Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI MINGGU PALMA DI BASILIKA SANTO PETRUS, VATIKAN 28 Maret 2021 : BERALIH DARI KEKAGUMAN MENJADI KETAKJUBAN


Bacaan Liturgi : Mrk. 11:1-10 atau Yoh. 12:12-16 (Pemberkatan daun palma dan perarakan); Yes. 50:4-7; Mzm. 22:8-9,17-18a,19-20,23-24; Flp. 2:6-11; Mrk. 14:1-15:47.

 

Setiap tahun liturgi ini membuat kita takjub : kita beralih dari sukacita menyambut Yesus saat Ia memasuki Yerusalem menjadi kesedihan menyaksikan-Nya dihukum mati dan kemudian disalibkan. Rasa takjub batiniah itu akan tinggal bersama kita sepanjang Pekan Suci. Marilah kita berkaca padanya lebih dalam.

 

Sejak awal, Yesus membuat kita takjub. Bangsa-Nya menyambut-Nya dengan meriah, namun Ia memasuki Yerusalem dengan menunggang keledai. Bangsa-Nya mengharapkan seorang pembebas yang perkasa pada saat Paskah, namun Ia datang untuk menggenapi Paskah dengan mengorbankan diri-Nya. Bangsa-Nya sedang mengharapkan kedigjayaan atas bangsa Romawi dengan pedang, tetapi Yesus datang untuk merayakan kedigjayaan Allah melalui salib. Apa yang terjadi dengan orang-orang yang dalam beberapa hari berubah dari menyerukan "Hosana" menjadi meneriakkan "Salibkan Dia"? Apa yang terjadi? Mereka mengikuti gagasan tentang Mesias ketimbang Mesias. Mereka mengagumi Yesus, tetapi mereka tidak memperkenankan diri ditakjubkan oleh-Nya. Ketakjuban tidak sama dengan kekaguman. Kekaguman bisa duniawi, karena mengikuti selera dan pengharapannya sendiri. Ketakjuban, di sisi lain, tetap terbuka terhadap orang lain dan hal baru yang dibawa orang lain. Bahkan dewasa ini, ada banyak orang yang mengagumi Yesus : Ia mengatakan hal-hal yang indah; Ia dipenuhi dengan kasih dan pengampunan; keteladanan-Nya mengubah sejarah,… dan seterusnya. Mereka mengagumi-Nya, tetapi hidup mereka tidak berubah. Mengagumi Yesus saja tidak cukup. Kita harus mengikuti jejak-Nya, memperkenankan diri kita ditantang oleh-Nya; beralih dari kekaguman menjadi ketakjuban.

 

Apa yang paling menakjubkan tentang Tuhan dan Paskah-Nya? Pada kenyataannya, Ia mencapai kemuliaan melalui penghinaan. Ia digjaya dengan menerima penderitaan dan kematian, hal-hal yang, dalam mengupayakan kekaguman dan kesuksesan, lebih suka kita hindari. Yesus - seperti yang dikatakan Santo Paulus - “mengosongkan diri-Nya … Ia merendahkan diri-Nya” (Flp 2:7.8). Inilah hal yang menakjubkan : melihat Yang Mahakuasa direduksi menjadi tidak ada apa-apanya. Memandang Sang Sabda yang memahami segalanya mengajari kita dalam keheningan dari ketinggian salib. Memandang raja dari segala raja yang bertakhta di tiang gantungan. Memandang Allah semesta alam dilucuti dari segalanya dan dimahkotai duri, bukan dimahkotai kemuliaan. Memandang Sang Kebaikan yang menjadi manusia, dihina dan disesah. Mengapa semua penghinaan ini? Mengapa, Tuhan, apakah Engkau ingin menanggung semua ini?

 

Yesus melakukannya untuk kita, untuk menyelami kedalaman pengalaman manusiawi kita, seluruh keberadaan kita, seluruh kejahatan kita. Mendekati kita dan tidak meninggalkan kita dalam penderitaan dan kematian. Menebus kita, menyelamatkan kita. Yesus ditinggikan di kayu salib untuk turun ke jurang penderitaan kita. Ia mengalami kesedihan kita yang terdalam : kegagalan, kehilangan segalanya, pengkhianatan oleh seorang sahabat, bahkan ditinggalkan oleh Allah. Dengan mengalami dalam rupa daging pergumulan dan pertikaian kita yang terdalam, Ia menebus dan mengubah rupa pergumulan dan pertikaian tersebut. Kasih-Nya mendekati kerapuhan kita; kasih-Nya menyentuh hal-hal yang paling membuat kita malu. Namun sekarang kita tahu bahwa kita tidak sendirian : Allah berada di sisi kita dalam setiap penderitaan, dalam setiap ketakutan; tidak ada kejahatan, tidak ada dosa yang akan memiliki kata akhir. Allah digjaya, tetapi palma kemenangan melalui kayu salib. Karena palma dan salib tidak bisa dipisahkan.

 

Marilah kita memohon rahmat ditakjubkan. Kehidupan Kristiani tanpa ketakjuban menjadi menjemukan dan suram. Bagaimana kita bisa berbicara tentang sukacita bertemu Yesus, kecuali kita setiap hari heran dan takjub dengan kasih-Nya, yang memberi kita pengampunan dan kemungkinan awal yang baru? Ketika iman tidak lagi mengalami ketakjuban, iman menjadi tumpul : iman menjadi buta terhadap keajaiban rahmat; iman tidak bisa lagi merasakan Roti hidup dan mendengarkan Sabda; iman tidak bisa lagi melihat keindahan saudara-saudari kita dan karunia ciptaan. Tidak ada jalan lain selain berlindung dalam legalisme, klerikalisme dan semua hal ini yang dikecam Yesus dalam Injil Matius bab 23.

 

Selama Pekan Suci ini, marilah kita memandang salib, untuk menerima rahmat ketakjuban. Ketika Santo Fransiskus dari Asisi merenungkan Tuhan yang tersalib, ia takjub karena para koleganya tidak menangis. Bagaimana dengan kita? Bisakah kita tetap tergerak oleh kasih Allah? Apakah kita sudah kehilangan kemampuan untuk ditakjubkan oleh-Nya? Mengapa? Mungkin iman kita menjadi tumpul karena kebiasaan. Mungkin kita tetap terjebak dalam penyesalan dan memperkenankan diri kita dilumpuhkan oleh kekecewaan. Mungkin kita telah kehilangan kepercayaan atau bahkan merasa tidak berharga. Tetapi barangkali, di balik semua “mungkin” ini, terletak kenyataan bahwa kita tidak terbuka terhadap karunia Roh yang memberi kita rahmat ketakjuban.

 

Marilah kita memulai dari ketakjuban. Marilah kita memandang Yesus di kayu salib dan berkata kepada-Nya : “Tuhan, betapa Engkau mengasihiku! Betapa berharganya aku bagi-Mu!" Marilah kita ditakjubkan oleh Yesus sehingga kita dapat mulai hidup kembali, karena keagungan hidup tidak terletak pada harta benda dan kepangkatan, tetapi terletak dalam kesadaran bahwa kita dikasihi. Inilah keagungan hidup : mendapati bahwa kita dikasihi. Dan keagungan hidup justru terletak pada keindahan kasih. Di dalam diri Yesus yang tersalib, kita melihat Allah dipermalukan, Yang Mahakuasa disingkirkan dan dicampakkan. Dan dengan rahmat ketakjuban kita menyadari bahwa dengan menyambut orang-orang yang tersingkir dan tercampakkan, dengan mendekati orang-orang yang diperlakukan buruk oleh kehidupan, kita mengasihi Yesus. Karena di situlah Ia ada : dalam diri saudara dan saudari kita yang paling hina, dalam diri orang-orang yang tersisih dan tercampakkan, dalam diri orang-orang yang dikecam oleh budaya kita yang sok saleh.

 

Injil hari ini menunjukkan kepada kita, segera setelah Yesus wafat, ikon ketakjuban yang sangat luar biasa. Ikon tersebut adalah adegan kepala pasukan yang, setelah melihat bahwa Yesus telah wafat, berkata : "Sungguh orang ini adalah Putra Allah!" (Mrk 15:39). Ia takjub dengan kasih. Bagaimana ia melihat Yesus wafat? Ia melihat-Nya wafat dalam kasih, dan hal ini yang membuatnya takjub. Yesus sangat menderita, tetapi Ia tidak pernah berhenti mengasihi. Inilah rasanya takjub di hadapan Allah, yang bahkan bisa memenuhi kematian dengan kasih. Dalam kasih yang tanpa pamrih dan belum pernah terjadi sebelumnya, kepala perwira yang tidak mengenal Allah tersebut menemukan Allah. Kata-katanya - Sungguh, orang ini adalah Putra Allah! - "memeteraikan" kisah Sengsara. Keempat Injil memberitahu kita bahwa banyak orang yang di hadapan Yesus mengagumi-Nya karena berbagai mukjizat dan karya-Nya yang luar biasa, dan telah mengakui bahwa Ia adalah Putra Allah. Namun Kristus membungkam mereka, karena mereka mempertaruhkan tetap murni pada tingkat kekaguman duniawi berkenaan dengan gagasan Allah yang harus disembah dan ditakuti karena kuasa dan kedigjayaan-Nya. Sekarang sudah tidak mungkin lagi demikian, karena di kaki salib tidak ada kekeliruan : Allah telah menyatakan diri-Nya dan memerintah hanya dengan kekuatan kasih yang dilucuti dan sedang dilucuti.

 

Saudara dan saudari, hari ini Allah terus memenuhi pikiran dan hati kita dengan ketakjuban. Marilah kita dipenuhi dengan ketakjuban itu saat kita memandang Tuhan yang tersalib. Semoga kita juga berkata : “Engkau sungguh Putra Allah. Engkau adalah Allahku”.

_____

 

(Peter Suriadi - Bogor, 28 Maret 2021)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA PERINGATAN 500 TAHUN PEWARTAAN INJIL DI FILIPINA DI BASILIKA SANTO PETRUS, VATIKAN - 14 Maret 2021


Bacaan Liturgi : 2Taw. 36:14-16,19-23; Mzm. 137:1-2,3,4-5,6; Ef. 2:4-10; Yoh. 3:14-21.

 

“Begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Putra-Nya yang tunggal” (Yoh 3:16). Inilah intisari Injil; inilah sumber sukacita kita. Pesan Injil bukanlah gagasan atau ajaran. Pesan Injil adalah Yesus sendiri : Putra yang diberikan Bapa kepada kita agar kita dapat memiliki kehidupan. Sumber sukacita kita bukanlah teori yang indah tentang bagaimana menemukan kebahagiaan, tetapi pengalaman aktual didampangi dan dikasihi sepanjang perjalanan hidup. “Begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Putra-Nya yang tunggal”. Saudara dan saudari, marilah kita berdiam sejenak pada dua pemikiran ini : “Begitu besar kasih Allah” dan “Allah mengaruniakan”.

 

Pertama-tama, begitu besar kasih Allah. Kata-kata Yesus kepada Nikodemus - seorang penatua Yahudi yang ingin mengenal Sang Guru - membantu kita untuk memandang wajah Allah yang sesungguhnya. Ia selalu memandang kita dengan kasih, dan demi kasih, Ia datang di antara kita dalam rupa daging Putra-Nya. Di dalam Yesus, Ia pergi mencari kita ketika kita tersesat. Di dalam Yesus, Ia datang untuk membangkitkan kita ketika kita jatuh. Di dalam Yesus, Ia menangis bersama kita dan menyembuhkan luka-luka kita. Di dalam Yesus, Ia memberkati hidup kita selamanya. Injil mengatakan kepada kita bahwa setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa. melainkan beroleh hidup yang kekal (Yoh 3:16). Di dalam Yesus, Allah mengucapkan kata yang pasti tentang hidup kita : kamu tidak binasa, kamu dikasihi. Dikasihi selamanya.

 

Jika mendengarkan Injil dan mengamalkan iman kita tidak melapangkan hati kita dan membuat kita memahami begitu besar kasih Allah - mungkin karena kita lebih menyukai religiositas yang murung, penuh kesedihan dan mementingkan diri sendiri - maka inilah tandanya kita perlu berhenti dan kembali mendengarkan pemberitaan Kabar Baik. Allah sangat mengasihimu sehingga Ia mengaruniakan seluruh hidup-Nya kepadamu. Ia bukanlah allah yang memandang rendah kita dari tempat tinggi, acuh tak acuh, tetapi Bapa yang penuh kasih yang menjadi bagian sejarah kita. Ia bukanlah allah yang menikmati kematian orang berdosa, tetapi Bapa yang peduli agar tak seorang pun binasa. Ia bukanlah allah yang menghakimi, tetapi seorang Bapa yang menyelamatkan kita dengan pelukan kasih-Nya yang menghibur.

 

Sekarang kita sampai pada aspek kedua : Allah "mengaruniakan” Putra-Nya. Justru karena Ia begitu mengasihi kita, Allah mengaruniakan diri-Nya; Ia menawarkan hidup-Nya kepada kita. Mereka yang mengasihi selalu keluar dari dirinya sendiri. Jangan melupakan hal ini : mereka yang mengasihi keluar dari dirinya sendiri. Kasih selalu menawarkan dirinya sendiri, memberikan dirinya sendiri, mencurahkan dirinya sendiri. Itulah kekuatan kasih : kekuatan kasih menghancurkan cangkang keegoisan kita, menerobos zona keamanan kita yang dibangun dengan seksama, meruntuhkan tembok dan mengatasi ketakutan, sehingga dapat memberikan dengan bebas dari dirinya sendiri. Itulah apa yang dilakukan kasih : kasih memberikan dirinya sendiri. Dan demikianlah para pengasih : mereka lebih suka mengambil risiko menyerahkan diri daripada mempertahankan diri. Itulah sebabnya Allah datang kepada kita : karena Ia “begitu mengasihi” kita. Begitu besar kasih-Nya sehingga Ia tidak bisa urung memberikan diri-Nya sendiri kepada kita. Ketika orang-orang diserang oleh ular tedung di padang gurun, Allah menyuruh Musa untuk membuat ular tembaga. Tetapi, di dalam Yesus yang ditinggikan di kayu salib, Ia sendiri datang untuk menyembuhkan kita dari bisa maut; Ia menjadi berdosa untuk menyelamatkan kita dari dosa. Allah tidak mengasihi kita dengan kata-kata : Ia mengaruniakan kepada kita Putra-Nya, supaya setiap orang yang memandang-Nya dan percaya kepada-Nya diselamatkan (bdk. Yoh 3:14-15).

 

Semakin kita mengasihi, semakin kita mampu memberi. Itu juga kunci untuk memahami hidup kita. Sungguh menakjubkan bertemu orang-orang yang saling mengasihi dan berbagi kehidupan mereka dalam kasih. Kita dapat mengatakan tentang mereka apa yang kita katakan tentang Allah : mereka begitu saling mengasihi sehingga mereka memberikan hidup mereka. Yang penting bukan apa yang dapat kita jadikan atau hasilkan semata; pada akhirnya, kasih yang bisa kita berikan.

 

Inilah sumber sukacita! Begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Putra-Nya. Di sini kita melihat makna undangan Gereja pada hari Minggu ini : “Bersukacitalah ... Bergembiralah dengan sukacita, hai kamu semua yang dulu berdukacita, agar kamu bersorak sorai dan dipuaskan dengan kelimpahan penghiburanmu!” (Antifon Pembuka; bdk. Yes 66:10-11). Saya memikirkan apa yang kita lihat seminggu yang lalu di Irak: orang-orang yang telah sangat menderita bersukacita dan bergembira, bersyukur kepada Allah dan atas kasih-Nya yang murah hati.

 

Kadang-kadang kita mencari sukacita di tempat ia tidak bisa ditemukan : dalam khayalan yang lenyap, dalam impian akan kemuliaan, dalam andalan yang berwujud harta benda, dalam pengkultusan citra kita, dan dalam banyak hal lainnya. Tetapi kehidupan mengajarkan kita bahwa sukacita sejati berasal dari kesadaran bahwa kita dikasih secara cuma-cuma, memahami diri kita tidak sendirian, memiliki seseorang yang ambil bagian dalam impian kita serta yang, ketika kita mengalami kecelakaan kapal, ada di sana untuk membantu kita dan menuntun kita menuju pelabuhan yang aman.

 

Saudara dan saudari yang terkasih, lima ratus tahun telah berlalu sejak pewartaan Kristiani pertama kali tiba di Filipina. Kamu menerima sukacita Injil : kabar baik bahwa Allah begitu mengasihi kita sehingga Ia menganugerahkan Putra-Nya kepada kita. Dan sukacita ini terbukti pada bangsamu. Kita melihatnya di matamu, di wajahmu, dalam lagu-lagumu dan dalam doa-doamu. Dalam sukacita yang menyertai imanmu yang kamu bawa ke negeri lain. Saya sering mengatakan bahwa di sini, di Roma, para perempuan Filipina adalah para "penyelundup" iman! Karena ke mana pun mereka pergi bekerja, mereka menaburkan iman. Menaburkan iman adalah bagian genmu, sebuah “penyakit menular” yang saya dorong untuk kamu pertahankan. Tetaplah membawa iman, kabar baik yang kamu terima lima ratus tahun yang lalu, kepada orang lain. Saya ingin bersyukur, atas sukacita yang kamu bawa ke seluruh dunia dan kepada komunitas Kristiani kita. Saya memikirkan, seperti yang saya sebutkan, banyak pengalaman indah dalam keluarga di sini di Roma - tetapi juga di seluruh dunia - di mana kehadiranmu yang bijaksana dan penuh kerja keras menjadi kesaksian iman. Dalam jejak Maria dan Yusuf, karena Allah berkenan membawa sukacita iman melalui pelayanan yang rendah hati, tersembunyi, berani dan tekun.

 

Pada peringatan yang sangat penting bagi umat Allah yang kudus di Filipina ini, saya juga ingin mendorongmu untuk bertekun dalam karya pewartaan Injil - bukan penyebaran agama, yang merupakan hal lain. Pewartaan Kristiani yang kamu terima perlu terus-menerus disampaikan kepada orang lain. Pesan Injil tentang kedekatan Allah memanggil untuk diungkapkan dalam kasih terhadap saudara dan saudari kita. Allah tak menginginkan seorang pun binasa. Karena alasan ini, Ia meminta Gereja untuk peduli terhadap mereka yang terluka dan hidup di pinggiran kehidupan. Allah begitu mengasihi kita sehingga Ia memberikan diri-Nya kepada kita, dan Gereja memiliki perutusan yang sama. Gereja dipanggil bukan untuk menghakimi tetapi untuk menyambut; bukan untuk menuntut, tetapi untuk menabur benih; bukan untuk mengutuk, tetapi membawa Kristus Sang Keselamatan kita.

 

Saya tahu bahwa ini adalah program pastoral Gerejamu : sebuah komitmen misioner yang melibatkan semua orang dan menjangkau semua orang. Jangan pernah berkecil hati saat kamu berjalan di jalan ini. Jangan pernah takut untuk mewartakan Injil, melayani dan mengasihi. Dengan sukacitamu, kamu akan membantu orang-orang untuk mengatakan tentang Gereja juga : "ia sangat mengasihi dunia!" Betapa indah dan menariknya Gereja yang mengasihi dunia tanpa menghakimi, Gereja yang menyerahkan dirinya kepada dunia. Semoga demikian, saudara-saudari yang terkasih, di Filipina dan di pelbagai bagian bumi.

_____


(Peter Suriadi - Bogor, 14 Maret 2021)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA DI STADION FRANSO HARIRI, ERBIL, IRAK 7 Maret 2021


Bacaan Ekaristi : Kel. 20:1-17; Mzm. 19:8,9,10,11; 1Kor. 1:22-25; Yoh. 2:13-25.

 

Santo Paulus telah memberitahu kita bahwa "Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah" (1Kor 1:22-25). Yesus mengungkapkan kekuatan dan hikmat itu terutama dengan menawarkan pengampunan dan menunjukkan belas kasihan. Ia memilih untuk melakukannya bukan dengan menunjukkan kekuatan atau dengan berbicara kepada kita dari tempat tinggi, dalam ceramah yang panjang lebar dan terpelajar. Ia melakukannya dengan menyerahkan hidup-Nya di kayu salib. Ia mengungkapkan hikmat dan kekuatan-Nya dengan menunjukkan kepada kita, sampai kesudahan, kesetiaan kasih Bapa; kesetiaan Allah perjanjian, yang membawa umat-Nya keluar dari perbudakan dan memimpin mereka dalam perjalanan kebebasan (bdk. Kel 20:1-2).

 

Betapa mudahnya untuk jatuh ke dalam perangkap pemikiran bahwa kita harus menunjukkan kepada orang lain bahwa kita kuat atau berhikmat, ke dalam perangkap membuat gambaran palsu tentang Allah yang dapat memberi kita keamanan (bdk. Kel 20:4-5). Namun sesungguhnya kita semua membutuhkan kekuatan dan hikmat Allah yang diungkapkan oleh Yesus di kayu salib. Di Kalvari, Ia mempersembahkan kepada Bapa bilur-bilur-Nya yang hanya olehnya kita disembuhkan (bdk. 1 Ptr 2:24). Di sini, di Irak, berapa banyak saudara dan saudari, sahabat-sahabat dan sesama wargamu yang menanggung bilur-bilur peperangan dan kekerasan, bilur-bilur yang kasat mata maupun tidak! Godaannya adalah bereaksi terhadap hal ini dan pengalaman menyakitkan lainnya dengan kekuatan manusia, hikmat manusia. Sebaliknya, Yesus menunjukkan kepada kita jalan Allah, jalan yang Ia ambil, jalan panggilan kita untuk mengikuti-Nya.

 

Dalam Bacaan Injil yang baru saja kita dengar (Yoh 2:13-25), kita melihat bagaimana Yesus mengusir keluar dari Bait Suci di Yerusalem para penukar uang serta seluruh pedagang dan pembeli. Mengapa Yesus melakukan sesuatu yang sangat tegas dan provokatif ini? Ia melakukannya karena Bapa mengutus-Nya untuk membersihkan Bait Allah : tidak hanya Bait batu, tetapi terutama bait hati kita. Yesus tidak bisa mentolerir rumah Bapa-Nya menjadi pasar (bdk. Yoh 2:16); Ia juga tidak ingin hati kita menjadi tempat kebisingan, kekacauan dan kebingungan. Hati kita harus dibersihkan, ditertibkan dan dimurnikan. Dari apa? Kepalsuan yang menodainya, dari sikap bermuka dua yang munafik. Kita semua memiliki hal ini. Keduanya adalah penyakit yang merusak hati, mengotori hidup kita dan membuatnya tidak tulus. Kita perlu dibersihkan dari keamanan yang memperdaya yang akan mempertukarkan iman kita kepada Allah dengan hal-hal yang sepintas lalu, dengan keuntungan yang bersifat sementara. Kita butuh godaan kekuasaan dan uang yang merusak disapu dari hati kita dan Gereja. Untuk membersihkan hati kita, kita perlu mengotori tangan kita, merasa bertanggung jawab, dan tidak hanya memandangi saudara dan saudari kita yang sedang menderita. Bagaimana kita memurnikan hati kita? Dengan usaha kita sendiri, kita tidak bisa; kita membutuhkan Yesus. Ia memiliki kuasa untuk menaklukkan kejahatan kita, menyembuhkan penyakit kita, membangun kembali bait hati kita.

 

Untuk menunjukkan hal ini, dan sebagai tanda kuasa-Nya, Yesus melanjutkan dengan berkata : “Rombak Bait Allah ini, dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali" (ayat 19). Yesus Kristus, Ia sendiri, dapat membersihkan kita dari perbuatan jahat. Yesus, yang wafat dan bangkit! Yesus, Tuhan! Saudara dan saudari yang terkasih, Tuhan tidak membiarkan kita mati dalam dosa-dosa kita. Bahkan ketika kita berpaling daripada-Nya, Ia tidak pernah meninggalkan kita pada perangkat kita sendiri. Ia mencari kita, mengejar kita, memanggil kita untuk bertobat dan menyucikan diri kita dari dosa-dosa kita. “Demi Aku yang hidup, demikianlah firman Tuhan Allah, Aku tidak berkenan kepada kematian orang fasik, melainkan Aku berkenan kepada pertobatan orang fasik itu dari kelakuannya supaya ia hidup” (Yeh 33:11). Tuhan ingin kita diselamatkan dan menjadi bait kasih-Nya yang hidup, dalam persaudaraan, dalam pelayanan, dalam belas kasihan.

 

Yesus tidak hanya membersihkan kita dari dosa-dosa kita, tetapi memberi kita bagian dalam kuasa dan hikmat-Nya. Ia membebaskan kita dari pemahaman yang sempit dan memecah belah tentang keluarga, iman dan komunitas yang memecah belah, menentang dan mengucilkan, sehingga kita dapat membangun Gereja dan masyarakat yang terbuka bagi semua orang dan peduli terhadap saudara-saudari kita yang paling membutuhkan. Pada saat yang sama, Ia memperkuat kita agar dapat menahan godaan untuk membalas dendam, yang hanya menjerumuskan kita ke dalam pilinan pembalasan tanpa akhir. Dalam kuasa Roh Kudus, Ia mengutus kita, bukan sebagai para penyebar agama, tetapi sebagai murid-murid misioner, pria dan wanita yang dipanggil untuk bersaksi tentang kuasa Injil yang mengubah hidup. Tuhan yang bangkit menjadikan kita sarana belas kasihan dan damai Allah, pengrajin tatanan sosial baru yang sabar dan pemberani. Dengan cara ini, oleh kuasa Kristus dan Roh Kudus, kata-kata nubuat Rasul Paulus kepada jemaat Korintus digenapi : “Sebab yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya dari pada manusia dan yang lemah dari Allah lebih kuat dari pada manusia” (1 Kor 1:25). Komunitas Kristiani yang terdiri dari orang-orang sederhana dan kecil menjadi tanda datangnya kerajaan-Nya, kerajaan kasih, keadilan dan perdamaian.

 

“Rombak Bait Allah ini, dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali” (Yoh 2:19). Yesus sedang berbicara tentang bait tubuh-Nya, dan tentang Gereja juga. Tuhan berjanji kepada kita bahwa, dengan kuasa kebangkitan-Nya, Ia dapat membangkitkan kita, dan komunitas kita, dari reruntuhan yang ditinggalkan oleh ketidakadilan, perpecahan dan kebencian. Itulah janji yang kita rayakan dalam Ekaristi ini. Dengan mata iman, kita mengenali kehadiran Tuhan yang tersalib dan bangkit di tengah-tengah kita. Dan kita belajar untuk menerima hikmat-Nya yang membebaskan, beristirahat dalam bilur-bilur-Nya, serta menemukan kesembuhan dan kekuatan untuk melayani kedatangan kerajaan-Nya di dunia kita. Oleh bilur-bilur-Nya, kita telah disembuhkan (bdk. 1 Ptr 2:24). Dalam bilur-bilur itu, saudara dan saudari yang terkasih, kita menemukan balsem cinta kasih-Nya. Karena Ia, seperti orang Samaria yang baik hati, ingin mengurapi setiap bilur, menyembuhkan setiap ingatan yang menyakitkan dan mengilhami masa depan perdamaian dan persaudaraan di negeri ini.

 

Gereja di Irak, dengan rahmat Allah, telah melakukan banyak hal untuk mewartakan hikmat salib yang luar biasa ini dengan menyebarkan belas kasihan dan pengampunan Kristus, terutama kepada mereka yang paling membutuhkan. Bahkan di tengah kemiskinan dan kesulitan yang luar biasa, banyak dari kamu telah dengan murah hati menawarkan bantuan dan kesetiakawanan yang nyata kepada orang miskin dan orang yang sedang menderita. Itulah salah satu alasan yang membuat saya datang sebagai peziarah di tengah-tengahmu, bersyukur dan meneguhkanmu dalam iman dan kesaksianmu. Hari ini, saya dapat melihat secara langsung bahwa Gereja di Irak hidup, Kristus hidup dan bekerja dalam hal ini, umat-Nya yang kudus dan setia.

 

Saudara dan saudari yang terkasih, saya mempercayakanmu, keluargamu dan komunitasmu, kepada perlindungan keibuan Perawan Maria, yang dipersatukan dengan Putranya dalam penderitaan dan wafat-Nya, dan ambil bagian dalam sukacita kebangkitan-Nya. Semoga ia menjadi pengantara kita dan menuntun kita kepada Kristus, kekuatan dan hikmat Allah.

 

[Sambutan Bapa Suci pada akhir Misa]

 

Dengan penuh kasih sayang saya menyapa Yang Mulia Mar Gewargis III, Patriark Katolik Gereja Timur Asiria, yang tinggal di kota ini dan menghormati kita dengan kehadiran-Nya. Terima kasih, Saudaraku! Bersama beliau, saya merangkul umat Kristiani dari berbagai denominasi: begitu banyak dari mereka telah menumpahkan darah di negeri ini! Namun para martir kita bersinar bersama-sama seperti bintang-bintang di langit yang sama! Dari sana mereka memanggil kita untuk berjalan bersama, tanpa ragu, menuju kesatuan yang utuh.

 

Di akhir perayaan ini, saya berterima kasih kepada Uskup Agung Bashar Matti Warda serta Uskup Nizar Semaan dan saudara saya yang lainnya, para uskup, yang telah bekerja sangat keras demi perjalanan ini. Saya berterima kasih kepada Anda semua yang telah mempersiapkan dan menyertai kunjungan saya dengan doa dan menyambut saya dengan sangat hangat. Dengan secara khusus, saya menyapa rakyat Kurdi yang tercinta. Saya sangat berterima kasih kepada pemerintah dan otoritas sipil atas kontribusi mereka yang sangat diperlukan, dan saya berterima kasih kepada semua orang yang dengan berbagai cara bekerjasama dalam mengatur seluruh perjalanan di Irak, otoritas Irak - semuanya - dan banyak sukarelawan. Terima kasih saya untuk Anda semua!

 

Dalam waktu saya di antara Anda, saya telah mendengar suara kesedihan dan kehilangan, tetapi juga suara harapan dan penghiburan. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh penjangkauan amal yang tak kenal lelah yang dimungkinkan oleh lembaga-lembaga keagamaan dari setiap pengakuan, Gereja lokal Anda, dan berbagai organisasi amal yang membantu orang-orang di negara ini dalam pekerjaan pembangunan kembali dan kelahiran kembali secara sosial. Secara khusus, saya berterima kasih kepada anggota ROACO dan agensi yang mereka wakili.

 

Sekarang waktunya sudah dekat untuk kepulangan saya ke Roma. Namun Irak akan selalu bersama saya, dalam hati saya. Saya meminta Anda semua, saudara dan saudari terkasih, untuk bekerjasama dalam persatuan demi masa depan perdamaian dan kemakmuran yang tidak meninggalkan siapa pun dan tidak mendiskriminasi siapa pun. Saya meyakinkan Anda tentang doa-doa saya untuk negara tercinta ini. Dengan cara tertentu, saya berdoa agar para anggota berbagai komunitas keagamaan, bersama dengan semua orang yang berkehendak baik, dapat bekerjasama untuk menjalin ikatan persaudaraan dan kesetiakawanan dalam pelayanan kebaikan dan perdamaian.

 

Salam, salam, salam! Sukrán [Terima kasih]! Semoga Tuhan memberkati semuanya! Semoga Tuhan memberkati Irak! Allah ma’akum! [Tuhan besertamu!]

________


(Peter Suriadi - Bogor, 7 Maret 2021)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA DI KATEDRAL KHALDEAN SANTO YOSEF, BAGHDAD, IRAK 6 MARET 2021 : KEBIJAKSANAAN, KESAKSIAN DAN JANJI


Bacaan Ekaristi : Keb 6:1-11; 1Kor 12:31-13:8; Mat 5:1-10

 

Hari ini sabda Allah berbicara kepada kita tentang kebijaksanaan, kesaksian dan janji.

 

Kebijaksanaan di negeri ini telah dibudidayakan sejak zaman dahulu kala. Memang pencarian kebijaksanaan selalu menarik manusia. Namun, seringkali, orang-orang yang lebih mampu dapat memperoleh lebih banyak pengetahuan dan memiliki kesempatan yang lebih besar, sementara orang-orang yang kurang mampu disingkirkan. Kesenjangan seperti itu - yang telah meningkat di zaman kita - tidak dapat diterima. Kitab Kebijaksanaan mengejutkan kita dengan membalikkan sudut pandang ini. Kitab Kebijaksanaan memberitahu kita bahwa “memang yang bawahan saja dapat dimaafkan karena belas kasihan, tetapi yang berkuasa akan disiksa dengan berat” (Keb 6:6). Di mata dunia, orang-orang yang kurang mampu disingkirkan, sementara orang-orang yang lebih mampu diistimewakan. Tidak demikian bagi Allah : yang lebih berkuasa tunduk pada pengawasan yang ketat, sedangkan yang paling hina diistimewakan oleh Allah.

 

Yesus, yang adalah Sang Kebijaksanaan secara pribadi, menuntaskan pembalikan ini dalam Bacaan Injil, dan Ia melakukannya dengan khotbah pertama-Nya, dengan Sabda Bahagia. Pembalikan sepenuhnya : orang yang miskin, orang yang berdukacita, orang yang dianiaya semuanya disebut berbahagia. Bagaimana hal ini mungkin? Bagi dunia, orang yang berbahagia adalah orang yang kaya, orang yang berkuasa dan orang yang terkenal! Mereka yang kaya dan makmurlah yang terhitung! Tetapi tidak bagi Allah : Bukan lagi orang kaya yang luar biasa, tetapi orang yang miskin di hadapan Allah; bukan orang yang bisa memaksakan kehendaknya pada orang lain, tetapi orang yang lemah lembut terhadap semua orang. Bukan orang yang disanjung oleh orang banyak, tetapi orang yang menunjukkan belas kasihan kepada saudara-saudarinya. Pada titik ini, kita mungkin bertanya-tanya : jika saya hidup seperti yang diminta Yesus, apa yang saya dapatkan? Bukankah saya mengambil risiko membiarkan orang lain menguasai saya? Apakah undangan Yesus berharga, atau urusan kehilangan? Undangan itu bukannya tidak berharga, tetapi bijaksana.

 

Undangan Yesus bijaksana karena kasih yang merupakan inti Sabda Bahagia, meski tampak lemah di mata dunia, nyatanya selalu berjaya. Di kayu salib, kasih terbukti lebih kuat dari dosa, di dalam kubur, Ia mengalahkan maut. Kasih itu juga membuat para martir menang dalam pencobaan mereka - dan berapa banyak martir yang telah ada di abad terakhir, bahkan lebih banyak daripada di masa lalu! Kasih adalah kekuatan kita, sumber kekuatan bagi saudara-saudari kita yang di sini juga telah menderita prasangka dan penghinaan, penganiayaan dan penyiksaan demi nama Yesus. Namun seraya kekuatan, kemuliaan dan kesia-siaan dunia lenyap, kasih tetap ada. Sebagaimana dikatakan Rasul Paulus kepada kita : “Kasih tidak berkesudahan” (1 Kor 13:8). Maka, menjalani kehidupan yang dibentuk oleh Sabda Bahagia searti dengan mengabadikan hal-hal yang sepintas lalu, membawa surga ke bumi.

 

Tetapi bagaimana kita mengamalkan Sabda Bahagia? Sabda Bahagia tidak meminta kita melakukan hal-hal yang luar biasa, kemahiran di luar kemampuan kita. Sabda Bahagia meminta kesaksian sehari-hari. Yang berbahagia adalah mereka yang hidup dengan lemah lembut, yang menunjukkan kemurahan hati di mana pun mereka berada, yang suci hatinya di mana pun mereka tinggal. Yang berbahagia, kita tidak perlu sesekali menjadi pahlawan, tetapi menjadi saksi hari demi hari. Kesaksian adalah cara untuk mewujudkan kebijaksaan Yesus. Begitulah bagaimana dunia diubah : bukan dengan kekuatan dan kekuasaan, tetapi oleh Sabda Bahagia. Karena itulah yang dilakukan Yesus : Ia hidup sampai kesudahan apa yang Ia katakan sejak awal. Semuanya bergantung pada memberikan kesaksian tentang kasih Yesus, kasih yang dijelaskan oleh Santo Paulus dengan luar biasa dalam Bacaan Kedua hari ini. Marilah kita lihat bagaimana ia memaparkannya.

 

Pertama, Paulus mengatakan bahwa “kasih itu sabar” (ayat 4). Kita tidak sedang mengharapkan kata sifat ini. Kasih tampaknya serupa dengan kebaikan, kemurahan hati, dan perbuatan baik, namun Paulus mengatakan bahwa kasih itu terutama merupakan kesabaran. Kitab Suci berbicara pertama-tama dan terutama tentang kesabaran Allah. Sepanjang sejarah, manusia terbukti terus-menerus tidak setia terhadap perjanjian dengan Allah, jatuh ke dalam dosa-dosa lama yang sama. Namun alih-alih menjadi lelah dan menjauh, Allah selalu tetap setia, mengampuni dan memulai kembali. Kesabaran untuk memulai kembali setiap saat ini adalah mutu pertama kasih, karena kasih tidak mudah cemburu, tetapi selalu memulai kembali. Kasih tidak menjadi lelah dan putus asa, tetapi selalu mendesak. Kasih tidak menjadikan berkecil hati, tetapi tetap kreatif. Menghadapi kejahatan, kasih tidak menyerah atau mundur. Orang-orrang yang mengasihi tidak menutup diri ketika ada hal yang keliru, tetapi menanggapi kejahatan dengan kebaikan, sadar akan kebijaksanaan salib yang berjaya. Saksi-saksi Allah adalah seperti itu : tidak pasif atau menerima nasib, tetapi pada kemurahan hati kejadian, perasaan atau peristiwa di sekitar. Sebaliknya, mereka terus-menerus penuh harapan, karena berlandaskan kasih yang "menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu" (ayat 7).

 

Kita bisa bertanya pada diri sendiri : bagaimana kita bereaksi terhadap situasi yang tidak benar? Dalam menghadapi kesulitan, selalu ada dua godaan. Godaan yang pertama adalah lari : kita bisa lari, membelakangi, berusaha menjauhkan diri dari segalanya. Godaan yang kedua adalah bereaksi dengan amarah, dengan unjuk kekuatan. Begitulah kasus para murid di Taman Getsemani : dalam kebingungan mereka, banyak yang melarikan diri dan Petrus menghunus pedang. Namun baik lari maupun pedang tidak mencapai apa-apa. Sebaliknya, Yesus mengubah sejarah. Bagaimana? Dengan kekuatan kasih yang rendah hati, dengan kesaksian-Nya yang sabar. Inilah yang harus kita lakukan; dan begitulah cara Allah memenuhi janji-Nya.

 

Janji. Kebijaksanaan Yesus, yang diwujudkan dalam Sabda Bahagia, memanggil untuk bersaksi dan menawarkan pahala yang terkandung dalam janji-janji ilahi. Karena setiap Sabda Bahagia segera diikuti oleh sebuah janji : mereka yang mengamalkannya akan memiliki Kerajaan Surga, mereka akan dihibur, mereka akan dipuaskan, mereka akan melihat Allah… (bdk. Mat 5:3-12). Janji Allah menjamin sukacita yang tak tertandingi dan tidak pernah mengecewakan. Tetapi bagaimana janji tersebut terpenuhi? Melalui kelemahan kita. Allah memberkati orang-orang yang menempuh jalan kemiskinan batin sampai kesudahan.

 

Inilah caranya; tidak ada cara lain. Marilah kita memandang Abraham, sang bapa bangsa. Allah menjanjikannya keturunan yang banyak, tetapi ia dan Sarah sekarang sudah tua dan tidak mempunyai anak. Namun justru di usia tua mereka sabar dan setia sehingga Allah melakukan keajaiban dan memberi mereka seorang putra. Marilah kita juga memandang Musa : Allah berjanji bahwa Ia akan membebaskan bangsa Israel dari perbudakan, dan untuk itu Ia meminta Musa untuk berbicara kepada Firaun. Meskipun Musa mengatakan bahwa ia tidak pandai berbicara, namun melalui perkataannya Allah akan memenuhi janji-Nya. Marilah kita memandang Bunda Maria, yang menurut Hukum tidak dapat memiliki seorang anak, namun dipanggil untuk menjadi seorang ibu. Dan marilah kita memandang Petrus : ia menyangkal Tuhan, namun ia adalah orang yang dipanggil Yesus untuk menguatkan saudara-saudaranya. Saudara dan saudari yang terkasih, terkadang kita mungkin merasa tidak berdaya dan tidak berguna. Kita tidak boleh menyerah terhadap hal ini, karena Allah ingin melakukan keajaiban justru melalui kelemahan kita.

 

Allah berkenan melakukan hal itu, dan malam ini, delapan kali, kepada kita Ia telah mengucapkan kata ţūb'ā [berbahagia], untuk membuat kita menyadari bahwa, bersama-Nya, kita benar-benar “berbahagia”. Tentu saja, kita mengalami pencobaan, dan kita sering jatuh, tetapi jangan lupa bahwa, bersama Yesus, kita berbahagia. Apa pun yang diambil dunia dari kita tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kasih yang lembut dan sabar yang dengannya Allah memenuhi janji-Nya. Saudari yang terkasih, saudara yang terkasih, mungkin ketika kamu melihat tanganmu, tanganmu tampak kosong, mungkin kamu merasa putus asa dan tidak puas dengan kehidupan. Jika demikian, jangan takut : Sabda Bahagia adalah untukmu. Untuk kamu yang menderita, yang lapar dan haus akan keadilan, yang dianiaya. Allah berjanji kepadamu bahwa namamu tertulis di hati-Nya, tertulis di surga!

 

Hari ini saya bersyukur kepada Allah bersamamu dan karenamu, karena di sini, tempat kebijaksanaan muncul sejak dahulu kala, begitu banyak saksi telah muncul di zaman kita sekarang, sering kali terabaikan oleh berita, namun berharga di mata Allah. Saksi-saksi yang, dengan menghayati Sabda Bahagia, membantu Allah memenuhi janji-janji perdamaian-Nya.

______


(Peter Suriadi - Bogor, 6 Maret 2021)