?

_____


(Peter Suriadi - Bogor, 24 September 2021)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA DI TEMPAT SUCI NASIONAL SASTIN, SLOVAKIA 15 September 2021 : MARIA – BUNDA PERJALANAN, BUNDA KENABIAN DAN BUDA BELAS KASIH

Bacaan Ekaristi : Kis 1:12-14; 1Ptr 4:13-16; Luk 2:33-35.

 

Di Bait Allah Yerusalem, Maria mempersembahkan bayi Yesus kepada Simeon yang sudah lanjut usia, yang menatang-Nya dan mengakui-Nya sebagai Mesias yang diutus untuk menyelamatkan Israel. Di sini kita melihat Maria yang sesungguhnya : Bunda yang memberikan Yesus Putranya kepada kita. Itulah sebabnya kita mengasihi dan menghormatinya. Di Tempat Kudus Nasional Saštín ini, rakyat Slovakia bergegas kepadanya dengan iman dan devosi, karena mereka tahu bahwa ia memberikan Yesus kepada kita. Logo Perjalanan Apostolik ini menggambarkan jalan berliku di dalam hati yang diliputi oleh salib : Maria adalah jalan yang menuntun kita menuju Hati Kristus, yang memberikan nyawa-Nya demi mengasihi kita.

 

Dalam terang Injil yang baru saja kita dengar, kita dapat merenungkan Maria sebagai teladan iman. Dan kita dapat membedakan tiga dimensi iman : iman adalah perjalanan, kenabian dan belas kasih.

 

Pertama, iman Maria adalah iman yang membawanya kepada sebuah perjalanan. Perempuan belia Nazaret tersebut, setelah mendengar pesan malaikat, “langsung berjalan ke pegunungan” (Luk 1:39) untuk mengunjungi dan membantu Elisabet, sanaknya. Ia tidak menganggap istimewa keterpilihannya sebagai Bunda Sang Juruselamat; ia tidak kehilangan sukacita bersahaja kerendahan hatinya setelah kunjungan malaikat; ia tidak terus memikirkan dirinya sendiri di dalam keempat dinding rumahnya. Sebaliknya, ia mengalami karunia yang ia terima sebagai perutusan yang harus dilaksanakan; ia merasa terdesak untuk membuka pintu dan keluar; ia menjadi benar-benar terperangkap dalam "ketergesaan" Allah untuk menjangkau semua orang dengan kasih-Nya yang menyelamatkan. Itulah sebabnya Maria memulai perjalanannya. Ia memilih ketidaktahuan perjalanan mengatasi kenyamanan rutinitas sehari-harinya, keletihan perjalanan mengatasi kedamaian dan ketenangan rumah; risiko iman yang menjadikan hidup kita sebagai karunia mengasihi orang lain mengatasi kesalehan yang tenang.

 

Injil hari ini juga menampilkan Maria saat ia memulai perjalanan : kali ini menuju Yerusalem, di mana bersama-sama dengan Yusuf, tunangannya, ia mempersembahkan Yesus di Bait Allah. Sisa hidupnya akan menjadi sebuah perjalanan menjejaki langkah Putranya, sebagai murid-Nya yang pertama, bahkan menuju Kalvari, menuju kaki salib. Maria tidak pernah berhenti melakukan perjalanan.

 

Bagimu, rakyat Slovakia, Santa Perawan adalah model iman : iman yang melibatkan perjalanan, iman yang diilhami oleh devosi sederhana dan tulus, peziarahan terus-menerus untuk mencari Tuhan. Dengan melakukan perjalanan ini, kamu mengatasi godaan menuju iman yang pasif, puas dengan ritual ini atau itu ataupun tradisi kuno. Sebaliknya, kamu meninggalkan dirimu dan berangkat, membawa suka dan duka kehidupan ini di dalam ranselmu, dan dengan demikian menjadikan hidupmu sebagai peziarahan mengasihi Allah dan saudara-saudarimu. Terima kasih untuk kesaksian ini! Dan tolong, selalu bertahan dalam perjalanan ini! Jangan berhenti! Dan saya ingin menambahkan sesuatu yang lain. Saya katakan : “Jangan berhenti”, karena ketika Gereja berhenti, ia menjadi sakit. Ketika para Uskup berhenti, mereka membuat Gereja sakit. Ketika para imam berhenti, mereka membuat umat Allah sakit.

 

Iman Maria juga bersifat kenabian. Dengan hidupnya, perempuan belia Nazaret tersebut adalah tanda kenabian yang menunjuk pada kehadiran Allah dalam sejarah manusia, campur tangan-Nya yang penuh belas kasihan yang mengacaukan nalar dunia, meninggikan orang-orang yang rendah dan menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya (bdk. Luk 1:52). Maria mewujudkan "kaum miskin Tuhan", yang berseru kepada-Nya dan menantikan kedatangan Mesias. Ia adalah Putri Sion yang diwartakan oleh para nabi Israel (bdk. Zef 3:14-18), Perawan yang akan mengandung Imanuel, Allah beserta kita (bdk. Yes 7:14). Sebagai Perawan Tak Bernoda, Maria adalah ikon panggilan kita, karena, seperti dia, kita dipanggil untuk menjadi kudus dan tak bercacat dalam kasih (bdk. Ef 1:4), gambaran Kristus.

 

Tradisi kenabian Israel berpuncak dalam diri Maria, karena di dalam rahimnya ia mengandung Yesus, Sang Sabda yang menjelma yang menyempurnakan dan rencana penyelamatan Allah yang pasti. Tentang Yesus, Simeon berkata kepada Maria : "Sesungguhnya Anak ini ditentukan untuk menjatuhkan atau membangkitkan banyak orang di Israel dan untuk menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan" (Luk 2:34).

 

Jangan pernah kita melupakan hal ini : iman tidak bisa dikurangi menjadi pemanis untuk membuat hidup semakin enak. Yesus adalah tanda perbantahan. Ia datang untuk membawa terang ke dalam kegelapan, menyingkap kegelapan apa adanya dan memaksanya untuk tunduk kepada-Nya. Karena alasan ini, kegelapan selalu menentang-Nya. Orang-orang yang menerima Kristus dalam hidup mereka akan bangkit; orang-orang yang menentang-Nya tetap berada dalam kegelapan, menuju kehancuran mereka. Yesus mengatakan kepada murid-murid-Nya bahwa Ia datang bukan untuk membawa damai melainkan pedang (bdk. Mat 10:34) : sesungguhnya, sabda-Nya, laksana pedang bermata dua, menembus hidup kita, memisahkan terang dari kegelapan dan menuntut keputusan. Kata-kata-Nya menuntut kita : "Pilihlah!" Ketika bersangkutan dengan Yesus, kita tidak bisa tetap suam-suam kuku, dengan kaki di kedua kubu; kita tidak bisa. Ketika aku menerima-Nya, Ia mengungkapkan perbantahanku, berhalaku, pencobaanku. Ia menjadi kebangkitanku, orang yang selalu mengangkatku saat aku jatuh, orang yang memegang tanganku dan membiarkanku memulai lagi. Ia selalu mengangkatku.

 

Slovakia saat ini membutuhkan nabi-nabi seperti itu. Saya mendorongmu, para Uskup : jadilah nabi yang mengikuti jalan ini. Ini tidak ada hubungannya dengan permusuhan terhadap dunia, tetapi dengan menjadi "tanda-tanda perbantahan" di dalam dunia. Umat Kristiani yang dapat menunjukkan keindahan Injil melalui cara hidup mereka. Umat Kristiani yang merajut dialog di mana permusuhan sedang berkembang; para sokoguru kehidupan persaudaraan di mana masyarakat sedang mengalami ketegangan dan permusuhan; para pembawa aroma manis keramahan dan kesetiakawanan di mana keegoisan pribadi dan bersama terlalu sering terjadi, para pelindung dan penjaga kehidupan di mana budaya kematian berkuasa.

 

Maria, sang bunda perjalanan, memulai perjalanan. Maria juga Bunda kenabian. Terakhir, Maria adalah Bunda belas kasih. Imannya berbelas kasih. Ia, "hamba Tuhan" (bdk. Luk 1:38) yang, dengan kepedulian seorang ibu, memastikan bahwa anggur pada pesta perkawinan di Kana akan cukup (bdk. Yoh 2:1-12), ambil bagian dalam perutusan keselamatan Putranya, bahkan sampai di kaki Salib. Di Kalvari, dalam kesedihannya yang luar biasa, ia memahami nubuat Simeon : “Dan suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri” (Luk 2:35). Penderitaan Putranya yang mendekati ajal, yang telah menanggung dosa dan kelemahan umat manusia, menembus hatinya. Yesus menderita dalam daging, manusia dukacita, diremukkan oleh kejahatan (bdk. Yes 53:3 dst). Maria menderita dalam roh, sebagai Bunda yang berbelas kasih yang mengeringkan air mata kita, menghibur kita dan menunjukkan kemenangan Kristus yang pasti.

 

Maria, Bunda Dukacita, tetap berada di kaki salib. Ia hanya berdiri di sana. Ia tidak melarikan diri, atau berusaha menyelamatkan diri, atau mencari cara untuk meringankan kesedihannya. Inilah bukti belas kasih sejati : tetap berdiri di bawah salib. Berdiri di sana dan menangis, namun dengan iman yang tahu bahwa, di dalam Putranya, Allah mengubah rupa rasa sakit dan penderitaan serta mengalahkan maut.

 

Dengan merenungkan Bunda Maria yang Berdukacita, semoga kita juga membuka hati kita terhadap iman yang menjadi belas kasih, iman yang mengidentifikasikan diri dengan orang-orang yang terluka, menderita dan terpaksa memikul salib yang berat. Iman yang tidak tetap semu, tetapi menjelma dalam persekutuan dengan orang-orang yang membutuhkan. Iman yang meneladan cara Allah berbuat sesuatu, secara diam-diam meringankan penderitaan dunia kita dan menyirami tanah sejarah dengan keselamatan.

 

Saudara dan saudari yang terkasih, semoga Tuhan selalu memelihara di dalam dirimu keheranan dan rasa syukur atas karunia iman yang agung! Dan semoga Santa Maria memperolehkan bagimu rahmat iman yang selalu muncul baru, sangat kenabian dan berlimpah dalam belas kasih.

 

[Kata-kata Penutup Paus Fransiskus]

 

Waktunya sekarang telah tiba bagi saya untuk meninggalkan negaramu. Dalam Ekaristi ini saya bersyukur kepada Allah karena Ia telah memperkenankan saya untuk datang di antaramu dan mengakhiri peziarahan saya dalam pelukan umat-Mu yang berbakti, merayakan bersama-sama pesta besar keagamaan dan nasional pelindungmu, Perawan Maria yang Berdukacita.

 

Saudara-saudara para uskup yang terkasih, dengan tulus saya mengucapkan terima kasih atas seluruh persiapan dan penyambutanmu. Kembali saya mengucapkan terima kasih kepada Presiden Republik dan otoritas sipil Slovakia. Dan saya berterima kasih kepada semua orang yang, secara berbeda, telah bekerjasama dalam peziarahan ini, terutama melalui doa-doa mereka.

 

Saya membawamu dalam hati saya. Ďakujem všetkým! [Terima kasih semua!]

_____


(Peter Suriadi - Bogor, 15 September 2021)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XXIV (MISA PENUTUPAN KONGRES EKARISTI SEDUNIA KE-52) DI BUDAPEST, HUNGARIA, 12 September 2021 : TIGA LANGKAH PEMBAHARUAN SEBAGAI MURID YESUS

Bacaan Liturgi : Yes. 50:5-9a; Mzm. 116:1-2,3-4,5-6,8-9; Yak. 2:14-18; Mrk. 8:27-35.

 

Di Kaisarea Filipi, Yesus bertanya kepada murid-murid-Nya, ”Menurut kamu, siapakah Aku ini?” (Mrk 8:29). Bagi para murid, pertanyaan ini terbukti menentukan; pertanyaan ini menandai titik balik dalam perjalanan mereka bersama Sang Guru. Mereka mengenal Yesus; mereka bukan lagi pemula. Mereka dekat dengan-Nya; mereka telah melihat banyak mukjizat-Nya, tersentuh oleh ajaran-Nya, dan mengikuti-Nya ke mana pun Ia pergi. Namun, mereka belum siap untuk berpikir seperti Dia. Mereka harus mengambil langkah tegas itu, dari mengagumi Yesus menjadi meneladan Yesus. Hari ini juga, Tuhan memandang kita masing-masing secara pribadi dan bertanya : “Menurut kamu, - sesungguhnya - siapakah Aku ini?” Menurut kamu, siapakah Aku ini? Pertanyaan ini, yang ditujukan kepada kita masing-masing, membutuhkan lebih dari sekadar jawaban cepat langsung dari katekismus; pertanyaan ini membutuhkan tanggapan hayati dan pribadi.

 

Tanggapan tersebut memperbaharui kita sebagai murid. Pembaharuan tersebut terjadi dalam tiga langkah, langkah-langkah yang diambil oleh para murid dan yang juga dapat kita ambil. Pembaharuan tersebut mencakup mewartakan Yesus, melakukan pembedaan bersama Yesus, berjalan di belakang Yesus.

 

1.       Mewartakan Yesus. Tuhan bertanya : “Menurut kamu, siapakah Aku ini?” Petrus, berbicara mewakili murid-murid lainnya, menjawab: “Engkau adalah Mesias”. Petrus mengatakan seluruhnya dalam beberapa kata ini; jawabannya benar, tetapi kemudian, secara mengejutkan, Yesus “melarang mereka dengan keras supaya jangan memberitahukan kepada siapa pun tentang Dia” (ayat 30). Mengapa sebuah larangan yang begitu radikal? Ada alasan yang sangat bagus : menyebut Yesus Kristus, Mesias, adalah benar, tetapi tidak lengkap. Selalu ada risiko mewartakan mesianisme palsu, yang berasal dari manusia, bukan dari Allah. Akibatnya, sejak saat itu, Yesus secara bertahap mengungkapkan jatidiri-Nya yang sesungguhnya, jatidiri "paskah" yang kita temukan dalam Ekaristi. Ia menjelaskan bahwa perutusan-Nya akan mencapai puncaknya dalam kemuliaan kebangkitan, tetapi hanya setelah kehinaan salib. Dengan kata lain, perutusan-Nya akan diungkapkan sesuai dengan hikmat Allah, yang, seperti dikatakan Santo Paulus kepada kita, “hikmat yang bukan dari dunia ini, dan yang bukan dari penguasa-penguasa dunia ini” (1Kor 2:6). Yesus menuntut keheningan berkenaan dengan jatidiri-Nya sebagai Mesias, tetapi bukan berkenaan dengan salib yang menanti-Nya. Bahkan – penginjil mencatat – Yesus kemudian mulai mengajar “dengan terus terang” (Mrk 8:32) bahwa “Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan bangkit sesudah tiga hari” (ayat 31).

 

Berhadapan dengan kata-kata Yesus yang mengecilkan hati ini, kita juga bisa kecewa, terkejut. Kita juga lebih memilih Mesias yang berkuasa daripada hamba yang disalibkan. Ekaristi di sini untuk mengingatkan kita siapa Allah itu. Bukan hanya dilakukan dengan kata-kata, tetapi secara nyata, Ekaristi menunjukkan kepada kita Allah sebagai roti yang dipecah-pecahkan, sebagai kasih yang disalibkan dan dianugerahkan. Kita dapat menambahkan unsur ritual, tetapi Allah senantiasa ada dalam kesederhanaan Roti yang siap untuk dipecah-pecahkan, dibagi-bagikan dan disantap. Demi menyelamatkan kita, Kristus menjadi seorang hamba; demi memberi kita kehidupan, Ia menerima kematian. Kita justru membiarkan diri kita tercengang oleh kata-kata Yesus yang mengecilkan hati itu. Dan hal ini membawa kita ke langkah kedua.

 

2.     Melakukan pembedaan bersama Yesus. Reaksi Petrus terhadap pemberitahuan Tuhan berciri khas manusiawi : segera setelah salib, kemungkinan penderitaan muncul, kita memberontak. Setelah baru saja mengakui bahwa Yesus adalah Mesias, Petrus terguncang oleh kata-kata Sang Guru dan berusaha menghalangi-Nya untuk mengikuti jalan tersebut. Hari ini, seperti di masa lalu, salib tidak mengikuti mode atau tidak menarik. Namun salib menyembuhkan batin kita. Berdiri di hadapan Tuhan yang tersalib, kita mengalami pergumulan batin yang berbuah, perseteruan pahit antara "berpikir seperti Allah" dan "berpikir seperti manusia". Di satu sisi, kita memiliki cara berpikir Allah, yaitu kasih yang rendah hati. Cara berpikir yang menghindari pemaksaan, pamer dan kemenangan, dan selalu bertujuan untuk kebaikan orang lain, bahkan sampai pada pengorbanan diri. Di sisi lain, kita memiliki cara berpikir manusia : ini adalah hikmat dunia, melekat pada kehormatan dan pengistimewaan, serta menggenggam prestise dan kesuksesan. Di sini hal-hal yang diperhitungkan adalah kepentingan diri dan kekuasaan, apa yang paling menarik perhatian dan kehormatan di mata orang lain.

 

Dibutakan oleh cara berpikir tersebut, Petrus menarik Yesus ke samping dan menegor Dia (bdk. ayat 32). Kita juga dapat “mengesampingkan” Tuhan, mendorong-Nya ke sudut hati kita dan terus menganggap diri kita sebagai orang yang religius dan terhormat, menempuh jalan kita sendiri tanpa memperkenankan diri kita dipengaruhi oleh cara berpikir Yesus. Namun Ia selalu berada di pihak kita dalam perjuangan batin ini, karena Ia ingin kita, seperti para Rasul, memihak-Nya. Ada sisi Allah dan sisi dunia. Perbedaannya bukanlah antara yang religius atau tidak, tetapi pada akhirnya antara Allah yang benar dan allah "diri". Betapa jauhnya Allah yang diam-diam memerintah di kayu salib dari allah palsu yang kita inginkan berkuasa memerintah untuk membungkam musuh kita! Betapa berbedanya Kristus, yang menghadirkan diri-Nya semata dengan kasih, dari semua mesias yang berkuasa dan menang yang disembah oleh dunia! Yesus meresahkan kita; Ia tidak puas dengan pernyataan iman, tetapi meminta kita untuk menyucikan keagamaan kita di hadapan salib-Nya, di hadapan Ekaristi. Sebaiknya kita menghabiskan waktu dalam adorasi di hadapan Ekaristi untuk merenungkan kelemahan Allah. Marilah kita meluangkan waktu untuk beradorasi. Marilah kita memperkenankan Yesus Sang Roti Hidup menyembuhkan kita dari keegoisan, membuka hati kita guna memberikan diri, membebaskan kita dari kekakuan dan perhatian diri, membebaskan kita dari perbudakan yang melumpuhkan dalam mempertahankan citra kita, dan mengilhami kita untuk mengikuti Dia ke mana pun Dia akan memimpin kita. Jadi, kita sampai pada langkah ketiga.

 

3.      Berjalan di belakang Yesus. “"Enyahlah Iblis” (ayat 33). Dengan perintah tegas ini, Yesus membawa Petrus kembali kepada dirinya sendiri. Setiap kali Tuhan memerintahkan sesuatu, Ia sudah ada di sana untuk memberikannya. Dengan demikian Petrus menerima rahmat untuk melangkah mundur dan sekali lagi berada di belakang Yesus. Perjalanan Kristiani bukanlah perlombaan menuju “kesuksesan”; perjalanan Kristiani dimulai dengan melangkah mundur, menemukan kebebasan dengan tidak perlu menjadi pusat segala-galanya. Petrus menyadari bahwa pusatnya bukanlah Yesus-nya, tetapi Yesus yang sesungguhnya. Ia akan terus jatuh, tetapi dengan beralih dari pengampunan menuju pengampunan, ia akan datang untuk melihat lebih jelas wajah Allah. Dan ia akan beralih dari kekaguman kosong terhadap Kristus menjadi meneladan Kristus secara otentik.

 

Apa artinya berada di belakang Yesus? Berada di belakang Yesus adalah berkembang melalui hidup dengan mempercayai Yesus, mengetahui bahwa kita adalah anak-anak Allah yang terkasih. Berada di belakang Yesus adalah mengikuti jejak Sang Guru yang datang untuk melayani dan bukan untuk dilayani (bdk. Mrk 10:45). Berada di belakang Yesus adalah setiap hari melangkah keluar untuk bertemu dengan saudara dan saudari kita. Ekaristi mendorong kita menuju perjumpaan ini, menuju kesadaran bahwa kita adalah satu Tubuh, menuju kesediaan untuk memperkenankan diri kita dipecah-pecahkan untuk orang lain. Saudara dan saudari terkasih, marilah kita memperkenankan perjumpaan kita dengan Yesus dalam Ekaristi mengubah kita, seperti halnya mengubah para kudus yang agung dan berani yang kamu hormati. Saya secara khusus memikirkan Santo Stefanus dan Santa Elisabet. Seperti mereka, semoga kita tidak pernah puas dengan sedikit; semoga kita tidak pernah menyerah pada iman yang berlandaskan ritual dan pengulangan, tetapi menjadi semakin terbuka terhadap skandal baru Allah yang disalibkan dan bangkit, Roti yang dipecah-pecahkan untuk memberi kehidupan kepada dunia. Dengan cara ini, kita akan bersukacita diri dan membawa sukacita kepada orang lain.

 

Kongres Ekaristi Sedunia ini menandai akhir dari satu perjalanan, tetapi yang lebih penting, awal dari perjalanan lainnya. Karena berjalan di belakang Yesus berarti selalu melihat ke depan, menyambut kairos rahmat, dan setiap hari ditantang oleh pertanyaan Tuhan kepada kita, para murid-Nya : Menurutmu, siapakah Aku ini?