Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA MALAM NATAL DI BASILIKA SANTO PETRUS (VATIKAN) 24 Desember 2020 : SEORANG PUTRA TELAH DIBERIKAN UNTUK KITA


Bacaan Liturgi : Yes. 9:1-6; Mzm. 96:1-2a,2b-3,11-12,13; Tit. 2:11-14; Luk. 2:1-14.

 

Malam ini, nubuat agung nabi Yesaya digenapi : “Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putra telah diberikan untuk kita” (Yes 9:5).

 

Seorang putra telah diberikan untuk kita. Kita sering mendengar bahwa sukacita terbesar dalam hidup adalah kelahiran seorang anak. Kelahiran seorang anak merupakan sesuatu yang luar biasa dan mengubah segalanya. Kelahiran seorang anak membawa kegirangan yang membuat kita tidak memikirkan keletihan, ketidaknyamanan, dan malam-malam tidak bisa tidur, karena memenuhi kita dengan kebahagiaan yang tak terlukiskan dan tiada taranya. Itulah apakah Natal : kelahiran Yesus adalah “kebaruan” yang memampukan kita untuk dilahirkan kembali setiap tahun dan menemukan, di dalam Dia, kekuatan yang dibutuhkan untuk menghadapi setiap pencobaan. Mengapa? Sebab kelahiran-Nya adalah untuk kita - untuk saya, untuk kamu, untuk semua orang. “Sebab” adalah kata yang muncul berulang kali di malam kudus ini : “Sebab seorang anak telah lahir untuk kita”, Yesaya menubuatkan. “Sebab hari ini telah lahir bagi kita seorang Juruselamat”, kita mengulanginya dalam Mazmur Tanggapan. Yesus "telah menyerahkan diri-Nya bagi kita" (Tit 2:14), Santo Paulus memberitahu kita, dan dalam Bacaan Injil, malaikat menyatakan : "Sebab hari ini telah lahir bagimu Juruselamat" (Luk 2:11).

 

Namun - untuk kita - apa sebenarnya arti kata-kata itu? Kata-kata itu berarti bahwa Putra Allah, Dia yang pada hakekatnya kudus, datang untuk menjadikan kita, sebagai anak-anak Allah, kudus berkat kasih karunia. Ya, Allah datang ke dunia sebagai seorang Anak untuk menjadikan kita anak-anak Allah. Sungguh karunia yang mahaagung! Hari ini, Allah menakjubkan kita dan berkata kepada kita masing-masing : “Kamu menakjubkan”. Saudari terkasih, saudara terkasih, jangan pernah berputus asa. Apakah kamu tergoda untuk merasa bahwa kamu adalah sebuah kesalahan? Allah memberitahu kamu, "Tidak, kamu adalah anak-Ku!" Apakah kamu telah merasa gagal atau tidak mampu, ketakutan bahwa kamu tidak akan pernah keluar dari terowongan gelap pencobaan? Allah berkata kepadamu, "Teguhkan hati, Aku besertamu". Ia melakukan hal ini bukan dengan kata-kata, tetapi dengan menjadikan diri-Nya seorang Anak besertamu dan untuk kamu. Dengan cara ini, Ia mengingatkan kamu bahwa titik awal seluruh kelahiran kembali adalah pengakuan bahwa kita adalah anak-anak Allah. Inilah pokok harapan kita, inti yang berpijar yang memberikan kehangatan dan makna bagi kehidupan kita. Yang mendasari seluruh kekuatan dan kelemahan kita, lebih kuat dari seluruh kesakitan dan kegagalan masa lalu kita, atau ketakutan dan kekhawatiran kita tentang masa depan, adalah kebenaran yang agung ini : kita adalah putra dan putri yang dikasihi. Kasih Allah untuk kita tidak, dan tidak akan pernah, bergantung pada diri kita. Kasih-Nya adalah kasih yang sepenuhnya cuma-cuma, kasih karunia semata. Malam ini, Santo Paulus memberitahu kita, “kasih karunia Allah sudah nyata” (Tit 2:11). Tidak ada yang lebih berharga dari hal ini.

 

Seorang putra telah diberikan untuk kita. Bapa tidak memberikan sebuah benda, sebuah barang, kepada kita; Ia memberikan Putra satu-satunya, Putra-Nya yang tunggal, yang adalah segenap sukacita-Nya. Namun jika kita memandang rasa tidak berterimakasih kita terhadap Allah dan ketidakadilan kita terhadap begitu banyak saudara dan saudari kita, keraguan bisa muncul. Tepatkah Allah memberi kita begitu banyak? Masih tepatkah Ia memercayai kita? Apakah Ia tidak berharap tinggi terhadap kita? Tentu saja, Ia berharap tinggi terhadap kita, dan Ia melakukan hal ini karena Ia sangat mengasihi kita. Ia tidak bisa tidak mengasihi kita. Begitulah cara-Nya, sangat berbeda dengan cara kita. Allah senantiasa mengasihi kita dengan kasih yang lebih besar dari kasih yang kita miliki untuk diri kita sendiri. Inilah rahasia-Nya untuk memasuki hati kita. Allah tahu bahwa kita menjadi lebih baik hanya dengan menerima kasih-Nya yang tak pernah gagal, kasih yang tak berubah yang mengubah kita. Hanya kasih Yesus yang dapat mengubah hidup kita, menyembuhkan luka kita yang paling dalam, dan membebaskan kita dari lingkaran setan kekecewaan, kemarahan, dan sungut-sungut yang terus-menerus.

 

Seorang putra telah diberikan untuk kita. Dalam palungan hina di kandang yang gelap, Putra Allah sungguh hadir. Tetapi hal ini menimbulkan pertanyaan lain. Mengapa Ia lahir pada malam hari, tanpa penginapan yang layak, dalam kemiskinan dan penolakan, ketika Ia pantas dilahirkan sebagai raja yang terbesar di istana yang terbaik? Mengapa? Untuk membuat kita memahami betapa besar kasih-Nya terhadap keadaan manusiawi kita : bahkan sampai menyentuh kedalaman kemiskinan kita dengan kasih-Nya yang nyata. Putra Allah dilahirkan sebagai seorang buangan, untuk memberitahu kita bahwa setiap orang yang terbuang adalah anak Allah. Ia datang ke dunia seperti setiap anak yang datang ke dunia, lemah dan rentan sehingga kita bisa belajar menerima kelemahan kita dengan kasih yang lembut. Dan untuk menemukan sesuatu yang penting. Seperti yang diperbuat-Nya di Betlehem, begitu juga dengan kita, Allah berkenan melakukan keajaiban melalui kemiskinan kita. Ia menempatkan seluruh keselamatan kita dalam palungan di sebuah kandang. Ia tidak takut dengan kemiskinan kita, jadi marilah kita memperkenankan belas kasihan-Nya mengubah sepenuhnya!

 

Inilah yang dimaksud dengan mengatakan bahwa seorang putra telah lahir untuk kita. Namun kita mendengar kata "untuk/bagi" di tempat lain juga. Malaikat mewartakan kepada para gembala : "Inilah tanda bagimu : seorang bayi terbaring di dalam palungan" (Luk 2:12). Tanda itu, Anak di dalam palungan, juga merupakan tanda untuk kita, untuk membimbing kita menjalani kehidupan. Di Betlehem, sebuah nama yang berarti “Rumah Roti”, Allah tergeletak di dalam palungan, seolah-olah mengingatkan kita bahwa, untuk hidup, kita membutuhkan Dia, seperti roti yang kita makan. Kita perlu dipenuhi dengan kasih-Nya yang bebas, tidak pernah gagal, dan nyata. Seberapa sering justru, dalam rasa lapar kita akan hiburan, kesuksesan, dan kesenangan duniawi, kita memelihara hidup dengan makanan yang tidak memadai dan membuat batin kita hampa! Tuhan, melalui nabi Yesaya, mengeluh bahwa, sementara lembu dan keledai mengetahui palungan yang disediakan tuannya, kita, umat-Nya, tidak mengenal Dia, sumber kehidupan kita (bdk. Yes 1:2-3). Memang benar : dalam tak berujungnya keinginan kita untuk memiliki, kita mengejar sejumlah palungan yang dipenuhi dengan hal-hal yang fana dan melupakan palungan Betlehem. Palungan itu, miskin dalam segala hal namun kaya akan kasih, mengajarkan bahwa makanan yang sesungguhnya dalam kehidupan berasal dari memperkenankan diri kita dikasihi oleh Allah dan pada gilirannya mengasihi orang lain. Yesus memberi kita teladan. Ia, Sabda Allah, menjadi seorang Anak; Ia tidak mengatakan sepatah kata pun tetapi menawarkan kehidupan. Kita, di sisi lain, penuh dengan kata-kata, tetapi sering kali hanya sedikit yang bisa dikatakan tentang kebaikan.

 

Seorang putra telah diberikan untuk kita. Orangtua yang memiliki anak-anak kecil tahu betapa mereka membutuhkan kasih dan kesabaran. Kita harus memberi mereka makan, merawat mereka, memandikan mereka, serta peduli terhadap kerentanan dan kebutuhan mereka, yang seringkali sulit untuk dipahami. Seorang anak membuat kita merasa dikasihi tetapi juga bisa mengajari kita bagaimana mengasihi. Allah lahir sebagai seorang anak untuk mendorong kita peduli pada orang lain. Air mata-Nya yang teduh membuat kita menyadari kesia-siaan dari banyak ledakan ketidaksabaran kita. Kasih-Nya yang melumpuhkan mengingatkan kita bahwa waktu kita tidak dihabiskan untuk mengasihani diri sendiri, tetapi untuk menghibur air mata orang-orang yang sedang menderita. Allah datang di antara kita dalam kemiskinan dan kebutuhan, untuk memberitahu kita bahwa dengan melayani orang miskin, kita akan menunjukkan kasih kita kepada-Nya. Mulai malam ini dan seterusnya, seperti yang ditulis seorang penyair, "Kediaman Allah berada di sebelah kediamanku, perabotan-Nya adalah kasih" (EMILY DICKINSON, Puisi, XVII).

 

Seorang putra telah diberikan untuk kita. Yesus, Engkau adalah Anak yang menjadikanku seorang anak. Engkau mengasihiku apa adanya, bukan seperti yang kubayangkan. Dengan merangkul-Mu, Anak Palungan, aku sekali lagi merangkul hidupku. Dengan menyambut-Mu, Roti hidup, aku juga ingin memberikan hidupku. Engkau, Juruselamatku, ajarilah aku untuk melayani. Engkau yang tidak meninggalkanku sendirian, tolonglah aku untuk menghibur saudara-saudari-Mu, karena, mulai malam ini, semua adalah saudara dan saudariku.

_____

 

(Peter Suriadi - Bogor, 25 Desember 2020)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA PESTA SANTA PERAWAN MARIA DARI GUADALUPE DI BASILIKA SANTO PETRUS (VATIKAN) 12 Desember 2020 : KELIMPAHAN, BERKAT DAN KARUNIA


Bacaan Ekaristi : Sir. 24:23-31; Luk 1:39-48.

 

Dalam liturgi hari ini, tiga kata, tiga gagasan mengemuka : kelimpahan, berkat dan karunia. Dan, memandang gambar Perawan dari Guadalupe, entah bagaimana kita juga berkaca terhadap tiga kenyataan ini : kelimpahan, berkat, dan karunia.

 

Kelimpahan, karena Allah selalu memberi dalam kelimpahan, selalu memberi dalam kelimpahan. Ia tidak mengenal dosis. Ia membiarkan diri-Nya "diukur" oleh kesabaran-Nya. Kitalah yang - pada dasarnya, dengan keterbatasan kita - mengetahui kebutuhan akan cicilan yang nyaman. Sebaliknya, Ia memberikan diri-Nya dalam kelimpahan, sepenuhnya. Dan di mana ada Allah, di situ ada kelimpahan.

 

Memikirkan misteri Natal, liturgi Adven mengambil banyak gagasan tentang kelimpahan ini dari nabi Yesaya. Allah memberikan seluruh diri-Nya, sebagaimana adanya, sepenuhnya. Kemurahan hati bisa menjadi - saya suka berpikir demikian - "kebatasan" Allah (setidaknya!) : Ketidakmungkinan memberikan diri kita dengan cara yang berbeda, itu bukan dalam kelimpahan.

 

Kata kedua adalah berkat. Pertemuan Maria dengan Elisabet adalah sebuah berkat, sebuah berkat. Berkat berarti “mengucapkan dengan baik”. Dan Allah, sejak halaman pertama kitab Kejadian, telah membiasakan kita dengan gaya bicara-Nya yang baik. Kata kedua yang diucapkan-Nya, menurut Alkitab, adalah : "Dan semuanya itu baik", "semuanya itu baik", "semuanya itu sangat baik". Gaya Allah selalu berkata baik, jadi kutukan adalah gaya iblis, gaya musuh; gaya kekejian, ketidakmampuan untuk memberikan diri sendiri secara penuh, "mengucapkan yang jahat". Allah selalu mengucapkan hal-hal yang baik. Dan Ia mengucapkannya dengan senang hati, Ia mengucapkannya dengan memberikan diri-Nya. Baik. Ia memberikan diri-Nya dalam kelimpahan, mengucapkan yang baik, berkat.

 

Kata ketiga adalah karunia. Dan kelimpahan ini, mengucapkan yang baik ini, adalah karunia, itu adalah karunia. Karunia yang diberikan kepada kita di dalam Dia yang adalah segala rahmat, yang adalah segenap diri-Nya, segenap keilahian : di dalam Yang Terpuji. Karunia yang diberikan kepada kita di dalam dia yang "penuh rahmat", "yang terpuji". Yang terpuji oleh alam dan yang terpuji oleh rahmat : inilah dua acuan yang ditunjukkan oleh Alkitab.

 

Terhadapnya dikatakan : "terpujilah engkau di antara wanita", "penuh rahmat". Yesus adalah Yang Terpuji yang membawa berkat.

 

Dan memandang gambar Bunda kita yang menanti Yang Terpuji, penuh rahmat yang menanti Yang Terpuji, kita sedikit mengerti tentang kelimpahan ini, tentang mengucapkan yang baik, tentang “berkat”. Dan kita memahami karunia ini, karunia Allah yang menampilkan diri-Nya kepada kita dalam kelimpahan Putra-Nya, secara alami, dalam kelimpahan Bunda-Nya, oleh rahmat. Karunia Allah muncul dengan sendirinya kepada kita sebagai berkat, dalam yang terpuji oleh alam dan yang terpuji oleh rahmat. Inilah karunia yang dihadirkan Allah kepada kita dan yang terus ingin disoroti-Nya, untuk membuat karunia tersebut muncul dalam perjalanan pewahyuan.

 

“Terpujilah engkau di antara wanita karena engkau telah membawakan kita Sang Terpuji” - “Aku Bunda Allah yang dengannya kita hidup, Ia yang memberi hidup, Yang Terpuji”.

 

Sehingga, dengan merenungkan gambar Bunda Maria hari ini, kita dapat "mencuri" dari Allah sedikit gaya yang Ia miliki : kemurahan hati, kelimpahan, "ucapan yang baik", tidak pernah mengutuk, dan mengubah hidup kita menjadi karunia, karunia untuk semua orang. Semoga.

_____

 

*(Peter Suriadi - Bogor, 12 Desember 2020)*

 

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI MINGGU ADVEN I 29 November 2020 : KEDEKATAN DAN KEWASPADAAN


Bacaan Ekaristi : Yes. 63:16b-17; 64:1,3b-8; Mzm. 80:2ac,3b,15-16,18-19; 1Kor. 1:3-9; Mrk. 13:33-37.

 

Bacaan-bacaan hari ini mengusulkan dua kata kunci untuk Masa Adven : kedekatan dan kewaspadaan. Kedekatan Allah dan kewaspadaan kita. Nabi Yesaya mengatakan bahwa Allah dekat dengan kita, sedangkan dalam Injil Yesus mendesak kita untuk berjaga-jaga dalam menantikan kedatangan-Nya kembali.

 

Kedekatan. Yesaya mulai dengan berbicara secara pribadi kepada Allah : "Bukankah Engkau Bapa kami?" (63:16). "Tidak pernah ada orang yang mendengar", ia melanjutkan, [tentang] Allah manapun, selain Engkau yang telah berbuat banyak untuk orang-orang yang percaya kepada-Nya” (bdk. 64:3). Kita diingatkan akan kata-kata dalam kitab Ulangan : siapakah seperti Tuhan, Allah kita, yang begitu dekat dengan kita setiap kali kita memanggil kepada-Nya? (bdk. 4:7). Adven adalah masa untuk mengingat kedekatan Allah yang turun untuk tinggal di tengah-tengah kita. Nabi selanjutnya meminta Allah untuk mendekat kepada kita sekali lagi : "Sekiranya Engkau mengoyakkan langit dan Engkau turun!" (Yes 64:1). Kita mendoakan hal ini dalam Mazmur Tanggapan hari ini : “Kembalilah kiranya … datanglah untuk menyelamatkan kami” (Mzm 80:15.3). Kita sering memulai doa kita dengan permohonan : "Allah, datanglah untuk membantuku". Langkah pertama iman adalah mengatakan kepada Allah bahwa kita membutuhkan-Nya, bahwa kita membutuhkan-Nya untuk mendekati kita.

 

Ini juga merupakan pesan pertama Adven dan tahun liturgi : kita perlu mengenali kedekatan Allah dan berkata kepada-Nya : "Datanglah kepada kami sekali lagi!" Allah ingin mendekat kepada kita, tetapi Ia tidak akan memaksakan diri; terserah kita untuk terus berkata kepada-Nya : "Datanglah!" Inilah doa Adven kita : "Datanglah!" Adven mengingatkan kita bahwa Yesus datang di antara kita dan akan datang kembali di akhir zaman. Namun kita bisa menanyakan apa makna kedatangan kedua tersebut, jika Ia tidak juga datang ke dalam hidup kita hari ini? Jadi marilah kita mengundang-Nya. Marilah kita mengucapkan doa Adven tradisional tersebut : “Datanglah, Tuhan Yesus” (Why 22:20). Kitab Wahyu diakhiri dengan doa ini : “Datanglah, Tuhan Yesus”. Kita dapat mengucapkan doa itu di awal setiap hari dan sering mengulanginya, sebelum pertemuan kita, pelajaran kita dan pekerjaan kita, sebelum membuat keputusan, di setiap saat yang lebih penting atau sulit dalam hidup kita : Datanglah, Tuhan Yesus! Inilah doa pendek, namun berasal dari hati. Marilah kita mengucapkannya dalam Masa Adven ini. Marilah kita mengulanginya : "Datanglah, Tuhan Yesus!"

 

Jika kita meminta Yesus untuk mendekati kita, kita akan melatih diri kita untuk waspada. Hari ini Injil Markus menyajikan kepada kita akhir wejangan Yesus kepada murid-murid-Nya, yang dapat dirangkum dalam dua kata : "Hati-hatilah dan berjaga-jagalah!" Tuhan mengulangi kata-kata ini sebanyak empat kali dalam lima ayat (bdk. Mrk 13:33-35.37). Pentingnya berhati-hati dan berjaga-jaga, karena satu kesalahan besar dalam hidup adalah terserap dalam seribu hal dan tidak memperhatikan Allah. Santo Agustinus berkata : "Timeo Iesum transeuntem" (Khotbah, 88,14,13), "Aku takut bahwa Yesus akan melewatiku tanpa diketahui". Terjebak dalam urusan sehari-hari kita sendiri (betapa kita mengetahui hal ini dengan baik!), dan terganggu oleh begitu banyak hal yang sia-sia, kita beresiko kehilangan pandangan tentang apa yang penting. Itulah sebabnya hari ini Tuhan mengulangi : "Apa yang Kukatakan kepada kamu, Kukatakan kepada semua orang: berjaga-jagalah!" (Mrk 13:37). Berjaga-jagalah, berhati-hatilah.

 

Berhati-hati dan berjaga-jaga, kiranya, berarti sekarang malam. Kita tidak hidup di siang bolong, tetapi menantikan fajar, di tengah kegelapan dan keletihan. Terang siang hari akan datang ketika kita sudi bersama Tuhan. Janganlah kita berkecil hati : terang siang hari akan datang, bayang-bayang malam akan sirna, dan Tuhan, yang wafat demi kita di kayu salib, akan bangkit menjadi hakim kita. Berhati-hati dan berjaga-jaga dalam mengharapkan kedatangan-Nya berarti tidak memperkenankan diri kita dikuasai oleh keputusasaan. Berhati-hati dan berjaga-jaga adalah hidup dalam harapan. Persis seperti sebelum kita lahir, orang-orang yang kita kasihi dengan penuh harap menantikan kedatangan kita ke dunia, juga sekarang Sang Kasih secara pribadi menantikan kita. Jika kita dinantikan di Surga, mengapa kita harus terjebak dengan perkara duniawi? Mengapa kita harus khawatir tentang uang, ketenaran, kesuksesan, yang semuanya akan berlalu? Mengapa kita harus membuang waktu untuk mengeluh tentang malam, ketika terang hari menantikan kita? Mengapa kita harus mencari "pelindung" untuk membantu memajukan karir kita? Semua ini berlalu. Hati-hatilah dan berjaga-jagalah!, Tuhan memberitahu kita.

 

Tetap terjaga tidaklah mudah; sangat sulit. Pada malam hari, tidur adalah hal yang wajar. Bahkan murid-murid Yesus tidak berhasil untuk tetap terjaga ketika diberitahu untuk tetap terjaga "menjelang malam hari, atau larut malam, atau saat kokok ayam jantan, atau pagi-pagi buta" (bdk. ayat 35). Saat itulah mereka tidak bangun : di malam hari, pada Perjamuan Terakhir, mereka mengkhianati Yesus; pada larut malam, mereka tertidur; saat ayam jantan berkokok, mereka menyangkal-Nya; pagi-pagi buta, mereka membiarkan-Nya dihukum mati. Mereka tidak berjaga-jaga. Mereka tertidur. Tetapi rasa kantuk yang sama juga bisa menguasai kita. Ada jenis tidur yang berbahaya : tidur yang biasa-biasa saja. Tidur tersebut datang ketika kita melupakan cinta pertama kita dan puas dengan ketidakpedulian, hanya peduli pada keberadaan yang tidak bermasalah. Tanpa berusaha untuk mengasihi Tuhan setiap hari dan menantikan kebaruan yang terus-menerus dibawa-Nya, kita menjadi biasa-biasa saja, suam-suam kuku, duniawi. Dan hal ini perlahan-lahan menggerogoti iman kita, karena iman adalah kebalikan dari biasa-biasa saja : iman adalah keinginan yang kuat untuk Allah, usaha yang berani untuk berubah, keberanian untuk mengasihi, kemajuan yang terus menerus. Iman bukanlah air yang memadamkan api, iman adalah api yang membakar; iman bukanlah obat penenang untuk orang yang sedang stres, iman adalah kisah kasih untuk orang-orang yang sedang jatuh cinta! Itulah sebabnya Yesus juga terutama membenci suam-suam kuku (bdk. Why 3:16). Allah terang-terangan meremehkan orang yang suam-suam kuku.

 

Bagaimana kita bisa membangunkan diri kita dari tidur biasa-biasa saja? Dengan kewaspadaan doa. Saat kita berdoa, kita menyalakan lilin dalam kegelapan. Doa membangunkan kita dari sifat suam-suam kuku keberadaan yang murni mendatar dan membuat kita menengadah kepada perkara yang lebih tinggi; doa membuat kita selaras dengan Tuhan. Doa memungkinkan Allah dekat dengan kita; doa membebaskan kita dari kesendirian kita dan memberi kita harapan. Doa sangat penting untuk kehidupan : sama seperti kita tidak bisa hidup tanpa bernapas, begitu pula kita tidak bisa menjadi orang Kristiani tanpa doa. Betapa kita membutuhkan umat Kristiani yang mengawasi orang-orang yang sedang tertidur, para penyembah yang mengantarai siang dan malam, membawa ke hadapan Yesus, Sang Terang Dunia, kegelapan sejarah. Betapa kita membutuhkan para penyembah. Kita telah kehilangan sesuatu dari citarasa adorasi kita, adorasi yang hening di hadapan Tuhan. Inilah biasa-biasa saja, suam-suam kuku.

 

Ada juga jenis tidur batin lainnya : tidur ketidakpedulian. Orang-orang yang acuh tak acuh melihat semuanya sama, seolah-olah malam; mereka tidak peduli dengan orang-orang di sekitar mereka. Ketika segala sesuatu berputar di sekitar kita dan kebutuhan kita, serta kita tidak acuh tak acuh dengan kebutuhan orang lain, malam turun dalam hati kita. Hati kita menjadi gelap. Kita segera mulai mengeluhkan segala hal dan semua orang; kita mulai merasa menjadi korban semua orang dan akhirnya merenungi segalanya. Sebuah lingkaran setan. Saat ini, malam tersebut sepertinya telah melanda begitu banyak orang, yang hanya menuntut sesuatu untuk dirinya sendiri, dan buta akan kebutuhan orang lain.

 

Bagaimana kita membangunkan diri kita dari tidur ketidakpedulian? Dengan kewaspadaan amal. Untuk membangunkan kita dari tidur biasa-biasa saja dan suam-suam kuku, ada kewaspadaan doa. Untuk membangunkan kita dari tidur ketidakpedulian itu, ada kewaspadaan amal. Amal adalah detak jantung umat Kristiani : sama seperti seseorang tidak bisa hidup tanpa detak jantung, begitu pula seseorang tidak bisa menjadi Kristiani tanpa kasih. Beberapa orang tampaknya berpikir bahwa berbelas kasih, membantu dan melayani orang lain adalah untuk para pecundang. Namun inilah satu-satunya hal yang memenangkan kita, karena sudah mengarah ke masa depan, hari Tuhan, ketika semua yang lain akan berlalu dan yang tetap ada hanya kasih. Kita mendekat kepada Tuhan melalui karya kerahimanlah. Inilah apa yang kita panjatkan dalam Doa Pembuka hari ini : “Anugerahilah [kami] ... kehendak yang kuat untuk menyongsong kedatangan Kristus dengan cara hidup yang baik”. Kehendak yang kuat untuk bertemu Kristus dengan perbuatan yang baik. Yesus akan datang, dan jalan untuk bertemu dengan-Nya ditandai dengan jelas : melalui karya amal.

 

Saudara dan saudari yang terkasih, berdoa dan penuh kasih : itulah artinya berjaga-jaga. Ketika Gereja menyembah Allah dan melayani sesama kita, ia tidak tinggal di malam hari. Betapapun lemah dan letihnya, ia melakukan perjalanan menuju Tuhan. Sekarang marilah kita memanggil-Nya. Datanglah, Tuhan Yesus, kami membutuhkan Engkau! Mendekatlah kepada kami. Engkaulah terang. Bangunkan kami dari tidur biasa-biasa saja; bangunkan kami dari kegelapan ketidakpedulian. Datanglah, Tuhan Yesus, enyahkanlah gangguan dalam hati kami dan jadikanlah hati kami waspada. Bangkitkan dalam diri kami keinginan untuk berdoa dan kebutuhan untuk mengasihi.

____

 

(Peter Suriadi - Bogor, 29 November 2020)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI RAYA TUHAN KITA YESUS KRISTUS RAJA SEMESTA ALAM 22 November 2020 : KITA DICIPTAKAN UNTUK MEWUJUDKAN IMPIAN ALLAH


Bacaan Liturgi : Yeh. 34:11-12,15-17; Mzm. 23:1-2a,2b-3,5-6; 1Kor. 15:20-26,28; Mat. 25:31-46.

 

Kita baru saja mendengar perikop Injil Matius yang terdapat tepat sebelum kisah Sengsara Kristus. Sebelum mencurahkan kasih-Nya kepada kita di kayu salib, Yesus menyampaikan keinginan-Nya yang terakhir. Ia memberitahu kita bahwa kebaikan yang kita lakukan untuk salah seorang dari saudara dan suadari kita yang paling hina  kamu - entah lapar atau haus, seorang asing, membutuhkan, sakit atau di dalam penjara - kita melakukan untuk-Nya (bdk. Mat 25:37-40). Dengan cara ini, Allah memberi kita “daftar karunia” untuk pesta perkawinan kekal yang akan Ia bagikan kepada kita di surga. Karunia-karunia tersebut adalah karya belas kasih yang membuat hidup kita kekal. Kita masing-masing dapat bertanya : Apakah aku melaksanakan karya-karya ini? Apakah aku melakukan sesuatu untuk seseorang yang membutuhkan? Atau apakah aku berbuat baik hanya untuk orang-orang yang kucintai dan sahabat-sahabatku? Apakah aku membantu seseorang yang tidak dapat memberi imbalan apapun kepadaku? Apakah aku sahabat orang miskin? Dan masih banyak pertanyaan serupa yang bisa kita tanyakan pada diri kita sendiri. “Di sanalah Aku”, Yesus berkata kepadamu, “Aku sedang menunggumu di sana, di mana kamu setidaknya berpikir dan bahkan mungkin tidak ingin melihat : di sana, di dalam diri orang miskin”. Aku ada di sana, di mana mentalitas yang berlaku, yang menurutnya hidup adalah baik jika hidup tersebut baik untukku, setidaknya sesuai harapanku. Aku ada di sana. Yesus juga mengucapkan kata-kata ini kepadamu, kaum muda, saat kamu berusaha untuk mewujudkan impian hidupmu.

 

Aku ada di sana. Yesus mengucapkan kata-kata ini berabad-abad yang lalu, kepada seorang perwira muda. Ia berumur delapan belas tahun dan belum dibaptis. Suatu hari ia melihat seorang miskin yang sedang meminta bantuan kepada orang-orang tetapi tidak menerima apa-apa, karena “semua orang berlalu”. Orang muda itu, “melihat bahwa orang lain tidak tergerak untuk berbelas kasih, memahami bahwa orang miskin ada untuknya. Namun ia tidak memiliki apa-apa, hanya seragam. Ia membagi dua jubahnya dan memberikan setengahnya kepada orang miskin itu, serta disambut dengan gelak tawa yang mengejek dari beberapa orang yang menyaksikannya. Malam berikutnya ia bermimpi : ia melihat Yesus, mengenakan setengah jubah yang telah ia lilitkan pada orang miskin itu, dan ia mendengar-Nya mengatakan : 'Martinus, kamu menutupi diri-Ku dengan jubah ini'" (bdk. SULPICIUS SEVERUS, Vita Martini, III). Santo Martinus adalah orang muda itu. Ia memiliki mimpi itu karena, tanpa menyadarinya, ia telah bertindak seperti orang benar dalam Injil hari ini.

 

Orang muda yang terkasih, saudara dan saudari yang terkasih, marilah kita tidak menyerah terhadap impian yang luar biasa. Marilah kita tidak hanya puas dengan apa yang diperlukan. Tuhan tidak ingin kita mempersempit wawasan kita atau tetap terparkir di pinggir jalan kehidupan. Ia ingin kita berlomba dengan berani dan penuh sukacita menuju tujuan yang luhur. Kita tidak diciptakan untuk bermimpi tentang liburan atau akhir pekan, tetapi mewujudkan impian Allah di dunia ini. Allah memampukan kita bermimpi, sehingga kita bisa merangkul keindahan hidup. Karya belas kasih ini adalah karya terindah dalam hidup. Karya tersebut langsung menuju pokok impian besar kita. Jika kamu sedang bermimpi tentang kemuliaan sejati, bukan kemuliaan dunia yang sedang berlalu ini tetapi kemuliaan Allah, inilah jalan yang harus diikuti. Bacalah lagi perikop Injil hari ini dan renungkanlah. Karena karya belas kasih memuliakan Allah melebihi apapun. Dengarkan baik-baik : karya belas kasihan memuliakan Allah melebihi apapun. Pada akhirnya kita akan dihakimi berdasarkan karya belas kasih.

 

Namun, bagaimana kita mulai mewujudkan impian besar? Dengan pilihan-pilihan yang luar biasa. Injil hari ini berbicara kepada kita tentang hal ini juga. Memang, pada penghakiman terakhir, Tuhan akan menghakimi kita berdasarkan pilihan-pilihan yang telah kita buat. Ia tampaknya hampir tidak menghakimi, tetapi hanya memisahkan domba dari kambing, sedangkan menjadi baik atau jahat tergantung pada kita. Ia hanya mengungkapkan akibat dari pilihan-pilihan kita, menyorotinya dan menghormatinya. Hidup, kita telaah, adalah waktu untuk membuat pilihan-pilihan yang masuk akal, menentukan, dan kekal. Pilihan yang tidak berarti mengarah pada kehidupan yang tidak berarti; pilihan-pilihan luar biasa untuk hidup yang luar biasa. Memang, kita menjadi apa yang kita pilih, menjadi lebih baik atau lebih buruk. Jika kita memilih untuk mencuri, kita menjadi pencuri. Jika kita memilih untuk memikirkan diri kita sendiri, kita menjadi egois. Jika kita memilih untuk membenci, kita menjadi pemarah. Jika kita memilih menghabiskan berjam-jam dengan gawai, kita menjadi kecanduan. Namun jika kita memilih Allah, setiap hari kita bertumbuh dalam kasih-Nya, dan jika kita memilih untuk mencintai orang lain, kita menemukan kebahagiaan sejati. Karena keindahan pilihan kita bergantung pada cinta. Ingatlah hal ini karena memang benar : keindahan pilihan kita bergantung pada cinta. Yesus tahu bahwa jika kita egois dan acuh tak acuh, kita tetap lumpuh, tetapi jika kita memberikan diri kita bagi orang lain, kita menjadi bebas. Tuhan Sang Empunya Kehidupan menginginkan kita menjadi penuh dengan kehidupan, dan Ia memberitahu kita rahasia kehidupan : kita bisa memilikinya hanya dengan memberikannya. Inilah aturan kehidupan : kita sampai pada memiliki kehidupan, sekarang dan dalam kekekalan, hanya dengan memberikannya.

 

Memang benar bahwa ada hambatan-hambatan yang dapat menyulitkan pilihan-pilihan kita : ketakutan, ketidakamanan, begitu banyak pertanyaan yang tak terjawab … Namun, cinta menuntut kita untuk melampaui hal ini, dan tidak terus bertanya-tanya mengapa hidup seperti ini, dan mengharapkan jawaban yang jatuh dari surga. Jawabannya telah tiba : tatapan Bapa yang mencintai kita dan yang telah mengutus Putra-Nya kepada kita. Tidak, cinta mendorong kita untuk melampaui mengapa, dan sebaliknya, tidak menanyakan "Mengapa aku hidup?", tetapi menanyakan kepada diri kita, "Untuk siapa aku hidup?" Dari "Mengapa hal ini sedang terjadi padaku?" menjadi "Siapa yang bisa kutolong?" Untuk siapa? Bukan hanya untuk diriku sendiri! Kehidupan sudah penuh dengan pilihan-pilihan yang kita buat untuk diri kita sendiri : apa yang harus dipelajari, sahabat manakah yang harus dimiliki, rumah apa yang akan dibeli, minat atau kegemaran apa yang ingin dikejar. Kita bisa menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk memikirkan diri kita sendiri, tanpa pernah benar-benar mulai mencintai. Alessandro Manzoni memberikan sepatah nasihat yang bagus : “Kita harus lebih bertujuan untuk berbuat baik kemudian menjadi baik: dan dengan demikian, pada akhirnya, kita seharusnya sungguh sampai menjadi lebih baik” (I Promessi Sposi [Sang Mempelai], Bab XXXVIII).

 

Tidak hanya keraguan dan pertanyaan yang dapat merusak pilihan-pilihan yang luar biasa dan murah hati, tetapi juga banyak hambatan lainnya setiap hari. Konsumerisme yang mendemam dapat membanjiri hati kita dengan hal-hal yang tidak berguna. Obsesi dengan kesenangan mungkin tampak sebagai satu-satunya cara untuk menghindari masalah, namun itu hanya menundanya. Perasaan mendalam dengan hak-hak kita dapat membuat kita mengabaikan tanggung jawab kita terhadap orang lain. Kemudian, ada kesalahpahaman besar tentang cinta, yang lebih dari sekadar emosi yang kuat, tetapi terutama sebuah karunia, pilihan, dan pengorbanan. Seni memilih dengan baik, terutama dewasa ini, berarti tidak mengusahakan persetujuan, tidak terjun ke dalam mentalitas konsumerisme yang menghalangi keaslian, dan tidak mengultuskan penampilan. Memilih kehidupan berarti menolak "budaya membuang" dan keinginan untuk memiliki "segalanya sekarang", guna mengarahkan kehidupan kita menuju tujuan surgawi, menuju impian Allah. Memilih kehidupan adalah hidup, dan kita dilahirkan untuk hidup, bukan hanya sekadar bertahan. Seorang pemuda seperti kamu, Beato Pier Giorgio Frassati, mengatakan hal ini : “Aku ingin hidup, bukan sekadar bertahan”.

 

Setiap hari, dalam hati kita, kita menghadapi banyak pilihan. Saya ingin memberimu sepatah nasihat terakhir untuk membantu melatihmu memilih dengan baik. Jika kita melihat ke dalam diri kita sendiri, kita dapat melihat munculnya dua pertanyaan yang sangat berbeda. Kita menanyakan, "Apa yang ingin kulakukan?" Pertanyaan ini sering kali terbukti menyesatkan, karena menunjukkan bahwa yang sungguh penting adalah memikirkan diri kita sendiri serta menuruti keinginan dan dorongan kita. Pertanyaan yang ditanamkan Roh Kudus dalam hati kita adalah pertanyaan yang sangat berbeda : bukan "Apa yang ingin kamu lakukan?" tetapi "Apa yang terbaik untukmu?" Itulah pilihan yang harus kita buat setiap hari : apa yang ingin kulakukan atau apa yang terbaik untukku? Ketajaman batin ini dapat menghasilkan pilihan yang remeh-temeh atau keputusan yang membentuk hidup kita - tergantung pada diri kita. Marilah kita memandang Yesus dan memohonkan kepada-Nya keberanian untuk memilih yang terbaik bagi kita, memampukan kita mengikuti-Nya di jalan cinta. Dan dengan jalan ini menemukan sukacita. Hidup, dan tidak sekadar bertahan.

 

[Pernyataan Bapa Suci pada Akhir Misa Kudus]

 

Di akhir perayaan Ekaristi ini, dengan hangat saya menyapa kalian semua yang hadir dan semua yang bergabung dengan kita melalui media. Sapaan khusus tertuju kepada kaum muda Panama dan Portugal, yang diwakili oleh dua delegasi yang akan segera ambil bagian dalam upacara penting serah terima Salib dan ikon Bunda Maria Salus Populi Romani, lambang Hari Orang Muda Sedunia. Ini adalah langkah penting dalam peziarahan yang akan membawa kita ke Lisbon pada tahun 2023.

 

Dan saat kita mempersiapkan gelaran Hari Orang Muda Sedunia antarbenua berikutnya, saya juga ingin memperbarui perayaannya di Gereja-gereja lokal. Tiga puluh lima tahun setelah pencanangan Hari Orang Muda Sedunia, setelah mendengarkan berbagai pendapat dan bertukar pikiran dengan Dikasteri untuk Kaum Awam, Keluarga dan Kehidupan, yang bertanggung jawab atas pelayanan kaum muda, saya telah memutuskan, mulai tahun depan, untuk memindahkan perayaan Hari Orang Muda Sedunia tingkat keuskupan dari Hari Minggu Palma ke Hari Raya Tuhan Kita Yesus Kristus Raja Semesta Alam. Pusat perayaan tetap Misteri Yesus Kristus Sang Penebus Manusia, seperti yang selalu ditekankan oleh Santo Yohanes Paulus II, penggagas dan pelindung Hari Orang Muda Sedunia.

 

Orang-orang muda yang terkasih, berteriaklah dengan hidup kalian bahwa Kristus hidup, Kristus memerintah, Kristus adalah Tuhan! Jika kalian diam, saya memberitahu kalian, batu-batu akan berteriak" (bdk. Luk 19:40).

___


(Peter Suriadi - Bogor, 22 November 2020)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XXXIII (HARI ORANG MISKIN SEDUNIA) 15 November 2020 : ULURKANLAH TANGANMU KEPADA ORANG MISKIN MAKA KAMU AKAN MELIPATGANDAKAN TALENTA YANG KAMU MILIKI


Bacaan Liturgi : Ams. 31:10-13,19-20,30-31; Mzm. 128:1-2,3,4-5; 1Tes. 5:1-6; Mat. 25:14-30 (Mat. 25:14-15,19-21).

 

Perumpamaan yang baru saja kita dengarkan memiliki awal, pusat dan akhir, yang menjelaskan awal, pusat dan akhir hidup kita.

 

Awal. Semuanya dimulai dengan kebaikan yang luar biasa. Sang tuan tidak menyimpan kekayaannya untuk dirinya sendiri, tetapi memberikannya kepada para hambanya; yang seorang lima talenta, yang seorang lagi dua talenta dan yang seorang lain lagi satu talenta, "masing-masing menurut kesanggupannya" (Mat 25:15). Menurut perhitungan, satu talenta setara dengan pendapatan dari pekerjaan selama sekitar dua puluh tahun : satu talenta sangat berharga, dan akan cukup untuk seumur hidup. Inilah awal. Bagi kita juga, semuanya dimulai dengan rahmat Allah - semuanya selalu dimulai dengan rahmat, bukan dengan upaya kita sendiri - dengan rahmat Allah, yang adalah Bapa dan telah memberi kita begitu banyak hal yang baik, mempercayakan talenta yang berbeda kepada kita masing-masing. Kita memiliki kekayaan yang luar biasa yang tidak bergantung pada apa yang kita miliki tetapi pada diri kita apa adanya : kehidupan yang telah kita terima, kebaikan di dalam diri kita, keindahan yang tak terhapuskan yang diberikan Allah kepada kita dengan menjadikan kita menurut citra-Nya ... Semua hal ini membentuk diri kita masing-masing berharga di mata-Nya, diri kita masing-masing tak ternilai harganya dan unik dalam sejarah! Inilah cara Allah memandang kita, bagaimana perasaan Allah terhadap kita.

 

Kita perlu mengingat hal ini. Terlalu sering, ketika melihat hidup kita, kita hanya melihat kekurangan kita, dan kita mengeluhkan kekurangan kita. Kita kemudian menyerah pada godaan untuk mengatakan : “Seandainya saja …!” Seandainya saja aku punya pekerjaan itu, seandainya saja aku punya rumah itu, seandainya saja aku punya uang dan sukses, seandainya saja aku tidak punya masalah ini atau itu, seandainya saja aku punya orang-orang yang lebih baik di sekitarku…! Tetapi kata-kata khayalan itu - seandainya saja! - menghalangi kita melihat hal-hal yang baik di sekitar kita. Kata-kata tersebut membuat kita melupakan talenta yang kita miliki. Kamu mungkin tidak memiliki itu, tetapi kamu memiliki ini, dan "seandainya saja" membuat kita melupakan ini. Namun Allah memberikan talenta itu kepada kita karena Ia mengenal kita masing-masing dan Ia tahu kemampuan kita. Ia memercayai kita, terlepas dari kelemahan kita. Allah bahkan memercayai hamba yang akan menyembunyikan talentanya, berharap meskipun ketakutan, ia juga akan menggunakan apa yang diterimanya dengan baik. Singkatnya, Allah meminta kita untuk memanfaatkan saat ini sebaik-baiknya, bukan merindukan masa lalu, tetapi dengan tekun menunggu kedatangan-Nya kembali. Betapa buruknya nostalgia itu, yang seperti suasana hati yang gelap meracuni jiwa kita dan membuat kita selalu menoleh ke belakang, selalu pada orang lain, tetapi tidak pernah ke tangan kita sendiri atau pada kesempatan untuk bekerja yang telah diberikan Tuhan kepada kita, tidak pernah pada situasi kita … Bahkan tidak pada kemiskinan kita.

 

Hal ini membawa kita ke inti perumpamaan : pekerjaan para hamba, yaitu pelayanan. Pelayanan adalah pekerjaan kita juga; pelayanan membuat talenta kita menghasilkan buah dan memberi makna pada hidup kita. Orang-orang yang tidak hidup untuk melayani, melayani sedikit dalam kehidupan ini. Kita harus mengulangi hal ini, dan sering mengulanginya : orang-orang yang tidak hidup untuk melayani, melayani sedikit dalam hidup ini. Kita harus merenungkan hal ini : orang-orang yang tidak hidup untuk melayani, melayani sedikit dalam hidup ini. Tetapi pelayanan macam apa yang sedang kita bicarakan? Dalam Injil, hamba yang baik adalah orang-orang yang mengambil resiko. Mereka tidak takut dan terlalu berhati-hati, mereka tidak bergantung pada apa yang mereka miliki, tetapi memanfaatkannya dengan baik. Karena jika tidak diinvestasikan, kebaikan akan hilang, dan kemegahan hidup kita tidak diukur dengan seberapa banyak kita menyimpan tetapi dengan buah yang kita hasilkan. Berapa banyak orang menghabiskan hidup mereka hanya untuk mengumpulkan harta benda, hanya memikirkan kehidupan yang baik dan bukan kebaikan yang dapat mereka lakukan. Namun betapa hampanya kehidupan yang berpusat pada kebutuhan kita dan buta terhadap kebutuhan orang lain! Alasan kita memiliki karunia adalah agar kita bisa menjadi karunia untuk orang lain. Dan di sini, saudara dan saudari, kita seharusnya mengajukan pada diri sendiri pertanyaan : apakah aku hanya mengikuti kebutuhanku sendiri, atau dapatkah aku memperhatikan kebutuhan orang lain, siapa pun yang membutuhkan? Apakah tanganku terulur, atau terkatup?

 

Tepat empat kali para hamba yang menginvestasikan talenta mereka, yang mengambil resiko, disebut "setia" (ayat 21, 23) sangatlah penting. Demi Injil, kesetiaan tidak pernah bebas resiko. “Tetapi, Bapa, apakah menjadi seorang Kristiani berarti mengambil resiko?” - “Ya, kekasihku, ambillah resiko. Jika kamu tidak mengambil resiko, kamu akhirnya akan seperti [hamba] yang ketiga : mengubur kemampuanmu, kekayaan rohani dan jasmanimu, semuanya”. Mengambil resiko : tidak ada kesetiaan tanpa resiko. Kesetiaan kepada Allah berarti menyerahkan hidup kita, membiarkan rencana kita yang telah disusun dengan seksama terganggu oleh kebutuhan kita untuk melayani. “Tetapi aku memiliki rencana, dan andaikan saja aku harus melayani…”. Biarkan rencanaku kacau, pergi dan melayani. Ketika orang Kristiani memainkan permainan defensif, puas sekadar mematuhi aturan dan mematuhi perintah sungguh menyedihkan. Orang Kristiani "moderat" yang tidak pernah melampaui batas, tidak pernah, karena mereka takut akan resiko. Dan mereka, perkenankan saya menggambarkan hal ini, orang-orang yang menjaga diri mereka untuk menghindari resiko memulai dalam hidup mereka proses mumifikasi jiwa mereka, dan mereka berakhir sebagai mumi. Mengikuti aturan saja tidak cukup; kesetiaan kepada Yesus bukan hanya tentang tidak membuat kesalahan, ini sangat keliru. Itulah yang dipikirkan oleh hamba yang malas dalam perumpamaan itu : karena kurangnya inisiatif dan kreativitas, ia menyerah pada rasa takut yang tidak perlu dan mengubur talenta yang telah ia terima. Sang tuan sungguh menyebutnya "jahat" (ayat 26). Namun ia tidak melakukan kesalahan apa pun! Tetapi ia juga tidak melakukan hal yang baik. Ia lebih suka berbuat dosa karena kelalaian daripada mengambil resiko membuat kesalahan. Ia tidak setia kepada Allah, yang membelanjakan uangnya dengan bebas, dan ia membuat kesalahannya semakin parah dengan mengembalikan karunia yang telah ia terima. "Engkau memberiku ini, dan aku memberikannya kepada Engkau", tidak lebih. Allah, dari pihak-Nya, meminta kita untuk bermurah hati, menaklukkan ketakutan dengan keberanian cinta, mengatasi kepasifan yang menjadi keterlibatan. Hari ini, di masa ketidakpastian ini, di masa ketidakstabilan ini, janganlah kita menyia-nyiakan hidup kita dengan hanya memikirkan diri kita sendiri, acuh tak acuh kepada orang lain, atau menipu diri kita sendiri dengan berpikir : "semuanya damai dan aman!" (1 Tes 5:3). Santo Paulus mengundang kita untuk melihat kenyataan di wajah dan menghindari berjangkitnya ketidakpedulian.

 

Lalu bagaimana kita melayani, sebagaimana diinginkan Allah terhadap diri kita? Sang tuan memberitahu hamba yang tidak setia : “Karena itu sudahlah seharusnya uangku itu kauberikan kepada orang yang menjalankan uang, supaya sekembaliku aku menerimanya serta dengan bunganya” (ayat 27). Siapakah “orang yang menjalankan uang” yang bisa memberi kita bunga jangka panjang? Mereka adalah orang miskin. Jangan lupa : orang miskin adalah inti dari Injil; kita tidak dapat memahami Injil tanpa orang miskin. Orang miskin seperti Yesus sendiri, yang, meskipun kaya, mengosongkan diri-Nya, menjadikan diri-Nya miskin, bahkan menanggung dosa ke atas diri-Nya sendiri : jenis kemiskinan yang paling buruk. Orang miskin menjamin kita pendapatan kekal. Bahkan sekarang mereka membantu kita menjadi kaya akan cinta. Karena jenis kemiskinan terburuk yang perlu diberantas adalah kemiskinan cinta kita. Jenis kemiskinan terburuk yang perlu diberantas adalah kemiskinan cinta kita. Kitab Amsal memuji perempuan yang kaya akan cinta, yang nilainya lebih besar daripada mutiara. Kita diperintahkan untuk meneladan perempuan yang "mengulurkan tangannya kepada yang miskin" (Ams 31:20): itulah kekayaan terbesar dari perempuan ini. Ulurkan tanganmu kepada orang miskin, alih-alih menuntut kekuranganmu. Dengan cara ini, kamu akan melipatgandakan talenta yang telah kamu terima.

 

Masa Natal semakin dekat, masa liburan. Seberapa sering kita mendengar orang bertanya : “Apa yang bisa kubeli? Apalagi yang bisa kumiliki? Aku harus pergi berbelanja”. Mari kita gunakan kata-kata yang berbeda : “Apa yang bisa kuberikan kepada orang lain?”, Guna menjadi seperti Yesus, yang memberikan diri-Nya dan lahir di palungan”.

 

Sekarang kita sampai pada akhir perumpamaan. Beberapa orang akan kaya, sementara yang lain, yang punya banyak dan menyia-nyiakan hidup mereka, akan menjadi miskin (bdk. ayat 29). Di akhir hidup kita, kebenaran akan terungkap. Kepura-puraan dunia ini akan memudar, dengan anggapannya bahwa kesuksesan, kekuasaan dan uang memberi makna pada kehidupan, sedangkan cinta - cinta yang telah kita berikan - akan terungkap sebagai kekayaan yang sesungguhnya. Hal-hal itu akan runtuh, namun cinta akan muncul. Seorang Bapa Gereja yang hebat menulis : “Mengenai kehidupan ini, ketika kematian datang dan teater ditinggalkan, ketika semua melepaskan topeng kekayaan atau kemiskinan mereka dan pergi karenanya, dinilai hanya oleh pekerjaan mereka, mereka akan terlihat untuk apa mereka ada : beberapa orang benar-benar kaya, yang lain miskin” (Santo Yohanes Krisostomus, Homili tentang Lazarus, Si Orang Miskin, II, 3). Jika kita tidak ingin hidup dengan buruk, marilah kita memohon rahmat untuk melihat Yesus di dalam diri orang miskin, melayani Yesus di dalam diri orang miskin.

 

Saya ingin berterima kasih kepada semua hamba Allah yang setia yang dengan tenang menghayati cara ini, melayani sesama. Saya memikirkan, misalnya, Pastor Roberto Malgesini. Imam ini tidak tertarik pada teori; ia hanya melihat Yesus di dalam diri orang miskin dan menemukan makna hidup dalam melayani mereka. Ia mengeringkan air mata mereka dengan kelembutannya, atas nama Allah yang menghibur. Awal harinya adalah doa, menerima rahmat Allah; pusat harinya adalah amal, membuat cinta yang telah ia terima menghasilkan buah; akhir harinya adalah kesaksiannya yang gamblang tentang Injil. Orang ini menyadari bahwa ia harus mengulurkan tangannya kepada semua orang miskin yang ia temui setiap hari, karena ia melihat Yesus dalam diri mereka masing-masing. Saudara dan saudari, marilah kita memohon rahmat untuk menjadi orang Kristiani bukan dalam perkataan, tetapi dalam perbuatan. Menghasilkan buah, seperti yang dikehendaki Yesus. Semoga hal ini benar-benar terjadi.

_____


(Peter Suriadi - Bogor, 15 November 2020)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA UNTUK PARA KARDINAL DAN PARA USKUP YANG MENINGGAL DALAM SETAHUN TERAKHIR DI BASILIKA SANTO PETRUS (VATIKAN) 5 November 2020


Dalam perikop Injil yang baru saja kita dengar (Yoh 11:17-27), Yesus berkata dengan sungguh-sungguh tentang diri-Nya sendiri : "Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya" (ayat 25-26). Pancaran kata-kata ini mengenyahkan gelapnya dukacita yang mendalam yang disebabkan oleh kematian Lazarus. Marta menerima kata-kata itu dan, dengan pengakuan iman yang teguh, menyatakan : "Ya, Tuhan, aku percaya, bahwa Engkaulah Mesias, Putra Allah, Dia yang akan datang ke dalam dunia" (ayat 27). Kata-kata Yesus membuat pengharapan Marta beralih dari masa depan yang jauh ke masa kini : kebangkitan sudah mendekat kepadanya, hadir dalam pribadi Kristus.

 

Hari ini, pewahyuan Yesus juga menantang kita : kita juga dipanggil untuk percaya akan kebangkitan, bukan sebagai semacam fatamorgana yang jauh tetapi sebagai peristiwa yang sudah ada dan bahkan sekarang secara misterius bekerja dalam hidup kita. Namun iman kita akan kebangkitan tidak mengabaikan atau menutupi kebingungan yang sungguh manusiawi yang kita rasakan saat menghadapi kematian. Tuhan Yesus sendiri, melihat air mata kedua saudara perempuan Lazarus dan orang-orang di sekitar mereka, tidak menyembunyikan perasaan-Nya, sebagaimana ditambahkan oleh penginjil Yohanes, bahkan “Ia menangis” (Yoh 11:35). Kecuali dosa, Ia sepenuhnya salah seorang dari kita : Ia juga mengalami drama dukacita, kegetiran air mata tertumpah karena kehilangan orang yang dikasihi. Namun hal ini tidak mengaburkan cahaya kebenaran yang sedang memancar dari pewahyuan-Nya, yang merupakan suatu tanda yang besar dalam kebangkitan Lazarus.

 

Hari ini, Tuhan mengulangi kepada kita : “Akulah kebangkitan dan hidup” (ayat 25). Ia memanggil kita untuk sekali lagi mengambil lompatan iman yang besar dan, bahkan sekarang, memasuki cahaya kebangkitan. “Setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya. Percayakah engkau akan hal ini?" (ayat 26). Setelah kita melakukan lompatan ini, cara kita berpikir dan memandang sesuatu berubah. Mata iman, melampaui hal-hal yang kelihatan, memandang dengan cara tertentu kenyataan yang tidak kelihatan (bdk. Ibr 11:27). Segala sesuatu yang terjadi kelak dinilai dalam terang dimensi lain, dimensi keabadian.

 

Kita menemukan hal ini dalam kutipan Kitab Kebijaksanaan. Kematian mendadak dari orang benar dipandang dari sudut pandang yang berbeda. “Karena berkenan pada Allah maka orang benar dikasihi, ia dipindahkan sedang masih hidup di tengah-tengah orang berdosa ... supaya kejahatan jangan mengubah budinya, dan tipu daya jangan membujuk jiwanya” (4:10-11). Dilihat dari sudut pandang iman, kematian mereka tidak tampak sebagai kemalangan tetapi sebagai tindakan pemeliharaan Tuhan, yang pikiran-Nya tidak seperti pikiran kita. Sebagai contoh, penulis kitab suci sendiri menunjukkan bahwa di mata Allah, "usia lanjut adalah terhormat bukan karena waktunya panjang dan bukan karena tahunnya berjumlah banyak; tetapi pengertian orang adalah uban, dan hidup yang tak bercela merupakan usia yang lanjut” (4:8-9). Rencana kasih Allah untuk orang-orang pilihan-Nya sepenuhnya diabaikan oleh mereka yang cakrawala satu-satunya adalah hal-hal di dunia ini. Akibatnya, sejauh yang mereka ketahui, dikatakan bahwa “sungguhpun mereka melihat ajal orang yang bijak, tetapi tak mengerti apa yang direncanakan Tuhan baginya” (4:17).

 

Saat kita mendoakan para kardinal dan para uskup yang telah meninggal dalam setahun terakhir ini, kita memohon kepada Tuhan untuk membantu kita mempertimbangkan dengan benar perumpamaan tentang kehidupan mereka. Kita memohon kepada-Nya untuk mengenyahkan dukacita yang tidak kudus yang terkadang kita rasakan, berpikir bahwa kematian adalah akhir dari segalanya. Perasaan yang jauh dari iman, namun sebagian dari ketakutan manusia akan kematian dirasakan oleh semua orang. Karena alasan ini, berhadapan dengan teka-teki kematian, orang percaya juga harus terus bertobat. Setiap hari kita dipanggil untuk meninggalkan gambaran naluriah kita sehubungan dengan kematian sebagai sebuah kehancuran total seseorang. Kita dipanggil untuk meninggalkan dunia nyata yang kita anggap remeh, cara berpikir kita yang biasa dan lumrah, dan mempercayakan diri kita sepenuhnya kepada Tuhan yang mengatakan kepada kita : “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya" (Yoh 11: 25-26).

 

Kata-kata ini, saudara-saudari, yang diterima dalam iman, menjadikan doa kita untuk saudara-saudara kita yang telah meninggal benar-benar kristiani. Kata-kata ini memungkinkan kita untuk memiliki visi yang benar-benar realistis tentang kehidupan yang mereka jalani, memahami makna dan nilai kebaikan yang mereka yang capai, kekuatan mereka, ketetapan hati mereka dan cinta mereka yang berlimpah dan tidak egois. Dan untuk memahami makna kehidupan yang tidak mencita-citakan tanah air duniawi, tetapi tanah air surgawi yang lebih baik (bdk. Ibr 11:16). Doa-doa untuk umat beriman yang telah meninggal, yang dipersembahkan dengan penuh keyakinan bahwa mereka sekarang hidup bersama Allah, juga sangat bermanfaat bagi diri kita sendiri dalam hal ini, peziarahan duniawi kita. Doa-doa tersebut menanamkan dalam diri kita visi kehidupan yang sesungguhnya; doa-doa tersebut mengungkapkan kepada kita makna pencobaan yang harus kita tanggung untuk memasuki kerajaan Allah; doa-doa tersebut membuka hati kita terhadap kebebasan sejati dan tanpa henti mengilhami kita untuk mengusahakan kekayaan abadi.

 

Dalam kata-kata Rasul Paulus, kita juga “tabah hati ... baik kita diam di dalam tubuh ini, maupun kita diam di luarnya, supaya kita berkenan kepada-Nya” (2 Kor 5:8-9). Kehidupan seorang hamba Injil dibentuk oleh keinginan untuk berkenan kepada Tuhan dalam segala hal. Inilah kriteria setiap keputusan kita, setiap langkah yang kita ambil. Jadi, kita mengingat dengan rasa syukur kesaksian dari para kardinal dan para uskup yang telah meninggal, yang diberikan dalam kesetiaan terhadap kehendak Allah. Kita mendoakan mereka dan kita berusaha untuk mengikuti teladan mereka. Semoga Tuhan terus mencurahkan Roh kebijaksanaan-Nya kepada kita, terutama selama masa pencobaan ini. Apalagi saat perjalanan semakin sulit. Ia tidak meninggalkan kita, tetapi tetap di tengah-tengah kita, senantiasa setia pada janji-Nya : “Ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman" (Mat. 28:20).

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA PENGENANGAN ARWAH SEMUA ORANG BERIMAN DI GEREJA KOLOSE KEPAUSAN SANTA MARIA, PEMAKAMAN TEUTONIC, CAMPOSANTO, VATIKAN, 2 November 2020 : PENGHARAPAN ADALAH KARUNIA CUMA-CUMA YANG TIDAK PERNAH LAYAK UNTUK KITA


Bacaan Liturgi : Ayb 19:1-27; Rm 5:1-10; Yoh. 6:37-40

 

Ayub kalah, benar-benar habis dalam keberadaannya karena penyakit, dengan kulitnya terkelupas, hampir di titik kematian, hampir tanpa daging, Ayub memiliki suatu kepastian dan ia berkata : “Tetapi aku tahu : Penebusku hidup, dan akhirnya Ia akan bangkit di atas debu" (Ayb 19:25). Pada saat Ayub sangat terpuruk, terpuruk, terpuruk, pelukan cahaya dan kehangatan itulah yang meyakinkannya. Saya akan melihat Penebus; aku akan melihat-Nya secara langsung, “Aku sendiri akan melihat Allah memihak kepadaku; mataku sendiri menyaksikan-Nya dan bukan orang lain” (Ayb 19:27).

 

Kepastian ini, pada kenyataannya di saat-saat terakhir kehidupan, adalah pengharapan Kristiani. Pengharapan tersebut adalah karunia : kita tidak bisa memilikinya. Karunia itulah yang harus kita mohonkan : "Tuhan, berilah aku pengharapan". Ada begitu banyak hal mengerikan yang membuat kita putus asa, percaya bahwa segalanya akan menjadi kekalahan pamungkas, bahwa setelah kematian tidak ada apa-apa ... Dan suara Ayub kembali, kembali: “Aku tahu : Penebusku hidup, dan akhirnya Ia akan bangkit di atas debu! [...] Aku sendiri akan melihat-Nya, mataku sendiri menyaksikan-Nya".

 

“Pengharapan tidak mengecewakan” (Rm 5:5), kata Paulus kepada kita. Pengharapan menjangkau kita dan memberi makna pada kehidupan kita. Saya tidak melihat lebih jauh, tetapi pengharapan adalah karunia Allah yang membawa kita menuju kehidupan, menuju sukacita abadi. Di sisi lain, pengharapan adalah sauh yang kita miliki dan kita menopang diri kita, berpegangan pada tali (bdk. Ibr 6:18-20). “Aku tahu Penebusku hidup, dan aku sendiri akan melihat-Nya". Dan kita harus mengulanginya di saat-saat sukacita dan di saat-saat buruk, di saat-saat kematian, marilah kita mengatakannya.

 

Kepastian ini merupakan karunia Allah karena kita tidak pernah bisa memiliki pengharapan dengan kekuatan kita sendiri. Kita harus memohonkannya. Pengharapan adalah karunia cuma-cuma yang tidak pernah layak bagi kita. Pengharapan diberikan. Pengharapan diberikan; pengharapan diberikan; pengharapan adalah rahmat.

 

Dan kemudian, Tuhan menegaskan hal ini, pengharapan yang tidak mengecewakan ini. “Semua yang diberikan Bapa kepada-Ku akan datang kepada-Ku” (Yoh 6:37a). Inilah akhir dari pengharapan : pergi kepada Yesus, ”dan barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan Kubuang. Sebab Aku telah turun dari sorga bukan untuk melakukan kehendak-Ku, tetapi untuk melakukan kehendak Dia yang telah mengutus Aku” (Yoh 6:37a-38). Tuhan menerima kita di sana, di mana sauh itu berada. Hidup dalam pengharapan adalah hidup demikian : kemelekatan, dengan tali di tangan, kuat, mengetahui bahwa tali itu ada di bawah sana. Dan tali ini tidak mengecewakan, ia tidak mengecewakan.

 

Hari ini, memikirkan tentang banyak saudara dan saudari yang telah pergi, ada baiknya kita melihat kuburan dan mengunjungi. Dan mengulangi, seperti Ayub : “Aku tahu: Penebusku hidup, dan aku sendiri akan melihat-Nya, mataku sendiri menyaksikan-Nya dan bukan orang lain". Dan inilah kekuatan yang diberikan pengharapan kepada kita, karunia cuma-cuma ini adalah keutamaan pengharapan. Semoga Tuhan memberikannya kepada kita semua.