Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI RABU ABU 14 Februari 2024 : KEMBALI KE HATI

Bacaan Ekaristi : Yl. 2:12-18; Mzm. 51:3-4,5-6a,12-13,14,17; 2Kor. 5:20-6:2; Mat. 6:1-6,16-18.

Ketika kamu memberi sedekah, berdoa atau berpuasa, lakukanlah semua ini dengan tersembunyi karena Bapamu melihat yang tersembunyi (bdk. Mat 6:4). “Masuklah ke dalam kamarmu”: ini adalah ajakan yang disampaikan Yesus kepada kita masing-masing pada awal perjalanan Masa Prapaskah.

 

Masuk ke dalam kamar berarti kembali ke hati, sebagaimana diperingatkan Nabi Yoel (lih. Yoel 2:12). Masuk ke dalam kamar berarti melakukan perjalanan dari luar menuju ke dalam, sehingga seluruh hidup kita, termasuk hubungan kita dengan Alah, tidak hanya sekadar tampilan lahiriah, bingkai tanpa gambar, selubung jiwa, melainkan lahir dari dalam dan mencerminkan gerakan hati, keinginan terdalam, pikiran, perasaan, inti pribadi kita.

 

Maka, Masa Prapaskah menenggelamkan kita dalam bejana pemurnian dan perampasan diri: Masa Prapaskah membantu kita menyingkirkan semua kosmetik yang kita gunakan agar terlihat rapi, lebih baik dari yang sebenarnya. Kembali ke hati berarti kembali ke jatidiri kita dan menampilkannya apa adanya, telanjang dan tak berdaya, di hadapan Allah. Masa Prapaskah berarti melihat ke dalam diri kita dan mengakui jatidiri kita yang sebenarnya, melepaskan topeng yang sering kita pakai, memperlambat langkah hidup kita yang sangat gelisah serta menerima kehidupan dan kebenaran tentang siapa diri kita. Hidup bukan sebuah permainan; Masa Prapaskah mengajak kita untuk turun panggung dan kembali ke hati, kepada kenyataan siapa diri kita: kembali ke hati dan kebenaran.

 

Itulah sebabnya malam ini, dalam semangat doa dan kerendahan hati, kita menerima abu di kepala kita. Gerakan ini dimaksudkan untuk mengingatkan kita akan kenyataan hakiki hidup kita: kita hanya debu dan hidup kita berlalu seperti angin (bdk. Mzm 39:6; 144:4). Namun Tuhan – Dia dan hanya Dia – tidak membiarkannya lenyap; Ia mengumpulkan dan membentuk debu kita, jangan sampai tersapu oleh angin kehidupan atau tenggelam dalam jurang kematian.

 

Abu yang ditaruh di kepala kita mengundang kita untuk menemukan kembali rahasia kehidupan. Abu mengatakan kepada kita bahwa selama kita terus melindungi hati dan menyembunyikan diri kita di balik topeng, agar tampak tiada duanya, batin kita akan hampa dan gersang. Sebaliknya, ketika kita berani menundukkan kepala untuk mencari ke dalam, kita akan menemukan kehadiran Allah yang mengasihi dan selalu mengasihi kita. Pada akhirnya perisai yang telah kamu bangun untuk dirimu akan hancur berantakan dan kamu akan bisa merasakan dirimu dikasihi dengan kasih abadi.

Saudari, saudara, saya, kamu, kita masing-masing, dikasihi dengan kasih abadi. Kita adalah abu yang di atasnya Allah menghembuskan nafas kehidupan-Nya, kita adalah bumi yang Ia bentuk dengan tangan-Nya (bdk. Kej 2:7; Mzm 119:73), abu yang darinya kita akan bangkit untuk hidup tanpa akhir. dipersiapkan bagi kita sejak kekekalan (bdk. Yes 26:9). Dan jika, di dalam abu yang merupakan diri kita, api kasih Allah menyala, maka kita akan menemukan bahwa kita memang telah dibentuk oleh kasih itu dan pada gilirannya dipanggil untuk mengasihi orang lain. Mengasihi saudara-saudari di sekitar kita, menaruh perhatian kepada orang lain, merasakan kasih sayang, menunjukkan belas kasihan, berbagi segenap diri kita dan segenap milik kepada mereka yang membutuhkan. Sedekah, doa dan puasa bukan sekadar pengamalan lahiriah; ketiga adalah jalan menuju ke hati, ke inti kehidupan Kristiani. Ketiganya menyadarkan kita bahwa kita adalah abu yang dikasihi oleh Allah, dan ketiganya memampukan kita untuk menyebarkan kasih tersebut di atas “abu” begitu banyak situasi dalam kehidupan kita sehari-hari, sehingga di dalamnya harapan, kepercayaan, dan sukacita dapat terlahir kembali.

 

Santo Anselmus dari Aosta telah mewariskan kepada kita kata-kata penyemangat ini yang dapat kita jadikan kata-kata kita pada malam ini: “Larilah sejenak dari kesibukanmu sehari-hari, sembunyilah sejenak dari pikiranmu yang gelisah. Putuskanlah dirimu dari kekhawatiran dan masalahmu dan kurangilah kesibukan tugas dan pekerjaanmu. Luangkanlah sedikit waktu untuk Allah dan beristirahatlah sejenak di dalam Dia. Masuklah ke dalam relung batin pikiranmu. Tutuplah semuanya kecuali Allah dan apa pun yang membantumu mencari Dia; dan ketika kamu sudah menutup pintu, carilah Dia. Bicaralah sekarang kepada Allah dan katakanlah dengan segenap hatimu: Aku mencari wajah-Mu; wajah-Mu, ya Tuhan, aku menginginkannya” (Proslogion, 1).

 

Marilah kita mendengarkan, sepanjang Masa Prapaskah ini, suara Tuhan yang tidak bosan-bosannya diulang-ulang: masuklah ke dalam kamarmu, kembalilah ke hatimu. Ini adalah undangan bermanfaat bagi kita, yang sering kali hidup di permukaan, yang sangat perlu untuk diperhatikan, yang terus-menerus perlu dikagumi dan dihargai. Tanpa menyadarinya, kita mendapati diri kita tidak lagi memiliki “relung batin” di mana kita dapat berhenti dan peduli terhadap diri kita, tenggelam dalam dunia di mana segala sesuatu, termasuk emosi dan perasaan terdalam kita, harus menjadi “sosial” – tetapi bagaimana bisa sesuatu menjadi “sosial” jika tidak datang dari hati? Bahkan pengalaman yang paling tragis dan menyakitkan pun berisiko tidak memiliki tempat yang tenang untuk menyimpannya. Semuanya harus disingkapkan, dipamerkan, dijadikan bahan gosip saat ini. Tetapi Tuhan berkata kepada kita: Masuklah ke dalam rahasia itu, kembalilah ke pusat dirimu. Tepatnya di sana, di mana begitu banyak ketakutan, perasaan bersalah dan dosa mengintai, justru di sanalah Tuhan turun untuk menyembuhkan dan menyucikanmu. Marilah kita masuk ke dalam relung batin kita: di sana Tuhan bersemayam, di sana kelemahan kita diterima dan kita dikasihi tanpa syarat.

 

Marilah kita kembali, saudara-saudari. Marilah kita kembali kepada Allah dengan segenap hati. Selama pekan-pekan Prapaskah ini, marilah kita menyediakan ruang untuk doa adorasi dalam hati, yang di dalamnya kita mengalami kehadiran Tuhan, seperti Musa, seperti Elia, seperti Maria, seperti Yesus. Pernahkah kita menyadari bahwa kita telah kehilangan rasa penyembahan? Marilah kita kembali menyembah. Marilah kita menyendengkan telinga hati kita kepada Dia yang, dalam diam, ingin mengatakan kepada kita: “Akulah Allahmu – Allah yang penuh belas kasihan dan kasih sayang, Allah yang mengampuni dan mengasihi, Allah yang penuh kelembutan dan perhatian… Jangan menghakimi dirimu. Jangan mengutuk dirimu. Jangan menyangkal dirimu. Perkenankanlah kasih-Ku menyentuh sudut hatimu yang terdalam dan paling tersembunyi serta menyingkapkan kepadamu kecantikanmu, keindahan yang telah hilang dari pandanganmu, namun akan terlihat lagi olehmu dalam terang kerahiman-Ku.” Tuhan sedang memanggil kita: “Marilah, perkenankanlah Aku menghapus air matamu, dan perkenankanlah mulut-Ku mendekat ke telingamu dan mengatakan kepadamu: Aku mengasihimu, Aku mengasihimu, Aku mengasihimu” (H. Nouwen, Jalan Menuju Fajar, New York, 1988, 157-158). Apakah kita percaya bahwa Tuhan mengasihi kita, Tuhan mengasihiku?

 

Saudara-saudari, janganlah kita takut melepaskan diri dari keterikatan duniawi dan kembali ke hati, kembali ke hal yang penting. Marilah kita memikirkan Santo Fransiskus, yang setelah menelanjangi dirinya, memeluk Bapa di surga dengan segenap keberadaannya. Marilah kita akui siapa diri kita: abu yang dikasihi Allah, dipanggil menjadi abu yang mengasihi Allah. Berkat Dia, kita akan dilahirkan kembali dari abu dosa menuju kehidupan baru di dalam Yesus Kristus dan Roh Kudus.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 15 Februari 2024)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI MINGGU BIASA VI (MISA KANONISASI BEATA MARÍA ANTONIA DE PAZ DE SAN JOSÉ) 11 Februari 2024 : KETAKUTAN, PRASANGKA DAN KEAGAMAAN YANG KELIRU

Bacaan Ekaristi : Im. 13:1-2,45-46; Mzm. 32:1-2,5,11; 1Kor. 10:31-11:1; Mrk. 1:40-45.

 

Bacaan Pertama (bdk. Im 13:1-2.45-46) dan Bacaan Injil (bdk. Mrk 1:40-45) berbicara tentang kusta : suatu penyakit yang menyebabkan fisik orang yang terkenanya semakin merosot dan, tragisnya, bahkan hingga saat ini, di beberapa tempat menyebabkan mereka dikucilkan. Kusta dan pengucilan. Inilah penyakit yang ingin dibebaskan Yesus dari orang yang ditemui-Nya dalam Bacaan Injil. Marilah kita melihat keadaannya.

 

Orang yang menderita sakit kusta tersebut terpaksa tinggal di luar kota. Meski penyakit tersebut membuatnya lemah, alih-alih dibantu oleh orang-orang sebangsanya, ia malah ditinggalkan serta semakin terluka oleh pengucilan dan penolakan. Mengapa? Pertama, karena takut, takut tertular penyakit tersebut dan menemui akhir yang sama: “Allah melarang hal itu terjadi juga pada kita! Kita jangan mengambil risiko, tetapi menjaga jarak!” Takut. Kemudian, prasangka: “Jika ia mengidap penyakit yang mengerikan ini” – sebagaimana dipikirkan orang – “pastinya karena Allah sedang menghukumnya atas dosa yang dilakukannya; jadi ia pantas mendapatkannya!”.

 

Inilah prasangka. Dan yang terakhir, karena keagamaan yang keliru: pada masa itu ada anggapan bahwa menyentuh orang mati membuat seseorang menjadi najis, dan orang yang terkena kusta seperti orang mati yang sedang berjalan. Diperkirakan bahwa sedikit saja kontak dengan mereka akan membuat seseorang menjadi najis seperti mereka. Kasus keagamaan yang melenceng, yang membangun penghalang dan mengubur rasa kasihan.

 

Ketakutan, prasangka, dan keagamaan palsu. Inilah tiga penyebab ketidakadilan yang luar biasa. Tiga “penyakit kusta jiwa” yang menyebabkan orang lemah menderita dan kemudian dikucilkan begitu saja. Saudara-saudari, janganlah kita berpikir bahwa ini hanya peninggalan masa lalu. Berapa banyak orang sedang menderita yang kita temui di trotoar kota kita! Dan betapa banyak ketakutan, prasangka dan ketidakkonsistenan, bahkan di antara orang beriman dan menyebut diri mereka kristiani, terus menerus melukai mereka! Di zaman kita juga, terdapat kasus-kasus pengucilan yang mencolok, hambatan-hambatan yang perlu dirobohkan, dan bentuk-bentuk “kusta” yang harus disembuhkan. Tetapi bagaimana caranya? Bagaimana kita bisa melakukannya? Apa yang dilakukan Yesus? Ia melakukan dua hal: ia menyentuh dan menyembuhkan.

 

Hal pertama: Ia menyentuh orang itu. Yesus menanggapi seruan minta tolongnya (bdk. ayat 40); Ia merasa kasihan, Ia berhenti, Ia mengulurkan tangan-Nya dan menyentuhnya (bdk. ayat 41), Ia mengetahui sepenuhnya bahwa dengan melakukan hal itu Ia pada gilirannya akan menjadi “sampah masyarakat”. Anehnya, peran tersebut kini terbalik: setelah sembuh, orang yang sakit kusta tersebut dapat pergi kepada imam dan diterima kembali di dalam komunitas; Yesus, sebaliknya, tidak dapat lagi masuk ke dalam kota mana pun (bdk. ayat 45). Tuhan bisa saja menghindari menyentuh orang itu; melakukan “penyembuhan jarak jauh” sudah cukup. Namun itu bukanlah cara Kristus. Cara-Nya adalah kasih yang mendekatkan diri kepada orang-orang yang menderita, berkontak dengan mereka dan menyentuh luka-luka mereka. Kedekatan Allah; Yesus dekat dengan kita, Allah dekat dengan kita. Allah kita, saudara-saudari terkasih, tidak tinggal jauh di surga, namun di dalam Yesus, Ia menjadi manusia untuk menyentuh kemiskinan kita. Dan di hadapan kasus terburuk “kusta”, yaitu dosa, Ia tidak segan-segan wafat di kayu salib, di luar tembok kota, ditolak seperti orang berdosa, seperti penderita sakit kusta, menyentuh kedalaman kenyataan kemanusiaan kita. Seorang santo pernah menulis : “Ia menjadi penderita kusta demi kita”.

 

Apakah kita yang mengasihi dan mengikuti Yesus mampu mencontoh “sentuhan”-Nya? Hal itu tidak mudah dilakukan, dan kita harus waspada jangan sampai hati kita menyimpan naluri yang bertentangan dengan sikap-Nya yang “mendekat” dan “menjadi pemberian” bagi orang lain. Misalnya saja ketika kita menarik diri dari orang lain dan hanya memikirkan diri kita; ketika kita mereduksi dunia di sekitar kita hingga ke batas “zona nyaman” kita; ketika kita meyakini bahwa masalahnya selalu dan hanya pada orang lain… Dalam kasus seperti ini, kita perlu penuh perhatian, karena diagnosanya jelas: “kusta jiwa”: penyakit yang membutakan kita terhadap cinta dan kasih sayang, penyakit yang membuat kita dihancurkan oleh “kanker” keegoisan, prasangka, ketidakpedulian dan intoleransi. Marilah kita juga waspada, saudara-saudari, karena seperti gejala awal penyakit kusta yang muncul di kulit, jika kita tidak segera melakukan campur tangan maka infeksinya akan semakin membesar dan berakibat fatal. Dalam menghadapi bahaya ini, kemungkinan penyakit dalam jiwa kita, kita bertanya pada diri kita apakah ada obatnya?

 

Di sini kita dibantu oleh hal kedua yang dilakukan Yesus: Ia menyembuhkan (bdk. ayat 42). “Sentuhan”-Nya bukan hanya pertanda kedekatan, tetapi juga awal dari proses penyembuhan. Kedekatan adalah gaya Allah: Allah selalu dekat, penuh kasih sayang dan lembut. Kedekatan, kasih sayang dan kelembutan. Ini adalah gaya Allah. Apakah kita terbuka terhadap gaya Allah? Begitu kita membiarkan diri kita disentuh oleh Yesus, kita mulai menyembuhkan diri kita sendiri, di dalam hati kita. Jika kita memperkenankan diri kita disentuh oleh-Nya dalam doa dan penyembahan, jika kita memperkenankan Dia bertindak di dalam diri kita melalui Sabda dan sakramen-sakramen-Nya, maka kontak tersebut benar-benar mengubah diri kita. Kontak tersebut menyembuhkan kita dari dosa, membebaskan kita dari sikap mementingkan diri sendiri, dan mengubah diri kita melampaui apa pun yang dapat kita capai dengan diri dan usaha kita. Luka-luka kita – luka hati dan jiwa –, penyakit jiwa kita, perlu dibawa kepada Yesus. Doa dapat mewujudkan hal ini: bukan doa sebagai serangkaian rumusan yang abstrak dan berulang-ulang, melainkan doa yang sepenuh hati dan hidup yang menempatkan kesengsaraan, kelemahan, kegagalan, dan ketakutan kita di kaki Kristus. Marilah kita renungkan dan tanyakan pada diri kita: Apakah aku memperkenankan Yesus menyentuh “penyakit kusta”-ku untuk menyembuhkanku?

 

Melalui “sentuhan” Yesus, hal terbaik diri kita dilahirkan kembali: jaringan hati kita beregenerasi; darah kreatif kita terdorong, diisi dengan cinta, mulai mengalir kembali; luka akibat kesalahan masa lalu kita sembuh serta kulit hubungan kita menjadi segar dan sehat. Keindahan yang kita miliki, keindahan diri kita, dipulihkan. Berkat kasih Kristus, kita menemukan kembali sukacita dalam memberikan diri kita kepada orang lain, tanpa rasa takut dan prasangka, meninggalkan keagamaan yang membosankan dan tidak berwujud serta mengalami kemampuan baru untuk mencintai orang lain secara murah hati dan tanpa pamrih.

 

Kemudian, sebagaimana diceritakan dalam perikop Kitab Suci yang luar biasa (bdk. Yeh 37:1-14), dari apa yang tampak seperti lembah tulang-tulang kering, tubuh-tubuh yang hidup muncul serta komunitas saudara-saudari dilahirkan kembali dan diselamatkan. Namun, adalah sebuah khayalan jika kita berpikir bahwa mukjizat ini terjadi dengan cara yang megah dan spektakuler. Mukjizat paling sering terjadi dalam amal kasih tersembunyi yang dilakukan setiap hari di dalam keluarga kita, di tempat kerja, paroki dan sekolah, di jalanan, di kantor dan toko kita. Sebuah amal kasih yang tidak mencari ketenaran dan tidak membutuhkan tepuk tangan, karena cinta saja sudah cukup (bdk. Santo Agustinus, Enn. dalam Mazmur 118, 8, 3). Yesus memperjelas hal ini hari ini, ketika Ia memerintahkan orang tersebut, yang kini telah sembuh, untuk “tidak mengatakan apa pun kepada siapa pun” (ayat 44): kedekatan dan kehati-hatian. Saudara-saudari, begitulah Allah mengasihi kita, dan jika kita memperkenankan diri kita disentuh oleh-Nya, kita pun, dengan kuasa Roh-Nya, akan mampu menjadi saksi kasih-Nya yang menyelamatkan!

 

Hari ini, kita merenungkan kehidupan María Antonia de San José, “Mama Antula”. Ia adalah seorang “pelancong” Roh. Ia melakukan perjalanan ribuan kilometer dengan berjalan kaki, melintasi gurun dan jalan berbahaya, untuk membawa Allah kepada orang lain. Ia adalah teladan semangat dan keberanian kerasulan. Ketika para Yesuit diusir, Roh Kudus menyalakan api misioner dalam dirinya yang berlandaskan kepercayaan pada Penyelenggaraan Ilahi dan ketekunan. Ia memohon perantaraan Santo Yosef dan, agar tidak terlalu melelahkannya; ia juga memohon perantaraan Santo Gaetano Thiene. Inilah bagaimana devosi kepada Santo Gaetano Thiene diperkenalkan; gambarnya pertama kali tiba di Buenos Aires pada abad kedelapan belas. Terima kasih kepada Mama Antula, santa ini, pengantara Penyelenggaraan Ilahi, berhasil melintasi rumah-rumah, lingkungan sekitar, transportasi umum, toko-toko, pabrik-pabrik dan hati-hati untuk menawarkan kehidupan yang bermartabat melalui kerja, keadilan dan makanan sehari-hari di atas meja orang miskin. Marilah kita berdoa agar María Antonia, Santa María Antonia de Paz de San José, sudi membantu kita. Semoga Allah memberkati semua orang!

______

 

(Peter Suriadi - Bogor, 11 Februari 2024)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA PESTA YESUS DIPERSEMBAHKAN DI BAIT ALLAH (HARI HIDUP BAKTI KE-28) 2 Februari 2024 : DUA KENDALA YANG MEMBUAT KITA KEHILANGAN KEMAMPUAN UNTUK MENANTI

Bacaan Ekaristi : Mal 3:1-4; Mzm 24:7.8.9.10; Luk 2:22-40.


Seraya orang-orang menantikan keselamatan Tuhan, para nabi mewartakan kedatangan-Nya, sebagaimana diwartakan oleh nabi Maleakhi, “Tiba-tiba Tuhan yang kamu cari itu akan datang ke bait-Nya! Utusan Perjanjian yang kamu inginkan itu, sesungguhnya, Ia datang" (3:1). Simeon dan Hana adalah gambaran dan sosok kerinduan ini. Ketika melihat Tuhan memasuki bait-Nya, keduanya diterangi oleh Roh Kudus dan mengenali anak yang digendong Maria tersebut. Mereka telah menantikan Dia sepanjang hidup mereka: Simeon, “seorang yang benar dan saleh yang menantikan penghiburan bagi Israel dan Roh Kudus ada di atasnya” (Luk 2:25); Hana, yang “tidak pernah meninggalkan Bait Allah” (Luk 2:37).

 

Ada baiknya kita menelaah kedua orang tua ini yang sabar menanti, tetap berjaga-jaga dan bertekun dalam doa. Hati mereka tetap berjaga, laksana nyala api abadi. Mereka sudah lanjut usia, namun berjiwa muda. Keduanya tidak membiarkan hari-hari melelahkan mereka, karena mata mereka tetap tertuju pada Allah dalam pengharapan (bdk. Mzm 145:15). Terpaku pada Allah dalam pengharapan, selalu dalam pengharapan. Sepanjang perjalanan hidup, mereka pernah mengalami kesukaran dan kekecewaan, namun mereka tidak menyerah kalah: mereka belum “memensiunkan” harapan. Ketika mereka merenungkan anak itu, mereka menyadari bahwa waktunya telah tiba, nubuat telah tergenapi, Ia yang mereka cari dan dambakan, Mesias segala bangsa, telah tiba. Dengan tetap berjaga dalam pengharapan akan Tuhan, mereka mampu menyambut kebaruan kedatangan-Nya.

 

Saudara-saudari, menantikan Allah juga penting bagi kita, bagi perjalanan iman kita. Setiap hari Tuhan mengunjungi kita, berbicara kepada kita, menyatakan diri-Nya dengan cara yang tidak terduga dan, pada akhir kehidupan dan waktu, Ia akan datang. Ia sendiri menasihati kita untuk tetap berjaga, waspada, dan bertekun dalam penantian. Memang, hal terburuk yang bisa terjadi pada kita adalah membiarkan “semangat kita tertidur”, membiarkan hati tertidur, membius jiwa, mengunci harapan di sudut gelap kekecewaan dan kepasrahan.

 

Saya memikirkanmu, saudara-saudari para pelaku hidup bakti, dan tentang karunia yang kamu miliki; saya memikirkan kita sebagai umat Kristiani dewasa ini: apakah kita masih mampu menanti? Bukankah kita kadang-kadang terlalu sibuk dengan diri kita sendiri, dengan berbagai hal, dan dengan irama kehidupan sehari-hari yang padat, sampai-sampai melupakan Allah yang selalu datang? Bukankah kita terlalu terpesona dengan perbuatan baik kita, yang bahkan berisiko mengubah kehidupan beragama dan kristiani menjadi “banyak hal yang harus dilakukan” dan mengabaikan untuk mencari Tuhan setiap hari? Bukankah kita terkadang mengambil risiko merencanakan kehidupan pribadi dan bermasyarakat dengan memperhitungkan peluang keberhasilan, alih-alih memupuk benih kecil yang dipercayakan kepada kita dengan suka cita dan kerendahan hati, dengan kesabaran orang yang menabur tanpa mengharapkan apa pun dan orang yang tahu bagaimana menanti waktu Allah dan memperkenankan-Nya mengejutkan kita? Kadang-kadang kita harus menyadari bahwa kita telah kehilangan kemampuan untuk menanti. Hal ini disebabkan oleh beberapa kendala, dan saya ingin menyoroti dua di antaranya.

 

Kendala pertama yang membuat kita kehilangan kemampuan menanti adalah mengabaikan kehidupan batin. Inilah yang terjadi ketika keletihan mengalahkan keheranan, ketika kebiasaan menggantikan antusiasme, ketika kita kehilangan ketekunan dalam perjalanan rohani, ketika pengalaman-pengalaman buruk, perselisihank atau buah yang tampaknya tertunda mengubah kita menjadi orang-orang yang getir dan sakit hati. Terus memikirkan kepahitan tidak baik karena dalam keluarga rohani, seperti halnya dalam komunitas dan keluarga mana pun, orang-orang yang pahit dan “berwajah masam” sedang mengempis, orang-orang yang seolah-olah memiliki cuka di dalam hatinya. Maka kita perlu memulihkan rahmat yang hilang: kembali dan, melalui peningkatan kehidupan batin, kembali ke semangat kerendahan hati yang penuh sukacita, rasa syukur yang hening. Hal ini dipupuk oleh penyembahan, jerih payah lutut dan hati, doa yang berwujud pergumulan dan pengantaraan, yang mampu membangkitkan kembali kerinduan akan Allah, cinta awal, keheranan di hari pertama, rasa penantian.

 

Kendala kedua adalah beradaptasi dengan gaya hidup duniawi, yang pada akhirnya menggantikan Injil. Dunia kita sering kali berjalan dengan sangat cepat, yang mengagung-agungkan “segalanya dan saat ini”, yang tenggelam dalam aktivisme dan berusaha menghilangkan ketakutan dan kegelisahan hidup di kuil-kuil konsumerisme kafir atau hiburan dengan segala cara. Dalam konteks seperti ini, di mana keheningan disingkirkan dan hilang, menanti bukanlah hal yang mudah, karena memerlukan sikap pasif yang sehat, keberanian untuk memperlambat langkah, tidak kewalahan dengan aktivitas, memberikan ruang dalam diri kita untuk tindakan Allah. Ini adalah pelajaran mistisisme kristiani. Maka marilah kita berhati-hati agar roh dunia tidak masuk ke dalam komunitas rohani kita, kehidupan gerejawi dan perjalanan pribadi kita, jika tidak maka kita tidak akan menghasilkan buah. Kehidupan kristiani dan perutusan kerasulan memerlukan pengalaman penantian. Matang dalam doa dan kesetiaan sehari-hari, penantian membebaskan kita dari mitos efisiensi, dari obsesi terhadap kinerja dan, terutama, dari kepura-puraan yang menyingkirkan Allah, karena Ia selalu datang dengan cara yang tidak terduga, Ia selalu datang pada waktu yang tidak kita pilih dan dengan cara yang tidak kita duga.

 

Sebagaimana dinyatakan mistikus dan filsuf Prancis, Simone Weil, kita adalah mempelai perempuan yang menanti di malam hari kedatangan mempelai laki-laki, dan: “Peran calon istri adalah menanti…. Merindukan Allah dan meninggalkan segala sesuatu yang lain, hanya itu saja yang bisa menyelamatkan kita” (Menanti Allah, Milan 1991, 196). Saudari-saudari, dalam doa marilah kita membina semangat menantikan Tuhan dan belajar tentang “kepasifan Roh” secara tepat: dengan demikian, kita akan mampu membuka diri terhadap kebaruan Allah.

 

Seperti Simeon, marilah kita juga menggendong anak ini, Allah kebaruan dan kejutan. Dengan menyambut Tuhan, masa lalu terbuka terhadap masa depan, hal lama dalam diri kita terbuka terhadap hal baru yang dibangkitkan-Nya. Ini tidak mudah, kita tahu ini, karena dalam kehidupan beragama seperti dalam kehidupan setiap umat kristiani, sulit untuk melawan “kekuatan lama”. “Tidaklah mudah bagi manusia lama kita untuk menyambut sang anak, yang baru – menyambut yang baru, di masa tua kita menyambut yang baru – … Kebaruan Allah menampilkan dirinya sebagai seorang anak dan kita, dengan semua kebiasaan, ketakutan, perasaan was-was, iri hati kita, – marilah kita memikirkan iri hati! – khawatir, bertatap muka dengan anak ini. Akankah kita merangkul anak tersebut, menyambut anak tersebut, memberikan ruang bagi anak tersebut? Akankah kebaruan ini benar-benar masuk ke dalam kehidupan kita atau justru kita akan mencoba menggabungkan yang lama dan yang baru, berusaha membiarkan diri kita diganggu sesedikit mungkin oleh kehadiran kebaruan Allah?” (C.M. Martini, Sesuatu yang Sangat Pribadi. Meditasi Tentang Doa, Milan 2009, 32-33).

 

Saudara-saudari, pertanyaan-pertanyaan ini ditujukan untuk kita, untuk kita masing-masing, untuk komunitas kita, dan untuk Gereja. Biarlah kita gelisah, marilah kita digerakkan oleh Roh, seperti Simeon dan Hana. Jika, seperti mereka, kita hidup dalam pengharapan, menjaga kehidupan batin kita dan selaras dengan Injil, jika, seperti mereka, kita hidup dalam pengharapan, kita akan memeluk Yesus, yang merupakan terang dan pengharapan kehidupan.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 3 Februari 2024)