Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA PESTA YESUS DIPERSEMBAHKAN DI BAIT ALLAH (HARI HIDUP BAKTI SEDUNIA XXVI) 2 Februari 2022 : TIGA PERTANYAAN PENTING UNTUK PARA PELAKU HIDUP BAKTI

Bacaan Ekaristi : Mal 3:1-4; Mzm 24:7.8.9.10; Luk 2:22-40.

 

Dua orang yang sudah sangat lanjut umurnya, Simeon dan Hana, menantikan di Bait Allah penggenapan janji Allah bagi umat-Nya : kedatangan Mesias. Tetapi penantian mereka bukan harapan pasif, penantian mereka penuh gerakan. Marilah kita melihat apa yang dilakukan Simeon. Pertama, ia digerakkan oleh Roh, kemudian ia melihat keselamatan di dalam diri Kanak Yesus dan akhirnya ia menyambut dan membawa-Nya ke dalam pelukannya (bdk. Luk 2:26-28). Marilah kita sungguh memikirkan tiga tindakan ini dan merenungkan beberapa pertanyaan yang penting bagi kita, khususnya untuk hidup bakti.

 

Pertama, apa yang mengerakkan kita? Simeon datang ke Bait Allah "digerakkan oleh Roh" (ayat 27). Roh Kudus adalah aktor utama dalam adegan tersebut. Ia membuat hati Simeon berkobar-kobar dengan kehendak Allah. Ia memelihara harapan tetap hidup di dalam hatinya : Ia mendorongnya untuk pergi ke Bait Allah dan memungkinkan matanya untuk mengenali Mesias, bahkan dalam samaran bayi kecil yang malang. Itulah apa yang dilakukan Roh Kudus : Ia memampukan kita untuk membedakan kehadiran dan kegiatan Allah bukan dalam hal-hal besar, dalam penampilan lahiriah atau unjuk kekuatan, tetapi dalam hal-hal kecil dan kerapuhan. Pikirkanlah salib. Di sana juga selain kita menemukan kekecilan dan kerapuhan, juga sesuatu yang dramatis : kuasa Allah. Kata-kata “digerakkan oleh roh” itu mengingatkan kita pada apa yang oleh teologi asketis disebut sebagai “gerakan Roh”: gerakan-gerakan jiwa yang kita kenali di dalam diri kita dan kita dipanggil untuk mengujinya, untuk membedakan apakah gerakan-gerakan itu berasal dari Roh Kudus atau bukan. Perhatikanlah gerakan batin Roh.

 

Kita juga bisa bertanya, siapa yang paling banyak menggerakkan kita? Apakah Roh Kudus, atau roh dunia ini? Inilah pertanyaan yang perlu ditanyakan oleh setiap orang, khususnya para pelaku hidup bakti. Roh menggerakkan kita untuk melihat Allah dalam kekecilan dan kerapuhan seorang bayi, namun terkadang kita mengambil risiko melihat hidup bakti kita hanya dalam hal hasil, tujuan, dan keberhasilan : kita mencari pengaruh, jarak pandang, angka-angka. Ini adalah sebuah godaan. Roh, di sisi lain, tidak meminta semua ini. Ia ingin kita memupuk kesetiaan setiap hari dan memberi perhatian terhadap hal-hal kecil yang dipercayakan kepada kita. Betapa mengharukan kesetiaan yang ditunjukkan oleh Simeon dan Hana! Setiap hari mereka datang ke Bait Allah, setiap hari mereka berjaga-jaga dan berdoa, meskipun waktu berlalu dan sepertinya tidak ada yang terjadi. Mereka menjalani hidup mereka dengan harapan, tanpa keputusasaan atau keluh kesah, bertekun dalam kesetiaan dan memelihara nyala api harapan yang telah dikobarkan Roh di dalam hati mereka.

 

Saudara-saudara, kita bisa bertanya, apa yang menggerakkan hari-hari kita? Cinta apakah yang membuat kita terus berjalan? Apakah Roh Kudus, atau gairah saat ini, atau sesuatu yang lain? Bagaimana kita “bergerak” dalam Gereja dan masyarakat? Kadang-kadang, bahkan di balik penampilan kerja yang baik, kanker narsisme, atau kebutuhan untuk menonjol, dapat disembunyikan. Dalam kasus lain, bahkan ketika kita melakukan banyak hal, komunitas keagamaan kita dapat tampak lebih tergerak oleh pengulangan mekanis – bertindak karena kebiasaan, hanya untuk menyibukkan diri – daripada oleh keterbukaan yang antusias kepada Roh Kudus. Kita semua hari ini ada baiknya memeriksa motivasi batin kita dan membedakan gerakan spiritual kita, sehingga pembaruan hidup bakti dapat terjadi, pertama dan terutama, dari sana.

 

Pertanyaan kedua : Apa yang dilihat mata kita? Simeon, digerakkan oleh Roh, melihat dan mengenali Kristus. Dan ia berdoa, berkata : "Mataku telah melihat keselamatan yang dari pada-Mu" (ayat. 30). Inilah mukjizat iman yang luar biasa : iman membuka mata, mengubah rupa pandangan, mengubah sudut pandang. Seperti kita ketahui dari banyak perjumpaan Yesus dalam Injil, iman lahir dari tatapan belas kasih yang dengannya Allah memandang kita, melembutkan kekerasan hati kita, menyembuhkan luka kita serta memberi kita mata baru untuk melihat diri kita dan dunia kita. Cara baru untuk melihat diri kita, orang lain dan semua situasi yang kita alami, bahkan yang paling menyakitkan sekalipun. Tatapan ini tidak bersahaja tetapi budiman. Tatapan yang bersahaja melarikan diri dari kenyataan dan menolak untuk melihat masalah. Namun, tatapan yang budiman dapat "melihat ke dalam" dan "melihat ke luar". Tatapan yang tidak berhenti pada penampilan, tetapi bisa masuk ke celah kelemahan dan kegagalan kita, untuk membedakan kehadiran Allah bahkan di sana.

 

Mata tua Simeon, meskipun lelah selama bertahun-tahun, melihat Tuhan. Matanya melihat keselamatan. Dan berkenaan dengan kita? Kita masing-masing dapat bertanya pada diri sendiri : apa yang dilihat mata kita? Daya pandang apa yang kita miliki tentang hidup bakti? Dunia kerap melihatnya sebagai "kesia-siaan" : “Lihatlah anak muda yang baik itu menjadi seorang biarawan atau biarawati, alangkah sia-sianya! Andai setidaknya mereka buruk … tetapi sayang sekali”! Begitulah cara kita berpikir. Dunia mungkin melihat ini sebagai peninggalan masa lalu, sesuatu yang tidak berguna. Tetapi kita, komunitas Kristiani, para pelaku hidup bakti, apa yang kita lihat? Apakah mata kita hanya tertuju ke dalam, mendambakan sesuatu yang sudah tidak ada lagi, atau apakah kita mampu menatap jauh ke depan, iman yang melihat ke dalam dan ke luar? Memiliki kebijaksanaan untuk melihat berbagai hal – ini adalah karunia Roh – melihat segala sesuatu dengan baik, melihatnya dalam sudut pandang, memahami kenyataan. Saya sangat diteguhkan ketika melihat biarawan atau biarawati tua yang matanya cerah, yang terus tersenyum dan dengan cara ini memberi harapan kepada kaum muda. Marilah kita memikirkan seluruh saat ketika kita bertemu orang-orang seperti itu, dan bersyukurkepada Allah untuk ini. Karena mata mereka penuh dengan harapan dan keterbukaan terhadap masa depan. Dan mungkin ada baiknya kita, pada hari-hari ini, mengunjungi biarawan atau biarawati kita yang sudah lanjut usia, melihat mereka, berbicara dengan mereka, mengajukan pertanyaan, mendengar apa yang sedang mereka pikirkan. Saya menganggap ini obat yang bagus.

 

Saudara-saudari, Tuhan tidak pernah gagal memberi kita tanda-tanda yang mengundang kita untuk mengembangkan pembaharuan visi hidup bakti. Kita perlu melakukan ini, tetapi dalam terang Roh Kudus dan taat pada gerakan-Nya. Kita tidak bisa berpura-pura tidak melihat tanda-tanda ini dan terus berjalan seperti biasa, tetap melakukan hal-hal lama, hanyut kembali melalui kelembaman ke bentuk-bentuk masa lalu, dilumpuhkan oleh ketakutan akan perubahan. Saya telah mengatakan ini berulang kali : saat ini godaan untuk kembali, untuk keamanan, karena takut, untuk mempertahankan iman atau karisma pendiri ... adalah godaan. Godaan untuk kembali dan melestarikan ""tradisi" dengan kekakuan. Marilah kita pikirkan ini : kekakuan adalah penyimpangan, dan di bawah setiap bentuk kekakuan ada masalah serius. Baik Simeon maupun Hana tidak kaku; tidak, mereka bebas dan memiliki sukacita merayakan : Simeon dengan memuji Allah dan bernubuat dengan berani kepada ibu anak itu. Hana, seperti perempuan tua yang baik, terus berkata : "Lihat mereka!" "Lihat ini!" Ia berbicara dengan sukacita, matanya penuh harapan. Tak seorang pun dari kelembaman masa lalu, tidak ada kekakuan. Marilah kita buka mata kita : Roh sedang mengundang kita di tengah-tengah krisis kita – dan ada berbagai krisis –, jumlah kita menurun – “Bapa, tidak ada panggilan, sekarang kita akan pergi ke ujung bumi untuk melihat apakah kita dapat menemukannya” – dan kekuatan kita yang semakin berkurang, untuk memperbarui kehidupan dan komunitas kita. Dan bagaimana kita melakukan ini? Ia akan menunjukkan jalan kepada kita. Marilah kita buka hati kita, dengan keberanian dan tanpa rasa takut. Marilah kita lihat Simeon dan Hana: meskipun mereka sudah lanjut usia, mereka tidak menghabiskan hari-hari mereka meratapi masa lalu yang tidak pernah kembali, tetapi sebaliknya merangkul masa depan yang terbuka di hadapan mereka. Saudara-saudari, janganlah kita menyia-nyiakan hari ini dengan melihat ke belakang pada hari kemarin, atau memimpikan hari esok yang tidak akan pernah datang ; sebaliknya, marilah kita menempatkan diri kita di hadapan Allah dalam penyembahan dan memohon mata untuk melihat kebaikan dan membedakan jalan Allah. Tuhan akan memberikannya kepada kita, jika kita memohonnya. Dengan sukacita, dengan keberanian, tanpa rasa takut.

 

Akhirnya, pertanyaan ketiga : apa yang kita bawa ke tangan kita? Simeon membawa Yesus ke dalam pelukannya (bdk. ayat 28). Ini adalah adegan yang menyentuh, penuh makna dan unik dalam Injil. Allah telah menempatkan Putra-Nya dalam pelukan kita juga, karena memeluk Yesus adalah hal yang hakiki, pokok iman. Kadang-kadang kita mengambil risiko kehilangan arah, terjebak dalam ribuan hal yang berbeda, terobsesi dengan masalah kecil atau terjun ke rancangan baru, namun inti dari segalanya adalah Kristus, memeluk-Nya sebagai Tuhan atas hidup kita.

 

Ketika Simeon membawa Yesus ke dalam pelukannya, ia mengucapkan kata-kata berkat, pujian dan keheranan. Dan kita, setelah bertahun-tahun hidup bakti, apakah kita kehilangan kemampuan untuk heran? Apakah kita masih memiliki kemampuan ini? Marilah kita memeriksa diri kita tentang hal ini, dan jika seseorang tidak menemukannya, biarlah ia memohon rahmat ketakjuban, ketakjuban di hadapan keheranan yang sedang dikerjakan Allah di dalam kita, tersembunyi, seperti keheranan di Bait Allah, ketika Simeon dan Hana berjumpa Yesus . Jika para pelaku hidup bakti tidak memiliki kata-kata syukur kepada Allah dan sesama, jika mereka tidak bersukacita, jika mereka tidak bergairah, jika hidup persaudaraan mereka hanya sebuah tugas, jika tidak ada keheranan, itu bukan kesalahan seseorang atau sesuatu yang lainnya. Alasan sebenarnya adalah karena tangan kita tidak lagi memeluk Yesus. Dan ketika tangan biarawan atau biarawati tidak memeluk Yesus, mereka merangkul kekosongan yang mereka coba isi dengan hal-hal lain, tetapi tetap merupakan kekosongan. Membawa Yesus ke dalam pelukan kita : inilah tandanya, perjalanannya, resep pembaruannya. Ketika kita gagal membawa Yesus ke dalam pelukan kita, hati kita menjadi mangsa kepahitan. Menyedihkan melihat kaum religius yang getir : tertutup dalam keluh kesah tentang hal-hal yang tidak pernah berjalan dengan baik, dalam kekakuan yang membuat mereka tidak supel, dalam sikap menganggap diri lebih unggul. Mereka selalu mengeluh tentang sesuatu : atasan, saudara-saudari mereka, masyarakat, makanan… Mereka hidup untuk sesuatu untuk dikeluhkan. Tetapi kita harus memeluk Yesus dalam penyembahan dan memohon mata yang mampu melihat kebaikan dan melihat jalan Allah. Jika kita memeluk Kristus dengan tangan terbuka, kita juga akan memeluk orang lain dengan kepercayaan dan kerendahan hati. Maka perseteruan tidak akan meningkat, perselisihan tidak akan pecah, serta godaan untuk menguasai dan merendahka martabat orang lain akan teratasi. Jadi marilah kita membuka tangan kita bagi Kristus dan semua saudara-saudari kita. Karena di sanalah Yesus berada.

 

Sahabat-sahabat yang terkasih, hari ini marilah kita dengan penuh sukacita memperbarui hidup bakti kita! Marilah kita bertanya pada diri kita sendiri apa yang “menggerakkan” hati dan tindakan kita, untuk visi baru apakah kita dipanggil untuk mengembangkannya, dan terutama, marilah kita membawa Yesus ke dalam pelukan kita. Sekalipun terkadang kita mengalami kepenatan dan keletihan – hal ini juga terjadi – , marilah kita melakukan seperti yang dilakukan oleh Simeon dan Hana. Mereka menanti dengan sabar kesetiaan Tuhan dan tidak membiarkan diri mereka dirampok dari sukacita perjumpaan dengan-Nya. Marilah kita maju menuju sukacita perjumpaan : ini indah! Marilah kita kembali menempatkan Tuhan di tengah, dan terus maju dengan sukacita. Amin.

____

 

(Peter Suriadi - Bogor, 2 Februari 2022)