Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA MALAM PASKAH 30 Maret 2024 : MENGGULINGKAN BATU DARI PINTU KUBUR DAN MELAYANGKAN PANDANGAN

Bacaan Ekaristi : Kej. 1:1-2:2; Kej. 22:1-18; Kel. 14:15-15:1; Yes. 54:5-14; Yes. 55:1-11; Bar. 3:9-15,32-4:4; Yeh. 36:16-17a,18-28; Rm. 6:3-11; Mrk. 16:1-7.

 

Para perempuan pergi ke kubur pada waktu fajar, namun mereka masih merasakan kegelapan malam. Mereka terus berjalan, namun hati mereka tetap berada di kaki salib. Air mata Jumat Agung belum kering; mereka dilanda kesedihan, diliputi perasaan bahwa segala sesuatu telah dikatakan dan dilakukan. Sebuah batu telah menyegel nasib Yesus. Mereka prihatin terhadap batu itu, karena mereka bertanya-tanya, “Siapa yang akan menggulingkan batu itu bagi kita dari pintu kubur?” (Mrk 16:3). Namun begitu mereka tiba, mereka terkejut ketika melihat kekuatan luar biasa peristiwa Paskah: “Ketika mereka melayang pandang, tampaklah, batu itu sudah terguling. Batu itu memang sangat besar” (Mrk 16:4).

 

Marilah kita berhenti dan merenungkan dua momen ini, yang membawa kita kepada sukacita Paskah yang tak terduga. Perempuan itu dengan cemas bertanya-tanya: Siapa yang akan menggulingkan batu itu dari pintu kubur? Kemudian, ketika mereka melayang pandang, tampaklah batu itu sudah terguling.

Pertama, ada pertanyaan yang meresahkan hati mereka yang berduka: Siapa yang akan menggulingkan batu itu dari pintu kubur? Batu itu menandai akhir kisah Yesus, yang kini terkubur di malam kematian. Dia, Sang kehidupan yang datang ke dunia, telah dibunuh. Dia, yang menyatakan kasih Bapa yang maharahim, tidak menemui kerahiman. Dia, yang membebaskan orang-orang berdosa dari beban hukuman mereka, telah dihukum di kayu salib. Sang Raja Damai, yang membebaskan seorang perempuan yang tertangkap basah berzinah dari hukuman rajam yang keji, kini terkubur di balik sebuah batu besar. Batu itu, sebuah penghalang yang sangat besar, melambangkan apa yang dirasakan para perempuan dalam hati mereka. Batu itu mewakili akhir harapan mereka, yang kini dihancurkan oleh misteri yang tidak jelas dan menyedihkan yang mengakhiri impian mereka.

 

Saudara-saudari, kita juga bisa mengalami hal yang sama. Ada kalanya kita merasa ada batu besar yang menghalangi pintu hati kita, menghambat kehidupan, memadamkan harapan, memenjarakan kita dalam kubur ketakutan dan penyesalan, serta menghalangi sukacita dan harapan. Kita menghadapi “batu kubur” seperti itu dalam perjalanan hidup kita dalam semua pengalaman dan situasi yang merampas antusiasme dan kekuatan kita untuk bertekun. Kita menghadapinya pada saat-saat duka: dalam kehampaan yang ditinggalkan oleh kematian orang-orang yang kita kasihi, dalam kegagalan dan ketakutan yang menghalangi kita untuk mencapai kebaikan yang ingin kita lakukan. Kita menghadapinya dalam segala bentuk keasyikan terhadap diri sendiri yang menghambat dorongan kita untuk bermurah hati dan mencintai dengan tulus, dalam dinding karet keegoisan dan ketidakpedulian yang menghalangi kita dalam upaya membangun kota dan masyarakat yang semakin adil dan manusiawi, dalam semua aspirasi kita demi perdamaian yang dirusak oleh kebencian yang kejam dan kebrutalan perang. Ketika kita mengalami kekecewaan-kekecewaan ini, apakah kita juga merasakan bahwa semua impian ini pasti akan gagal, dan kita juga harus bertanya pada diri kita dalam kesedihan: “Siapa yang akan menggulingkan batu dari pintu kubur?”.

 

Namun para perempuan yang memiliki kegelapan ini dalam hati mereka menceritakan kepada kita sesuatu yang sangat luar biasa. Ketika mereka melayangkan pandangan, mereka melihat bahwa batu yang sangat besar itu telah terguling. Inilah Paskah Kristus, pewahyuan kuasa Allah: kemenangan kehidupan atas kematian, kemenangan terang atas kegelapan, lahirnya kembali pengharapan di tengah puing-puing kegagalan. Tuhan, Allah segala sesuatu yang mustahil, menggulingkan batu itu selamanya. Bahkan sekarang, Ia membuka kubur kita, agar harapan dapat lahir kembali. Oleh karena itu, kita juga harus “melayangkan pandangan” kepada Dia.

 

Lalu, marilah kita melayangkan pandangan kepada Yesus. Setelah mengambil rupa kemanusiaan kita, Ia turun ke kedalaman kematian dan memenuhinya dengan kuasa kehidupan ilahi-Nya, memungkinkan seberkas cahaya yang tak terbatas menerobos ke dalam diri kita masing-masing. Dibangkitkan oleh Bapa dalam daging-Nya, dan daging kita, dalam kuasa Roh Kudus, Ia membuka lembaran baru dalam sejarah umat manusia. Sejak saat itu, jika kita memperkenankan Yesus untuk menggandeng tangan kita, tidak ada pengalaman kegagalan atau kesedihan, betapapun menyakitkannya, yang akan menentukan makna dan tujuan hidup kita. Sejak saat itu, jika kita memperkenankan diri kita dibangkitkan oleh Tuhan yang bangkit, maka tidak ada kemalangan, tidak ada penderitaan, tidak ada kematian yang dapat menghentikan kemajuan kita menuju kepenuhan hidup. Selanjutnya, “kita umat Kristiani menyatakan bahwa sejarah ini... mempunyai makna, makna yang mencakup segalanya... sebuah makna yang tidak lagi dinodai oleh kemustahilan dan bayang-bayang... sebuah makna yang kita sebut Allah... Semua air transformasi kita berkumpul pada-Nya; mereka tidak tercurah ke kedalaman ketiadaan dan kemustahilan... Karena kubur-Nya kosong dan Yang Mati kini telah dinyatakan sebagai Yang Hidup."

 

Saudara-saudara, Yesus adalah Paskah kita. Dialah yang membawa kita dari kegelapan menuju terang, yang terikat pada kita selama-lamanya, yang menyelamatkan kita dari jurang dosa dan maut, serta menarik kita ke alam pengampunan dan kehidupan kekal yang bercahaya. Mari kita melayangkan pandangan kepada Dia! Marilah kita menyambut Yesus, Allah kehidupan, ke dalam hidup kita, dan hari ini sekali lagi mengatakan “ya” kepada-Nya. Maka tidak ada batu yang akan menghalangi jalan menuju hati kita, tidak ada kubur yang akan menekan sukacita hidup, tidak ada kegagalan yang akan membuat kita putus asa. Marilah kita mengarahkan pandangan kita kepada-Nya dan memohon agar kuasa kebangkitan-Nya dapat menggulingkan batu-batu berat yang membebani jiwa kita. Marilah kita mengarahkan pandangan kita kepada-Nya, Tuhan yang bangkit, dan berkembang dengan keyakinan bahwa, dengan latar belakang kegagalan harapan dan kematian kita, kehidupan kekal yang Ia datangkan kini hadir di tengah-tengah kita.

 

Saudara-saudari, perkenankanlah hatimu meledak dengan sorak kegirangan di malam kudus ini! Bersama-sama marilah kita menyanyikan kebangkitan Yesus: “Bernyanyilah bagi Dia, negeri-negeri nun jauh, sungai-sungai dan dataran-dataran rendah, gurun-gurun dan gunung-gunung... Bernyanyilah bagi Tuhan Sang kehidupan, yang telah bangkit dari kubur, lebih cemerlang dari seribu matahari. Segala bangsa dilanda kejahatan dan ketidakadilan, segala bangsa terlantar dan hancur: pada malam kudus ini singkirkan nyanyian kesedihan dan keputusasaanmu. Sang manusia dukacita tidak lagi berada di dalam penjara: Ia telah membuka sebuah terobosan di dinding; Ia bergegas menemuimu. Dalam kegelapan, perkenankanlah seruan sukacita yang tak terduga bergema: Ia hidup; Ia telah bangkit! Dan kamu, saudara-saudariku, kecil dan besar... kamu yang letih lesu hidup, yang merasa tidak layak untuk bernyanyi... perkenankanlah nyala api baru berkobar dalam hatimu, perkenankanlah daya hidup baru terdengar dalam suaramu. Inilah Paskah Tuhan; inilah pesta orang yang hidup."

______

(Peter Suriadi - Bogor, 31 Maret 2024)

HOMILI RANIERO KARDINAL CANTALAMESSA, OFMCAP DALAM IBADAT JUMAT AGUNG DI BASILIKA SANTO PETRUS VATIKAN 29 Maret 2024 : AKULAH DIA

Bacaan Liturgi : Yes. 52:13-53:12; Mzm. 31:2,6,12-13,15-16,17,25; Ibr. 4:14-16; 5:7-9; Yoh. 18:1-19:42.


"Apabila kamu telah meninggikan Anak Manusia, barulah kamu tahu, bahwa AKULAH DIA” (Yoh 8:28). Inilah kata-kata yang diucapkan Yesus di akhir perselisihan sengit dengan lawan-lawan-Nya. Ada peningkatan dibandingkan dengan “Akulah Dia” sebelumnya yang diucapkan Yesus dalam Injil Yohanes. Ia tidak lagi berkata, “AKULAH DIA” ini atau itu: roti hidup, terang dunia, kebangkitan dan hidup, dan seterusnya. Ia hanya mengatakan “Akulah Dia” tanpa penjelasan lebih lanjut. Hal ini menyampaikan pernyataan-Nya suatu dimensi metafisik yang mutlak. Pernyataan-Nya sengaja mengingatkan kata-kata dalam Kel 3:14 dan Yes 43:10-12, yang di dalamnya Allah sendiri menyatakan “AKULAH DIA” yang ilahi.

 

Hal baru yang mengejutkan dari penegasan yang diucapkan Kristus ini hanya dapat kita temukan jika kita memperhatikan apa yang mendahului penegasan diri Kristus: “Apabila kamu telah meninggikan Anak Manusia, barulah kamu tahu, bahwa AKULAH DIA.” Seolah-olah mau dikatakan: Siapakah Aku – dan oleh karena itu, siapakah Allah itu! — hanya akan terwujud di kayu salib. (Sebagaimana kita ketahui, dalam Injil Yohanes, ungkapan “ditinggikan” mengacu pada peristiwa salib!)

 

Kita dihadapkan pada pembalikan sepenuhnya gagasan manusia tentang Allah dan, sebagian juga gagasan Perjanjian Lama. Yesus tidak datang untuk memperbaiki dan menyempurnakan gagasan manusia tentang Allah, tetapi, dalam arti tertentu, menjungkirbalikkan gagasan tersebut dan menyingkapkan wajah Allah yang sesungguhnya. Inilah apa yang pertama kali dipahami Santo Paulus. Ia menulis:

 

Sebab, karena dunia, dalam hikmat Allah, tidak mengenal Allah oleh hikmat, Allah berkenan menyelamatkan mereka yang percaya oleh kebodohan pemberitaan Injil. Orang-orang Yahudi menghendaki tanda dan orang-orang Yunani mencari hikmat, tetapi kami memberitakan Kristus yang disalibkan: Untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan, tetapi untuk mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi, maupun orang bukan Yahudi, Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah. (1 Kor 1:21-24).

 

Dipahami dalam sudut pandang ini, kata-kata Kristus memiliki makna universal yang menantang mereka yang membacanya, di segala zaman dan situasi, termasuk zaman kita. Kenyataannya, pembalikan gagasan tentang Allah itu selalu perlu diperbarui. Sayangnya, dalam ketidaksadaran kita, kita terus menyampaikan gagasan tentang Allah yang merasa perlu diubah oleh Yesus. Kita bisa berbicara tentang sosok Allah yang sungguh roh, wujud tertinggi, dan seterusnya, tetapi bagaimana kita bisa melihat Dia dalam kebinasaan kematian-Nya di kayu salib? Allah itu mahakuasa, tidak perlu diragukan lagi, tetapi kuasa macam apa? Ketika berhadapan dengan sosok-sosok manusiawi, Allah mendapati diri-Nya tidak memiliki kemampuan apa pun, tidak hanya dipaksa, tetapi juga hanya bertahan. Ia tidak bisa melakukan campur tangan dengan menggunakan kewenangan-Nya terhadap mereka. Ia harus menghormati, sampai tingkat yang tak terhingga, kebebasan memilih umat manusia.

 

Maka Bapa mengungkapkan wajah kemahakuasaan-Nya yang sesungguhnya dalam diri Putra-Nya yang berlutut di hadapan para murid untuk membasuh kaki mereka; di dalam Dia yang mengalami ketidakberdayaan yang paling radikal di kayu salib dan terus mengasihi dan mengampuni, tanpa menyalahkan siapa pun. Kemahakuasaan Allah adalah kemahakuasaan kasih yang tak berdaya.

 

Dibutuhkan sedikit kekuatan untuk pasang aksi; dibutuhkan banyak kekuatan untuk mengesampingkan dan menyembunyikan diri. Allah adalah kekuatan penyembunyian diri yang tak terbatas! Exinanivit semetipsum: Ia telah mengosongkan diri-Nya sendiri (Flp 2:7). Terhadap “keinginan kita untuk berkuasa”, Allah menentang ketidakberdayaan-Nya yang bersifat sukarela.

 

Sungguh sebuah pelajaran bagi kita yang, sedikit banyak, secara sadar selalu ingin pasang aksi. Sungguh sebuah pelajaran bagi para penguasa bumi! Atau setidaknya bagi mereka yang bahkan tidak berpikir untuk melayani, tetapi hanya memikirkan kekuasaan demi kekuasaan; mereka – sebagaimana dikatakan Yesus dalam Injil – yang “menindas rakyat” dan, sebagai tambahan, “menyebut diri mereka pelindung” (bdk. Mat 20:25; Luk 22:25).

 

* * *

 

Tetapi bukankah kemenangan Kristus dalam kebangkitan-Nya menjungkirbalikkan visi ini dan memulihkan kemahakuasaan Allah yang tak terkalahkan? Ya, tetapi dalam arti yang sangat berbeda dari apa yang biasanya kita pikirkan. Sangat berbeda dengan “kemenangan” yang dirayakan sekembalinya kaisar dari kampanye kemenangan, di sepanjang jalan yang masih disebut Via Trionfale di Roma saat ini.

 

Tentu saja ada kemenangan dalam kasus Kristus, dan kemenangan yang pasti dan tidak dapat diubah! Tetapi bagaimana kemenangan ini mewujudkan dirinya? Kebangkitan terjadi dalam misteri, tanpa saksi. Kematian-Nya – yang kita dengar dalam kisah Sengsara – telah dilihat oleh banyak orang dan melibatkan para pemuka agama dan politik. Setelah dibangkitkan, Yesus hanya muncul di hadapan beberapa murid, tanpa sorotan.

 

Dengan cara ini Ia ingin memberitahu kita bahwa setelah menderita, kita hendaknya tidak mengharapkan kemenangan yang lahiriah dan kasat mata, seperti kemuliaan duniawi. Kemenangan diberikan secara tidak kasat mata dan merupakan tatanan yang jauh lebih unggul karena bersifat kekal! Para martir di masa lalu dan hari ini adalah contohnya.

 

Yesus yang bangkit mewujudkan diri-Nya melalui penampakan-penampakan-Nya, yang cukup untuk memberikan landasan iman yang kuat bagi mereka yang sejak awal tidak menolak untuk percaya. Tetapi mempermalukan lawan-lawannya bukan tindakan balas dendam. Ia tidak muncul di tengah-tengah mereka untuk membuktikan bahwa mereka salah atau untuk mengejek kemarahan mereka yang tunadaya. Balas dendam seperti itu tidak sesuai dengan kasih yang ingin dipersaksikan Kristus dalam sengsara-Nya.

 

Seperti dalam kebinasaan-Nya di Kalvari, Ia berperilaku rendah hati dalam kemuliaan kebangkitan. Perhatian Yesus yang telah bangkit bukan untuk membingungkan musuh-musuh-Nya, tetapi pergi dan meyakinkan murid-murid-Nya yang kecewa serta, di hadapan mereka, para perempuan yang tidak pernah berhenti percaya kepada-Nya.

 

* * *

 

Di masa lalu, kita dengan senang hati berbicara tentang “kemenangan Gereja yang kudus”. Umat mendoakannya serta pencapaian dan alasan sejarah dengan rela diingat. Tetapi kemenangan seperti apa yang ada dalam pikiran kita? Hari ini kita menyadari betapa berbedanya kemenangan tersebut dengan kemenangan Yesus. Tetapi jangan menilai masa lalu. Selalu ada risiko bersikap tidak adil ketika kita menilai masa lalu dari sudut pandang masa kini.

 

Sebaliknya, marilah kita menerima undangan yang disampaikan Yesus kepada dunia dari salib-Nya: “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (Mat 11:28). Undangan tersebut hampir dianggap sebagai ironi dan ejekan! Orang yang tidak memiliki batu untuk meletakkan kepalanya, orang yang telah ditolak oleh bangsanya, dijatuhi hukuman mati, orang yang “di hadapannya akan menutup mukanya agar tidak dapat melihatnya” (bdk. Yes 53:3), berani menyapa seluruh umat manusia, di mana pun dan kapan pun, dan berkata: “Marilah kepada-Ku, kamu semua, Aku akan memberi kelegaan kepadamu!”.

 

Marilah kepada-Ku, kamu yang sudah tua, sakit, dan sendirian, kamu yang dibiarkan dunia mati dalam kemiskinan, kelaparan, atau di bawah pemboman; kamu yang mendekam di sel penjara oleh karena imanmu kepada-Ku, atau perjuanganmu demi kebebasan, marilah kepada-Ku, kamu para perempuan korban kekerasan. Singkatnya, semua orang, tanpa kecuali: Marilah kepada-Ku, dan Aku akan memberi kelegaan kepadamu! Bukankah Aku telah berjanji kepadamu: “Apabila Aku ditinggikan dari bumi, Aku akan menarik semua orang datang kepada-Ku” (Yoh 12:32)?

 

“Tetapi kelegaan apa yang bisa Engkau berikan kepada kami, hai manusia salib, yang lebih terlantar dan letih lesu dibandingkan mereka yang ingin Kauhibur?” “Ya, marilah kepada-Ku, karena AKULAH DIA! Aku adalah Allah! Aku telah menolak gagasanmu tentang kemahakuasaan, tetapi Aku tetap mempertahankan kemahakuasaan-Ku yang merupakan kemahakuasaan kasih. Ada tertulis bahwa 'yang lemah dari Allah lebih kuat daripada manusia' (1 Kor 1:25). Aku mampu menghibur dan memberimu kelegaan meski tanpa menghilangkan penat dan letih lesu di dunia ini. Tanyakanlah kepada mereka yang pernah mengalaminya!"

 

Ya, ya Tuhan yang disalibkan, dengan hati kami yang penuh rasa syukur, pada hari kami memperingati sengsara dan wafat-Mu, kami mewartakan dengan lantang bersama rasul Paulus:

 

Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesengsaraan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang? [...] Tetapi, dalam semuanya itu kita lebih daripada orang-orang yang menang, melalui Dia yang telah mengasihi kita. Sebab, aku yakin bahwa baik maut maupun hidup, baik malaikat-malaikat maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas maupun yang di bawah, ataupun suatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita (Rm 8:35-39).

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 30 Maret 2024)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI KAMIS PUTIH DI PENJARA WANITA REBIBBIA, ROMA 28 Maret 2024 : TUHAN TIDAK PERNAH LELAH MENGAMPUNI

Bacaan Ekaristi : Kel. 12:1-8,11-14; Mzm. 116:12-13,15-16bc,17-18; 1Kor. 11:23-26; Yoh. 13:1-15.

 

Pada perjamuan malam kali ini, ada dua peristiwa yang menarik perhatian kita. Pembasuhan kaki yang dilakukan oleh Yesus: Yesus merendahkan diri-Nya, dan dengan sikap ini Ia membuat kita memahami apa yang telah Ia katakan: “Aku datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani” (bdk Mrk 10:45). Ayat ini mengajarkan kita jalan pelayanan.

 

Peristiwa lainnya – menyedihkan – adalah pengkhianatan Yudas yang tidak mampu mengamalkan kasih, dan kemudian uang, keegoisan membawanya kepada hal buruk ini. Tetapi Yesus mengampuni segala sesuatu. Yesus senantiasa mengampuni. Ia hanya meminta kita memohon pengampunan.

 

Suatu ketika, saya mendengar seorang wanita tua yang bijaksana, seorang nenek tua, dari kalangan umat… Ia mengatakan hal ini: “Yesus tidak pernah lelah mengampuni: kitalah yang lelah memohon pengampunan.” Hari ini kita memohon rahmat Tuhan agar kita tidak lelah memohon pengampunan.

 

Kita semua selalu saja mengalami kegagalan kecil maupun kegagalan besar: setiap orang mempunyai kisahnya masing-masing. Tetapi Tuhan selalu menantikan kita, dengan tangan terbuka, dan tak kenal lelah dalam mengampuni.

Sekarang kita akan melakukan tindakan yang sama seperti yang dilakukan Yesus: membasuh kaki kita. Tindakan ini adalah sikap yang menarik perhatian dalam panggilan pelayanan. Kita memohon kepada Tuhan agar kita bertumbuh, kita semua, dalam panggilan pelayanan.


Terima kasih.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 29 Maret 2024)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA KRISMA 28 Maret 2024 : PENYESALAN DAN KESETIAKAWANAN

Bacaan Ekaristi : Yes. 61:1-3a,6a,8b-9; Mzm. 89:21-22,25,27; Why. 1:5-8; Luk. 4:16-21.

 

“Mata semua orang dalam rumah ibadat itu tertuju kepada-Nya” (Luk 4:20). Bagian Injil ini sangat mengejutkan. Bagian Injil ini selalu membuat kita membayangkan saat hening ketika setiap mata tertuju pada Yesus, dalam bauran keheranan dan keragu-raguan. Tetapi, kita tahu apa yang terjadi selanjutnya. Setelah Yesus menyingkapkan pengharapan palsu warga kampung asal-Nya, mereka “sangat marah” (Luk. 4:28), lalu bangkit dan menghalau-Nya ke luar kota. Mereka memang telah memandang Yesus, tetapi hati mereka tidak siap untuk berubah mendengar perkataan-Nya. Mereka kehilangan kesempatan seumur hidup.

 

Malam ini, Hari Kamis Putih, akan memberi kita pertukaran pandangan yang sangat berbeda. Pertukaran tersebut melibatkan Petrus, gembala pertama Gereja kita. Petrus juga awalnya menolak untuk menerima kata-kata yang “menyingkap” yang telah dikatakan Tuhan kepadanya: “Engkau telah menyangkal Aku tiga kali” (Mrk 14:30). Akibatnya, ia “kehilangan pandangan” terhadap Yesus dan menyangkal-Nya saat ayam berkokok. Tetapi kemudian, “berpalinglah Tuhan memandang Petrus” dan ia “teringat bahwa Tuhan telah berkata … dan ia pun pergi ke luar dan menangis dengan sedih” (Luk 22:61-62). Matanya dibanjiri air mata yang keluar dari hati yang terluka, membebaskannya dari pemahaman dan keyakinan dirinya yang keliru. Air mata getir tersebut mengubah hidupnya.

 

Perkataan dan perbuatan Yesus selama tahun-tahun tersebut tidak mengubah pengharapan Petrus, begitu pula pengharapan penduduk Nazaret. Ia juga mengharapkan seorang Mesias politis, penuh kuasa, kuat dan tegas. Karena merasa terguncang saat melihat Yesus yang tidak berdaya dan menyerah pasrah ketika Ia ditangkap, Petrus berkata, “Aku tidak kenal Dia!” (Luk 22:57). Hal tersebut sungguh benar: Petrus tidak mengenal Yesus. Ia baru mulai mengenal-Nya ketika, pada saat kelam penyangkalannya, ia mengeluarkan air mata rasa malu dan air mata pertobatan. Dan ia akan sungguh mengenal Yesus ketika, “merasa sedih karena Yesus berkata untuk ketiga kalinya, ‘Apakah engkau mengasihi Aku?’”, ia sudi memperkenankan tatapan Tuhan menembus segenap dirinya. Kemudian, dari berkata, “Aku tidak kenal Dia”, ia bisa berkata, “Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu” (Yoh 21:17).


Saudara-saudara para imam yang terkasih, kesembuhan hati Petrus, kesembuhan sang rasul, kesembuhan sang gembala, terjadi ketika, dilanda kesedihan dan pertobatan, ia memperkenankan dirinya diampuni oleh Yesus. Penyembuhan itu terjadi di tengah air mata, tangisan yang getir, dan kesedihan yang menuntun pada pembaharuan kasih. Oleh karena itu, saya merasa perlu berbagi denganmu beberapa pemikiran mengenai aspek kehidupan rohani yang selama ini agak terabaikan, tetap tetap penting. Bahkan kata yang akan saya gunakan hari ini agak kuno, tetapi layak untuk direnungkan. Kata itu adalah penyesalan.


 

Asal usul istilah ini ada hubungannya dengan penikaman. Penyesalan adalah “penikaman hati” yang menyakitkan dan membangkitkan air mata pertobatan. Di sini, kisah lain kehidupan Santo Petrus dapat membantu kita. Hatinya telah tertikam oleh pandangan dan perkataan Yesus, Petrus, yang sekarang disucikan dan dibakar oleh Roh Kudus, menyatakan pada hari Pentakosta kepada penduduk Yerusalem, “Allah telah membuat Yesus, yang kamu disalibkan itu, menjadi Tuhan dan Kristus” (bdk. Kis 2:36). Menyadari kejahatan yang telah mereka lakukan dan keselamatan yang sedang ditawarkan Tuhan kepada mereka, hati para pendengarnya “tersayat" (Kis 2:37).

 

Itulah yang dimaksud dengan penyesalan: bukan rasa bersalah yang membuat kita putus asa atau terobsesi dengan ketidaklayakan kita, melainkan “penikaman” bermanfaat yang menyucikan dan menyembuhkan hati. Saat kita mengenali dosa kita, hati kita bisa terbuka terhadap karya Roh Kudus, sumber air hidup yang mengalir dalam diri kita dan membuat kita berlinang air mata. Orang-orang yang bersedia “terbuka kedoknya” dan memperkenankan pandangan Allah menikam hati mereka menerima karunia air mata tersebut, air tersuci setelah air baptis.[1] Inilah kerinduan saya padamu, saudara-saudaraku para imam.

 

Tetapi kita perlu memahami dengan jelas apa artinya menangisi diri kita. Menangisi diri kita bukan berarti menangis karena mengasihani diri kita, sebagaimana sering kita lakukan. Seperti misalnya ketika kita kecewa atau kesal karena harapan kita sirna, ketika kita merasa disalahpahami, bahkan mungkin oleh rekan-rekan imam dan atasan kita. Atau saat kita merasakan kesenangan yang aneh dan tidak wajar saat merenungkan kesalahan yang diterima, mengasihani diri kita, yakin bahwa kita tidak diperlakukan sebagaimana mestinya, atau takut bahwa masa depan akan terus menghadirkan kejutan-kejutan yang tidak menyenangkan. Hal ini, sebagaimana diajarkan Santo Paulus kepada kita, adalah “kesedihan duniawi”, dan bukan “kesedihan menurut kehendak Allah”.[2]

 

Sebaliknya, menangisi diri sendiri berarti benar-benar bertobat karena telah membuat Allah sedih karena dosa-dosa kita; menyadari bahwa kita selalu berhutang kepada Allah, mengakui bahwa kita telah menyimpang dari jalan kekudusan dan kesetiaan terhadap kasih Yesus yang telah memberikan nyawa-Nya bagi kita.[3] Itu berarti melihat ke dalam dan bertobat dari rasa tidak berterima kasih dan ketidakteguhan kita, serta dengan sedih mengakui kepalsuan, ketidakjujuran dan kemunafikan kita. Saudara-saudaraku, kemunafikan klerikal adalah sesuatu yang sering kita alami. Kita perlu mewaspadai kenyataan ini. Dan mengarahkan pandangan kita sekali lagi kepada Tuhan yang tersalib serta memperkenankan diri kita dijamah oleh kasih-Nya yang selalu mengampuni dan membangkitkan, tidak pernah mengecewakan kepercayaan orang-orang yang berharap kepada-Nya. Dengan demikian air mata mengalir deras dan membasahi pipi kita, turun untuk menyucikan hati kita.

 

Penyesalan menuntut usaha, tetapi memberi kedamaian. Penyesalan bukan merupakan sumber kekhawatiran tetapi merupakan kesembuhan jiwa, karena bertindak sebagai balsam atas luka dosa, mempersiapkan kita untuk menerima belaian Tuhan, yang mengubah “hati yang remuk redam dan penuh penyesalan” (Mzm 51:19), setelah dilunakkan oleh air mata. Dengan demikian, penyesalan adalah penawar terhadap “sclerocardia”, yaitu kekerasan hati yang sering dikecam oleh Yesus (bdk. Mrk 3:5; 10:5). Sebab tanpa pertobatan dan kesedihan, hati akan menjadi keras: mula-mula, ia menjadi kaku, tidak sabar terhadap masalah-masalah dan acuh tak acuh terhadap orang lain, kemudian menjadi dingin, tidak berperasaan dan tidak dapat ditembus, kemudian akhirnya berubah menjadi batu. Tetapi seperti tetesan air yang dapat mengikis batu, demikian pula air mata secara perlahan dapat melunakkan hati yang keras. Dengan cara ini, “kesedihan yang baik” secara ajaib menghasilkan rasa manis.

 

Di sini kita dapat mulai melihat mengapa para guru kehidupan rohani menekankan pentingnya penyesalan. Santo Benediktus mengatakan bahwa, “dengan menangis dan meratap setiap hari kita hendaknya mengakukan kepada Allah dosa-dosa masa lalu kita dalam doa”,[4] dan mengamati bahwa “bukan berkat banyak kata-kata doa kita didengarkan dengan murah hati, tetapi berkat kemurnian hati dan air mata penyesalan kita”.[5] Santo Yohanes Krisostomus mencatat bahwa setetes air mata dapat memadamkan kobaran api dosa,[6] sementara Meneladan Kristus mengatakan kepada kita, “Serahkan dirimu kepada penyesalan hati”, karena “melalui keteledoran hati dan mengabaikan kekurangan kita, kita tidak merasakan kesedihan jiwa kita”. [7]Penyesalan adalah penyembuh untuk hal ini, karena penyesalan membawa kita kembali pada kebenaran tentang diri kita, sehingga kedalaman diri kita sebagai orang berdosa dapat mengungkapkan kenyataan yang jauh lebih besar tentang pengampunan kita berkat rahmat – yaitu sukacita diampuni. Maka tidak mengherankan bila Ishak dari Niniwe berkata, “Orang yang melupakan besarnya dosa, ia lupa betapa besarnya kerahiman Allah terhadap dirinya”.[8]

 

Yang pasti, saudara dan saudari terkasih, segenap pembaruan batin lahir dari perjumpaan antara kesengsaraan manusiawi kita dan kerahiman Allah, serta berkembang melalui berlaku miskin di hadapan Allah, yang memungkinkan Roh Kudus memperkaya kita. Di sini juga, kita dapat memikirkan ajaran yang jelas dari banyak guru rohani, termasuk, sekali lagi, Santo Ishak: “Orang-orang yang mengakui dosa-dosa mereka… lebih besar daripada orang-orang yang melalui doa mereka membangkitkan orang mati. Orang-orang yang menangisi dosa-dosa mereka selama satu jam lebih besar daripada orang-orang yang melayani seluruh dunia dengan kontemplasi… Orang-orang yang diberkati dengan pengetahuan diri lebih besar daripada orang-orang yang diberkati dengan penglihatan para malaikat”.[9]

 

Saudara-saudara para imam, marilah kita melihat ke dalam diri kita dan menanyakan pada diri kita apa peran penyesalan dan air mata dalam pemeriksaan hati nurani dan doa-doa kita. Marilah kita bertanya apakah, dengan berlalunya waktu, air mata kita semakin bertambah. Secara alami, semakin tua, semakin sedikit kita menangis. Tetapi dalam kehidupan roh, kita diminta untuk menjadi seperti anak-anak (bdk. Mat 18:3): jika kita tidak menangis, batin kita mengalami kemunduran dan menjadi tua, sedangkan orang-orang yang doanya menjadi lebih sederhana dan mendalam, berpijak pada penyembahan, dan keheranan di hadirat Allah, bertumbuh dan menjadi dewasa. Mereka menjadi tidak terikat pada diri mereka dan lebih terikat pada Kristus. Karena miskin di hadapan Allah, mereka mendekatkan diri kepada orang-orang miskin, orang-orang yang paling dikasihi Allah. Sebagaimana ditulis Santo Fransiskus dari Asisi dalam wasiatnya, orang-orang yang dulu kita jaga jaraknya kini menjadi sahabat kita yang terkasih.[10] Jadi, orang-orang yang merasa menyesal semakin merasakan diri mereka menjadi saudara-saudari bagi semua orang berdosa di dunia, mengesampingkan kesan superioritas dan penilaian yang kejam, serta dipenuhi dengan hasrat membara untuk menunjukkan kasih dan melakukan pemulihan.

 

Saudara-saudara terkasih, aspek lain penyesalan adalah kesetiakawanan. Hati yang patuh, terbebaskan berkat semangat Sabda Bahagia, secara alami cenderung melakukan penyesalan terhadap orang lain. Daripada merasa marah dan tersinggung atas kegagalan saudara-saudari kita, kita malah menangisi dosa-dosa mereka. Terjadi semacam pembalikan, di mana kecenderungan alami untuk memanjakan diri dan tidak supel terhadap orang lain dijungkirbalikkan serta, berkat rahmat Allah, kita menjadi tegas terhadap diri sendiri dan berbelas kasihan terhadap orang lain. Tuhan mencari, terutama dalam diri mereka yang dikuduskan bagi-Nya, pria dan wanita yang meratapi dosa-dosa Gereja dan dunia, dan menjadi pengantara bagi semua orang. Berapa banyak saksi-saksi heroik dalam Gereja yang telah menunjukkan hal ini kepada kita! Kita memikirkan para rahib padang gurun, di Timur dan Barat; pengantaraan yang tiada henti, dalam rintihan dan air mata, Santo Gregorius dari Narek; persembahan para Fransiskan untuk Sang Kasih yang tak berbalas; dan banyak imam yang, seperti sang Pastor dari Ars, menjalani kehidupan penebusan dosa demi keselamatan orang lain. Saudara-saudara terkasih, ini bukan puisi, tetapi berkenaan dengan imamat!

 

Saudara-saudara para imam yang terkasih, dari kita, para gembala-Nya, Tuhan tidak menginginkan kekerasan melainkan kasih, dan air mata bagi mereka yang tersesat. Jika hati kita merasa menyesal, maka situasi sulit, penderitaan dan ketiadaan iman yang kita hadapi sehari-hari akan membuat kita menanggapinya bukan dengan penilaian, tetapi dengan ketekunan dan belas kasihan. Betapa besarnya kebutuhan kita untuk dibebaskan dari kekerasan dan saling tuduh, egoisme dan ambisi, kekakuan dan frustrasi, agar dapat mempercayakan diri kita sepenuhnya kepada Allah, dan menemukan dalam Dia ketenangan yang melindungi kita dari badai yang mengamuk di sekitar kita! Marilah kita berdoa, menjadi pengantara dan menitikkan air mata bagi orang lain; dengan cara ini, kita akan memperkenankan Tuhan melakukan mukjizat-mukjizat-Nya. Dan kita jangan takut karena Ia pasti akan mengejutkan kita!

 

Pelayanan kita akan membantu dalam hal ini. Hari ini, dalam masyarakat sekuler, kita berisiko menjadi hiperaktif seraya merasa tidak mampu, akibatnya kita kehilangan semangat dan tergoda untuk “menarik dayung”, berlindung dalam keluhan dan kita lupa bahwa Allah jauh lebih besar dari segala masalah kita. Ketika hal itu terjadi, kita menjadi getir dan biang kerok, selalu menjelek-jelekkan dan mengeluh tentang berbagai hal. Sedangkan jika kegetiran dan penyesalan diarahkan bukan kepada dunia melainkan kepada hati kita, maka Tuhan tidak akan lalai mengunjungi dan membangkitkan kita. Itulah tepatnya yang diperintahkan oleh Meneladan Kristus kepada kita: “Jangan menyibukkan diri dengan urusan orang lain, dan jangan terlibat dalam urusan atasanmu. Awasilah dirimu terlebih dahulu, dan tegurlah dirimu, bukan sahabatmu. Jika kamu tidak menikmati kemurahan hati manusia, jangan perkenankan hal itu membuatmu sedih; tetapi anggaplah masalah serius jika kamu tidak bersikap sebaik atau secermat yang kamu lakukan”.[11]

 

Yang terakhir, perkenankan saya menekankan hal penting lainnya: penyesalan bukan karya kita melainkan rahmat, dan oleh karena itu, harus diupayakan dalam doa. Pertobatan adalah karunia Allah dan karya Roh Kudus. Sebagai pertolongan untuk membina semangat pertobatan, saya akan membagikan dua nasihat. Pertama, marilah kita berhenti memandang hidup dan panggilan kita dari segi efisiensi dan hasil langsung, serta terjebak dalam kebutuhan dan harapan saat ini; sebaliknya marilah kita memandang segala sesuatu berdasarkan cakrawala masa lalu dan masa depan yang lebih luas. Masa lalu, dengan mengingat kesetiaan Allah – Allah itu setia –, menyadari pengampunan-Nya dan berlabuh kuat pada kasih-Nya. Masa depan, dengan melihat pada tujuan kekal yang menjadi tujuan panggilan kita, tujuan akhir hidup kita. Memperluas wawasan kita, saudara-saudara terkasih, membantu memperluas hati kita, meluangkan waktu bersama Tuhan dan mengalami penyesalan. Nasihat saya yang kedua mengikuti dari yang pertama. Marilah kita menemukan kembali kebutuhan kita untuk membina doa yang tidak bersifat wajib dan fungsional, tetapi dipilih secara bebas, tenang dan berkepanjangan. Saudara-saudaraku, bagaimana kehidupan doamu? Marilah kita kembali kepada penyembahan. Apakah selama ini kamu telah lupa menyembah Tuhan? Marilah kita kembali ke doa hati. Marilah kita ulangi: Yesus, Putra Allah, kasihanilah aku, orang berdosa. Marilah kita merasakan keagungan Allah bahkan ketika kita merenungkan keberdosaan kita, dan membuka hati kita terhadap kuasa penyembuhan tatapan-Nya. Kemudian kita akan menemukan kembali kebijaksanaan Bunda Gereja yang kudus dengan menjadikan doa kita selalu dimulai dengan perkataan orang miskin yang berseru: Allah, datanglah menolongku!

 

Saudara-saudara terkasih, perkenankan saya mengakhiri dengan kembali ke Santo Petrus dan air matanya. Altar yang kita lihat di atas makamnya mengingatkan kita betapa seringnya kita para imam – yang setiap hari berkata, “Terimalah dan makanlah: inilah tubuh-Ku yang diserahkan bagimu” – mengalami kekecewaan dan menyedihkan Dia yang sangat mengasihi kita sehingga menjadikan tangan kita sebagai sarana kehadiran-Nya. Maka sebaiknya kita mengulangi doa-doa yang kita ucapkan dalam keheningan: “Tuhan, dengan rendah hati dan jiwa yang menyesal, terimalah kami", dan “Tuhan, basuhlah aku dari kesalahanku, dan sucikanlah aku dari dosaku”. Tetapi dalam segala hal, saudara-saudara, kita terhibur oleh kepastian yang dibicarakan dalam liturgi hari ini: Tuhan, yang dikuduskan oleh pengurapan-Nya (bdk. Luk 4:18), datanglah “merawat orang-orang yang remuk hati” (Yes 61:1). Hati yang remuk pasti bisa diikat dan disembuhkan oleh Yesus. Terima kasih, para imam terkasih, atas hatimu yang terbuka dan patuh. Terima kasih atas seluruh kerja keras dan air matamu. Terima kasih telah menghadirkan mukjizat kerahiman Allah. Selalu mengampuni. Bermurah hatilah. Bawalah kerahiman Allah kepada saudara-saudari kita di dunia dewasa ini. Para imam yang terkasih, semoga Tuhan menghiburmu, menguatkanmu dan memberi ganjaran kepadamu. Terima kasih!

____

 

(Peter Suriadi – Bogor, 28 Maret 2024)



[1]“Gereja memiliki air dan air mata: air: air baptis dan air mata pertobatan (Santo Ambrosius, Epistula extra collectionem, I, 12).

[2]Sebab, kesedihan menurut kehendak Allah menghasilkan pertobatan yang membawa keselamatan dan tidak akan disesalkan, tetapi kesedihan yang dari dunia ini menghasilkan kematian” (2Kor. 7:10).

[3]Bdk. Santo Yohanes Krisostomus, De compunctione, I, 10.

[4]Aturan, IV, 57.

[5]Idem, XX, 3.

[6]Bdk. De poenitentia, VII, 5.

[7]Bab. XXI.

[8] Homili Pertapa (III Kol.), XII.

[9]Homili Pertapa (I kol.), XXXIV (Yunani).

[10]Bdk. FF 110.

[11]Bab. XXI.

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI RABU ABU 14 Februari 2024 : KEMBALI KE HATI

Bacaan Ekaristi : Yl. 2:12-18; Mzm. 51:3-4,5-6a,12-13,14,17; 2Kor. 5:20-6:2; Mat. 6:1-6,16-18.

Ketika kamu memberi sedekah, berdoa atau berpuasa, lakukanlah semua ini dengan tersembunyi karena Bapamu melihat yang tersembunyi (bdk. Mat 6:4). “Masuklah ke dalam kamarmu”: ini adalah ajakan yang disampaikan Yesus kepada kita masing-masing pada awal perjalanan Masa Prapaskah.

 

Masuk ke dalam kamar berarti kembali ke hati, sebagaimana diperingatkan Nabi Yoel (lih. Yoel 2:12). Masuk ke dalam kamar berarti melakukan perjalanan dari luar menuju ke dalam, sehingga seluruh hidup kita, termasuk hubungan kita dengan Alah, tidak hanya sekadar tampilan lahiriah, bingkai tanpa gambar, selubung jiwa, melainkan lahir dari dalam dan mencerminkan gerakan hati, keinginan terdalam, pikiran, perasaan, inti pribadi kita.

 

Maka, Masa Prapaskah menenggelamkan kita dalam bejana pemurnian dan perampasan diri: Masa Prapaskah membantu kita menyingkirkan semua kosmetik yang kita gunakan agar terlihat rapi, lebih baik dari yang sebenarnya. Kembali ke hati berarti kembali ke jatidiri kita dan menampilkannya apa adanya, telanjang dan tak berdaya, di hadapan Allah. Masa Prapaskah berarti melihat ke dalam diri kita dan mengakui jatidiri kita yang sebenarnya, melepaskan topeng yang sering kita pakai, memperlambat langkah hidup kita yang sangat gelisah serta menerima kehidupan dan kebenaran tentang siapa diri kita. Hidup bukan sebuah permainan; Masa Prapaskah mengajak kita untuk turun panggung dan kembali ke hati, kepada kenyataan siapa diri kita: kembali ke hati dan kebenaran.

 

Itulah sebabnya malam ini, dalam semangat doa dan kerendahan hati, kita menerima abu di kepala kita. Gerakan ini dimaksudkan untuk mengingatkan kita akan kenyataan hakiki hidup kita: kita hanya debu dan hidup kita berlalu seperti angin (bdk. Mzm 39:6; 144:4). Namun Tuhan – Dia dan hanya Dia – tidak membiarkannya lenyap; Ia mengumpulkan dan membentuk debu kita, jangan sampai tersapu oleh angin kehidupan atau tenggelam dalam jurang kematian.

 

Abu yang ditaruh di kepala kita mengundang kita untuk menemukan kembali rahasia kehidupan. Abu mengatakan kepada kita bahwa selama kita terus melindungi hati dan menyembunyikan diri kita di balik topeng, agar tampak tiada duanya, batin kita akan hampa dan gersang. Sebaliknya, ketika kita berani menundukkan kepala untuk mencari ke dalam, kita akan menemukan kehadiran Allah yang mengasihi dan selalu mengasihi kita. Pada akhirnya perisai yang telah kamu bangun untuk dirimu akan hancur berantakan dan kamu akan bisa merasakan dirimu dikasihi dengan kasih abadi.

Saudari, saudara, saya, kamu, kita masing-masing, dikasihi dengan kasih abadi. Kita adalah abu yang di atasnya Allah menghembuskan nafas kehidupan-Nya, kita adalah bumi yang Ia bentuk dengan tangan-Nya (bdk. Kej 2:7; Mzm 119:73), abu yang darinya kita akan bangkit untuk hidup tanpa akhir. dipersiapkan bagi kita sejak kekekalan (bdk. Yes 26:9). Dan jika, di dalam abu yang merupakan diri kita, api kasih Allah menyala, maka kita akan menemukan bahwa kita memang telah dibentuk oleh kasih itu dan pada gilirannya dipanggil untuk mengasihi orang lain. Mengasihi saudara-saudari di sekitar kita, menaruh perhatian kepada orang lain, merasakan kasih sayang, menunjukkan belas kasihan, berbagi segenap diri kita dan segenap milik kepada mereka yang membutuhkan. Sedekah, doa dan puasa bukan sekadar pengamalan lahiriah; ketiga adalah jalan menuju ke hati, ke inti kehidupan Kristiani. Ketiganya menyadarkan kita bahwa kita adalah abu yang dikasihi oleh Allah, dan ketiganya memampukan kita untuk menyebarkan kasih tersebut di atas “abu” begitu banyak situasi dalam kehidupan kita sehari-hari, sehingga di dalamnya harapan, kepercayaan, dan sukacita dapat terlahir kembali.

 

Santo Anselmus dari Aosta telah mewariskan kepada kita kata-kata penyemangat ini yang dapat kita jadikan kata-kata kita pada malam ini: “Larilah sejenak dari kesibukanmu sehari-hari, sembunyilah sejenak dari pikiranmu yang gelisah. Putuskanlah dirimu dari kekhawatiran dan masalahmu dan kurangilah kesibukan tugas dan pekerjaanmu. Luangkanlah sedikit waktu untuk Allah dan beristirahatlah sejenak di dalam Dia. Masuklah ke dalam relung batin pikiranmu. Tutuplah semuanya kecuali Allah dan apa pun yang membantumu mencari Dia; dan ketika kamu sudah menutup pintu, carilah Dia. Bicaralah sekarang kepada Allah dan katakanlah dengan segenap hatimu: Aku mencari wajah-Mu; wajah-Mu, ya Tuhan, aku menginginkannya” (Proslogion, 1).

 

Marilah kita mendengarkan, sepanjang Masa Prapaskah ini, suara Tuhan yang tidak bosan-bosannya diulang-ulang: masuklah ke dalam kamarmu, kembalilah ke hatimu. Ini adalah undangan bermanfaat bagi kita, yang sering kali hidup di permukaan, yang sangat perlu untuk diperhatikan, yang terus-menerus perlu dikagumi dan dihargai. Tanpa menyadarinya, kita mendapati diri kita tidak lagi memiliki “relung batin” di mana kita dapat berhenti dan peduli terhadap diri kita, tenggelam dalam dunia di mana segala sesuatu, termasuk emosi dan perasaan terdalam kita, harus menjadi “sosial” – tetapi bagaimana bisa sesuatu menjadi “sosial” jika tidak datang dari hati? Bahkan pengalaman yang paling tragis dan menyakitkan pun berisiko tidak memiliki tempat yang tenang untuk menyimpannya. Semuanya harus disingkapkan, dipamerkan, dijadikan bahan gosip saat ini. Tetapi Tuhan berkata kepada kita: Masuklah ke dalam rahasia itu, kembalilah ke pusat dirimu. Tepatnya di sana, di mana begitu banyak ketakutan, perasaan bersalah dan dosa mengintai, justru di sanalah Tuhan turun untuk menyembuhkan dan menyucikanmu. Marilah kita masuk ke dalam relung batin kita: di sana Tuhan bersemayam, di sana kelemahan kita diterima dan kita dikasihi tanpa syarat.

 

Marilah kita kembali, saudara-saudari. Marilah kita kembali kepada Allah dengan segenap hati. Selama pekan-pekan Prapaskah ini, marilah kita menyediakan ruang untuk doa adorasi dalam hati, yang di dalamnya kita mengalami kehadiran Tuhan, seperti Musa, seperti Elia, seperti Maria, seperti Yesus. Pernahkah kita menyadari bahwa kita telah kehilangan rasa penyembahan? Marilah kita kembali menyembah. Marilah kita menyendengkan telinga hati kita kepada Dia yang, dalam diam, ingin mengatakan kepada kita: “Akulah Allahmu – Allah yang penuh belas kasihan dan kasih sayang, Allah yang mengampuni dan mengasihi, Allah yang penuh kelembutan dan perhatian… Jangan menghakimi dirimu. Jangan mengutuk dirimu. Jangan menyangkal dirimu. Perkenankanlah kasih-Ku menyentuh sudut hatimu yang terdalam dan paling tersembunyi serta menyingkapkan kepadamu kecantikanmu, keindahan yang telah hilang dari pandanganmu, namun akan terlihat lagi olehmu dalam terang kerahiman-Ku.” Tuhan sedang memanggil kita: “Marilah, perkenankanlah Aku menghapus air matamu, dan perkenankanlah mulut-Ku mendekat ke telingamu dan mengatakan kepadamu: Aku mengasihimu, Aku mengasihimu, Aku mengasihimu” (H. Nouwen, Jalan Menuju Fajar, New York, 1988, 157-158). Apakah kita percaya bahwa Tuhan mengasihi kita, Tuhan mengasihiku?

 

Saudara-saudari, janganlah kita takut melepaskan diri dari keterikatan duniawi dan kembali ke hati, kembali ke hal yang penting. Marilah kita memikirkan Santo Fransiskus, yang setelah menelanjangi dirinya, memeluk Bapa di surga dengan segenap keberadaannya. Marilah kita akui siapa diri kita: abu yang dikasihi Allah, dipanggil menjadi abu yang mengasihi Allah. Berkat Dia, kita akan dilahirkan kembali dari abu dosa menuju kehidupan baru di dalam Yesus Kristus dan Roh Kudus.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 15 Februari 2024)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI MINGGU BIASA VI (MISA KANONISASI BEATA MARÍA ANTONIA DE PAZ DE SAN JOSÉ) 11 Februari 2024 : KETAKUTAN, PRASANGKA DAN KEAGAMAAN YANG KELIRU

Bacaan Ekaristi : Im. 13:1-2,45-46; Mzm. 32:1-2,5,11; 1Kor. 10:31-11:1; Mrk. 1:40-45.

 

Bacaan Pertama (bdk. Im 13:1-2.45-46) dan Bacaan Injil (bdk. Mrk 1:40-45) berbicara tentang kusta : suatu penyakit yang menyebabkan fisik orang yang terkenanya semakin merosot dan, tragisnya, bahkan hingga saat ini, di beberapa tempat menyebabkan mereka dikucilkan. Kusta dan pengucilan. Inilah penyakit yang ingin dibebaskan Yesus dari orang yang ditemui-Nya dalam Bacaan Injil. Marilah kita melihat keadaannya.

 

Orang yang menderita sakit kusta tersebut terpaksa tinggal di luar kota. Meski penyakit tersebut membuatnya lemah, alih-alih dibantu oleh orang-orang sebangsanya, ia malah ditinggalkan serta semakin terluka oleh pengucilan dan penolakan. Mengapa? Pertama, karena takut, takut tertular penyakit tersebut dan menemui akhir yang sama: “Allah melarang hal itu terjadi juga pada kita! Kita jangan mengambil risiko, tetapi menjaga jarak!” Takut. Kemudian, prasangka: “Jika ia mengidap penyakit yang mengerikan ini” – sebagaimana dipikirkan orang – “pastinya karena Allah sedang menghukumnya atas dosa yang dilakukannya; jadi ia pantas mendapatkannya!”.

 

Inilah prasangka. Dan yang terakhir, karena keagamaan yang keliru: pada masa itu ada anggapan bahwa menyentuh orang mati membuat seseorang menjadi najis, dan orang yang terkena kusta seperti orang mati yang sedang berjalan. Diperkirakan bahwa sedikit saja kontak dengan mereka akan membuat seseorang menjadi najis seperti mereka. Kasus keagamaan yang melenceng, yang membangun penghalang dan mengubur rasa kasihan.

 

Ketakutan, prasangka, dan keagamaan palsu. Inilah tiga penyebab ketidakadilan yang luar biasa. Tiga “penyakit kusta jiwa” yang menyebabkan orang lemah menderita dan kemudian dikucilkan begitu saja. Saudara-saudari, janganlah kita berpikir bahwa ini hanya peninggalan masa lalu. Berapa banyak orang sedang menderita yang kita temui di trotoar kota kita! Dan betapa banyak ketakutan, prasangka dan ketidakkonsistenan, bahkan di antara orang beriman dan menyebut diri mereka kristiani, terus menerus melukai mereka! Di zaman kita juga, terdapat kasus-kasus pengucilan yang mencolok, hambatan-hambatan yang perlu dirobohkan, dan bentuk-bentuk “kusta” yang harus disembuhkan. Tetapi bagaimana caranya? Bagaimana kita bisa melakukannya? Apa yang dilakukan Yesus? Ia melakukan dua hal: ia menyentuh dan menyembuhkan.

 

Hal pertama: Ia menyentuh orang itu. Yesus menanggapi seruan minta tolongnya (bdk. ayat 40); Ia merasa kasihan, Ia berhenti, Ia mengulurkan tangan-Nya dan menyentuhnya (bdk. ayat 41), Ia mengetahui sepenuhnya bahwa dengan melakukan hal itu Ia pada gilirannya akan menjadi “sampah masyarakat”. Anehnya, peran tersebut kini terbalik: setelah sembuh, orang yang sakit kusta tersebut dapat pergi kepada imam dan diterima kembali di dalam komunitas; Yesus, sebaliknya, tidak dapat lagi masuk ke dalam kota mana pun (bdk. ayat 45). Tuhan bisa saja menghindari menyentuh orang itu; melakukan “penyembuhan jarak jauh” sudah cukup. Namun itu bukanlah cara Kristus. Cara-Nya adalah kasih yang mendekatkan diri kepada orang-orang yang menderita, berkontak dengan mereka dan menyentuh luka-luka mereka. Kedekatan Allah; Yesus dekat dengan kita, Allah dekat dengan kita. Allah kita, saudara-saudari terkasih, tidak tinggal jauh di surga, namun di dalam Yesus, Ia menjadi manusia untuk menyentuh kemiskinan kita. Dan di hadapan kasus terburuk “kusta”, yaitu dosa, Ia tidak segan-segan wafat di kayu salib, di luar tembok kota, ditolak seperti orang berdosa, seperti penderita sakit kusta, menyentuh kedalaman kenyataan kemanusiaan kita. Seorang santo pernah menulis : “Ia menjadi penderita kusta demi kita”.

 

Apakah kita yang mengasihi dan mengikuti Yesus mampu mencontoh “sentuhan”-Nya? Hal itu tidak mudah dilakukan, dan kita harus waspada jangan sampai hati kita menyimpan naluri yang bertentangan dengan sikap-Nya yang “mendekat” dan “menjadi pemberian” bagi orang lain. Misalnya saja ketika kita menarik diri dari orang lain dan hanya memikirkan diri kita; ketika kita mereduksi dunia di sekitar kita hingga ke batas “zona nyaman” kita; ketika kita meyakini bahwa masalahnya selalu dan hanya pada orang lain… Dalam kasus seperti ini, kita perlu penuh perhatian, karena diagnosanya jelas: “kusta jiwa”: penyakit yang membutakan kita terhadap cinta dan kasih sayang, penyakit yang membuat kita dihancurkan oleh “kanker” keegoisan, prasangka, ketidakpedulian dan intoleransi. Marilah kita juga waspada, saudara-saudari, karena seperti gejala awal penyakit kusta yang muncul di kulit, jika kita tidak segera melakukan campur tangan maka infeksinya akan semakin membesar dan berakibat fatal. Dalam menghadapi bahaya ini, kemungkinan penyakit dalam jiwa kita, kita bertanya pada diri kita apakah ada obatnya?

 

Di sini kita dibantu oleh hal kedua yang dilakukan Yesus: Ia menyembuhkan (bdk. ayat 42). “Sentuhan”-Nya bukan hanya pertanda kedekatan, tetapi juga awal dari proses penyembuhan. Kedekatan adalah gaya Allah: Allah selalu dekat, penuh kasih sayang dan lembut. Kedekatan, kasih sayang dan kelembutan. Ini adalah gaya Allah. Apakah kita terbuka terhadap gaya Allah? Begitu kita membiarkan diri kita disentuh oleh Yesus, kita mulai menyembuhkan diri kita sendiri, di dalam hati kita. Jika kita memperkenankan diri kita disentuh oleh-Nya dalam doa dan penyembahan, jika kita memperkenankan Dia bertindak di dalam diri kita melalui Sabda dan sakramen-sakramen-Nya, maka kontak tersebut benar-benar mengubah diri kita. Kontak tersebut menyembuhkan kita dari dosa, membebaskan kita dari sikap mementingkan diri sendiri, dan mengubah diri kita melampaui apa pun yang dapat kita capai dengan diri dan usaha kita. Luka-luka kita – luka hati dan jiwa –, penyakit jiwa kita, perlu dibawa kepada Yesus. Doa dapat mewujudkan hal ini: bukan doa sebagai serangkaian rumusan yang abstrak dan berulang-ulang, melainkan doa yang sepenuh hati dan hidup yang menempatkan kesengsaraan, kelemahan, kegagalan, dan ketakutan kita di kaki Kristus. Marilah kita renungkan dan tanyakan pada diri kita: Apakah aku memperkenankan Yesus menyentuh “penyakit kusta”-ku untuk menyembuhkanku?

 

Melalui “sentuhan” Yesus, hal terbaik diri kita dilahirkan kembali: jaringan hati kita beregenerasi; darah kreatif kita terdorong, diisi dengan cinta, mulai mengalir kembali; luka akibat kesalahan masa lalu kita sembuh serta kulit hubungan kita menjadi segar dan sehat. Keindahan yang kita miliki, keindahan diri kita, dipulihkan. Berkat kasih Kristus, kita menemukan kembali sukacita dalam memberikan diri kita kepada orang lain, tanpa rasa takut dan prasangka, meninggalkan keagamaan yang membosankan dan tidak berwujud serta mengalami kemampuan baru untuk mencintai orang lain secara murah hati dan tanpa pamrih.

 

Kemudian, sebagaimana diceritakan dalam perikop Kitab Suci yang luar biasa (bdk. Yeh 37:1-14), dari apa yang tampak seperti lembah tulang-tulang kering, tubuh-tubuh yang hidup muncul serta komunitas saudara-saudari dilahirkan kembali dan diselamatkan. Namun, adalah sebuah khayalan jika kita berpikir bahwa mukjizat ini terjadi dengan cara yang megah dan spektakuler. Mukjizat paling sering terjadi dalam amal kasih tersembunyi yang dilakukan setiap hari di dalam keluarga kita, di tempat kerja, paroki dan sekolah, di jalanan, di kantor dan toko kita. Sebuah amal kasih yang tidak mencari ketenaran dan tidak membutuhkan tepuk tangan, karena cinta saja sudah cukup (bdk. Santo Agustinus, Enn. dalam Mazmur 118, 8, 3). Yesus memperjelas hal ini hari ini, ketika Ia memerintahkan orang tersebut, yang kini telah sembuh, untuk “tidak mengatakan apa pun kepada siapa pun” (ayat 44): kedekatan dan kehati-hatian. Saudara-saudari, begitulah Allah mengasihi kita, dan jika kita memperkenankan diri kita disentuh oleh-Nya, kita pun, dengan kuasa Roh-Nya, akan mampu menjadi saksi kasih-Nya yang menyelamatkan!

 

Hari ini, kita merenungkan kehidupan María Antonia de San José, “Mama Antula”. Ia adalah seorang “pelancong” Roh. Ia melakukan perjalanan ribuan kilometer dengan berjalan kaki, melintasi gurun dan jalan berbahaya, untuk membawa Allah kepada orang lain. Ia adalah teladan semangat dan keberanian kerasulan. Ketika para Yesuit diusir, Roh Kudus menyalakan api misioner dalam dirinya yang berlandaskan kepercayaan pada Penyelenggaraan Ilahi dan ketekunan. Ia memohon perantaraan Santo Yosef dan, agar tidak terlalu melelahkannya; ia juga memohon perantaraan Santo Gaetano Thiene. Inilah bagaimana devosi kepada Santo Gaetano Thiene diperkenalkan; gambarnya pertama kali tiba di Buenos Aires pada abad kedelapan belas. Terima kasih kepada Mama Antula, santa ini, pengantara Penyelenggaraan Ilahi, berhasil melintasi rumah-rumah, lingkungan sekitar, transportasi umum, toko-toko, pabrik-pabrik dan hati-hati untuk menawarkan kehidupan yang bermartabat melalui kerja, keadilan dan makanan sehari-hari di atas meja orang miskin. Marilah kita berdoa agar María Antonia, Santa María Antonia de Paz de San José, sudi membantu kita. Semoga Allah memberkati semua orang!

______

 

(Peter Suriadi - Bogor, 11 Februari 2024)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA PESTA YESUS DIPERSEMBAHKAN DI BAIT ALLAH (HARI HIDUP BAKTI KE-28) 2 Februari 2024 : DUA KENDALA YANG MEMBUAT KITA KEHILANGAN KEMAMPUAN UNTUK MENANTI

Bacaan Ekaristi : Mal 3:1-4; Mzm 24:7.8.9.10; Luk 2:22-40.


Seraya orang-orang menantikan keselamatan Tuhan, para nabi mewartakan kedatangan-Nya, sebagaimana diwartakan oleh nabi Maleakhi, “Tiba-tiba Tuhan yang kamu cari itu akan datang ke bait-Nya! Utusan Perjanjian yang kamu inginkan itu, sesungguhnya, Ia datang" (3:1). Simeon dan Hana adalah gambaran dan sosok kerinduan ini. Ketika melihat Tuhan memasuki bait-Nya, keduanya diterangi oleh Roh Kudus dan mengenali anak yang digendong Maria tersebut. Mereka telah menantikan Dia sepanjang hidup mereka: Simeon, “seorang yang benar dan saleh yang menantikan penghiburan bagi Israel dan Roh Kudus ada di atasnya” (Luk 2:25); Hana, yang “tidak pernah meninggalkan Bait Allah” (Luk 2:37).

 

Ada baiknya kita menelaah kedua orang tua ini yang sabar menanti, tetap berjaga-jaga dan bertekun dalam doa. Hati mereka tetap berjaga, laksana nyala api abadi. Mereka sudah lanjut usia, namun berjiwa muda. Keduanya tidak membiarkan hari-hari melelahkan mereka, karena mata mereka tetap tertuju pada Allah dalam pengharapan (bdk. Mzm 145:15). Terpaku pada Allah dalam pengharapan, selalu dalam pengharapan. Sepanjang perjalanan hidup, mereka pernah mengalami kesukaran dan kekecewaan, namun mereka tidak menyerah kalah: mereka belum “memensiunkan” harapan. Ketika mereka merenungkan anak itu, mereka menyadari bahwa waktunya telah tiba, nubuat telah tergenapi, Ia yang mereka cari dan dambakan, Mesias segala bangsa, telah tiba. Dengan tetap berjaga dalam pengharapan akan Tuhan, mereka mampu menyambut kebaruan kedatangan-Nya.

 

Saudara-saudari, menantikan Allah juga penting bagi kita, bagi perjalanan iman kita. Setiap hari Tuhan mengunjungi kita, berbicara kepada kita, menyatakan diri-Nya dengan cara yang tidak terduga dan, pada akhir kehidupan dan waktu, Ia akan datang. Ia sendiri menasihati kita untuk tetap berjaga, waspada, dan bertekun dalam penantian. Memang, hal terburuk yang bisa terjadi pada kita adalah membiarkan “semangat kita tertidur”, membiarkan hati tertidur, membius jiwa, mengunci harapan di sudut gelap kekecewaan dan kepasrahan.

 

Saya memikirkanmu, saudara-saudari para pelaku hidup bakti, dan tentang karunia yang kamu miliki; saya memikirkan kita sebagai umat Kristiani dewasa ini: apakah kita masih mampu menanti? Bukankah kita kadang-kadang terlalu sibuk dengan diri kita sendiri, dengan berbagai hal, dan dengan irama kehidupan sehari-hari yang padat, sampai-sampai melupakan Allah yang selalu datang? Bukankah kita terlalu terpesona dengan perbuatan baik kita, yang bahkan berisiko mengubah kehidupan beragama dan kristiani menjadi “banyak hal yang harus dilakukan” dan mengabaikan untuk mencari Tuhan setiap hari? Bukankah kita terkadang mengambil risiko merencanakan kehidupan pribadi dan bermasyarakat dengan memperhitungkan peluang keberhasilan, alih-alih memupuk benih kecil yang dipercayakan kepada kita dengan suka cita dan kerendahan hati, dengan kesabaran orang yang menabur tanpa mengharapkan apa pun dan orang yang tahu bagaimana menanti waktu Allah dan memperkenankan-Nya mengejutkan kita? Kadang-kadang kita harus menyadari bahwa kita telah kehilangan kemampuan untuk menanti. Hal ini disebabkan oleh beberapa kendala, dan saya ingin menyoroti dua di antaranya.

 

Kendala pertama yang membuat kita kehilangan kemampuan menanti adalah mengabaikan kehidupan batin. Inilah yang terjadi ketika keletihan mengalahkan keheranan, ketika kebiasaan menggantikan antusiasme, ketika kita kehilangan ketekunan dalam perjalanan rohani, ketika pengalaman-pengalaman buruk, perselisihank atau buah yang tampaknya tertunda mengubah kita menjadi orang-orang yang getir dan sakit hati. Terus memikirkan kepahitan tidak baik karena dalam keluarga rohani, seperti halnya dalam komunitas dan keluarga mana pun, orang-orang yang pahit dan “berwajah masam” sedang mengempis, orang-orang yang seolah-olah memiliki cuka di dalam hatinya. Maka kita perlu memulihkan rahmat yang hilang: kembali dan, melalui peningkatan kehidupan batin, kembali ke semangat kerendahan hati yang penuh sukacita, rasa syukur yang hening. Hal ini dipupuk oleh penyembahan, jerih payah lutut dan hati, doa yang berwujud pergumulan dan pengantaraan, yang mampu membangkitkan kembali kerinduan akan Allah, cinta awal, keheranan di hari pertama, rasa penantian.

 

Kendala kedua adalah beradaptasi dengan gaya hidup duniawi, yang pada akhirnya menggantikan Injil. Dunia kita sering kali berjalan dengan sangat cepat, yang mengagung-agungkan “segalanya dan saat ini”, yang tenggelam dalam aktivisme dan berusaha menghilangkan ketakutan dan kegelisahan hidup di kuil-kuil konsumerisme kafir atau hiburan dengan segala cara. Dalam konteks seperti ini, di mana keheningan disingkirkan dan hilang, menanti bukanlah hal yang mudah, karena memerlukan sikap pasif yang sehat, keberanian untuk memperlambat langkah, tidak kewalahan dengan aktivitas, memberikan ruang dalam diri kita untuk tindakan Allah. Ini adalah pelajaran mistisisme kristiani. Maka marilah kita berhati-hati agar roh dunia tidak masuk ke dalam komunitas rohani kita, kehidupan gerejawi dan perjalanan pribadi kita, jika tidak maka kita tidak akan menghasilkan buah. Kehidupan kristiani dan perutusan kerasulan memerlukan pengalaman penantian. Matang dalam doa dan kesetiaan sehari-hari, penantian membebaskan kita dari mitos efisiensi, dari obsesi terhadap kinerja dan, terutama, dari kepura-puraan yang menyingkirkan Allah, karena Ia selalu datang dengan cara yang tidak terduga, Ia selalu datang pada waktu yang tidak kita pilih dan dengan cara yang tidak kita duga.

 

Sebagaimana dinyatakan mistikus dan filsuf Prancis, Simone Weil, kita adalah mempelai perempuan yang menanti di malam hari kedatangan mempelai laki-laki, dan: “Peran calon istri adalah menanti…. Merindukan Allah dan meninggalkan segala sesuatu yang lain, hanya itu saja yang bisa menyelamatkan kita” (Menanti Allah, Milan 1991, 196). Saudari-saudari, dalam doa marilah kita membina semangat menantikan Tuhan dan belajar tentang “kepasifan Roh” secara tepat: dengan demikian, kita akan mampu membuka diri terhadap kebaruan Allah.

 

Seperti Simeon, marilah kita juga menggendong anak ini, Allah kebaruan dan kejutan. Dengan menyambut Tuhan, masa lalu terbuka terhadap masa depan, hal lama dalam diri kita terbuka terhadap hal baru yang dibangkitkan-Nya. Ini tidak mudah, kita tahu ini, karena dalam kehidupan beragama seperti dalam kehidupan setiap umat kristiani, sulit untuk melawan “kekuatan lama”. “Tidaklah mudah bagi manusia lama kita untuk menyambut sang anak, yang baru – menyambut yang baru, di masa tua kita menyambut yang baru – … Kebaruan Allah menampilkan dirinya sebagai seorang anak dan kita, dengan semua kebiasaan, ketakutan, perasaan was-was, iri hati kita, – marilah kita memikirkan iri hati! – khawatir, bertatap muka dengan anak ini. Akankah kita merangkul anak tersebut, menyambut anak tersebut, memberikan ruang bagi anak tersebut? Akankah kebaruan ini benar-benar masuk ke dalam kehidupan kita atau justru kita akan mencoba menggabungkan yang lama dan yang baru, berusaha membiarkan diri kita diganggu sesedikit mungkin oleh kehadiran kebaruan Allah?” (C.M. Martini, Sesuatu yang Sangat Pribadi. Meditasi Tentang Doa, Milan 2009, 32-33).

 

Saudara-saudari, pertanyaan-pertanyaan ini ditujukan untuk kita, untuk kita masing-masing, untuk komunitas kita, dan untuk Gereja. Biarlah kita gelisah, marilah kita digerakkan oleh Roh, seperti Simeon dan Hana. Jika, seperti mereka, kita hidup dalam pengharapan, menjaga kehidupan batin kita dan selaras dengan Injil, jika, seperti mereka, kita hidup dalam pengharapan, kita akan memeluk Yesus, yang merupakan terang dan pengharapan kehidupan.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 3 Februari 2024)