Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI MINGGU BIASA III (HARI MINGGU SABDA ALLAH) 21 Januari 2024 : KITA TIDAK BISA HIDUP TANPA SABDA ALLAH SERTA KUASANYA YANG TEDUH DAN SEDERHANA

Bacaan Ekaristi : Yun. 3:1-5,10; Mzm. 25:4bc-5ab,6-7bc,8-9; 1Kor. 7:29-31; Mrk. 1:14-20.

 

Kita baru saja mendengar Yesus berkata kepada mereka : “Mari, ikutlah Aku … Lalu mereka segera meninggalkan jala mereka dan mengikuti Dia” (Mrk 1:17-18). Sabda Allah mempunyai kuasa yang sangat besar, sebagaimana kita dengar dalam Bacaan Pertama: “Datanglah firman Tuhan kepada Yunus untuk kedua kalinya, 'Pergilah segera ke Niniwe ... dan serukanlah kepadanya ... Yunuspun segera pergi ke Niniwe, sesuai dengan firman Tuhan" (Yun 3:1-3). Sabda Allah melancarkan kuasa Roh Kudus, sebuah kuasa yang menarik manusia kepada Allah, seperti nelayan muda yang dilanda oleh perkataan Yesus itu, dan mengutus orang lain, seperti Yunus, kepada mereka yang jauh dari Tuhan. Sabda menarik kita kepada Allah dan mengutus kita kepada orang lain : sabda menarik kita kepada Allah dan mengutus kita kepada orang lain: begitulah cara Sabda bekerja. Sabda tidak membuat kita mementingkan diri sendiri, namun melapangkan hati, mengubah perjalanan, menjungkirbalikkan kebiasaan, membuka skenario baru dan menyingkapkan cakrawala yang tak terpikirkan.

 

Saudara-saudari, itulah apa yang ingin dilakukan sabda Allah dalam diri kita masing-masing. Seperti halnya murid-murid pertama yang, setelah mendengar perkataan Yesus, meninggalkan jala mereka dan memulai petualangan yang luar biasa, demikian pula, di tepi pantai kehidupan kita, di samping perahu keluarga kita dan jala pekerjaan kita sehari-hari, sabda Allah membuat kita mendengar panggilan Yesus. Sabda Allah memanggil kita untuk berangkat bersama-Nya demi kepentingan orang lain. Sabda Allah menjadikan kita misionaris, utusan dan saksi Allah bagi dunia yang tenggelam dalam kata-kata, namun haus akan sabda sejati yang seringkali terabaikan. Gereja hidup dari dinamika ini: dipanggil oleh Kristus dan tertarik kepada-Nya, Gereja diutus ke dunia untuk memberi kesaksian tentang Dia. Inilah dinamika dalam Gereja.

 

Kita tidak bisa hidup tanpa sabda Allah serta kuasanya yang teduh dan sederhana, yang seolah-olah dalam dialog pribadi, menyentuh hati, berkesan dalam jiwa dan memperbaharuinya dengan damai Yesus, yang pada gilirannya membuat kita peduli terhadap orang lain. Jika kita memandang sahabat-sahabat Allah, para saksi Injil sepanjang sejarah dan orang-orang kudus, kita melihat bahwa sabda Allah sangat menentukan bagi mereka masing-masing. Kita memikirkan tentang biarawan pertama, Santo Antonius, yang, karena terkesan dengan bacaan Injil ketika sedang merayakan Misa, meninggalkan segalanya demi Tuhan. Kita memikirkan Santo Agustinus, yang hidupnya mengalami perubahan yang menentukan ketika sabda Allah membawa kesembuhan dalam hatinya. Kita memikirkan Santa Theresia dari Kanak-kanak Yesus, yang menemukan panggilannya dengan membaca surat-surat Santo Paulus. Dan kita juga memikirkan santo yang namanya saya sandang, Fransiskus dari Asisi, yang, setelah berdoa, membaca Injil bahwa Yesus mengutus murid-murid-Nya untuk berkhotbah dan berseru: “Itulah apa yang Kuinginkan; itulah apa yang Kumohon, itulah apa yang ingin Kulakukan dengan segenap hati!” (Thomas dari Celano, Vita Prima, IX, 22). Hidup mereka diubah oleh sabda kehidupan, oleh sabda Tuhan.

 

Namun saya bertanya-tanya: bagaimana bisa, bagi banyak dari kita, hal yang sama tidak terjadi? Kita sering mendengar sabda Allah, namun masuk ke satu telinga dan keluar di telinga yang lain: mengapa? Mungkin karena, sebagaimana dijelaskan oleh para saksi di atas, kita perlu berhenti bersikap “tuli” terhadap sabda Allah. Ini merupakan risiko bagi kita semua: karena terbebani oleh rentetan kata-kata, kita membiarkan sabda Allah berlalu begitu saja: kita mendengarnya, namun kita gagal mendengarkannya; kita mendengarkannya, namun kita tidak menyimpannya; kita menyimpannya, namun kita tidak membiarkannya mendorong kita untuk berubah. Melebihi segalanya, kita membacanya tetapi kita tidak berdoa dengannya, padahal “doa harus menyertai pembacaan Kitab suci, supaya terwujudlah wawancara antara Allah dan manusia” (Dei Verbum, 25). Kita jangan melupakan dua aspek dasariah doa Kristiani: mendengarkan sabda dan menyembah Tuhan. Marilah kita memberikan ruang untuk membaca sabda Yesus dengan penuh doa. Kemudian kita akan mempunyai pengalaman yang sama seperti murid-murid pertama itu. Kembali ke Injil hari ini, kita melihat dua hal yang terjadi setelah Yesus berbicara: “mereka meninggalkan jala mereka dan mengikuti Dia” (Mrk 1:18). Mereka meninggalkan dan mengikuti. Marilah kita renungkan secara singkat kedua hal ini.

 

Mereka meninggalkan. Apa yang mereka tinggalkan? Perahu dan jala mereka, mau dikatakan itulah kehidupan yang mereka jalani selama ini. Betapa seringnya kita berjuang untuk meninggalkan rasa aman, rutinitas kita, karena hal ini menjerat kita seperti ikan dalam jala. Namun mereka yang menanggapi sabda akan mengalami kesembuhan dari jerat masa lalu, karena sabda yang hidup memberikan makna baru dalam kehidupan mereka dan memulihkan ingatan mereka yang terluka dengan mencangkokkan ke dalamnya ingatan akan Allah dan karya-karya-Nya bagi kita. Kitab Suci meneguhkan kita dalam kebaikan dan mengingatkan kita siapa diri kita sebenarnya: anak-anak Allah, yang diselamatkan dan dikasihi. “Sabda Tuhan yang harum” (Santo Fransiskus dari Asisi, Surat kepada Umat Beriman) ibarat madu, memberi rasa pada hidup kita dan membuat kita merasakan manisnya Allah. Sabda Tuhan menyehatkan jiwa, menyingkirkan rasa takut dan mengatasi kesepian. Sebagaimana sabda Tuhan menuntun para murid untuk meninggalkan kehidupan monoton yang berpusat pada perahu dan jala, sabda Tuhan juga memperbarui iman kita, memurnikannya, membebaskannya dari sampah dan membawanya kembali ke asal-usulnya, sumber Injil yang murni. Ketika menceritakan hal-hal menakjubkan yang telah dilakukan Allah bagi kita, Kitab Suci melancarkan iman yang lumpuh dan membuat kita menikmati kembali kehidupan Kristiani sebagaimana adanya: kisah cinta dengan Tuhan.

 

Para murid meninggalkan dan kemudian mengikuti. Mengikuti jejak sang Guru, mereka bergerak maju. Karena sabda Kristus tidak hanya membebaskan kita dari beban yang kita tanggung, dulu dan sekarang; sabda Kristus juga membuat kita dewasa dalam kebenaran dan amal kasih. Sabda Kristus menghidupkan hati, menantangnya, memurnikannya dari kemunafikan dan memenuhinya dengan harapan. Kitab Suci juga membuktikan bahwa sabda nyata dan efektif : “seperti hujan dan salju” bagi tanah (bdk. Yes 55:10-11), seperti pedang bermata dua yang “menilai pikiran dan niat hati” (Ibr 4:12), dan benih yang tidak fana (1Ptr 1:23), yang kecil dan tersembunyi, namun bertunas dan menghasilkan buah (bdk. Mat 13). “Demikian besarlah daya dan kekuatan sabda Allah, sehingga bagi putra-putri Gereja menjadi kekuatan iman” (Dei Verbum, 21).

 

Saudara-saudara, semoga Hari Minggu Sabda Allah menolong kita untuk kembali dengan sukacita kepada sumber iman kita, yang lahir dari mendengarkan Yesus, Sabda Allah yang hidup. Semoga kita, yang dihujani oleh kata-kata tentang Gereja, terbantu untuk menemukan kembali sabda kehidupan yang bergema dalam Gereja! Jika tidak, kita akhirnya lebih banyak berbicara tentang diri kita daripada tentang Dia, dan sering kali kita berkonsentrasi pada pikiran dan masalah kita dibandingkan pada Kristus dan sabda-Nya. Marilah kita kembali ke sumber, untuk menawarkan kepada dunia air kehidupan yang dirindukan dan tidak dapat ditemukan, dan sementara masyarakat dan media sosial mencerminkan kekerasan kata-kata, marilah kita mendekat kepada, dan memupuk, sabda Allah yang teduh yang membawa keselamatan, lemah lembut, tidak bersuara lantang dan masuk ke dalam hati kita.

 

Terakhir, marilah kita mengajukan pada diri kita beberapa pertanyaan. Ruang apa yang kubuat untuk sabda Allah di tempat tinggalku? Di tengah banyaknya buku, majalah, televisi dan telepon, di manakah Kitab Suci? Di kamarku, apakah Injil mudah dijangkau? Apakah aku membacanya setiap hari agar setia pada jalan hidupku? Apakah aku membawa salinan kecil Injil agar aku dapat membacanya? Saya sering berbicara tentang Injil yang selalu kita bawa, di saku dan tas kita, di telepon genggam kita. Jika Kristus lebih kusayangi daripada apa pun, bagaimana aku bisa meninggalkan Dia di rumah dan tidak membawa sabda-Nya bersamaku? Dan satu pertanyaan terakhir: Sudahkah aku membaca setidaknya salah satu dari keempat Injil? Injil adalah kitab kehidupan. Sederhana dan singkat, namun banyak orang percaya bahkan belum pernah membaca satu pun Injil dari awal sampai akhir.

 

Saudara-saudari, Allah, menurut Kitab Suci, adalah “sumber keindahan” (Keb 13:3). Marilah kita memperkenankan diri kita ditaklukkan oleh keindahan yang dihadirkan sabda Allah ke dalam hidup kita.

_____

 

(Peter Suriadi - Bogor, 21 Januari 2024)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI RAYA PENAMPAKAN TUHAN 6 Januari 2024 : PARA MAJUS MELAYANGKAN MATA KE LANGIT, NAMUN MEREKA MENGINJAKKAN KAKI BUMI, DAN HATI MEREKA TERTUNDUK DALAM PENYEMBAHAN

Bacaan Ekaristi : Yes. 60:1-6; Mzm. 72:1-2,7-8,10-11,12-13. Ef. 3:2-3a,5-6; Mat. 2:1-12.

 

Para Majus berangkat mencari Sang Raja yang baru saja dilahirkan. Mereka adalah gambaran orang-orang di dunia yang sedang melakukan perjalanan mencari Allah, gambaran orang-orang asing yang kini dituntun ke gunung Tuhan (bdk. Yes 56:6-7), gambaran orang-orang yang sekarang, dari jauh, dapat mendengar pesan keselamatan (bdk. Yes 33:13), gambaran semua orang yang hilang dan sekarang mendengar isyarat suara yang bersahabat. Karena kini, dalam rupa Bayi Betlehem, kemuliaan Tuhan telah dinyatakan kepada seluruh bangsa (bdk. Yes 40:5) dan “semua orang akan melihat keselamatan dari Allah” (Luk 3:6). Ini adalah peziarahan umat manusia, kita masing-masing, bergerak dari kejauhan menuju kedekatan.

 

Para Majus melayangkan mata ke langit, namun mereka menginjakkan kaki bumi, dan hati mereka tertunduk dalam penyembahan. Perkenankanlah saya mengulangi hal ini : mereka melayangkan mata ke langit, mereka menginjakkan kaki di bumi dan hati mereka tertunduk dalam penyembahan.

 

Pertama, mereka melayangkan mata ke langit. Para Majus dipenuhi dengan kerinduan akan hal yang tak terbatas, sehingga mereka menatap bintang-bintang di langit senja. Mereka tidak melewatkan hidup mereka dengan hanya menatap kaki mereka, mementingkan diri sendiri, terkekang oleh cakrawala duniawi, berjalan lamban dalam kepasrahan atau ratapan. Mereka mengangkat kepala tinggi-tinggi dan menantikan terang yang dapat menerangi makna kehidupan mereka, keselamatan yang datang dari tempat tinggi. Mereka kemudian melihat sebuah bintang, lebih terang dari bintang lainnya, yang membuat mereka terpesona dan membuat mereka memulai perjalanan. Di sini kita melihat kunci untuk menemukan makna kehidupan kita yang sebenarnya: jika kita tetap tertutup dalam batasan sempit hal-hal duniawi, jika kita tercampakkan, kepala tertunduk, tersandera oleh kegagalan dan penyesalan; jika kita haus akan kekayaan dan kenyamanan duniawi – yang ada saat ini dan sirna di esok hari – alih-alih menjadi pencari kehidupan dan cinta, hidup kita perlahan-lahan kehilangan cahayanya. Para Majus yang masih merupakan orang asing dan belum berjumpa Yesus, mengajarkan kita untuk menatap ke tempat tinggi, melayangkan mata ke langit, ke gunung-gunung, yang darinya pertolongan kita akan datang, karena pertolongan kita berasal dari Tuhan (bdk. Mzm 121:1-2).

 

Saudara-saudari, marilah kita melayangkan mata ke langit! Kita perlu mengangkat pandangan kita ke tempat tinggi, agar dapat melihat kenyataan dari tempat tinggi. Kita membutuhkan hal ini dalam perjalanan hidup kita, kita perlu membiarkan diri kita berjalan dalam persahabatan dengan Tuhan, kita membutuhkan kasih-Nya untuk menopang kita, dan cahaya sabda-Nya untuk membimbing kita, seperti bintang di malam hari. Kita perlu memulai perjalanan ini, sehingga iman kita tidak hanya sekadar kumpulan ibadah keagamaan atau sekadar penampilan lahiriah, namun malah menjadi api yang menyala-nyala di dalam diri kita, menjadikan kita pencari wajah Tuhan yang penuh gairah dan saksi-saksi Injil-Nya. Kita membutuhkan hal ini di dalam Gereja, di mana, alih-alih terpecah menjadi beberapa kelompok berdasarkan gagasan kita, kita dipanggil untuk menempatkan kembali Allah sebagai pusat. Kita perlu melepaskan ideologi-ideologi gerejawi agar kita dapat menemukan makna Gereja induk yang kudus, kebiasaan gerejawi. Ideologi gerejawi, tidak; panggilan gerejawi, ya. Tuhan, bukan gagasan atau proyek kitai, harus menjadi pusat. Marilah kita berangkat kembali dari Allah; marilah kita memohon kepada-Nya keberanian untuk tidak putus asa dalam menghadapi kesulitan, kekuatan untuk mengatasi segala rintangan, kegembiraan untuk hidup dalam persekutuan yang rukun.

 

Para Majus tidak hanya memandangi bintang-bintang, benda-benda di tempat tinggi; mereka juga memiliki kaki yang melakukan perjalanan di bumi. Mereka berangkat ke Yerusalem dan bertanya, “Di manakah Dia, raja orang Yahudi yang baru dilahirkan itu? Kami telah melihat bintang-Nya di Timur dan kami datang untuk menyembah Dia” (Mat 2:2). Satu hal: kaki mereka terhubung dengan kontemplasi. Bintang yang bersinar di langit mengutus mereka untuk melakukan perjalanan keliling dunia. Melayangkan pandangan mereka ke tempat tinggi, mereka dituntun untuk menurunkannya ke dunia ini. Mencari Allah, mereka dituntun untuk menemukannya dalam diri manusia, dalam diri seorang Anak kecil yang terbaring di palungan. Karena di sanalah Allah yang Maha Besar menyatakan diri-Nya: dalam yang kecil, yang tak terhingga kecilnya. Kita memerlukan kebijaksanaan, kita memerlukan pertolongan Roh Kudus, untuk memahami besar kecilnya perwujudan Allah.

 

Saudara-saudari, marilah kita terus melangkahkan kaki kita di muka bumi ini! Karunia iman diberikan kepada kita bukan untuk terus memandang ke langit (bdk. Kis 1:11), namun untuk melakukan perjalanan di sepanjang jalan dunia sebagai saksi Injil. Terang yang menerangi hidup kita, Tuhan Yesus, diberikan kepada kita bukan untuk menghangatkan malam kita, namun untuk membiarkan sinar terang menerobos bayang-bayang gelap yang menyelimuti begitu banyak situasi di masyarakat kita. Kita menemukan Allah yang datang mengunjungi kita, bukan dengan menikmati teori agama yang elegan, namun dengan melakukan perjalanan, mencari tanda-tanda kehadiran-Nya dalam kehidupan sehari-hari, dan yang terpenting dengan berjumpa dan menjamah tubuh saudara-saudari kita. Merenungkan Allah memang indah, namun baru membuahkan hasil jika kita mengambil risiko, risiko pelayanan membawa Allah kepada sesama. Para Majus berangkat mencari Allah, Allah yang agung, dan mereka menemukan seorang anak. Hal ini penting: menemukan Allah dalam daging dan tulang, dalam wajah orang-orang yang kita jumpai setiap hari, dan khususnya dalam diri orang-orang miskin. Para Majus mengajarkan kita bahwa perjumpaan dengan Allah selalu membuka kita pada kenyataan yang lebih besar, yang membuat kita mengubah cara hidup dan mengubah rupa dunia kita. Paus Benediktus XVI mengatakan, “Ketika harapan sejati tidak ada, kebahagiaan dicari dengan mabuk-mabukan, dalam hal-hal yang berlebihan, secara berlebihan, dan kita merusak diri kita dan dunia… Oleh karena itu, kita membutuhkan orang-orang yang membina harapan besar dan dengan demikian memiliki keberanian besar: keberanian para Majus, yang melakukan perjalanan jauh mengikuti sebuah bintang, dan mampu berlutut di hadapan seorang Anak dan memberikan kepada-Nya hadiah-hadiah berharga yang mereka bawa” (Homili, 6 Januari 2008).

 

Yang terakhir, marilah kita juga memikirkan bahwa para Majus memiliki hati yang tertunduk dalam penyembahan. Mereka mengamati bintang di langit, namun mereka tidak berlindung pada pengabdian dunia lain; mereka berangkat, tetapi mereka tidak berkelana seperti wisatawan yang tidak mempunyai tujuan. Mereka datang ke Betlehem, dan ketika mereka melihat anak itu, “mereka sujud menyembah Dia” (Mat 2:11). Kemudian mereka membuka tempat harta benda mereka dan mempersembahkan kepada-Nya emas, dupa dan mur. “Dengan pemberian mistik ini mereka memberitahukan jatidiri orang yang mereka sembah: dengan emas, mereka menyatakan bahwa Ia adalah seorang Raja; dengan dupa, Ia adalah Allah; dengan mur, Ia ditakdirkan untuk mati” (SANTO GREGORY THE GREAT, Hom. X dalam Evangelia, 6). Seorang Raja yang datang untuk melayani kita, seorang Dewa yang menjadi manusia. Di hadapan misteri ini, kita dipanggil untuk menundukkan hati dan bertekuk lutut dalam beribadah: menyembah Tuhan yang datang dalam kekecilan, yang diam di rumah kita, yang mati demi cinta. Tuhan yang, “meskipun dimanifestasikan oleh besarnya langit dan tanda-tanda bintang, memilih untuk ditemukan… di bawah atap yang rendah. Dalam tubuh lemah seorang anak yang baru lahir, dibungkus dengan lampin, dia disembah oleh orang Majus dan menimbulkan ketakutan pada orang jahat” (Santo Agustinus, Khotbah. 200). Saudara-saudari, kita telah kehilangan kebiasaan melakukan penyembahan, kita telah kehilangan kemampuan yang membuat kita memyembah. Marilah kita menemukan kembali selera kita akan doa penyembahan. Marilah kita mengakui Yesus sebagai Allah dan Tuhan kita, serta menyembah Dia. Hari ini para Majus mengundang kita untuk menyembah Dia. Saat ini ada kekurangan penyembahan di antara kita.

 

Saudara-saudari, seperti para Majus, marilah kita melayangkan pandangan kita ke surga, marilah kita berangkat mencari Tuhan, marilah kita menundukkan hati dalam penyembahan. Memandang ke langit, memulai perjalanan dan menyembah-Nya. Dan marilah kita memohon rahmat agar tidak pernah putus asa: keberanian menjadi pencari Allah, manusia pengharapan, pemimpi yang berani menatap langit, keberanian ketekunan dalam perjalanan menyusuri jalan dunia dengan keletihan perjalanan nyata, dan keberanian untuk menyembah, keberanian untuk menatap Tuhan yang mencerahkan setiap manusia. Semoga Tuhan menganugerahkan kita rahmat ini, terutama rahmat untuk mengetahui bagaimana cara menyembah.

_______

(Peter Suriadi - Bogor, 6 Januari 2024)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI RAYA SANTA MARIA BUNDA ALLAH (HARI PERDAMAIAN SEDUNIA KE-57) 1 Januari 2024 : KEGENAPAN WAKTU

Bacaan Ekaristi : Bil. 6:22-27; Mzm. 67:2-3,5,6,8; Gal. 4:4-7; Luk. 2:16-21.

 

Kata-kata Rasul Paulus menerangi permulaan tahun baru: “Setelah genap waktunya, Allah mengutus Putra-Nya yang lahir dari seorang perempuan” (Gal. 4:4). Ungkapan “genap waktunya” sungguh mengejutkan. Pada zaman dulu, merupakan kebiasaan untuk mengukur waktu dengan mengosongkan dan mengisi amphorae: ketika amphorae kosong, periode waktu baru dimulai, yang berakhir ketika amphorae sudah penuh. Inilah kepenuhan waktu: ketika amphora sejarah penuh, rahmat ilahi melimpah: Tuhan menjadi manusia dan melakukannya dalam nama seorang perempuan, Maria. Dia adalah jalan yang dipilih oleh Tuhan; dialah titik kedatangan banyak orang dan generasi yang, “setetes demi setetes”, telah mempersiapkan kedatangan Tuhan ke dunia. Oleh karena itu, Ibu berada di jantung waktu: Tuhan berkenan membuat sejarah berputar melalui dirinya, sang perempuan. Dengan kata ini, Kitab Suci merujuk kita pada asal usul, pada Kejadian, dan menyarankan bahwa Ibu dengan Anak menandai ciptaan baru, permulaan baru. Oleh karena itu, pada awal masa keselamatan ada Bunda Allah yang kudus, Bunda Suci kita.

 

Kata-kata Rasul Paulus menerangi permulaan tahun baru ini: “Setelah genap waktunya, Allah mengutus Putra-Nya yang lahir dari seorang perempuan” (Gal. 4:4). Ungkapan ”genap waktunya” sungguh mengejutkan. Pada zaman dulu, waktu diukur dengan menggunakan jambanganair; berlalunya waktu ditandai dengan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengisi jambangan kosong. Oleh karena itu makna ungkapan “genap waktunya” : begitu jambangan sejarah terisi, rahmat ilahi pun melimpah. Allah menjadi manusia dan Ia melakukannya melalui seorang perempuan, Maria. Maria adalah sarana yang dipilih Allah, puncak dari garis panjang individu dan generasi tersebut yang “setetes demi setetes” bersiap menyambut kedatangan Tuhan ke dalam dunia. Maka, Bunda Maria berdiri di tengah-tengah misteri waktu. Allah berkenan untuk membalikkan sejarah melalui dia, perempuan itu. Dengan satu kata, “perempuan”, Kitab Suci membawa kita kembali ke permulaan, ke Kitab Kejadian, dan menyadarkan kita bahwa ibu dan anak menandai ciptaan baru, permulaan baru. Jadi, pada awal masa keselamatan, ada Bunda Allah yang kudus, Bunda kita yang kudus.

 

Oleh karena itu, sudah sepantasnya tahun dibuka dengan memohon kepadanya; Sudah sepantasnya umat Allah yang setia memujinya dengan sukacita, sebagaimana pernah dilakukan oleh umat kristiani yang pemberani di Efesus, sebagai Bunda Allah yang kudus. Karena kata-kata ini, Bunda Allah, mengungkapkan kepastian penuh sukacita bahwa Tuhan, seorang Anak mungil dalam gendongan ibu-Nya, telah mempersatukan diri-Nya selamanya dengan kemanusiaan kita, hingga titik di mana kemanusiaan bukan lagi milik kita saja, melainkan milik-Nya juga. Bunda Allah: sebuah ungkapan sederhana yang mengakui perjanjian kekal Tuhan dengan kita. Bunda Allah: sebuah dogma iman, tetapi juga sebuah “dogma harapan”; Allah di dalam manusia, dan manusia di dalam Allah, selamanya. Bunda Allah yang kudus.

 

Setelah genap waktunya, Bapa mengutus Putra-Nya yang lahir dari seorang perempuan. Namun Santo Paulus juga berbicara tentang pengutusan kedua : “Allah telah menyuruh Roh Putra-Nya ke dalam hati kita, yang berseru, ‘Ya Abba, ya Bapa!’” (Gal. 4:6). Dalam pengutusan Roh Kudus, Bunda Maria juga memainkan peran sentral : Roh Kudus akan turun atasnya pada saat Kabar Sukacita (bdk. Luk 1:35); kemudian, pada saat kelahiran Gereja, Ia turun atas para rasul yang berkumpul dalam doa “bersama Maria, ibu Yesus” (Kis 1:14). Penerimaan Maria terhadap karya Roh Kudus memberikan kepada kita karunia terbesar: ia “memungkinkan Tuhan Yang Maha Mulia menjadi saudara kita” (Thomas dari Celano, Vita secunda, CL, 198: FF 786), sehingga Roh Kudus dapat berseru dalam hati kita: “Ya Abba, ya Bapa!” Keibuan Maria adalah jalan yang menuntun kita menuju kelembutan kebapaan Allah, jalan yang paling dekat, langsung dan termudah. Inilah “gaya” Allah: kedekatan, kasih sayang, dan kelembutan. Sesungguhnya Bunda Maria menuntun kita kepada permulaan dan pokok iman, yang bukan sekadar teori atau tugas, melainkan karunia tak terbatas yang menjadikan kita putra dan putri terkasih, tabernakel kasih Bapa. Oleh karena itu, menyambut Bunda Maria ke dalam hidup kita bukanlah soal devosi melainkan syarat iman: “Jika kita ingin menjadi umat Kristiani, kita harus menjadi 'pengikut Maria'” (Santo Paulus VI, Homili di Cagliari, 24 April 1970), yaitu “anak-anak Maria”.

 

Gereja membutuhkan Maria untuk memulihkan wajah perempuannya, semakin sepenuhnya menyerupai perempuan, perawan dan ibu, yang menjadi teladan dan gambaran sempurnanya (bdk. Lumen Gentium, 63), memberi ruang bagi perempuan dan menjadi “generatif” melalui pelayanan pastoral yang ditandai dengan keprihatinan dan kepedulian, kesabaran dan keberanian keibuan. Dunia juga perlu bergantung pada para ibu dan perempuan untuk menemukan kedamaian, keluar dari jalinan kekerasan dan kebencian, serta sekali lagi melihat segala sesuatunya dengan mata dan hati manusiawi. Setiap masyarakat perlu menerima karunia yang dimiliki oleh perempuan, setiap perempuan: menghormati, membela dan menghargai perempuan, dengan kesadaran bahwa siapapun yang menyakiti seorang perempuan yang belum bersuami, berarti mencemarkan nama Allah, yang “lahir dari seorang perempuan”.

 

Sama seperti Maria yang memainkan peran menentukan dalam kegenapan waktu, perempuan juga menentukan kehidupan kita masing-masing, karena tidak ada seorang pun yang mengenal dengan lebih baik daripada seorang ibu mengenal tahap-tahap pertumbuhan dan kebutuhan mendesak anak-anaknya. Maria menunjukkan kepada kita hal ini dalam “permulaan” yang lain: tanda pertama yang dilakukan Yesus, pada pesta perkawinan di Kana. Di sana, dialah yang menyadari bahwa anggur telah habis, dan memohon kepada Yesus (bdk. Yoh 2:3). Kebutuhan anak-anaknya menggerakkan Maria, sang ibu, untuk memohon agar Yesus turun tangan. Di Kana, Yesus berkata, “'Isilah tempayan-tempayan itu penuh dengan air'. Mereka pun mengisinya sampai penuh” (Yoh. 2:7). Maria mengetahui kebutuhan kita; ia berdoa agar rahmat melimpah dalam kehidupan kita dan membimbing mereka menuju penggenapan sejati. Saudara-saudara, kita semua mempunyai kekurangan, masa-masa kesepian, kekosongan batin yang menuntut untuk diisi. Kita masing-masing mengetahui hal ini dengan baik. Siapa yang dapat mengisi kekosongan kita kalau bukan Maria, Bunda penggenapan? Kapan pun kita tergoda untuk menarik diri, marilah kita berlari ke arahnya; kapanpun kita tidak mampu lagi melepaskan ikatan dalam hidup kita, marilah kita berlindung padanya. Saat ini, yang kehilangan kedamaian, membutuhkan seorang ibu yang dapat mempersatukan kembali keluarga umat manusia. Marilah kita memandang Maria, untuk menjadi seniman persatuan. Marilah kita melakukan hal ini dengan kreativitas dan kepedulian keibuannya terhadap anak-anaknya. Karena ia mempersatukan dan menghibur mereka; ia mendengarkan kesusahan dan mengeringkan air mata mereka. Dan marilah kita melihat ikon lembut Madonna [dari Biara Montevergine]. Begitulah sikap ibu kita: betapa lembutnya dia menjaga dan mendekatkan kita. Ia peduli pada kita dan tetap dekat dengan kita.

 

Marilah kita mempercayakan tahun yang datang ini kepada Bunda Allah. Marilah kita mempersembahkan hidup kita kepadanya. Dengan cinta yang lembut, ia akan membuka mata kita terhadap kegenapan. Sebab ia akan menuntun kita kepada Yesus, yang adalah “kegenapan waktu”, kegenapan setiap waktu, kegenapan waktu kita, kegenapan setiap kita. Memang benar, sebagaimana pernah ditulis : “Bukan kegenapan waktu yang menyebabkan diutusnya Putra Allah, tetapi diutusnya Putra yang menghasilkan kegenapan waktu” (bdk. Martin Luther, Vorlesung über den Galaterbrief 1516-1517, 18). Saudara-saudari, semoga tahun ini dipenuhi dengan penghiburan Tuhan! Semoga tahun ini dipenuhi dengan kelembutan cinta keibuan Maria, Bunda Allah yang kudus.

 

Sekarang saya mengajak kita semua bersama-sama untuk menyerukan tiga kali : Bunda Allah yang kudus! Bunda Allah yang kudus! Bunda Allah yang kudus!
______

(Peter Suriadi - Bogor, 1 Januari 2024)