Bacaan Ekaristi : Ul. 30:10-14; Mzm. 69:14,17,30-31,33-34,36ab,37 atau Mzm. 19:8,9,10,11; Kol. 1:15-20; Luk. 10:25-37.
Saudara-saudari,
Saya
bersukacita merayakan Ekaristi ini bersamamu. Saya menyapa semua yang hadir,
komunitas paroki, para imam, dan yang mulia, para uskup keuskupan, serta para
pejabat sipil dan militer.
Dalam
Injil hari Minggu ini, kita telah mendengar salah satu perumpamaan Yesus yang
paling indah dan menggerakkan. Kita semua tahu perumpamaan tentang Orang
Samaria yang Murah Hati (Luk 10:25-37).
Perumpamaan
itu senantiasa menantang kita untuk merenungkan hidup kita sendiri. Perumpamaan
itu menyusahkan hati nurani kita yang terlena atau terganggu, dan
memperingatkan kita tentang risiko iman yang berpuas diri, yang puas dengan
ketaatan lahiriah terhadap Hukum Taurat tetapi tidak mampu merasakan dan
bertindak dengan belas kasihan yang murah hati seperti Allah.
Perumpamaan
itu sesungguhnya tentang belas kasihan. Memang, kisah Injil berbicara tentang
belas kasihan yang menggerakkan seorang Samaria untuk bertindak, tetapi
pertama-tama kisah itu berbicara tentang bagaimana orang lain memandang orang
yang terluka yang tergeletak di pinggir jalan setelah diserang penyamun. Kita
diberitahu bahwa ketika seorang imam dan seorang Lewi "melihat orang itu,
ia melewatinya" (ayat 32). Namun, tentang orang Samaria itu, Bacaan Injil
mengatakan, "Ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas
kasihan" (ayat 33).
Saudara-saudari
terkasih, cara kita memandang orang lainlah yang terpenting, karena itu
menunjukkan isi hati kita. Kita bisa melihat dan melewati begitu saja, atau
kita bisa melihat dan tersentuh oleh belas kasihan. Ada jenis cara melihat yang
dangkal, teralihkan, dan tergesa-gesa, cara melihat sambil berpura-pura tidak
melihat. Kita bisa melihat tanpa tersentuh atau tertantang oleh penglihatan
itu. Lalu, ada pula cara melihat dengan mata hati, melihat lebih dekat,
berempati dengan orang lain, ambil bagian dalam pengalamannya, membiarkan diri
kita tersentuh dan tertantang. Cara melihat ini mempertanyakan cara kita
menjalani hidup dan tanggung jawab yang kita rasakan terhadap orang lain.
Perumpamaan
ini berbicara kepada kita pertama-tama tentang cara Allah memandang kita,
sehingga kita pada gilirannya dapat belajar bagaimana melihat situasi dan
orang-orang dengan mata-Nya, yang penuh kasih dan belas kasihan. Orang Samaria
yang murah hati sungguh merupakan gambaran Yesus, Putra kekal yang diutus Bapa
ke dalam sejarah kita justru karena Ia memandang umat manusia dengan belas
kasihan dan tidak melewati begitu saja. Seperti orang dalam Bacaan Injil yang
turun dari Yerusalem ke Yerikho, umat manusia sedang terjerumus ke jurang
kematian; di zaman kita juga, kita harus menghadapi kegelapan kejahatan,
penderitaan, kemiskinan, dan teka-teki kematian. Namun, Allah telah memandang
kita dengan belas kasihan; Ia ingin menapaki jalan yang sama dan turun di
antara kita. Dalam diri Yesus, Orang Samaria yang murah hati, Ia datang untuk
menyembuhkan luka-luka kita serta mencurahkan balsem kasih dan
kemurahhatian-Nya kepada kita.
Paus
Fransiskus, yang sering mengingatkan kita bahwa Allah adalah kemurahan hati dan
belas kasihan, pernah menyebut Yesus sebagai "belas kasihan Bapa kepada
kita" (Doa Malaikat Tuhan, 14 Juli 2029). Santo Agustinus memberitahu kita
bahwa, sebagai Orang Samaria yang murah hati yang datang menolong kita, Yesus
"ingin dikenal sebagai sesama kita. Sungguh, Tuhan Yesus Kristus
menyadarkan kita bahwa Dialah yang peduli kepada orang yang hampir meninggal
karena dipukuli para penyamun dan ditinggalkan di pinggir jalan (De Doctrina Christiana, I, 30.33).
Maka,
kita dapat memahami mengapa perumpamaan ini begitu menantang bagi kita
masing-masing. Jika Kristus menunjukkan kepada kita wajah Allah yang penuh
belas kasihan, maka percaya kepada-Nya dan menjadi murid-Nya berarti membiarkan
diri kita diubah dan memiliki perasaan yang sama seperti Dia. Itu berarti
belajar memiliki hati yang tergerak, mata yang melihat dan tak berpaling,
tangan yang membantu orang lain dan menyembuhkan luka mereka, bahu yang memikul
beban mereka yang membutuhkan.
Dalam
Bacaan Pertama hari ini, kita mendengar perkataan Musa, yang memberitahu kita
bahwa menaati perintah-perintah Tuhan serta mengarahkan pikiran dan hati kita
kepada-Nya tidak berarti memperbanyak tindakan lahiriah, melainkan melihat ke
dalam hati kita dan menemukan bahwa di sanalah Allah telah menuliskan hukum
kasih-Nya. Jika kita menyadari jauh di lubuk hati bahwa Kristus, Orang Samaria
yang murah hati, mengasihi kita dan peduli kepada kita, kita juga akan tergerak
untuk mengasihi dengan cara yang sama dan menjadi penuh belas kasihan seperti
Dia. Setelah kita disembuhkan dan dikasihi oleh Kristus, kita juga dapat
menjadi saksi kasih dan belas kasihan-Nya di dunia kita.
Saudara-saudari,
hari ini kita membutuhkan "revolusi kasih" ini. Hari ini, jalan yang
membentang dari Yerusalem ke Yerikho adalah jalan yang dilalui oleh semua orang
yang jatuh ke dalam dosa, penderitaan, dan kemiskinan. Jalan yang dilalui oleh
semua orang yang terbebani oleh masalah atau terluka oleh kehidupan. Jalan yang
dilalui oleh semua orang yang jatuh, kehilangan arah, dan mencapai titik
terendah. Jalan yang dilalui oleh semua orang yang dilucuti, dirampok, dan
dijarah, korban sistem politik tirani, ekonomi yang memaksa mereka jatuh
miskin, dan perang yang menghancurkan impian dan kehidupan mereka.
Apa
yang kita lakukan? Apakah kita hanya melihat dan berjalan melewati, atau apakah
kita membuka hati kita kepada orang lain, seperti orang Samaria itu? Apakah
kita terkadang hanya puas melakukan tugas kita, atau menganggap sebagai sesama
kita hanya mereka yang merupakan bagian dari kelompok kita, yang berpikir seperti
kita, yang memiliki kebangsaan atau agama yang sama dengan kita? Yesus
menjungkirbalikkan cara berpikir ini dengan menyajikan dirinya kepada kita
sebagai seorang Samaria, orang asing atau orang yang tidak seagama, yang
bertindak sebagai sesama bagi orang yang terluka itu. Dan Ia meminta kita
melakukan hal yang sama.
Orang
Samaria, tulis Benediktus XVI, “tidak bertanya sejauh mana kewajiban
solidaritasnya. Ia juga tidak bertanya tentang jasa yang dibutuhkan untuk
kehidupan kekal. Sesuatu yang lain terjadi: hatinya terluka... Jika diajukan
pertanyaan ‘Apakah orang Samaria juga sesamaku?’ kepadanya, ia pasti menjawab
tidak, mengingat situasi saat itu. Namun Yesus kini membalikkan seluruh
masalah: orang Samaria, orang asing itu, menjadikan dirinya sesama dan menunjukkan
kepada saya bahwa saya harus belajar menjadi sesama di lubuk hati dan bahwa
saya sudah memiliki jawabannya dalam diri saya. Saya harus menjadi seperti
seseorang yang sedang jatuh cinta, seseorang yang hatinya terbuka diguncang
oleh kebutuhan orang lain” (Yesus dari Nazaret, 197).
Memandang
tanpa berjalan, menghentikan laju kehidupan kita yang sangat menggelisahkan,
membiarkan kehidupan orang lain, siapa pun mereka, dengan kebutuhan dan masalah
mereka, menyentuh hati kita. Itulah yang menjadikan kita sesama bagi satu sama
lain, yang melahirkan persaudaraan sejati dan meruntuhkan tembok serta
penghalang. Pada akhirnya, kasih menang, dan terbukti lebih berkuasa daripada
kejahatan dan maut.
Sahabat-sahabat
terkasih, marilah kita memandang Kristus, Orang Samaria yang murah hati.
Marilah kita mendengarkan kembali suara-Nya hari ini. Karena Ia berkata kepada
kita masing-masing, "Pergilah dan perbuatlah demikian" (ayat 37).
[Kata-kata Bapa Suci
di akhir Misa Kudus]
Pada
saat ini, saya ingin mempersembahkan sebuah hadiah kecil kepada pastor paroki
kepausan ini, untuk mengenang perayaan kita hari ini. Patena dan sibori yang
kita gunakan untuk merayakan Ekaristi adalah sarana persekutuan, dan keduanya
dapat menjadi undangan bagi kita semua untuk hidup dalam persekutuan, dan
sungguh-sungguh mengembangkan persaudaraan ini, persekutuan yang kita hidupi
dalam Yesus Kristus ini.
_____________________
(Peter Suriadi - Bogor, 13 Juli 2025)