Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA MALAM NATAL 24 Desember 2022 : PALUNGAN MENGATAKAN, SETIDAKNYA, TIGA HAL KEPADA KITA, YAITU KEDEKATAN, KEMISKINAN DAN KEBERWUJUDAN

Bacaan Ekaristi : Yes 9:1-6; Tit 2:11-14; Luk 2:1-14.


Apa yang malam ini masih harus terucap untuk hidup kita? Dua ribu tahun setelah kelahiran Yesus, setelah begitu banyak Natal dihabiskan di tengah dekorasi dan hadiah, setelah begitu banyak konsumerisme yang telah mengemas misteri yang kita rayakan, ada sebuah bahaya. Kita tahu banyak hal tentang Natal, tetapi kita lupa makna sesungguhnya. Jadi bagaimana kita menemukan kembali makna Natal? Pertama-tama, ke mana kita pergi untuk menemukannya? Injil kelahiran Yesus tampaknya telah ditulis dengan tepat untuk tujuan ini : memegang tangan kita dan menuntun kita pergi ke tempat yang dikehendaki Allah.

 

Situasinya dimulai dengan situasi yang mirip dengan situasi kita : semua orang sibuk, bersiap-siap untuk sebuah peristiwa penting, cacah jiwa besar, yang membutuhkan banyak persiapan. Dalam pengertian itu, suasananya sangat mirip dengan perayaan Natal kita di zaman modern. Tetapi Injil tidak ada hubungannya dengan skenario duniawi tersebut; dengan cepat Injil mengalihkan pandangan kita kepada sesuatu yang lain, yang dianggapnya lebih penting. Injil mengalihkan pandangan kita kepada rincian kecil yang tampaknya tidak penting yang disebutkan tiga kali, selalu dalam kaitannya dengan tokoh utama dalam narasi. Pertama, Maria yang membaringkan Yesus “di dalam palungan” (Luk 2:7); kemudian seorang malaikat yang memberitahu para gembala tentang “seorang bayi dibungkus dengan lampin dan terbaring di dalam palungan” (ayat 12); dan akhirnya, para gembala, yang menjumpai “bayi itu sedang berbaring di dalam palungan” (ayat 16). Untuk menemukan kembali makna Natal, kita perlu melihat palungan. Namun mengapa palungan begitu penting? Karena palungan adalah tanda, dan bukan suatu kebetulan, kedatangan Kristus ke dunia ini. Begitulah cara Ia mengumumkan kedatangan-Nya. Begitulah cara Allah dilahirkan dalam sejarah, sehingga sejarah itu sendiri dapat dilahirkan kembali. Lalu apa yang dikatakan Tuhan kepada kita? Melalui palungan, setidaknya ada tiga hal yang dikatakan kepada kita : kedekatan, kemiskinan dan keberwujudan.

 

1.       Kedekatan. Palungan berfungsi sebagai tempat makan, agar makanan dapat dikonsumsi lebih cepat. Dengan cara ini, palungan bisa melambangkan satu aspek kemanusiaan kita : keserakahan kita akan konsumsi. Sementara hewan makan di kandang mereka, manusia di dunia kita, dalam kelaparan mereka akan kekayaan dan kekuasaan, bahkan memakan sesama mereka, saudara-saudari mereka. Berapa banyak perang yang telah kita lihat! Dan di berapa banyak tempat, bahkan hari ini, martabat dan kebebasan manusia diperlakukan dengan hina! Seperti biasa, korban utama keserakahan manusia ini adalah kaum lemah dan rentan. Natal ini juga, seperti dalam kasus Yesus, dunia yang rakus akan uang, kekuasaan dan kesenangan tidak memberi ruang bagi orang-orang kecil, bagi begitu banyak anak yang belum lahir, miskin dan terlupakan. Saya terutama memikirkan anak-anak yang dilahap oleh perang, kemiskinan dan ketidakadilan. Justru ke sanalah Yesus datang, seorang anak dalam palungan penolakan dan penampikan. Di dalam diri-Nya, diri Sang Anak Betlehem, setiap anak hadir. Dan kita diajak untuk melihat kehidupan, politik dan sejarah melalui kacamata anak-anak.

 

Dalam palungan penolakan dan ketidaknyamanan, Allah menghadirkan diri-Nya. Ia datang ke sana karena di sana kita melihat masalah kemanusiaan kita : ketidakpedulian yang dihasilkan oleh keserakahan untuk memiliki dan mengonsumsi. Di sana, di palungan itu, Kristus lahir, dan di sana kita menemukan kedekatan-Nya dengan kita. Ia datang ke sana, ke tempat makan, untuk menjadi santapan kita. Allah bukanlah bapa yang melahap anak-anak-Nya, tetapi Bapa yang, di dalam Yesus, menjadikan kita anak-anak-Nya dan memberi kita makan dengan kasih-Nya yang lembut. Ia datang untuk menjamah hati kita dan memberitahu kita bahwa kasih semata adalah kekuatan yang mengubah jalannya sejarah. Ia tidak menjauh dan digjaya, tetapi mendekati kita dalam kerendahan hati; meninggalkan singgasananya di surga, Ia memperkenankan diri-Nya dibaringkan di dalam palungan.

 

Saudara-saudari terkasih, malam ini Allah sedang mendekatimu, karena kamu penting bagi-Nya. Dari palungan, sebagai santapan untuk hidupmu, Ia memberitahumu : “Jika kamu merasa terkonsumsi oleh berbagai peristiwa, jika kamu dilahap oleh rasa bersalah dan ketidakmampuan, jika kamu lapar akan keadilan, Aku, Allahmu, besertamu. Aku tahu apa yang sedang kamu alami, karena Aku mengalaminya sendiri di dalam palungan. Aku tahu kelemahan, kegagalan dan sejarahmu. Aku lahir untuk memberitahumu bahwa Aku, dan akan senantiasa, dekat denganmu”. Palungan Natal, pesan pertama dari Sang Putra ilahi, memberitahu kita bahwa Allah menyertai kita, Ia mengasihi kita dan Ia mencari kita. Jadi berhati-hatilah! Jangan biarkan dirimu dikuasai oleh rasa takut, kepasrahan atau keputusasaan. Allah dilahirkan di palungan agar kamu dapat dilahirkan kembali di tempat yang kamu pikir telah mencapai titik terendah. Tidak ada kejahatan, tidak ada dosa, yang daripadanya Yesus ingin menyelamatkanmu. Dan Ia mampu. Natal berarti Allah mendekati kita: biarlah keyakinan terlahir kembali!

 

2.     Palungan Betlehem berbicara kepada kita tidak hanya tentang kedekatan, tetapi juga tentang kemiskinan. Di sekitar palungan hanya ada sedikit : tumpukan jerami, beberapa binatang, sedikit lainnya. Orang-orang merasa hangat di penginapan, tetapi tidak di sini dalam dinginnya kandang. Padahal di sanalah Yesus dilahirkan. Palungan mengingatkan kita bahwa Ia dikelilingi oleh kasih : Maria, Yusuf dan para gembala; semua orang miskin, dipersatukan oleh kasih sayang dan keheranan, bukan oleh kekayaan dan pengharapan besar. Kemiskinan palungan dengan demikian menunjukkan kepada kita tempat dapat diketemukannya kekayaan sejati dalam kehidupan : bukan dalam bentuk uang dan kekuasaan, tetapi dalam hubungan dan pribadi.

Dan orang pertama, kekayaan terbesar, adalah Yesus sendiri. Tetapi apakah kita ingin berdiri di samping-Nya? Apakah kita mendekati-Nya? Apakah kita mengasihi kemiskinan-Nya? Atau apakah kita lebih memilih untuk tetap berlindung dengan nyaman dalam kepentingan dan urusan kita? Terutama, apakah kita mengunjungi-Nya di tempat Ia dapat ditemukan, yaitu di dalam palungan kaum miskin di dunia kita? Karena disitulah Ia hadir. Kita dipanggil untuk menjadi Gereja yang menyembah Yesus yang miskin dan yang melayani-Nya dalam diri kaum miskin. Sebagaimana pernah dikatakan oleh seorang uskup yang telah menjadi santo : “Gereja mendukung dan memberkati upaya untuk mengubah tatanan ketidakadilan, dan menetapkan satu syarat : perubahan sosial, ekonomi dan politik harus sungguh bermanfaat bagi kaum miskin” (O.A. Romero, Pesan Pastoral Tahun Baru, 1 Januari 1980). Tentu saja, tidak mudah untuk meninggalkan kehangatan keduniawian yang nyaman guna merangkul keindahan gua Bethlehem semata, tetapi marilah kita ingat bahwa tanpa kaum miskin Natal bukan sesungguhnya. Tanpa kaum miskin, kita bisa merayakan Natal, tetapi bukan kelahiran Yesus. Saudara-saudari terkasih, pada hari Natal Allah itu miskin : biarlah amal kasih dilahirkan kembali!

 

3.     Sekarang kita sampai pada poin terakhir kita : palungan berbicara kepada kita tentang keberwujudan. Memang, seorang anak yang terbaring di dalam palungan memberi kita pemandangan yang mencolok, bahkan kasar. Palungan mengingatkan kita bahwa Allah sungguh menjadi daging. Akibatnya, seluruh teori, pemikiran tajam, dan perasaan saleh kita tidak lagi memadai. Yesus lahir miskin, hidup miskin dan mati miskin; Ia tidak banyak berbicara tentang kemiskinan melainkan menjalaninya, hingga akhir hayat-Nya, demi kita. Dari palungan hingga salib, kasih-Nya kepada kita selalu dapat dirasakan, berwujud. Sejak lahir hingga wafat, sang Putra tukang kayu itu merangkul kerasnya kayu, kerasnya keberadaan kita. Ia tidak hanya mengasihi kita dengan kata-kata; Ia mengasihi kita dengan sangat sungguh-sungguh!

 

Akibatnya, Yesus tidak puas dengan penampilan. Ia yang mengambil rupa daging seperti kita menginginkan lebih dari sekadar niat baik. Ia yang lahir di dalam palungan, menuntut iman yang berwujud, berupa penyembahan dan amal kasih, bukan kata-kata kosong dan kedangkalan. Ia yang berbaring telanjang di dalam palungan dan tergantung telanjang di kayu salib, memohonkan kebenaran kepada kita, Ia meminta kita untuk pergi ke kenyataan telanjang berbagai hal, serta meletakkan di kaki palungan seluruh alasan, pembenaran dan kemunafikan kita. Dibungkus lembut dengan lampin oleh Maria, Ia ingin kita mengenakan busana kasih. Allah tidak menginginkan penampilan tetapi keberwujudan. Saudara-saudari, semoga Natal ini tidak kita lewatkan tanpa melakukan kebaikan. Mulai perayaan-Nya, hari ulang tahun-Nya, marilah kita memberi-Nya hadiah yang berkenan kepada-Nya! Di hari Natal, Allah mewujud : dalam nama-Nya marilah kita membantu sedikit harapan untuk dilahirkan kembali bagi orang-orang yang merasa putus asa!

 

Yesus, kami memandang Engkau terbaring di dalam palungan. Kami memandang Engkau sedekat mungkin, senantiasa di samping kami : terima kasih Tuhan! Kami memandang Engkau sebagai orang miskin, untuk mengajari kami bahwa kekayaan sejati tidak terletak pada harta benda tetapi pada orang-orang, dan terutama pada orang miskin : ampunilah kami, jika kami gagal mengenali dan melayani Engkau di dalam diri mereka. Kami memandang Engkau berwujud, karena kasih-Mu kepada kami dapat kami rasakan. Tolonglah kami untuk memberikan daging dan kehidupan bagi iman kami. Amin.

_____


(Peter Suriadi - Bogor, 25 Desember 2022)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI RAYA TUHAN KITA YESUS KRISTUS RAJA SEMESTA ALAM (HARI ORANG MUDA SEDUNIA KE-37) DI GEREJA KATEDRAL ASTI 20 November 2022 : HANYA MENJADI PENONTON ATAU TERLIBAT?

Bacaan Ekaristi : 2Sam. 5:1-3; Mzm. 122:1-2,4-5; Kol. 1:12-20; Luk. 23:35-43.

 

Kita telah melihat pemuda ini, Stefano, yang telah meminta untuk menerima pelayanan akolit sebagai bagian dari persiapannya untuk jenjang imamat. Kita harus mendoakannya, agar ia bertekun dalam panggilannya dan setia; tetapi kita juga harus mendoakan Gereja Asti ini, agar Tuhan sudi mengutus panggilan imamat, karena, seperti yang kamu lihat, sebagian besar adalah orang tua, seperti saya : ada kebutuhan akan imam muda, seperti beberapa orang di sini yang sangat baik. Marilah kita memohon kepada Tuhan untuk memberkati tanah ini.

 

Dari tanah ini, ayah saya berangkat sebagai seorang imigran ke Argentina, dan ke tanah ini, yang secara berharga diberikan oleh kekayaan buahnya dan terutama oleh kerajinan asli penduduknya, saya sekarang telah kembali untuk menemukan kembali dan menikmati akar saya. Hari ini juga, Injil membawa kita kembali ke akar iman kita. Akar itu ditanam di tanah Kalvari yang tandus, di mana Yesus, laksana benih yang jatuh ke bumi dan mati, menumbuhkan harapan. Ditanam di jantung bumi, Ia membuka jalan ke surga; dengan wafat-Nya, Ia memberi kita hidup yang kekal; dari kayu salib, Ia membawakan kita buah keselamatan. Marilah kita memandang-Nya, Dia yang tersalib.

 

Di kayu salib, kita melihat satu kalimat : “Inilah Raja orang Yahudi” (Luk 23:38). Itulah gelar Yesus : Ia adalah seorang raja. Namun saat kita menatap-Nya, gagasan kita tentang seorang raja terjungkir balik. Ketika kita mencoba menggambarkan seorang raja, apa yang terlintas dalam pikiran adalah seorang yang berkuasa yang duduk di atas takhta dengan lencana megah, tongkat kerajaan di tangannya dan cincin berharga di jarinya, berbicara dengan nada berwibawa kepada rakyatnya. Kurang lebih itulah yang kita bayangkan. Namun, melihat Yesus, kita melihat kebalikannya. Ia tidak bertakhta dengan nyaman, tetapi tergantung di kayu salib. Allah yang “menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya” (Luk 1:52) muncul sebagai budak yang dieksekusi oleh orang-orang yang berkuasa. Berpakaian hanya dengan paku dan duri, dilucuti dari segalanya namun kaya akan kasih, dari singgasananya di kayu salib Ia tidak lagi mengajar orang banyak dengan perkataan; Ia tidak lagi mengangkat tangan-Nya sebagai guru. Ia melakukan lebih banyak : tidak menunjuk siapa pun, Ia merentangkan tangan-Nya untuk semua orang. Begitulah cara Ia menunjukkan diri sebagai raja kita : dengan tangan terentang.

 

Hanya dengan masuk ke dalam rangkulan-Nya kita memahami : kita menjadi sadar bahwa Allah pergi ke ekstrim ini, bahkan ke paradoks salib, untuk merangkul kita masing-masing, tidak peduli seberapa jauh kita dari Dia: Ia merangkul kematian kita, penderitaan kita, kemiskinan kita, kelemahan kita. Ia merangkul semua itu. Ia menjadi budak sehingga kita masing-masing bisa menjadi anak. Dengan menjadi budak, Ia membeli status anak kita. Ia membiarkan diri-Nya dihina dan dicemooh, sehingga setiap kali kita direndahkan, kita tidak akan pernah merasa sendirian. Ia membiarkan diri-Nya dilucuti pakaian-Nya, sehingga tidak seorang pun akan merasa dilucuti dari martabatnya yang sah. Ia ditinggikan di kayu salib, sehingga Allah akan hadir dalam manusia yang disalibkan sepanjang sejarah. Ini adalah raja kita, raja semesta alam, karena Ia melakukan perjalanan ke batas terjauh dari pengalaman manusiawi kita, memasuki lubang hitam kebencian, lubang hitam pengabaian, untuk membawa terang ke setiap kehidupan dan merangkul seluruh kenyataan. Saudara-saudaraku, inilah raja yang hari ini kita hormati! Ia bukan raja yang mudah dipahami. Dan pertanyaan yang harus kita ajukan adalah : Apakah raja semesta alam ini juga raja dalam hidupku? Apakah aku percaya kepada-Nya. Bagaimana aku bisa merayakan-Nya sebagai Tuhan atas seluruh ciptaan, bahkan Ia juga menjadi Tuhan atas hidupku? Dan kamu (beralih kepada Stefano), yang sedang menempuh jalan menuju jenjang imamat, jangan lupa bahwa ini adalah modelmu : jangan berpegang teguh pada kehormatan. Jika kamu tidak berencana menjadi imam seperti raja ini, lebih baik berhenti sekarang.

 

Jadi marilah sekali lagi kita memandang Yesus yang disalibkan. Marilah kita memandang-Nya. Ia tidak melihat hidup kita hanya untuk sesaat, atau sekilas memandang kita seperti yang kita sering lakukan kepada-Nya. Tidak, Ia tetap di sana, dengan tangan terentang, untuk mengatakan kepadamu dalam keheningan bahwa dirimu tidak asing bagi-Nya, Ia ingin merangkulmu, meninggikanmu dan menyelamatkanmu apa adanya, dengan sejarah masa lalumu, kegagalan dan dosa-dosamu. “Tetapi Tuhan, apakah ini benar, bahwa Engkau mengasihiku dengan segenap kekuranganku?” Sekarang, marilah kita berpikir tentang kemiskinan pribadi kita : “Tuhan, apakah Engkau mengasihiku dengan kemiskinan rohani dan segala keterbatasan ini?” Lalu Tuhan tersenyum dan membuat kita paham bahwa Ia mengasihi kita dan memberikan hidup-Nya untuk kita.

 

Marilah kita tidak hanya memikirkan keterbatasan kita, tetapi juga hal-hal yang baik. Ia mengasihi kita apa adanya, seperti kita sekarang. Ia memberi kita kesempatan untuk memerintah dalam hidup ini, jika saja kamu tunduk pada kasih-Nya yang lemah lembut yang melamar tetapi tidak pernah memaksa, kasih yang selalu mengampunimu. Begitu sering kita lelah mengampuni; kita membuat tanda salib dan membelakangi orang itu. Yesus tidak pernah lelah mengampuni, tidak pernah. Ia selalu membuatmu berdiri; Ia selalu mengembalikan martabat rajanimu. Dari mana datangnya keselamatan? Keselamatan datang dari membiarkan diri kita dikasihi oleh-Nya, karena hanya dengan cara ini kita dibebaskan dari perbudakan diri, dari rasa takut karena sendirian, dari pemikiran bahwa kita tidak bisa berhasil. Saudara-saudaraku, marilah kita sering berdiri di hadapan Tuhan yang tersalib dan membiarkan diri kita dikasihi, karena tangan terentang tersebut juga membuka surga bagi kita, seperti yang dilakukannya kepada sang penjahat yang baik. Marilah kita mendengar, ditujukan kepada kita, satu-satunya kata yang hari ini diucapkan Yesus dari kayu salib : “Sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Surga” (Luk 23:43). Itulah yang ingin dikatakan Allah kepada kita setiap kali kita membiarkan-Nya menatap kita. Kemudian kita menyadari bahwa Allah kita bukanlah “Allah yang tidak dikenal”, di surga sana, berkuasa dan jauh, melainkan Allah yang dekat: kedekatan adalah “gaya” Allah, kedekatan dengan kelembutan dan belas kasihan. Kelembutan dan kasih sayang; tangan-Nya yang terentang menghibur dan membelai kita. Itulah raja kita!

 

Saudara-saudari, setelah kita menatap-Nya, apa yang dapat kita lakukan? Bacaan Injil hari ini menghadapkan kita pada dua jalan : berhadapan dengan Yesus, ada yang menjadi penonton dan ada yang terlibat. Kebanyakan adalah penonton, sebagian besar. Melihat seseorang yang wafat di kayu salib adalah sebuah tontonan. Bacaan Injil memberitahu kita hal ini : "Orang banyak berdiri di situ dan melihat semuanya" (ayat 35). Mereka bukan orang jahat: banyak dari mereka adalah orang percaya, tetapi saat melihat Tuhan yang disalibkan, mereka tetap menjadi penonton: mereka tidak melangkah maju ke arah Yesus, tetapi memandang-Nya dari jauh, penasaran namun acuh tak acuh, tanpa benar-benar tertarik, tanpa bertanya pada diri sendiri apa yang bisa mereka lakukan. Mereka akan berujar, mengungkapkan penilaian dan pendapat mereka; beberapa dari mereka akan berduka, lainnya menganggap-Nya tidak bersalah, tetapi mereka semua berdiri dan memandang, bergandengan tangan, bergandengan tangan. Namun semakin dekat salib ada penonton lain : para pemimpin rakyat, berada di sana untuk menyaksikan tontonan suram kesudahan Kristus yang memalukan; para prajurit, yang berharap agar eksekusi cepat selesai sehingga mereka bisa pulang; dan salah seorang penjahat, yang melontarkan seluruh amarahnya. Mereka mengejek, mereka mencemooh, mereka melampiaskan kemarahan mereka.

Semua penonton ini membagikan sebuah refren yang diulangi tiga kali dalam Bacaan Injil : "Jika Engkau adalah raja orang Yahudi, selamatkanlah diri-Mu!" (bdk. ayat 35, 37, 39). Selamatkanlah diri-Mu! Begitulah cara mereka menghina-Nya; mereka menantang-Nya! Yesus justru melakukan sebaliknya : Ia tidak berpikir untuk menyelamatkan diri-Nya, tetapi menyelamatkan mereka. Namun kata-kata hinaan itu – “selamatkanlah diri-Mu!” - menular; kata-kata itu menyebar dari para pemimpin kepada para prajurit dan kemudian kepada orang banyak; riak kejahatan mencapai hampir semua orang di sana. Pikirkanlah : kejahatan itu menular. Ibarat penyakit menular, kita langsung tertular. Semua orang itu berbicara tentang Yesus, tetapi tidak sedetik pun mereka berempati dengan-Nya. Mereka berdiri terpisah dan berbicara.

 

Begitulah penularan mematikan dari ketidakpedulian. "Ini tidak ada sangkut-pautnya denganku". Ketidakpedulian terhadap Yesus, ketidakpedulian terhadap orang sakit, orang miskin, orang papa di tanah ini. Saya suka bertanya kepada orang-orang, dan sekarang saya akan bertanya kepadamu masing-masing : ketika kamu memberi uang kepada orang miskin, apakah kamu menatap matanya. Apakah kamu melakukan hal itu? Apakah kamu hanya melempar mata uang logam kepada mereka, atau kamu menjamah tangan mereka yang terulur? Apakah kamu mampu menjamah penderitaan manusia? Hari ini marilah kita masing-masing menjawab pertanyaan itu.

 

Orang-orang itu acuh tak acuh. Mereka berbicara tentang Yesus, tetapi mereka tidak berempati terhadap-Nya. Ini adalah penularan yang mematikan dari ketidakpedulian; berdiri jauh dari kesengsaraan orang lain. Gelombang kejahatan selalu mengembang seperti ini : dimulai dengan berdiri terpisah, menonton tanpa melakukan apa pun, tidak peduli; kemudian kita hanya memikirkan apa yang hendaknya dilakukan dengan diri kita dan kita menjadi terbiasa untuk berpaling. Ini juga berbahaya bagi iman kita, yang layu jika hanya menjadi teori dan tidak diamalkan, jika kita tetap terpisah, menyendiri dan tidak terlibat. Kemudian kita menjadi “orang Kristiani air mawar”, seperti biasanya kita katakan di rumah. Mereka mengatakan bahwa mereka percaya kepada Allah dan menginginkan kedamaian, tetapi tidak berdoa atau peduli kepada sesama mereka. Orang Kristiani hanya nama, dangkal!

 

Itulah jalan kejahatan, di Kalvari. Namun ada jalan lain : jalan kebaikan. Di antara semua penonton itu, satu orang terlibat : penjahat yang baik. Ketika orang banyak mengolok-olok Tuhan, ia justru berbalik kepada-Nya dan memanggil nama-Nya : "Yesus". Hanya itu yang ia minta dari Tuhan. Doa yang baik yang dapat kita daraskan setiap hari sebagai jalan menuju kekudusan. "Yesus, ingatlah akan aku!" Orang banyak mengolok-olok Yesus, tetapi ia mengakukan kesalahannya kepada Yesus. Orang banyak meneriakkan : “Selamatkanlah dirimu!”, tetapi ia memohon : “Yesus, ingatlah akan aku” (ayat 42). Dengan cara ini, seorang penjahat menjadi orang kudus pertama : ia mendekat kepada Yesus untuk sesaat dan Tuhan menjaganya di sampingnya untuk selamanya. Bacaan Injil berbicara tentang penjahat yang baik untuk keuntungan kita : mengundang kita untuk mengalahkan kejahatan dengan menolak untuk tetap sebagai penonton. Tolong, ketidakpedulian lebih buruk daripada kejahatan. Jadi di mana kita mulai? Dengan kepercayaan, dengan menyebut nama Allah, persis seperti yang dilakukan si penjahat yang baik itu. Di akhir hayatnya, ia menemukan kembali kepercayaan diri anak-anak yang tak mengenal rasa takut, yang percaya, dan memohon, dan terus memohon. Dalam keyakinan dan kepercayaan, Ia mengakui kesalahan-Nya; ia menangis bukan untuk dirinya, tetapi dalam hadirat Allah. Bagaimana dengan kita? Apakah kita memiliki kepercayaan yang sama? Apakah kita membawa kepada Yesus apa yang kita pegang di lubuk hati kita, atau apakah kita menutupi diri kita di hadapan Allah, bahkan mungkin dengan sedikit ritual dan pendupaan? Tolong, spiritualitas "kosmetik" semacam ini menjemukan. Di hadapan Allah, jiwa kita harus sederhana dan tanpa hiasan, sebagaimana adanya; keselamatan berasal dari hal itu. Orang-orang yang mengamalkan keyakinan dengan penuh percaya diri, seperti penjahat yang baik, belajar untuk menjadi pengantara; mereka belajar untuk membawa kepada Allah apa yang mereka lihat di sekitar mereka, penderitaan dunia, orang-orang yang mereka jumpai, dan mengatakan kepada-Nya, seperti penjahat yang baik : "Tuhan, ingatlah akan aku!". Kita tidak berada di dunia ini hanya untuk menyelamatkan diri sendiri, tetapi membawa saudara-saudara kita ke dalam rangkulan sang raja kita. Pengantaraan, memohon kepada Allah untuk mengingat, membuka gerbang surga. Ketika kita berdoa, apakah kita menjadi pengantara? “Tuhan, ingatlah akan aku, ingatlah akan keluargaku, ingatlah akan masalah ini…”. Raihlah perhatian Tuhan.

 

Saudara, saudari, hari ini, dari salib, raja kita memandang kita sebagai sang tangan terentang. Terserah kita untuk memilih apakah kita akan menjadi penonton atau terlibat. Aku akan jadi apa? Kita melihat krisis saat ini, kemerosotan iman, kurangnya keikutsertaan … Apa yang hendaknya kita lakukan? Apakah kita puas dengan berteori dan mengkritik, atau apakah kita menyingsingkan lengan baju kita, menggenggam kehidupan, dan beralih dari berlindung dengan alasan menuju komitmen doa dan pelayanan? Kita semua berpikir kita tahu apa yang salah dengan masyarakat, dengan dunia, dan dengan Gereja. Kita membicarakannya sepanjang hari, tetapi lalu apa yang hendaknya kita lakukan? Apakah kita mengotori tangan kita seperti Tuhan kita, dipaku di kayu salib? Atau apakah kita berdiri dengan tangan di saku, hanya sebagai penonton? Hari ini, ketika Yesus, telanjang di kayu salib, menyingkapkan Allah dan menghancurkan setiap citra palsu dari kerajaan-Nya, marilah kita memandang kepada-Nya dan dengan demikian menemukan keberanian untuk melihat diri kita, mengikuti jalan kepercayaan dan menjadi pengantara yang penuh keyakinan, serta menjadikan hamba diri kita sendiri, memerintah bersama-Nya. “Tuhan, ingatlah akan aku! Ingatlah!" Marilah kita memperbanyak doa ini. Terima kasih.
______

(Peter Suriadi - Bogor, 21 November 2022)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XXXIII (HARI ORANG MISKIN SEDUNIA) 13 November 2022 : WASPADALAH SUPAYA KAMU JANGAN DISESATKAN DAN BERSAKSI

Bacaan Ekaristi : Mal. 4:1-2a; Mzm. 98:5-6,7-8,9a; 2Tes. 3:7-12; Luk. 21:5-19.

 

Sementara beberapa orang berbicara tentang keindahan luar Bait Allah dan mengagumi batu-batunya, Yesus memberi perhatian pada peristiwa-peristiwa dramatis dan bermasalah yang menandai sejarah manusia. Bait Allah yang dibangun oleh tangan manusia akan berlalu, seperti semua hal lain di dunia ini, tetapi mampu melakukan pembedaan roh berkenaan dengan waktu di mana kita hidup, tetap menjadi murid-murid Injil bahkan di tengah pergolakan sejarah adalah penting.

 

Untuk menunjukkan kepada kita jalan menuju pembedaan roh seperti itu, Tuhan memberi kita dua nasihat : waspadalah, supaya kamu jangan disesatkan dan bersaksi.

 

Hal pertama yang dikatakan Yesus kepada orang-orang yang mendengarkan-Nya, yang prihatin tentang “bilamana” dan “bagaimana” peristiwa mengerikan yang Ia bicarakan, adalah : “Waspadalah, supaya kamu jangan disesatkan. Sebab banyak orang akan datang dengan memakai nama-Ku dan berkata: Akulah Dia, dan: Saatnya sudah dekat. Janganlah kamu mengikuti mereka” (Luk 21:8). Ia kemudian menambahkan : “Dan apabila kamu mendengar tentang peperangan dan pemberontakan, janganlah kamu terkejut” (ayat 9). Ini menghibur terutama di masa sekarang. Tetapi apa yang dimaksudkan Yesus dengan tidak membiarkan diri kita disesatkan? Ia bermaksud menghindari godaan untuk menafsirkan peristiwa dramatis secara takhayul atau bencana, seolah-olah kita sekarang dekat dengan akhir dunia dan tidak ada gunanya berketetapan hati untuk berbuat baik. Jika kita berpikir seperti ini, kita membiarkan diri kita dituntun oleh rasa takut, dan kita mungkin akhirnya mencari jawaban dengan rasa ingin tahu yang tidak wajar dalam tipu daya magis atau horoskop yang selalu ada – saat ini banyak orang Kristiani pergi mengunjungi para magis; mereka berkonsultasi dengan horoskop seolah-olah itu adalah suara Tuhan. Atau kembali, kita mengandalkan beberapa "juru selamat" menit terakhir yang menjajakan teori liar, biasanya konspirasi serta penuh malapetaka dan kesuraman - teori konspirasi itu buruk, menyebabkan banyak kerugian bagi kita. Roh Tuhan tidak dapat ditemukan dalam pendekatan seperti itu : juga tidak dapat ditemukan dengan pergi ke seorang “guru” atau dalam roh persekongkolan; Tuhan tidak ada di sana. Yesus memperingatkan kita: "Waspadalah, supaya kamu jangan disesatkan". Jangan mudah tertipu atau takut, tetapi belajarlah menafsirkan peristiwa dengan mata iman, yakinlah bahwa dengan tetap dekat dengan Allah “tidak sehelaipun dari rambut kepalamu akan hilang” (ayat 18).

 

Jika sejarah manusia dipenuhi dengan peristiwa dramatis, situasi penderitaan, perang, pemberintakan dan bencana, juga benar, kata Yesus, bahwa itu bukanlah kesudahan dunia (bdk. ayat 9). Membiarkan diri kita dilumpuhkan oleh rasa takut atau menyerah pada kekalahan orang-orang yang berpikir bahwa semuanya telah hilang dan tidak ada gunanya mengambil bagian aktif dalam hidup bukanlah alasan yang baik. Seorang murid Tuhan tidak boleh menyerah pada pengunduran diri atau menyerah pada keputusasaan, bahkan dalam situasi yang paling sulit, karena Allah kita adalah Allah kebangkitan dan pengharapan, yang selalu bangkit : bersama Dia kita dapat mengangkat pandangan kita dan memulai kembali. Umat ​​Kristiani, dalam menghadapi pencobaan entah pencobaan budaya, sejarah atau pribadi bertanya : Apa yang ingin dikatakan Tuhan kepada kita melalui saat krisis ini? – saya juga, saya bertanya pada diri sendiri pertanyaan yang sama hari ini : Apa yang dikatakan Tuhan kepada kita, khususnya di tengah-tengah perang dunia ketiga ini? Apa yang dikatakan Tuhan kepada kita?Dan ketika peristiwa buruk terjadi yang menimbulkan kemiskinan dan penderitaan, orang Kristiani bertanya: "Apa yang bisa kulakukan secara nyata?" Jangan lari, tanyakan pada dirimu sebuah pertanyaan : Apa yang dikatakan kepadaku dan kebaikan apa yang dapat kulakukan?

 

Bukanlah kebetulan bahwa nasihat Yesus yang kedua, setelah “jangan disesatkan”, bernada positif. Ia berkata: "Hal itu akan menjadi kesempatan bagimu untuk bersaksi" (ayat 13). Kesempatan untuk bersaksi. Saya ingin menekankan kata yang bagus ini : kesempatan. Kesempatan berarti memiliki kemungkinan untuk melakukan sesuatu yang baik, mulai dari situasi hidup kita, bahkan ketika situasi tidak ideal. Kesempatan adalah keterampilan yang biasanya dimiliki orang Kristiani untuk tidak menjadi korban dari segala sesuatu yang terjadi – seorang Kristiani bukan korban, dan psikologi korban tidak baik, berbahaya – bahkan mengambil kesempatan yang tersembunyi dalam segala hal yang menimpa kita, kebaikan – betapapun kecilnya – yang dapat muncul bahkan dari situasi negatif. Setiap krisis adalah kemungkinan dan menawarkan peluang untuk pertumbuhan. Setiap krisis adalah keterbukaan terhadap kehadiran Allah, keterbukaan terhadap kemanusiaan. Tetapi apa yang roh jahat inginkan untuk kita lakukan? Ia ingin kita mengubah krisis menjadi pertikaian, dan pertikaian selalu tertutup, tanpa cakrawala; jalan buntu. Tidak. Marilah kita mengalami krisis seperti pribadi manusia, seperti orang Kristiani, janganlah kita mengubahnya menjadi pertikaian, karena setiap krisis adalah kemungkinan dan menawarkan peluang untuk bertumbuh. Kita menyadari hal ini jika kita mengingat kembali sejarah kita : dalam hidup, seringkali langkah maju terpenting kita diambil di tengah krisis tertentu, dalam situasi pencobaan, kehilangan kendali atau ketidakamanan. Kemudian kita memahami kata-kata penyemangat yang hari ini langsung dibicarakan Yesus kepada saya, kepadamu, kepada kita masing-masing: ketika kamu melihat peristiwa yang mengganggu di sekitarmu, sementara perang dan pertikaian meningkat, sementara gempa bumi, kelaparan, dan wabah sedang terjadi, apa yang harus kamu lakukan; apa yang kulakukan? Apakah kamu mengalihkan perhatianmu agar tidak memikirkannya? Apakah kamu menghibur dirimu agar tidak terlibat? Apakah kamu berpaling agar tidak melihat? Apakah kamu mengambil jalan keduniawian, tidak proaktif dan tidak memperhatikan situasi dramatis ini? Apakah kamu hanya pasrah dengan apa yang terjadi? Atau apakah situasi ini menjadi kesempatan untuk bersaksi tentang Injil? Kita masing-masing harus bertanya pada diri sendiri: di tengah bencana ini, di tengah perang dunia ketiga yang mengerikan ini, di tengah kelaparan yang mempengaruhi banyak orang, terutama anak-anak: sudikah aku membelanjakan uangku, hidupku, dan artinya tanpa keberanian dan bergerak maju?

 

Saudara-saudari, pada Hari Orang Miskin Sedunia ini sabda Allah adalah peringatan yang kuat untuk menerobos tuli batin, yang kita semua derita, dan yang menghalangi kita untuk mendengar jeritan kesakitan yang tertahan dari orang-orang yang paling lemah. Dewasa ini kita juga hidup dalam masyarakat yang bermasalah dan bersaksilah, seperti dikatakan Bacaan Injil kepada kita, adegan kekerasan – kita hanya perlu memikirkan tentang kekejaman yang dialami rakyat Ukraina – ketidakadilan dan penganiayaan; selain itu, kita harus menghadapi krisis yang ditimbulkan oleh perubahan iklim dan pandemi, yang telah meninggalkan tidak hanya penyakit fisik, tetapi juga penyakit psikologis, ekonomi dan sosial. Bahkan sekarang, saudara-saudari, kita melihat bangsa akan bangkit melawan bangsa dan kita menyaksikan dengan gentar meluasnya pertikaian dan malapetaka perang, yang menyebabkan kematian begitu banyak orang tak bersalah dan melipatgandakan racun kebencian. Hari ini juga, jauh lebih banyak daripada di masa lalu, banyak saudara dan saudari kita, yang sangat dicobai dan putus asa, bermigrasi untuk mencari harapan, dan banyak orang mengalami ketidakamanan karena kurangnya pekerjaan atau kondisi kerja yang tidak adil dan tidak bermartabat. Hari ini juga, orang miskin membayar harga terberat dalam setiap krisis. Namun jika hati kita mati dan acuh tak acuh, kita tidak dapat mendengar jeritan kesakitan mereka, kita tidak dapat menangis bersama mereka dan untuk mereka, kita tidak dapat melihat betapa kesepian dan kesedihan juga tersembunyi di sudut-sudut kota kita yang terlupakan. Kita harus pergi ke sudut-sudut kota, karena di sudut-sudut tersembunyi dan gelap ini kita melihat kesengsaraan dan kesakitan yang luar biasa dan kemiskinan yang hina.

 

Marilah kita mencamkan seruan dalam Bacaan Injil yang jelas dan tak diragukan lagi agar tidak disesatkan. Kita jangan mendengarkan para nabi malapetaka. Kita jangan sampai tersihir oleh sirene populisme yang mengeksploitasi kebutuhan nyata rakyat dengan solusi yang gegabah dan terburu-buru. Kita jangan mengikuti "mesias" palsu yang, atas nama keuntungan, menyatakan resep yang hanya berguna untuk meningkatkan kekayaan segelintir orang, sementara mengutuk orang miskin ke pinggiran masyarakat. Sebaliknya, marilah kita bersaksi. Marilah kita menyalakan lilin harapan di tengah kegelapan. Di tengah situasi yang dramatis, marilah kita memanfaatkan kesempatan untuk menjadi saksi Injil sukacita dan membangun dunia persaudaraan, atau setidaknya sedikit semakin bersaudara. Marilah kita berani berketetapan hati terhadap keadilan, supremasi hukum dan perdamaian, serta selalu berpihak pada yang paling lemah. Janganlah kita mundur untuk melindungi diri kita dari sejarah, tetapi berusaha untuk memberikan momen sejarah yang kita alami ini dengan wajah yang berbeda.

 

Bagaimana kita menemukan kekuatan untuk semua ini? Di dalam Tuhan. Dengan percaya kepada Allah Bapa kita, yang menjaga kita. Jika kita membuka hati kita kepada-Nya, Ia akan memperkuat dalam diri kita kemampuan untuk mengasihi. Inilah caranya : bertumbuh dalam kasih. Memang, setelah menggambarkan skenario kekerasan dan teror, Yesus menyimpulkan dengan mengatakan, “Tetapi tidak sehelaipun dari rambut kepalamu akan hilang” (ayat 18). Tetapi apa artinya ini? Artinya, Ia bersama kita; Ia berjalan bersama kita untuk membimbing kita. Apakah aku memiliki keyakinan ini? Apakah kamu yakin bahwa Tuhan berjalan bersamamu? Kita harus selalu mengulangi ini untuk diri kita, terutama pada saat-saat kesulitan terbesar : Allah adalah Bapa, dan Ia ada di sampingku. Ia tahu dan mengasihiku; Ia tidak tidur, tetapi menjaga dan merawatku. Jika aku tetap dekat dengan-Nya, tidak sehelaipun dari rambut kepalaku akan hilang. Dan bagaimana aku menanggapi hal ini? Dengan melihat saudara-saudara kita yang membutuhkan; dengan melihat budaya membuang yang mencampakkan orang miskin dan orang dengan sedikit kemungkinan; budaya yang mencampakkan orang tua dan bayi yang belum lahir… dengan melihat mereka semua; sebagai seorang Kristiani, apa yang harus kulakukan saat ini?

 

Karena Ia mengasihi kita, marilah kita putuskan untuk mengasihi-Nya di tempat yang paling ditinggalkan anak-anak-Nya. Tuhan ada di sana. Ada tradisi lama, bahkan di beberapa wilayah Italia, dan saya yakin sebagian orang masih mengikutinya: meninggalkan kursi kosong untuk Tuhan pada makan malam Natal, dan percaya bahwa Ia pasti akan datang mengetuk pintu dalam wujud seorang miskin yang membutuhkan. Apakah hatimu memiliki ruang untuk orang-orang seperti itu? Apakah ada tempat di hatiku untuk orang-orang seperti itu? Atau apakah kita terlalu sibuk menghadiri teman-teman kita, menghadiri acara-acara sosial dan pertunangan lain yang tidak akan pernah memberi kita ruang untuk orang-orang seperti itu. Marilah kita merawat orang miskin, yang di dalam dirinya kita menemukan Yesus, yang menjadi miskin karena kita (bdk. 2 Kor 8:9). Ia mengidentifikasikan diri dengan orang miskin. Marilah kita merasa tertantang untuk merawat mereka, jangan sampai sehelai rambut pun binasa. Janganlah kita puas, seperti orang-orang dalam Injil, untuk mengagumi batu-batu indah Bait Allah, seraya gagal mengenali Bait Allah yang sejati, sesama kita, terutama orang miskin, yang dalam wajahnya, dalam sejarahnya, dalam luka-lukanya, kita berjumpa Yesus. Ia mengatakan demikian. Jangan pernah kita melupakannya.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 14 November 2022)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA DI STADION NASIONAL BAHRAIN, AWALI (BAHRAIN) 5 November 2022 : SELALU MENGASIHI DAN MENGASIHI SEMUA ORANG

Bacaan Ekaristi : Yes 9:1-6; Mat 5:38-48.

 

Nabi Yesaya mengatakan tentang Mesias yang akan dibangkitkan Allah, “Besar kekuasaannya, dan damai sejahtera tidak akan berkesudahan” (Yes 9:6). Ini terdengar bagaikan kontradiksi dalam istilah : di kancah dunia, kita sering memperhatikan bahwa semakin banyak kekuasaan yang dicari, semakin banyak perdamaian yang terancam. Sebaliknya, Nabi Yesaya mengumumkan berita luar biasa : Mesias yang akan datang memang akan berkuasa, bukan dengan cara seorang komandan yang mengobarkan perang dan memerintah atas orang lain, tetapi sebagai "Raja Damai" (ayat 5), yang mendamaikan orang dengan Allah dan satu sama lain. Kekuasaannya yang besar tidak berasal dari kekuasaan kekerasan, tetapi dari kelemahan kasih. Dan inilah kuasa Kristus : kuasa kasih. Yesus memberi kita kuasa yang sama, kuasa untuk mengasihi, mengasihi dalam nama-Nya, mengasihi sebagaimana Ia mengasihi. Bagaimana? Tanpa syarat. Tidak hanya ketika segala sesuatunya berjalan dengan baik dan kita merasa ingin mengasihi, tetapi selalu. Tidak hanya terhadap sahabat dan tetangga kita, tetapi terhadap semua orang, termasuk musuh kita. Selalu dan terhadap semua orang.

Selalu mengasihi dan mengasihi semua orang: Marilah kita berhenti dan merenungkan dua hal ini.

 

Pertama, sabda Yesus hari ini (bdk. Mat 5:38-48) mengajak kita untuk selalu mengasihi, yaitu selalu tinggal di dalam kasih-Nya, memupuk kasih itu dan mengamalkannya, dalam situasi apa pun dalam hidup kita. Namun, perhatikan bahwa daya lihat Yesus benar-benar praktis; Ia tidak mengatakan hal itu akan mudah, dan Ia tidak berbicara tentang kasih sentimental atau romantis, seolah-olah dalam hubungan manusiawi kita tidak akan ada saat perselisihan atau penyebab permusuhan di antara orang-orang. Yesus tidak idealis, tetapi realistis : Ia berbicara secara tersurat tentang "kejahatan" dan "musuh" (ayat 38, 43). Ia tahu bahwa dalam hubungan kita setiap hari ada pergumulan antara kasih dan kebencian. Di dalam hati kita juga, setiap hari ada bentrokan antara terang dan kegelapan : antara banyak resolusi dan keinginan kita, serta kelemahan dosa yang sering mengambil alih dan menyeret kita untuk melakukan kejahatan. Ia juga tahu bahwa, untuk segala upaya murah hati kita, kita tidak selalu menerima kebaikan yang kita harapkan dan memang kadang-kadang, secara tidak dapat dipahami, kita menderita kejahatan. Terlebih lagi, Ia menderita ketika Ia melihat di zaman kita dan di banyak bagian dunia, cara menjalankan kekuasaan yang mempergunakan penindasan dan kekerasan, berusaha memperluas ranah kekuasaan dengan membatasi ranah orang lain, memaksakan dominasi dan pembatasan kebebasan dasariah, serta dengan cara ini menindas orang lemah. Jadi, kata Yesus, perselisihan, penindasan, dan permusuhan ada di antara kita.

 

Mengingat semua ini, pertanyaan penting yang harus diajukan adalah : Apa yang harus kita lakukan dalam situasi seperti itu? Jawaban Yesus mengejutkan, tegas dan berani. Ia memberitahu murid-murid-Nya untuk menemukan keberanian guna mengambil risiko terhadap sesuatu yang tampaknya pasti akan gagal. Ia meminta mereka untuk selalu tak bergeming, setia, dalam cinta, terlepas dari segalanya, bahkan dalam menghadapi kejahatan dan musuh kita. Reaksi yang murni manusiawi akan membatasi kita untuk mengupayakan “mata ganti mata, gigi ganti gigi”, bahkan akan menuntut keadilan dengan menggunakan senjata kejahatan yang sama yang digunakan terhadap kita. Yesus berani mengusulkan sesuatu yang baru, berbeda, tidak terpikirkan, sesuatu yang adalah jalan-Nya. “Tetapi Aku berkata kepadamu : Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu" (ayat 39). Itulah yang diminta Tuhan dari kita : tidak memimpikan secara idealis dunia persaudaraan, tetapi memilih, memulai dari diri kita, untuk mengamalkan persaudaraan semesta, secara nyata dan berani, bertahan dalam kebaikan bahkan ketika kejahatan dilakukan terhadap kita, mematahkan jalinan balas dendam, melucuti kekerasan, demiliterisasi hati. Rasul Paulus menggemakan Yesus ketika ia menulis, "Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!" (Rm 12:21).

 

Apa yang diminta Yesus untuk kita lakukan tidak terutama menyangkut masalah besar umat manusia, tetapi situasi nyata kehidupan kita sehari-hari : hubungan kita dalam keluarga dan komunitas Kristiani, di tempat kerja dan di dalam masyarakat. Akan ada persoalan gesekan dan saat ketegangan, akan ada perselisihan dan sudut pandang yang berlawanan, tetapi orang-orang yang mengikuti Sang Raja Damai harus selalu berjuang untuk perdamaian. Dan perdamaian tidak dapat dipulihkan jika kata-kata kasar dibalas dengan kata-kata yang lebih kasar lagi, jika satu tamparan mengarah ke tamparan lainnya. Tidak, kita perlu “melucuti senjata”, untuk menghancurkan rantai kejahatan, memutus jalinan kekerasan, dan mengakhiri kebencian, sungut-sungut, dan rasa mengasihani diri sendiri. Kita harus tetap mengasihi, selalu. Ini adalah jalan Yesus untuk memuliakan Allah di surga dan membangun perdamaian di bumi. Selalu mengasihi.

 

Sekarang kita sampai pada aspek kedua : mengasihi semua orang. Kita dapat berkomitmen untuk mengasihi, tetapi itu tidak cukup jika kita membatasi komitmen ini pada lingkaran orang-orang terdekat yang mengasihi kita, yang adalah sahabat-sahabat kita, yang seperti kita atau yang merupakan anggota keluarga kita. Sekali lagi, apa yang diminta Yesus untuk kita lakukan adalah menakjubkan karena melampaui batas-batas hukum dan akal sehat. Mengasihi sesama kita, orang-orang yang dekat dengan kita, meskipun masuk akal, sudah cukup melelahkan. Secara umum, inilah yang coba dilakukan oleh suatu komunitas atau masyarakat untuk menjaga perdamaian internalnya. Jika orang-orang berasal dari keluarga atau bangsa yang sama, atau memiliki gagasan atau selera yang sama dan menganut kepercayaan yang sama, adalah lumrah bagi mereka untuk mencoba saling membantu dan mengasihi. Namun apa jadinya jika orang-orang yang jauh mendekati kita, jika orang-orang asing, yang berbeda atau menganut kepercayaan lain, menjadi tetangga kita? Negeri ini adalah gambaran hidup berdampingan dalam keanekaragaman, dan memang gambaran dunia kita, yang semakin ditandai dengan migrasi terus-menerus dari bangsa-bangsa dan oleh pluralisme gagasan, adat istiadat, dan tradisi. Maka, penting untuk menerima tantangan Yesus : “Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian?" (Mat 5:46). Jika kita ingin menjadi anak-anak Bapa dan membangun dunia saudara dan saudari, tantangan sebenarnya adalah belajar bagaimana mengasihi semua orang, bahkan musuh kita : “Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu” (ayat 43-44). Sesungguhnya,  ini berarti memilih untuk tidak memiliki musuh, memilih untuk melihat sesama bukan sebagai hambatan yang harus diatasi, tetapi saudara atau saudari yang harus dikasihi. Mengasihi musuh kita berarti menjadikan bumi ini cerminan surga; mengasihi musuh kita adalah untuk menarik ke dunia kita mata dan hati Bapa yang tidak membedakan atau membeda-bedakan, tetapi “menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar" (ayat 45).

 

Saudara dan saudari, kuasa Yesus adalah kasih. Yesus memberi kita kekuatan untuk mengasihi dengan jalan ini, yang bagi kita tampak seperti manusia adikodrati. Tetapi kemampuan ini tidak bisa hanya hasil dari usaha kita sendiri; tetapi terutama buah rahmat Allah. Rahmat yang harus terus dimohonkan : “Yesus, Engkau yang mengasihiku, ajarilah aku untuk mengasihi seperti Engkau. Yesus, Engkau yang mengampuniku, ajarilah aku untuk mengampuni seperti Engkau. Utuslah Roh-Mu, Roh kasih, ke atas diriku”. Marilah kita memohon rahmat ini. Begitu sering kita membawa permintaan kita ke hadapan Tuhan, tetapi yang penting bagi kita sebagai umat Kristiani adalah memahami bagaimana mengasihi seperti Kristus. Karunia terbesar-Nya adalah kemampuan untuk mengasihi, dan itulah yang kita terima ketika kita memberikan ruang bagi Tuhan dalam doa, ketika kita menyambut kehadiran-Nya dalam sabda-Nya yang mengubah rupa dan dalam revolusionernya kerendahan hati Roti-Nya yang dipecah-pecahkan. Dengan demikian, perlahan-lahan, dinding yang mengeraskan hati kita runtuh, dan kita menemukan sukacita kita dalam melakukan karya belas kasih kepada semua orang. Kemudian kita menyadari bahwa kebahagiaan dalam hidup datang melalui Sabda Bahagia dan menjadikan kita para pembawa damai (bdk. Mat 5:9).

 

Saudara dan saudari terkasih, hari ini saya berterima kasih atas kesaksianmu yang lembut dan penuh sukacita tentang persaudaraan, karena kamu telah menjadi benih kasih dan perdamaian di negeri ini. Itulah tantangan yang dihadirkan Injil setiap hari kepada komunitas Kristiani kita dan kepada kita masing-masing. Kepadamu, kepada semua yang datang untuk perayaan ini dari empat negara Vikariat Apostolik Arab Utara – Bahrain, Kuwait, Qatar, Arab Saudi dan negara-negara Teluk lainnya, serta dari tempat lain – hari ini saya membawa kasih sayang dan kedekatan Gereja semesta, yang memandang dan merangkulmu, yang mengasihi dan mendorongmu. Semoga Santa Perawan, Bunda Maria dari Arabia, menyertaimu dalam perjalananmu dan menjagamu terus-menerus dalam mengasihi semua orang.
_____

(Peter Suriadi - Bogor, 6 November 2022)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA ARWAH BAGI PARA KARDINAL DAN USKUP YANG MENINGGAL DALAM SETAHUN TERAKHIR 2 November 2022 : HARAPAN DAN KEJUTAN

Bacaan Ekaristi : Yes 25:6a,7-9; Rm. 8:14-23; Mat. 25:31-46.

 

Bacaan-bacaan yang telah kita dengar membangkitkan dalam diri kita, dalam diri saya, dua kata : harapan dan kejutan.

 

Harapan mengungkapkan makna hidup, karena kita hidup untuk mengantisipasi perjumpaan : perjumpaan dengan Allah, yang menjadi alasan doa pengantaraan kita hari ini, terutama untuk para kardinal dan uskup yang telah meninggal setahun terakhir, yang bagi mereka kita memilih untuk mempersembahkan kurban Ekaristi ini.

 

Kita semua hidup dalam pengharapan, dengan harapan suatu hari nanti mendengar kata-kata Yesus yang ditujukan kepada kita : "Mari, hai kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku" (Mat 25:34). Kita berada di ruang tunggu dunia untuk masuk surga, untuk ambil bagian dalam "perjamuan bagi segala bangsa" yang diceritakan oleh nabi Yesaya kepada kita (bdk. 25:6). Ia mengatakan sesuatu yang menghangatkan hati kita karena akan memenuhi harapan terbesar kita : Tuhan "akan meniadakan maut untuk seterusnya" dan "menghapuskan air mata dari pada segala muka" (ayat 8). Sungguh indah ketika Tuhan datang untuk menghapuskan air mata! Tetapi sungguh buruk ketika kita mengharapkan orang lain, dan bukan Tuhan, yang menghapus mereka. Dan lebih buruk lagi, tidak memiliki air mata. Kemudian kita akan dapat mengatakan: “Sesungguhnya, inilah Allah kita, yang kita nanti-nantikan - Ia yang menghapuskan air mata -; marilah kita bersorak-sorak dan bersukacita oleh karena keselamatan yang diadakan-Nya!” (ayat 9). Ya, kita hidup dalam pengharapan menerima perbendaharaan yang begitu besar dan indah sehingga kita bahkan tidak dapat membayangkannya, karena, sebagaimana diingatkan Rasul Paulus kepada kita, "kita adalah ahli waris janji-janji Allah, ahli waris bersama dengan Kristus" (Rm 8:17) dan "kita menantikan untuk hidup selamanya, kita menantikan pembebasan tubuh kita" (bdk. ayat 23).

 

Saudara dan saudari, marilah kita kembangkan harapan surga, marilah kita praktikkan keinginan surga. Ada baiknya kita hari ini bertanya pada diri kita apakah keinginan kita ada hubungannya dengan Surga. Karena kita beresiko terus menerus mencita-citakan hal yang berlalu, mencampuradukkan keinginan dengan kebutuhan, mendahulukan pengharapan dunia ketika kita menantikan Tuhan, namun melupakan apa yang penting. Mengejar angin adalah kesalahan terbesar dalam hidup. Kita mengedadah, karena kita sedang menuju puncak, sementara hal-hal di bawah sini tidak akan naik ke sana : karier terbaik, pencapaian terbesar, gelar dan penghargaan paling bergengsi, akumulasi kekayaan dan keuntungan duniawi, semuanya akan lenyap dalam sekejap, semuanya. Dan setiap harapan yang ditempatkan di dalamnya akan dikecewakan selamanya. Namun, berapa banyak waktu, berapa banyak usaha dan energi yang kita habiskan untuk mengkhawatirkan dan menyedihkan diri kita untuk hal-hal ini, membiarkan ketegangan menuju rumah memudar, kehilangan pandangan akan makna perjalanan, tujuan perjalanan, ketakterbatasan yang cenderung kita tuju, sukacita yang karenanya marilah kita bernapas! Marilah kita bertanya pada diri kita : apakah aku melaksanakan apa yang kuucapkan dalam Syahadat, "Aku menanti - yaitu - kebangkitan orang mati dan kehidupan dunia yang akan datang"? Dan bagaimana penantianku? Apakah aku dapat pergi kepada hal-hal penting atau apakah aku terganggu oleh begitu banyak hal yang berlebihan? Apakah aku menumbuhkan harapan atau apakah aku terus mengeluh, karena aku memberi terlalu banyak nilai pada banyak hal yang tidak diperhitungkan dan kemudian akan berlalu?

 

Untuk mengantisipasi hari esok, Bacaan Injil hari ini membantu kita. Dan di sini muncul kata kedua yang ingin saya bagikan kepadamu : kejutan. Karena kejutan-Nya luar biasa setiap kali kita mendengarkan Matius bab 25. Hal ini mirip dengan orang-orang benar, yang mengatakan: "Tuhan, bilamanakah kami melihat Engkau lapar dan kami memberi Engkau makan, atau haus dan kami memberi Engkau minum? Bilamanakah kami melihat Engkau sebagai orang asing, dan kami memberi Engkau tumpangan, atau telanjang dan kami memberi Engkau pakaian? Bilamanakah kami melihat Engkau sakit atau dalam penjara dan kami mengunjungi Engkau?" (ayat 37-39). Bilamana pun? Demikianlah diungkapkan keterkejutan semua orang, keheranan orang-orang benar dan kekecewaan orang-orang yang tidak benar.

 

Bilamana? Kita dapat mengatakannya juga : kita mengharapkan bahwa penghakiman atas kehidupan dan dunia akan berlangsung di bawah panji keadilan, di hadapan pengadilan penyelesaian yang, dengan memeriksa setiap unsur, memperjelas situasi dan niat selamanya. Sebaliknya, di pengadilan ilahi, satu-satunya bagian dari ganjaran dan tuduhan adalah belas kasihan terhadap orang miskin dan yang terlantar : "Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku". (ayat 40 ). Yang Mahatinggi tampaknya berpihak pada orang-orang kecil. Mereka yang tinggal di kolong langit termasuk mereka yang paling tidak berarti bagi dunia. Benar-benar kejutan! Tetapi penghakiman akan berlangsung seperti ini karena akan dipancarkan oleh Yesus, Allah kasih yang rendah hati, Ia yang, lahir dan wafat miskin, hidup sebagai hamba. Ukurannya adalah cinta yang melampaui ukuran kita dan tolok ukurnya adalah kemurahan hati. Jadi, untuk mempersiapkan diri, kita tahu apa yang harus dilakukan : cinta cuma-cuma dan tanpa balas jasa, tanpa menunggu balasan, orang-orang yang termasuk dalam daftar preferensi mereka, orang-orang yang tidak dapat mengembalikan apa pun kepada kita, orang-orang yang tidak menarik kita, orang-orang yang melayani orang-orang kecil.

 

Pagi ini saya menerima sepucuk surat dari seorang pendeta panti asuhan, seorang pendeta Lutheran Protestan di panti asuhan di Ukraina. Anak-anak yatim piatu akibat perang, anak-anak sendirian, terlantar. Dan ia berkata: "Ini adalah pelayanan saya : menemani orang-orang yang ditolak ini, karena mereka telah kehilangan orangtua mereka, perang yang kejam telah membuat mereka tinggal sendirian". Orang ini melakukan apa yang diminta Yesus dari dirinya : menyembuhkan anak-anak kecil dari tragedi itu. Dan ketika saya membaca surat itu, yang ditulis dengan sangat menyakitkan, saya tergerak, karena saya berkata : "Tuhan, Engkau dapat melihat bahwa Engkau terus menginspirasi nilai-nilai Kerajaan yang sebenarnya".

 

Bilamana? Pendeta ini akan mengatakan bilamana ia bertemu Tuhan. "Bilamana" yang mengherankan, yang muncul empat kali dalam pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan umat manusia kepada Tuhan (bdk. ayat 37.38.39.44), datang terlambat, hanya "apabila Anak manusia datang dalam kemuliaan-Nya" (ayat 31). Saudara, saudari, janganlah kita terkejut juga. Kita sangat berhati-hati untuk tidak mempermanis cita rasa Injil. Karena seringkali, demi kenyamanan atau kemudahan, kita cenderung melemahkan pesan Yesus, untuk memperlunak kata-kata-Nya. Marilah kita hadapi itu, kita sudah cukup pandai berkompromi dengan Injil. Selalu sampai di sini, sampai di sana... kompromi. Memberi makan orang lapar ya, tetapi masalah kelaparan itu rumit, dan saya pasti tidak bisa menyelesaikannya! Membantu orang miskin, ya, tetapi kemudian ketidakadilan harus diatasi dengan cara tertentu dan kemudian lebih baik menunggu, juga karena jika kamu berkomitmen maka kamu berisiko diganggu sepanjang waktu dan mungkin kamu menyadari bahwa kamu bisa melakukannya lebih baik, lebih baik menunggu sebentar. Menjadi dekat dengan orang sakit dan para tahanan, ya, tetapi di halaman depan surat kabar dan media sosial ada masalah lain yang lebih mendesak dan mengapa aku harus tertarik pada itu semua? Menyambut para migran ya, tentu saja, tetapi ini adalah masalah umum yang rumit, ini menyangkut politik ... Aku tidak mencampuradukkan diriku dalam hal-hal ini ... Selalu berkompromi: "ya, ya ...", tetapi "tidak, tidak". Ini adalah kompromi yang kita buat dengan Injil. Semua "ya" tetapi, pada akhirnya, semua "tidak". Jadi, dengan berkat "tetapi" dan "tetapi" - sering kali kita adalah manusia "tetapi" dan "tetapi" - kita membuat hidup menjadi kompromi dengan Injil. Dari murid sederhana Guru kita menjadi ahli kerumitan, yang banyak berdebat dan sedikit berbuat, yang mencari jawaban lebih banyak di depan komputer daripada di depan Salib, di internet daripada di mata saudara-saudari kita; umat Kristiani yang berkomentar, berdebat, dan mengungkap teori, tetapi tidak mengenal orang miskin sekalipun namanya, tidak mengunjungi orang sakit selama berbulan-bulan, tidak pernah memberi makan atau mendandani seseorang, tidak pernah berteman dengan orang yang membutuhkan, lupa bahwa "umat Kristiani program adalah hati yang melihat” (Benediktus XVI, Deus Caritas Est, 31).

 

Bilamana? - kejutan besar : kejutan dari sisi orang benar dan dari sisi orang yang tidak benar - Bilamanakah? Orang benar maupun orang tidak benar bertanya mengejutkan. Jawabannya hanya satu : bilamana adalah sekarang, hari ini, di pintu keluar Ekaristi ini. Sekarang, hari ini. Itu ada di tangan kita, dalam karya belas kasih kita : bukan dalam klarifikasi dan analisis yang halus, bukan dalam pembenaran individu atau sosial. Di tangan kita, dan kita bertanggung jawab. Hari ini Allah mengingatkan kita bahwa kematian datang untuk membuat kebenaran tentang kehidupan dan menyingkirkan segala keadaan yang meringankan menjadi belas kasihan. Saudara-saudara, kita tidak bisa mengatakan kita tidak tahu. Kita tidak dapat mengacaukan kenyataan keelokan dengan riasan yang dibuat secara artifisial. Injil menjelaskan bagaimana hidup dalam pengharapan: kita pergi menemui Allah dengan mengasihi karena Ia adalah kasih. Dan, di hari perpisahan kita, kejutan itu akan membahagiakan jika sekarang kita membiarkan diri kita dikejutkan oleh kehadiran Allah, yang menanti kita di antara orang miskin dan terluka di dunia. Kita tidak takut akan kejutan ini: kita berkembang dalam hal-hal yang dikatakan Injil kepada kita, untuk dinilai benar pada akhirnya. Tuhan menanti untuk dibelai bukan dengan kata-kata, tetapi dengan perbuatan.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 2 November 2022)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA PERINGATAN 60 TAHUN PEMBUKAAN KONSILI VATIKAN II 11 Oktober 2022 : DUA CARA MELIHAT GEREJA YANG KITA PELAJARI DARI KONSILI VATIKAN II

Bacaan Ekaristi : Yeh 34:11-16; Yoh 21:15-17.

 

"Apakah engkau mengasihi Aku?". Inilah kata-kata pertama yang diucapkan Yesus kepada Petrus dalam Bacaan Injil yang baru saja kita dengar (Yoh 21:15). Kata-kata terakhir-Nya adalah : “Gembalakanlah domba-domba-Ku” (ayat 17). Pada peringatan pembukaan Konsili Vatikan II, kita dapat merasakan bahwa kata-kata Tuhan yang sama itu juga ditujukan kepada kita, kepada kita sebagai Gereja : Apakah engkau mengasihi Aku? Gembalakanlah domba-domba-Ku.

 

Pertama : Apakah engkau mengasihi Aku? Ini adalah sebuah pertanyaan, karena gaya Yesus bukanlah menawarkan jawaban melainkan mengajukan pertanyaan, pertanyaan yang menantang hidup kita. Tuhan, yang “dari kelimpahan cinta kasih-Nya menyapa manusia sebagai sahabat-sahabat-Nya dan bergaul dengan mereka” (Dei Verbum, 2), terus bertanya kepada Gereja, Mempelai Perempuan-Nya: “Apakah engkau mengasihi Aku?”. Konsili Vatikan II adalah salah satu tanggapan yang bagus untuk pertanyaan ini. Untuk mengobarkan kembali cintanya kepada Tuhan, Gereja, untuk pertama kalinya dalam sejarahnya, mengabdikan sebuah Konsili untuk memeriksa dirinya serta merenungkan kodrat dan perutusannya. Ia melihat dirinya sekali lagi sebagai misteri rahmat yang dihasilkan oleh cinta; ia melihat dirinya secara baru sebagai Umat Allah, Tubuh Kristus, bait Roh Kudus yang hidup!

 

Inilah cara pertama melihat Gereja : dari atas. Memang, Gereja pertama-tama perlu dilihat dari atas, dengan mata Allah, mata penuh cinta. Marilah kita bertanya pada diri kita apakah kita, di dalam Gereja, memulai dengan Allah dan tatapan kasih-Nya kepada kita. Kita selalu tergoda untuk memulai dari diri kita sendiri dan bukan dari Allah, menempatkan agenda kita di depan Injil, membiarkan diri kita terperangkap dalam angin keduniawian untuk mengejar mode saat ini atau membalikkan punggung kita pada saat penyelenggaraan ilahi telah dianugerahkan kepada kita, untuk menelusuri kembali langkah kita. Namun marilah kita berhati-hati : baik “progresivisme” yang berbaris di belakang dunia dan “tradisionalisme” – atau “melihat ke belakang” – yang merindukan dunia masa lalu bukanlah bukti cinta, tetapi ketidaksetiaan. Semua itu adalah bentuk keegoisan Pelagian yang menempatkan selera dan rencana kita di atas cinta yang berkenan bagi Allah, cinta yang sederhana, rendah hati dan setia yang diminta Yesus dari Petrus.

 

Apakah engkau mengasihi Aku? Marilah kita temukan kembali Konsili untuk memulihkan keutamaan Allah, pada apa yang hakiki : pada Gereja yang jatuh cinta dengan Tuhannya dan semua manusia yang Ia kasihi; pada Gereja yang kaya dalam Yesus dan miskin dalam aset; pada Gereja yang bebas dan sedang membebaskan. Ini adalah jalan yang ditunjukkan oleh Konsili kepada Gereja. Jalan yang menuntunnya untuk kembali, seperti Petrus dalam Bacaan Injil, ke Galilea, ke sumber cinta pertamanya; menemukan kembali kekudusan Allah dalam kemiskinannya (bdk. Lumen Gentium, 8c; bab 5). Kita masing-masing kita juga memiliki Galilea, Galilea cinta pertama kita, dan tentu saja hari ini kita semua dipanggil untuk kembali ke Galilea kita untuk mendengarkan suara Tuhan : "Ikutlah Aku". Dan di sana, menemukan kembali dalam tatapan Tuhan yang disalibkan dan bangkit sukacita yang telah memudar; berfokus pada Yesus. Menemukan kembali sukacita kita, karena telah lama kehilangan sukacitanya, Gereja telah kehilangan cintanya. Menjelang akhir hayatnya, Paus Yohanes menulis : “Hidupku ini, yang sekarang mendekati matahari terbenam, tidak dapat menemukan akhir yang lebih baik daripada memusatkan segenap pikiranku di dalam Yesus, Putera Maria… persahabatan yang besar dan terus-menerus dengan Yesus, direnungkan sebagai seorang Kanak-kanak dan di atas kayu salib, serta disembah dalam Sakramen Mahakudus” (Jurnal Sebuah Jiwa). Ini adalah pandangan kita dari atas; ini adalah sumber kita yang selalu hidup : Yesus, Galilea cinta, Yesus yang memanggil kita, Yesus yang bertanya kepada kita : "Apakah engkau mengasihi Aku?".

 

Saudara dan saudari, marilah kita kembali ke sumber cinta murni Konsili. Marilah kita temukan kembali semangat Konsili dan memperbarui semangat kita untuk Konsili! Tenggelam dalam misteri Gereja, Bunda dan Mempelai Perempuan, marilah kita juga mengatakan, bersama Santo Yohanes XXIII : Gaudet Mater Ecclesia! (Wejangan pada Pembukaan Konsili, 11 Oktober 1962). Semoga Gereja diliputi dengan sukacita. Jika ia gagal untuk bersukacita, ia akan menyangkal dirinya sendiri, karena ia akan melupakan cinta yang melahirkannya. Namun berapa banyak dari kita yang tidak mampu menjalani iman dengan sukacita, tanpa mengeluh dan mengkritik? Gereja yang mengasihi Yesus tidak punya waktu untuk dan berbantah-bantahan, bergunjing, dan berselisih paham. Semoga Allah membebaskan kita dari sikap kritis dan intoleran, keras dan marah! Ini bukan soal gaya tetapi soal cinta. Bagi mereka yang mengasihi, seperti yang diajarkan Rasul Paulus, lakukan segala sesuatu tanpa bersungut-sungut (bdk. Flp 2:14). Tuhan, ajari kami tatapanmu yang luhur; ajarilah kami untuk melihat Gereja seperti Engkau melihatnya. Dan ketika kita kritis dan tidak puas, marilah kita ingat bahwa menjadi Gereja berarti menjadi saksi keindahan cinta-Mu, menjalani hidup kita sebagai jawaban atas pertanyaan-Mu : Apakah engkau mengasihi Aku? Dan tidak bertindak seolah-olah kita sedang berada di pemakaman.

Apakah engkau mengasihi Aku? Gembalakanlah domba-domba-Ku. Dengan kata kerja kedua, gembalakanlah, Yesus mengungkapkan jenis kasih yang Ia inginkan dari Petrus. Jadi marilah kita sekarang berkaca pada Petrus. Ia adalah seorang nelayan yang dijadikan Yesus penjala manusia (bdk. Luk 5:10). Yesus memberinya peran baru, peran sebagai gembala, sesuatu yang sama sekali baru baginya. Ini sebenarnya merupakan titik balik dalam kehidupan Petrus, karena sementara para nelayan sibuk mengangkut tangkapan untuk diri mereka, para gembala peduli dengan sesama, dengan menggembalakan sesama. Gembala hidup dengan domba-domba mereka; mereka menggembalakan domba dan datang untuk mencintai mereka. Seorang gembala tidak “di atas” jala – seperti seorang nelayan – tetapi “di tengah” domba-dombanya. Seorang gembala berdiri di depan orang-orang untuk menandai jalan, di tengah-tengah orang-orang sebagai salah satu dari mereka, dan di belakang orang-orang agar dekat dengan orang-orang yang tersesat. Seorang gembala tidak berada di atas, seperti seorang nelayan, tetapi di tengah-tengah.

 

Inilah cara kedua melihat Gereja yang kita pelajari dari Konsili : melihat sekeliling. Dengan kata lain, berada di dunia bersama orang lain tanpa pernah merasa lebih tinggi dari yang lain, menjadi hamba dari kenyataan yang lebih tinggi yaitu Kerajaan Allah (bdk. Lumen Gentium, 5); membawa kabar baik Injil ke dalam kehidupan dan bahasa bangsa-bangsa (bdk. Sacrosanctum Concilium, 36), ambil bagian dalam kegembiraan dan harapan mereka (bdk. Gaudium et Spes, 1). Berada di tengah-tengah umat, bukan di atas umat, yang merupakan dosa buruk klerikalisme yang membunuh domba-domba daripada membimbing atau membantu mereka bertumbuh. Alangkah tepatnya saat Konsili! Konsili membantu kita menolak godaan untuk mengurung diri dalam batas-batas kenyamanan dan keyakinan kita. Konsili membantu kita meneladan pendekatan Allah, yang digambarkan oleh nabi Yehezkiel kepada kita hari ini : “Carilah domba yang hilang dan bawalah pulang ke kandang, balutlah domba yang terluka dan kuatkanlah domba yang lemah” (bdk. Yeh 34:16).

 

Gembalakanlah : Gereja tidak mengadakan Konsili untuk mengagumi dirinya sendiri, tetapi untuk memberikan dirinya kepada orang lain. Memang, Bunda kita yang kudus dan hierarkis, yang muncul dari hati Tritunggal, ada demi cinta. Ia adalah umat imami (bdk. Lumen Gentium, 10 dst.), tidak dimaksudkan untuk menonjol di mata dunia, tetapi untuk melayani dunia. Janganlah kita lupa bahwa Umat Allah dilahirkan "ekstrovert" dan memperbarui masa mudanya dengan penyerahan diri, karena itu adalah sakramen cinta, "tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia" (Lumen Gentium, 1). Saudara dan saudari, marilah kita kembali ke Konsili, yang menemukan kembali sungai Tradisi yang hidup tanpa tetap terperosok dalam tradisi. Konsili menemukan kembali sumber cinta, bukan untuk tetap berada di ketinggian gunung, tetapi mengalir ke bawah sebagai saluran belas kasih bagi semua orang. Marilah kita kembali ke Konsili dan bergerak melampaui diri kita, menahan godaan untuk mementingkan diri sendiri, yang merupakan cara untuk menjadi duniawi. Sekali lagi, Tuhan memberitahu Gereja-Nya : gembalakanlah! Dan saat ia menggembalakan, ia meninggalkan nostalgia masa lalu, penyesalan atas berlalunya pengaruh sebelumnya, dan keterikatan pada kekuasaan. Bagimu, Umat Allah yang kudus, adalah umat pastoral. Kamu tidak berada di sini untuk menggembalakan dirimu sendiri, atau mendaki, tetapi menggembalakan orang lain – semua yang lain – dengan cinta. Dan jika tepatnya untuk menunjukkan perhatian khusus, penggembalaan hendaknya ditujukan kepada mereka yang paling dikasihi Allah : kaum miskin dan kaum yang terbuang (bdk. Lumen Gentium, 8; Gaudium et Spes, 1). Gereja dimaksudkan untuk menjadi, seperti yang dikatakan Paus Yohanes, “Gereja semua orang, dan khususnya Gereja kaum miskin” (Pesan Radio kepada umat beriman di seluruh dunia sebulan sebelum Konsili Ekumenis Vatikan II, 11 September 1962).

 

Apakah engkau mengasihi Aku? Tuhan kemudian berkata : “Gembalakanlah domba-domba-Ku”. Ia tidak bermaksud hanya beberapa domba, tetapi semuanya, karena Ia mencintai mereka semua, dengan penuh kasih menyebut mereka sebagai "domba-domba-Ku". Gembala yang baik melihat keluar dan ingin domba-dombanya bersatu, di bawah bimbingan para gembala yang telah diberikan-Nya kepada mereka. Ia ingin kita – dan ini adalah cara ketiga dalam memandang Gereja – melihat keseluruhan, kita semua bersama-sama. Konsili mengingatkan kita bahwa Gereja adalah persekutuan menurut gambar Tritunggal (bdk. Lumen Gentium, 4.13). Iblis, di sisi lain, ingin menabur benih perpecahan. Janganlah kita menyerah pada bujukan atau godaan pengutuban. Seberapa sering, setelah Konsili, umat Kristiani lebih memilih untuk memihak Gereja, tanpa menyadari bahwa mereka telah menghancurkan hati Bunda mereka! Berapa kali mereka lebih suka menyemangati pesta mereka sendiri daripada menjadi pelayan semua orang? Menjadi progresif atau konservatif daripada menjadi saudara dan saudari? Berada di “kanan” atau “kiri”, bukannya bersama Yesus? Menampilkan diri mereka sebagai "penjaga kebenaran" atau "pelopor inovasi" daripada melihat diri mereka sebagai anak-anak Gereja Bunda yang kudus yang rendah hati dan penuh syukur. Kita semua adalah anak-anak Allah, semua saudara dan saudari di Gereja, kita semua yang membentuk Gereja, kita semua. Menjadi seperti itulah Tuhan menginginkan kita. Kita adalah domba-domba-Nya, kawanan-Nya, dan kita hanya bisa bersama dan sebagai satu kesatuan. Marilah kita atasi semua pengutuban dan melestarikan persekutuan kita. Semoga kita semua semakin “menjadi satu”, seperti yang didoakan Yesus sebelum mengorbankan nyawa-Nya untuk kita (bdk. Yoh 17:21). Dan semoga Maria, Bunda Gereja, membantu kita dalam hal ini. Semoga kerinduan akan persatuan bertumbuh di dalam diri kita, keinginan untuk berkomitmen dalam persekutuan penuh di antara semua orang yang percaya kepada Kristus. Marilah kita menyingkirkan “isme”, karena umat Allah tidak menyukai pengutuban. Umat ​​Allah adalah umat Allah yang setia dan kudus : inilah Gereja. Ada baiknya hari ini, seperti selama Konsili, perwakilan dari komunitas Kristiani lainnya hadir bersama kita. Terima kasih! Terima kasih telah berada di sini, terima kasih atas kehadiranmu!

 

Kami berterima kasih, Tuhan, atas karunia Konsili. Engkau yang mencintai kami, bebaskan kami dari anggapan kecukupan diri dan dari semangat kritik duniawi. Halangilah kami untuk tidak mengecualikan diri dari persatuan. Engkau yang dengan penuh kasih menggembalakan kami, tuntunlah kami keluar dari bayang-bayang keasyikan diri. Engkau yang menginginkan kami menjadi satu kawanan yang bersatu padu, selamatkan kami dari bentuk-bentuk pengutuban dan “isme” yang merupakan hasil karya iblis. Dan kami, Gereja-Mu, bersama Petrus dan seperti Petrus, sekarang berkata kepada-Nya : “Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau" (bdk. Yoh 21:17).

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 12 Oktober 2022)