(Homili dibacakan oleh Pietro Kardinal Parolin, Sekretaris Negara Kota Vatikan, yang memimpin Misa karena Paus Fransiskus masih diharuskan beristirahat untuk penyembuhan sakit lutut akut yang dideritanya)
Bacaan
Ekaristi : Yl. 2:12-18; Mzm. 51:3-4,5-6a,12-13,14,17; 2Kor. 5:20-6:2; Mat.
6:1-6,16-18.
Hari ini,
saat kita memulai masa Prapaskah, Tuhan berkata kepada kita : “Ingatlah, jangan
kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena
jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di surga” (Mat 6:1).
Perkataan Tuhan tersebut mungkin mengejutkan, tetapi dalam Bacaan Injil hari
ini, kata yang paling sering kita dengar adalah upah (bdk. ayat 1.2.5.16).
Biasanya, pada Hari Rabu Abu, kita lebih memikirkan ketetapan hati yang
dituntut oleh perjalanan iman, daripada ganjaran yang menjadi tujuannya. Namun
hari ini Yesus terus kembali ke kata itu, upah, yang tampaknya menjadi alasan
perbuatan kita. Tetapi di dalam hati kita, sesungguhnya, ada kehausan,
keinginan akan upah, yang menarik dan memotivasi kita.
Tetapi, Tuhan
berbicara tentang dua macam upah yang dapat diberikan oleh hidup kita : upah
dari Bapa dan, di pihak lain, upah dari orang lain. Upah yang pertama bersifat
abadi, upah yang sesungguhnya dan utama, tujuan hidup kita. Upah yang kedua
bersifat fana, sorotan yang kita cari setiap kali kekaguman orang lain dan
kesuksesan duniawi menjadi hal terpenting bagi kita, kepuasan terbesar kita.
Tetapi upah yang kedua tersebut hanya sebuah khayalan. upah tersebut bagaikan
sebuah fatamorgana yang, begitu kita sampai di sana, ternyata bersifat
khayalan; upah tersebut membuat diri kita tidak terpenuhi. Kegelisahan dan ketidakpuasan
selalu ada di sekitar orang-orang yang memandang sebuah keduniawian yang
menarik tetapi kemudian mengecewakan. Mereka yang mencari upah duniawi tidak
pernah menemukan kedamaian atau memberikan sumbangsih terhadap kedamaian.
Mereka kehilangan pandangan akan Bapa dan saudara-saudara mereka. Inilah risiko
yang dihadapi kita semua, dan oleh karena itu Yesus memerintahkan kita untuk
“ingat”. Seolah mengatakan : “Kamu memiliki kesempatan untuk menikmati upah
yang tak terbatas, upah yang tiada bandingnya. Maka ingatlah, dan jangan
biarkan dirimu terpesona oleh penampilan, mengejar upah murah yang mengecewakan
begitu kamu menyentuhnya”.
Ritual
penerimaan abu di kepala kita dimaksudkan untuk melindungi kita dari kesalahan
menempatkan upah yang diterima dari orang lain di atas upah yang kita terima
dari Bapa. Tanda keras ini, yang menuntun kita untuk merenungkan kefanaan
keadaan manusia kita, laksana obat yang memiliki rasa pahit tetapi ampuh untuk
menyembuhkan penyakit penampilan, penyakit rohani yang memperbudak kita dan
membuat kita bergantung pada kekaguman orang lain. Sebuah
"perbudakan" mata dan pikiran yang sesungguhnya (bdk. Ef 6:6, Kol
3:22). Sebuah perbudakan yang membuat kita menjalani hidup kita untuk
kesia-siaan, di mana yang terpenting bukanlah kemurnian hati kita tetapi
kekaguman orang lain. Bukan bagaimana Allah memandang kita, tetapi bagaimana
orang lain memandang kita. Kita tidak bisa hidup dengan baik jika kita
berkehendak berpuas dengan upah itu.
Masalahnya
yakni "penyakit penampilan" ini mengancam bahkan daerah yang paling
suci sekalipun. Itulah yang dikatakan Yesus kepada kita hari ini : bahkan doa,
amal kasih dan puasa dapat menjadi acuan diri. Dalam setiap perbuatan, bahkan
yang paling mulia sekalipun, ada cacing kepuasan diri yang bisa bersembunyi.
Maka hati kita tidak sepenuhnya bebas, karena ia mencari, bukan kasih Bapa dan
saudara-saudari kita, tetapi persetujuan manusia, tepuk tangan orang, kemuliaan
diri kita sendiri. Semuanya kemudian bisa menjadi semacam kepura-puraan di hadapan
Alah, di hadapan diri kita sendiri dan di hadapan orang lain. Itulah sebabnya
sabda Allah mendesak kita untuk melihat ke dalam dan mengenali kemunafikan
kita. Marilah kita membuat diagnosa penampilan yang kita cari, dan marilah kita
berusaha membuka kedoknya. Akan ada baiknya untuk kita berbuat demikian.
Abu
menunjukkan kekosongan yang bersembunyi di balik pencarian hiruk pikuk untuk
upah duniawi. Abu mengingatkan kita bahwa keduniawian itu seperti debu yang
terbawa angin. Saudari-saudara, kita di dunia ini bukan untuk mengejar angin;
hati kita haus akan keabadian. Masa Prapaskah adalah waktu yang diberikan Tuhan
kepada kita untuk diperbarui, untuk memelihara kehidupan batin kita dan untuk
melakukan perjalanan menuju Paskah, menuju hal-hal yang tidak akan berlalu,
menuju upah yang akan kita terima dari Bapa. Masa Prapaskah juga merupakan
perjalanan penyembuhan. Bukan diubah dalam semalam, tetapi menjalani setiap
hari dengan semangat yang diperbarui, “gaya” yang berbeda. Doa, amal kasih dan
puasa adalah pertolongan untuk hal ini. Dimurnikan oleh abu Prapaskah,
dimurnikan dari kemunafikan penampilan, doa, amal kasih dan puasa menjadi
semakin kuat dan memulihkan kita kepada hubungan yang hidup dengan Allah,
saudara-saudari kita, dan diri kita.
Doa, doa yang
rendah hati, doa “secara tersembunyi” (Mat 6:6), dalam ketersembunyian kamar
kita, menjadi tersembunyi untuk membuat hidup kita berkembang di mana pun juga.
Doa adalah dialog, hangat dalam kasih sayang dan kepercayaan, yang menghibur
dan melapangkan hati kita. Selama masa Prapaskah ini, marilah kita berdoa
terutama dengan memandang Tuhan yang tersalib. Marilah kita membuka hati kita
terhadap kelembutan Allah yang menyentuh, dan di dalam luka-luka-Nya
tempatkanlah luka-luka kita dan luka-luka dunia kita. Janganlah kita selalu
terburu-buru, tetapi temukan waktu untuk berdiri dalam keheningan di
hadirat-Nya. Marilah kita temukan kembali kesuburan dan kesederhanaan dialog
sepenuh hati dengan Tuhan. Karena Allah tidak tertarik dengan penampilan.
Sebaliknya, Ia berkenan ditemukan dalam ketersembunyian, "ketersembunyian
kasih", jauh dari segala kesombongan dan hiruk pikuk.
Jika doa itu
nyata, tentu akan berbuah dalam amal kasih. Dan amal kasih membebaskan kita
dari bentuk perbudakan yang paling buruk, yaitu perbudakan terhadap diri
sendiri. Amal kasih masa Prapaskah, yang dimurnikan oleh abu ini, membawa kita
kembali kepada apa yang hakiki, kepada sukacita mendalam yang ditemukan dalam
memberi. Derma yang dilaksanakan jauh dari lampu sorot mengisi hati dengan kedamaian
dan harapan. Ini mengungkapkan kepada kita keindahan memberi, yang kemudian
menjadi menerima, dan dengan demikian memungkinkan kita untuk menemukan rahasia
yang berharga : hati kita lebih bersukacita karena memberi daripada menerima
(bdk. Kis 20:35).
Terakhir,
puasa. Puasa bukanlah diet. Memang, puasa membebaskan kita dari pengusahaan
kebugaran fisik yang mementingkan diri sendiri dan menghantui, guna membantu
kita menjaga kebugaran tidak hanya tubuh kita tetapi juga jiwa kita. Puasa
membuat kita menghargai sesuatu sesuai dengan nilainya yang sesungguhnya. Puasa
mengingatkan kita secara nyata bahwa hidup tidak boleh dibuat bergantung pada
bentangan dunia dewasa ini yang hanya sekilas. Puasa juga tidak boleh dibatasi
hanya pada makanan saja. Khususnya di masa Prapaskah, kita harus berpuasa dari
apa pun yang dapat membuat dalam diri kita segala jenis kecanduan. Inilah
sesuatu yang harus direnungkan kita masing-masing, agar berpuasa dengan cara
yang akan berdampak pada kehidupan kita yang sesungguhnya.
Doa, amal
kasih, dan puasa perlu tumbuh "secara tersembunyi", tetapi tidak
demikian dengan dampaknya. Doa, amal kasih dan puasa bukanlah obat yang
dimaksudkan hanya untuk diri kita sendiri tetapi untuk semua orang: ketiganya
dapat mengubah sejarah. Pertama, karena orang-orang yang mengalami dampaknya
hampir secara tidak sadar menyebarkannya kepada orang lain; tetapi terutama,
karena doa, amal kasih dan puasa adalah cara utama Allah untuk campur tangan
dalam kehidupan kita dan dunia. Ketiganya adalah senjata jiwa dan, bersama
ketiganya, pada hari doa dan puasa untuk Ukraina ini, kita memohonkan dari
Allah perdamaian yang tidak dapat dibangun sendiri oleh manusia.
Ya Tuhan,
Engkau melihat secara tersembunyi dan Engkau memberikan upah kepada kami
melebihi setiap harapan kami. Dengarkanlah doa orang-orang yang percaya
kepada-Mu, terutama orang-orang kecil, orang-orang yang dicobai dengan susah
payah, serta orang-orang yang menderita dan melarikan diri di hadapan deru
senjata. Pulihkanlah kedamaian dalam hati kami; sekali lagi, anugerahkanlah
damai-Mu kepada hari-hari kami. Amin.
____
(Peter Suriadi - Bogor, 3 Maret 2022)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.