Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI MINGGU BIASA III (HARI MINGGU SABDA ALLAH) 23 Januari 2022 : SABDA MENYATAKAN ALLAH DAN MENUNTUN KITA KEPADA SESAMA MANUSIA

Bacaan Ekaristi : Neh. 8:3-5a,6-7,9-11; Mzm. 19:8,9,10,15; 1Kor. 12:12-30; Luk. 1:1-4; 4:14-21.

 

Dalam Bacaan Pertama dan Bacaan Injil, kita menemukan dua tindakan sejajar. Imam Ezra mengangkat kitab hukum Allah, membukanya dan membacanya keras-keras di depan orang banyak. Yesus, di rumah ibadat Nazaret, membuka gulungan Kitab Suci dan membaca sebuah nas kitab nabi Yesaya di hadapan semua orang. Kedua adegan itu berbicara kepada kita tentang kenyataan dasariah : pokok kehidupan umat Allah yang kudus dan perjalanan iman kita bukanlah diri kita dan kata-kata kita. Allah dan sabda-Nya adalah pokoknya.

 

Segalanya dimulai dengan sabda yang diucapkan Allah kepada kita. Di dalam Kristus, Sang Sabda-Nya yang kekal, Bapa “telah memilih kita sebelum dunia dijadikan” (Ef 1:4). Dengan Sabda itu, Ia menciptakan alam semesta : “Dia memberi perintah, maka semuanya ada” (Mzm 33:9). Sejak dahulu kala, Ia berbicara kepada kita melalui para nabi (bdk. Ibr 1:1), dan akhirnya, dalam kegenapan waktu (bdk. Gal 4:4), Ia mengutus kepada kita Sabda yang sama, Putra-Nya yang tunggal. Itulah sebabnya, dalam Bacaan Injil, setelah membaca kitab nabi Yesaya, Yesus mengatakan sesuatu yang sama sekali tidak terduga : “Pada hari ini genaplah nas ini” (Luk 4:21). Digenapi : sabda Allah bukan lagi sebuah janji, tetapi sekarang digenapi. Di dalam Yesus, sabda Allah telah menjadi daging. Dengan kuasa Roh Kudus, sabda Allah telah tinggal di antara kita dan ingin terus tinggal di tengah-tengah kita, untuk menggenapi pengharapan kita dan menyembuhkan luka-luka kita.

 

Saudari-saudara, marilah kita tetap tertuju kepada Yesus, seperti orang-orang yang ada di rumah ibadat Nazaret (bdk. ayat 20). Mereka terus tertuju kepada-Nya, karena Ia adalah salah seorang dari mereka, dan bertanya, “Apa kebaruan ini? Apa yang akan Ia perbuat, yang ini, tentang Dia yang dibicarakan semua orang?” Dan marilah kita merangkul sabda-Nya. Hari ini marilah kita bercermin pada dua aspek yang saling berhubungan ini : sabda menyatakan Allah dan sabda menuntun kita kepada sesama manusia. Pusatnya adalah Sabda : Sabda menyatakan Allah dan membawa kita kepada sesama manusia.

 

Pertama, sabda menyatakan Allah. Yesus, pada awal perutusan-Nya, mengulas kata-kata nabi Yesaya, mengumumkan keputusan yang jelas : Ia datang untuk membebaskan kaum miskin dan tertindas (bdk. ayat 18). Dengan cara ini, tepatnya melalui Kitab Suci, Ia menyatakan wajah Allah sebagai Pribadi yang peduli terhadap kemiskinan kita dan iba terhadap nasib kita. Allah bukanlah seorang penguasa (padrone), menyendiri dan berada di atas – gambaran Allah yang buruk bahkan tidak benar – justru seorang Bapa (Padre) yang mengikuti setiap langkah kita. Ia bukan pengamat yang dingin, terpisah dan tidak dapat dilewati, seorang "Dewa matematika". Ia adalah Allah beserta kita, dengan penuh semangat memperhatikan kehidupan kita dan terlibat di dalamnya, bahkan ambil bagian dalam air mata kita. Ia bukan allah yang netral dan acuh tak acuh, tetapi Roh, pecinta umat manusia, yang membela kita, menasihati kita, menjaga kita, menopang kita dan ambil bagian dalam penderitaan kita. Ia selalu hadir. Inlah “kabar baik” (ayat 18) yang diberitakan Yesus yang mengherankan semua orang : Allah sudah dekat, dan Ia ingin peduli terhadapku dan terhadapmu, terhadap semua orang. Demikianlah Allah itu : dekat. Ia bahkan mendefinisikan diri-Nya sebagai kedekatan. Dalam Kitab Ulangan, Ia berkata kepada orang Israel : "Bangsa besar manakah yang mempunyai allah yang sedekat Aku kepadamu?" (bdk. Ul 4:7). Allah kedekatan, kedekatan yang penuh kasih dan kelembutan. Ia ingin meringankan beban yang menghancurkanmu, menghangatkan dinginnya musim dinginmu, mencerahkan kesuramanmu sehari-hari dan mendukung langkahmu yang sedang goyah. Ini Ia perbuat dengan sabda-Nya, dengan sabda yang Ia ucapkan untuk menyalakan kembali harapan di tengah abu ketakutanmu, membantumu menemukan kembali sukacita dalam labirin dukacitamu, memenuhi dengan harapan perasaan kesendirianmu. Ia membuatmu bergerak maju, bukan dalam labirin, tetapi dalam perjalanan sehari-hari untuk menemukan-Nya.

 

Saudara-saudari : marilah kita bertanya pada diri kita sendiri : apakah kita menyimpan di dalam hati kita gambaran Allah yang membebaskan ini, Allah kedekatan, kasih sayang dan kelembutan, atau apakah kita menganggap Dia sebagai hakim yang tanpa ampun, seorang akuntan yang mencatat setiap saat kehidupan kita? Apakah iman kita adalah iman yang membangkitkan harapan dan sukacita, atau, di antara kita, iman yang masih terbebani oleh rasa takut, iman yang penuh ketakutan? Wajah Allah apakah yang kita wartakan dalam Gereja? Sang Juruselamat yang membebaskan dan menyembuhkan, atau Allah yang mengerikan yang membebani kita dengan perasaan bersalah? Agar kita bertobat kepada Allah yang benar, Yesus menunjukkan kepada kita di manakah harus memulai : dari sabda-Nya. Sabda itu, dengan menceritakan kisah kasih Allah kepada kita, membebaskan kita dari ketakutan dan prasangka tentang Dia yang melumpuhkan sukacita iman. Sabda itu menggulingkan berhala-berhala palsu, membuka kedok rencana kita, menghancurkan seluruh gambaran kita yang terlalu manusiawi tentang Allah dan membawa kita kembali untuk melihat wajah-Nya yang sesungguhnya, belas kasihan-Nya. Sabda Allah memelihara dan memperbaharui iman : marilah kita meletakkannya kembali di pusat doa dan kehidupan rohani kita! Marilah kita menempatkan di pusat sabda yang menyatakan kepada kita seperti apa Allah itu. Sabda yang mendekatkan kita kepada Allah.

 

Sekarang aspek kedua : sabda menuntun kita kepada sesama manusia. Kepada Allah dan sesama manusia. Tepatnya ketika kita menemukan bahwa Allah adalah kasih yang berbelas kasih, kita mengatasi godaan untuk mengurung diri dalam keagamaan yang direduksi menjadi ibadat lahiriah, yang gagal menyentuh dan mengubah rupa hidup kita. Ini adalah penyembahan berhala, tersembunyi dan tidak kasat mata, tetapi sama saja penyembahan berhala. Sabda Allah mendorong kita untuk keluar dari diri kita dan berjumpa saudara-saudari kita hanya dengan kekuatan kasih Allah yang membebaskan. Itulah tepatnya yang ditunjukkan Yesus kepada kita di rumah ibadat Nazaret : Ia telah diutus kepada kaum miskin – kita semua – untuk membebaskan mereka. Ia tidak datang untuk menyampaikan seperangkat peraturan atau memimpin suatu upacara keagamaan; sebaliknya, Ia telah turun ke jalan-jalan dunia kita untuk menjumpai kemanusiaan kita yang terluka, membelai wajah yang berkerut oleh penderitaan, membalut hati yang remuk-redam dan membebaskan kita dari rantai yang memenjarakan jiwa. Dengan cara ini, Ia menunjukkan kepada kita ibadat yang paling berkenan kepada Allah : peduli terhadap sesama kita. Kita harus kembali kepada hal ini. Kapan pun dalam Gereja ada godaan untuk menjadi kaku, yang merupakan penyimpangan, kapan pun kita berpikir bahwa menemukan Allah berarti menjadi semakin kaku, dengan semakin banyak aturan, hal-hal yang benar, hal-hal yang jelas… itu bukan caranya. Ketika kita melihat tawaran kekakuan, marilah kita segera berpikir : ini adalah berhala, bukan Allah. Allah kita tidak seperti itu.

 

Saudara-saudari, sabda Allah mengubah kita. Kekakuan tidak mengubah kita, kekakuan menyembunyikan kita; sabda Allah mengubah kita. Sabda Allah menembus jiwa kita seperti pedang (bdk. Ibr 4:12). Di satu sisi, sabda Allah menghibur kita dengan menunjukkan wajah Allah, di sisi lain, sabda Allah menantang dan mengganggu kita, mengingatkan kita akan ketidakmantapan kita. Sabda Allah mengguncang kita. Sabda Allah tidak memberi kita kedamaian seharga sewa yang diterima dunia akibat ketidakadilan dan kelaparan, di mana harga selalu dibayar oleh pihak yang paling lemah. Mereka akhirnya yang selalu membayar. Sabda Allah menantang pembenaran diri yang membuat kita menyalahkan segala sesuatu yang salah pada diri orang lain dan situasi. Betapa sakitnya perasaan kita melihat saudara-saudari kita sekarat di laut karena tidak ada yang sudi membiarkan mereka datang ke darat! Dan beberapa orang melakukan hal ini atas nama Allah. Sabda Allah mengundang kita untuk terbuka, tidak bersembunyi di balik rumitnya masalah, di balik alasan bahwa “tidak ada yang dapat dilakukan untuk itu” atau “itu adalah masalah orang lain”, atau “apa yang dapat kulakukan?” , "tinggalkan mereka di sana". Sabda Allah mendesak kita untuk bertindak, menggabungkan penyembahan kepada Allah dan kepedulian terhadap sesama manusia. Karena Kitab Suci tidak diberikan kepada kita sebagai hiburan kita, memanjakan kita dengan spiritualitas malaikat, tetapi untuk membuat kita berangkat dan berjumpa orang lain, mendekati luka-luka mereka. Saya berbicara tentang kekakuan, pelagianisme modern yang merupakan salah satu godaan Gereja. Dan godaan lain ini, yaitu mencari spiritualitas malaikat, sampai batas tertentu adalah godaan lain hari ini : gerakan gnostik, gnostisisme, yang mengusulkan Sabda Allah yang menempatkanmu "di orbit" dan tidak membuatmu menyentuh kenyataan. Sabda yang menjadi daging (bdk. Yoh 1:14) ingin menjadi daging di dalam diri kita. Sabda-Nya tidak menyingkirkan kita dari kehidupan, tetapi menjerumuskan kita ke dalam kehidupan, ke dalam kehidupan sehari-hari, ke dalam mendengarkan penderitaan orang lain dan jeritan kaum miskin, ke dalam kekerasan dan ketidakadilan yang melukai masyarakat dan dunia kita. Sabda-Nya menantang kita, sebagai umat Kristiani, untuk tidak acuh tak acuh, bahkan umat Kristiani yang aktif dan kreatif, umat Kristiani kenabian.

 

“Hari ini” – kata Yesus – “genaplah nas ini" (Luk 4:21). Sabda ingin menjadi daging hari ini, di masa di mana kita hidup, bukan di masa depan yang ideal. Seorang mistikus Prancis abad terakhir, yang memilih untuk mengalami Injil di pinggiran, menulis bahwa sabda Allah bukanlah “sebuah ‘surat mati’; sabda Allah adalah roh dan kehidupan… Mendengarkan yang dituntut sabda Allah dari kita adalah ‘hari ini’ kita : keadaan kehidupan kita sehari-hari dan kebutuhan sesama kita” (Madeleine Delbrêl, La joie de croire, Paris, 1968). Maka, marilah kita bertanya : apakah kita ingin meneladan Yesus, menjadi pelayan pembebasan dan penghiburan bagi orang lain, mewujudkan sabda ke dalam tindakan? Apakah kita Gereja yang taat pada sabda? Sebuah Gereja cenderung untuk mendengarkan orang lain, terlibat dalam menjangkau untuk membangkitkan saudara dan saudari kita dari segala yang menindas mereka, melepaskan ikatan ketakutan, membebaskan mereka yang paling rentan dari penjara kemiskinan, dari kebosanan batin dan kesedihan yang menghambat kehidupan? Bukankah itu yang kita inginkan?

 

Dalam perayaan ini, beberapa saudara dan saudari kita akan dilantik sebagai lektor dan katekis. Mereka dipanggil untuk pekerjaan penting melayani Injil Yesus, mewartakan-Nya, sehingga penghiburan, sukacita dan pembebasan-Nya dapat menjangkau semua orang. Itu juga perutusan kita masing-masing : menjadi utusan yang dapat dipercaya, nabi sabda Allah di dunia. Oleh karena itu, marilah kita tumbuh bergairah akan Kitab Suci, marilah kita rela menggali jauh ke dalam sabda yang mengungkapkan kebaruan Allah dan menuntun kita tanpa lelah untuk mengasihi sesama. Marilah kita menempatkan sabda Allah sebagai pusat kehidupan dan kegiatan pastoral Gereja! Dengan cara ini, kita akan terbebas dari segala kekakuan pelagianisme, dari segala kekakuan, terbebas dari khayalan spiritualitas yang menempatkanmu “di orbit”, tidak peduli untuk memperhatikan saudara-saudara kita. Marilah kita menempatkan sabda Allah sebagai pusat kehidupan dan kegiatan pastoral Gereja. Marilah kita mendengarkan sabda itu, berdoa dengannya, dan melaksanakannya.

____


(Peter Suriadi - Bogor, 23 Januari 2022)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA PESTA PEMBAPTISAN TUHAN DI KAPEL SISTINA, VATIKAN, 9 Januari 2022 : MENERIMA DAN MEMELIHARA JATIDIRI KRISTIANI

Bacaan Ekaristi : Yes. 40:1-5,9-11; Mzm. 104:1b-2,3-4,24-25,27-28,29-30; Tit. 2:11-14; 3:4-7; Luk. 3:15-16,21-22.

 

Hari ini kita memperingati Pembaptisan Tuhan. Ada madah liturgi yang sangat indah, dalam pesta hari ini, yang mengatakan bahwa orang Israel pergi ke Yordan "dengan jiwa dan kaki telanjang", yaitu jiwa yang ingin dipermandikan oleh Allah, yang tidak memiliki kekayaan apapun, yang membutuhkan Allah. Hari ini anak-anak ini juga datang ke sini dengan "jiwa yang telanjang" untuk menerima pembenaran Allah, kekuatan Yesus, kekuatan untuk maju dalam kehidupan.

 

Mereka datang untuk menerima jatidiri Kristiani. Ini cukup sederhana. Anak-anakmu akan menerima jatidiri Kristiani hari ini. Dan kamu, para orangtua dan para wali baptis, harus menjaga jatidiri ini. Inilah tugasmu selama hidupmu : memelihara jatidiri Kristiani anak-anakmu. Sebuah komitmen sehari-hari : membuat jatidiri Kristiani tumbuh dengan terang yang akan mereka terima hari ini. Hanya ini yang ingin saya beritahukan kepadamu,

 

Upacara ini agak lama, anak-anak kemudian merasa aneh di sini di lingkungan yang tidak mereka kenal. Tolong, mereka adalah tokoh utama : pastikan mereka tidak terlalu panas, agar mereka merasa nyaman ... Dan jika mereka lapar, susuilah mereka dengan tenang di sini, di hadapan Tuhan, tidak ada masalah. Dan jika mereka menangis, perkenankan mereka menangis, karena mereka memiliki semangat komunitas, katakanlah "semangat band", semangat keseluruhan, dan cukup satu orang untuk memulainya - karena semua orang adalah musik - dan orkestra segera datang! Biarkan mereka menangis dengan tenang, agar mereka merasa bebas. Tetapi jangan merasa terlalu panas dan, jika mereka lapar, jangan kelaparan.

 

Jadi, dengan kedamaian ini, kita akan melanjutkan upacara. Dan jangan lupa : mereka akan menerima jatidiri Kristiani dan tugasmu adalah memelihara jatidiri Kristiani ini. Terima kasih.

______


(Peter Suriadi - Bogor, 9 Januari 2022)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI RAYA PENAMPAKAN TUHAN 6 Januari 2022 : SEPERTI PARA MAJUS, MARILAH KITA BERMIMPI, MENCARI DAN MENYEMBAH

Bacaan Ekaristi : Yes. 60:1-6; Mzm. 72:1-2,7-8,10-11,12-13; Ef. 3:2-3a,5-6; Mat. 2:1-12.


Para Majus melakukan perjalanan menuju Betlehem. Peziarahan mereka juga berbicara kepada kita, yang dipanggil untuk melakukan perjalanan menuju Yesus, karena Ia adalah Bintang Utara yang menerangi langit kehidupan dan membimbing langkah kita menuju sukacita sejati. Namun dimulai di manakah peziarahan para Majus untuk berjumpa Yesus? Apa yang membuat orang-orang dari Timur ini memulai perjalanan mereka?

 

Mereka punya alasan sangat bagus untuk tidak pergi. Mereka adalah orang bijak dan ahli perbintangan, terkenal dan kaya. Setelah mencapai jaminan budaya, sosial dan ekonomi yang memadai, mereka dapat tetap puas dengan apa yang telah mereka ketahui dan miliki. Mereka justru membiarkan diri mereka gelisah oleh sebuah pertanyaan dan tanda : "Di manakah Dia, raja orang Yahudi yang baru dilahirkan itu? Kami telah melihat bintang-Nya ..." (Mat 2:2). Mereka tidak membiarkan hati mereka mundur ke dalam gua kesuraman dan acuh tak acuh; mereka ingin melihat terang. Mereka tidak puas bekerja keras sepanjang hidup, tetapi mendambakan cakrawala baru yang lebih luas. Mata mereka tidak terpaku ke bawah sini; mereka adalah jendela yang terbuka ke langit. Seperti dikatakan Paus Benediktus XVI, para Majus adalah "orang-orang dengan hati gelisah.... Mereka dipenuhi dengan harapan, tidak puas dengan jaminan penghasilan mereka dan tempat terhormat dalam masyarakat... Mereka adalah para pencari Allah" (Homili, 6 Januari 2013).

 

Dari mana asalnya, semangat kegelisahan yang sehat yang menuntun mereka untuk memulai perjalanan? Semangat tersebut lahir dari kehendak. Itulah rahasia mereka : kemampuan untuk berkehendak. Marilah kita memikirkan hal ini. Berkehendak berarti mengobarkan api yang menyala di dalam diri kita; berkehendak mendorong kita untuk melihat melampaui apa yang segera dan terlihat. Berkehendak berarti merangkul kehidupan sebagai misteri yang melampaui kita, sebagai celah yang selalu ada di dinding yang mengundang kita untuk melihat ke kejauhan, karena hidup bukan hanya milik kita di sini dan sekarang, tetapi sesuatu yang jauh lebih besar. Hidup seperti kanvas kosong yang menyerukan warna. Seorang pelukis besar, Vincent Van Gogh, pernah berkata bahwa kebutuhannya akan Allah mendorongnya untuk pergi keluar pada malam hari untuk melukis bintang-bintang. Karena begitulah cara Allah menciptakan kita : penuh dengan kehendak, diarahkan, seperti para Majus, menuju bintang-bintang. Tanpa berlebihan, kita dapat mengatakan bahwa kita adalah apa yang kita kehendaki. Karena kehendak kitalah yang memperbesar pandangan kita dan mendorong hidup kita ke depan, melampaui batasan kebiasaan, melampaui konsumerisme dangkal, melampaui keyakinan yang menjemukan dan suram, melampaui rasa takut untuk terlibat dan melayani sesama serta kebaikan bersama. Dalam kata-kata Santo Agustinus, "seluruh hidup kita adalah latihan kehendak suci" (Homili tentang Surat Pertama Yohanes, IV, 6).

 

Saudara-saudari, seperti para Majus, demikian juga kita. Perjalanan hidup dan iman menuntut kehendak yang mendalam dan semangat batin. Terkadang kita hidup dalam semangat "tempat parkir", kita tetap terparkir, tanpa dorongan kehendak yang membawa kita maju. Sebaiknya kita bertanya : di manakah kita dalam perjalanan iman kita? Apakah kita sudah terlalu lama terjebak, terkungkung dalam keagamaan konvensional, lahiriah dan formal yang tidak lagi menghangatkan hati kita dan mengubah hidup kita? Apakah kata-kata dan liturgi kita menyulut dalam hati orang-orang kehendak untuk bergerak menuju Allah, atau apakah "bahasa mati" yang hanya berbicara tentang dirinya sendiri dan kepada dirinya sendiri? Sungguh menyedihkan ketika sebuah komunitas orang percaya kehilangan kehendak dan berpuas diri dengan "pemeliharaan" daripada membiarkan dirinya dikejutkan oleh Yesus serta oleh sukacita Injil yang meledak-ledak dan meresahkan. Menyedihkan bila seorang imam telah menutup pintu kehendak, menyedihkan terjerumus ke dalam fungsionalisme klerikal, sangat menyedihkan.

 

Krisis iman dalam hidup kita dan dalam masyarakat kita juga berkaitan dengan gerhana kehendak akan Allah. Krisis iman berkaitan dengan semacam ketiduran roh, hingga kebiasaan berpuas diri menjalani hidup dari hari ke hari, tanpa pernah menanyakan apa yang sebenarnya diinginkan Allah dari kita. Kita mengintip peta dunia, tetapi lupa melihat ke surga. Kita dipuaskan dengan banyak hal, tetapi gagal untuk lapar akan ketiadaan kehendak kita akan Allah. Kita terpaku pada kebutuhan kita sendiri, pada apa yang akan kita makan dan pakai (bdk. Mat 6:25), bahkan saat kita membiarkan kerinduan akan hal-hal yang lebih besar menguap. Dan kita mendapati diri kita hidup dalam komunitas yang mendambakan segalanya, memiliki segalanya, namun terlalu sering merasakan kekosongan di hati mereka : komunitas individu, uskup, imam atau pelaku hidup bakti yang tertutup. Memang kurangnya kehendak hanya mengarah pada kesedihan dan ketidakpedulian, pada komunitas yang sedih, para imam atau uskup yang sedih.

 

Marilah kita lihat dulu diri kita sendiri dan bertanya : Bagaimana perjalanan imanku? Ini adalah sebuah pertanyaan yang dapat kita ajukan pada diri kita sendiri hari ini, kita masing-masing. Bagaimana perjalanan imanku? Duduk terparkir atau sedang bergerak? Iman, jika ingin bertumbuh, harus dimulai dari awal lagi. Iman perlu dipicu oleh kehendak, untuk menerima tantangan memasuki hubungan yang hidup dan bersemangat dengan Allah. Apakah hatiku masih membara dengan kerinduan akan Allah? Atau apakah aku telah membiarkan kekuatan kebiasaan dan kekecewaanku untuk memadamkan api itu? Hari ini, saudara-saudara, adalah hari di mana kita hendaknya mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini. Hari ini adalah hari di mana kita hendaknya kembali memupuk keinginan kita. Bagaimana kita melakukan hal ini? Marilah kita pergi kepada para Majus dan belajar dari "sekolah kehendak" mereka. Mereka akan mengajari kita di sekolah kehendak mereka. Marilah kita melihat langkah-langkah yang mereka ambil, dan ambillah beberapa pelajaran dari mereka.

 

Di tempat pertama, mereka berangkat pada saat terbitnya bintang. Para Majus mengajari kita bahwa kita perlu memulai yang baru setiap hari, dalam kehidupan seperti dalam iman, karena iman bukanlah baju zirah yang membungkus kita; sebaliknya, iman adalah perjalanan yang menarik, gerakan yang terus menerus dan gelisah, selalu mencari Allah, selalu melihat jalan kita ke depan.

 

Kemudian, di Yerusalem para Majus mengajukan pertanyaan : mereka menanyakan di mana Anak itu dapat diketemukan. Mereka mengajari kita bahwa kita perlu bertanya. Kita perlu mendengarkan dengan seksama pertanyaan hati dan hati nurani kita, karena di sanalah Allah sering berbicara kepada kita. Ia menyapa kita lebih banyak dengan pertanyaan daripada dengan jawaban. Kita harus mempelajari ini dengan baik : Allah berbicara kepada kita lebih banyak dengan pertanyaan daripada dengan jawaban. Namun marilah kita juga gelisah oleh pertanyaan anak-anak kita, dan oleh keraguan, harapan dan keinginan pria dan wanita di zaman kita. Kita perlu menyuguhkan pertanyaan-pertanyaan.

 

Para Majus kemudian menentang Herodes. Mereka mengajari kita bahwa kita membutuhkan iman yang berani, iman yang tidak takut untuk menantang nalar kekuasaan yang jahat, serta menjadi benih keadilan dan persaudaraan dalam masyarakat di mana di zaman kita, Herodes-herodes modern terus menabur kematian dan membantai orang miskin dan tak bersalah, di tengah-tengah ketidakacuhan umum.

 

Akhirnya, para Majus pulang "melalui jalan lain" (Mat 2:12). Mereka menantang kita untuk melalui jalan baru. Di sini kita melihat kreativitas Roh yang selalu memunculkan hal-hal baru. Itu juga merupakan salah satu tugas Sinode yang saat ini kita emban : melakukan perjalanan bersama dan saling mendengarkan, sehingga Roh dapat menyarankan kepada kita cara dan jalan baru untuk membawa Injil ke hati mereka yang jauh, acuh tak acuh atau tanpa harapan, namun terus mencari apa yang ditemukan para Majus : "sukacita yang besar" (Mat 2:10). Kita harus selalu bergerak maju.

 

Di akhir perjalanan para Majus datanglah saat puncak : begitu mereka tiba di tempat tujuan, "mereka sujud menyembah Anak itu" (bdk. ayat 11). Mereka menyembah. Marilah kita tidak pernah melupakan hal ini : perjalanan iman menemukan kembali kekuatan dan penggenapan hanya ketika dilakukan di hadirat Allah. Hanya jika kita memulihkan "selera" penyembahan kita, kehendak kita akan menyala kembali. Kehendak membawa kita kepada penyembahan dan penyembahan memperbaharui kehendak kita. Karena kerinduan kita akan Allah hanya bisa tumbuh ketika kita menempatkan diri kita di hadirat-Nya. Karena hanya Yesus yang menyembuhkan kehendak kita. Dari apa? Dari tirani kebutuhan. Memang, hati kita menjadi sakit setiap kali kehendak kita bertepatan hanya dengan kebutuhan kita. Allah, di sisi lain, meninggikan kehendak kita; Ia memurnikan kehendak kita dan menyembuhkan kehendak kita dari keegoisan, membuka kehendak kita untuk mengasihi Dia dan saudara-saudari kita. Inilah sebabnya mengapa kita tidak boleh mengabaikan adorasi, keheningan doa adorasi yang tidak begitu umum di antara kita. Tolong jangan biarkan kita melupakan adorasi.

 

Dengan cara ini, seperti para Majus, setiap hari kita akan memiliki kepastian bahwa bahkan di malam yang paling gelap pun sebuah bintang terus bersinar. Bintang Tuhan yang datang untuk merawat kemanusiaan kita yang lemah. Marilah kita berangkat ke jalan menuju Dia. Janganlah kita memberikan kekuatan kepada sikap acuh tak acuh dan pasrah yang membawa kita ke dalam kehidupan yang hampa dan dangkal. Biarlah hati kita yang gelisah merangkul kegelisahan Roh. Dunia mengharapkan dari orang percaya ledakan antusiasme baru untuk hal-hal surgawi. Seperti para Majus, marilah kita menengadah, mendengarkan kehendak yang bersarang di hati kita, dan mengkuti bintang yang dijadikan Allah bersinar di atas kita. Sebagai pencari yang gelisah, marilah kita tetap terbuka terhadap kejutan-kejutan Allah. Saudara dan saudari, marilah kita bermimpi, marilah kita mencari dan marilah kita menyembah.

______


(Peter Suriadi - Bogor, 6 Januari 2022)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI RAYA SANTA MARIA BUNDA ALLAH 1 Januari 2022 : MENYIMPAN DAN MERENUNGKAN

Bacaan Ekaristi : Bil. 6:22-27; Mzm. 67:2-3,5,6,8; Gal. 4:4-7; Luk. 2:16-21.

 

Para gembala menjumpai “Maria dan Yusuf dan bayi itu, yang sedang berbaring di dalam palungan” (Luk 2:16). Bagi para gembala, palungan adalah tanda sukacita : palungan adalah penegasan pesan yang mereka dengar dari malaikat (bdk. ayat 12), tempat di mana mereka menemukan Sang Juruselamat. Palungan juga merupakan bukti kedekatan Allah dengan mereka, karena Ia dilahirkan di palungan, sebuah benda yang mereka kenal dengan baik, sebagai tanda kedekatan dan keakraban-Nya. Palungan juga merupakan tanda sukacita bagi kita. Yesus menyentuh hati kita dengan dilahirkan dalam keadaan kecil dan miskin; Ia memenuhi kita dengan kasih, bukan ketakutan. Palungan menubuatkan Dia yang menjadikan diri-Nya santapan kita. Kemiskinan-Nya adalah kabar baik bagi semua orang, terutama orang-orang yang terpinggirkan, tersingkir dan orang-orang yang tidak diperhitungkan di mata dunia. Karena begitulah cara Allah datang : tidak pada jalur cepat, dan bahkan tidak memiliki tempat untuk dilahirkan! Itulah apa yang indah berkenaan melihat-Nya di sana, dibaringkan di dalam palungan.

 

Namun tidak demikian halnya dengan Maria, Santa Bunda Allah. Ia harus menanggung "skandal palungan". Ia juga, jauh sebelum para gembala, telah menerima pesan dari seorang malaikat, yang berbicara kepadanya dengan sungguh-sungguh tentang takhta Daud : “Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus. Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi. Dan Tuhan Allah akan mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, bapa leluhur-Nya” (Luk 1:31-32). Dan sekarang, Maria harus membaringkan-Nya di dalam palungan hewan. Bagaimana ia bisa menyatukan takhta raja dan palungan hina? Bagaimana ia bisa mendamaikan kemuliaan Yang Mahatinggi dan kemiskinan pahit dari sebuah kandang? Marilah kita memikirkan penderitaan Bunda Allah. Apa yang bisa lebih menyakitkan bagi seorang ibu daripada melihat anaknya menderita kemiskinan? Memang meresahkan. Kita tidak dapat menyalahkan Maria, jika ia mengeluhkan masalah yang tak terduga itu. Namun ia tidak berkecil hati. Ia tidak mengeluh, tetapi tetap diam. Daripada mengeluh, ia memilih peran yang berbeda : Karena perannya, Injil memberitahu kita, Maria "menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya" (bdk. Luk 2:19).

 

Bukan itu yang dilakukan para gembala dan semua orang. Para gembala memberitahu semua orang tentang apa yang telah mereka lihat : malaikat yang muncul di tengah malam, dan kata-katanya tentang Anak itu. Dan semua orang, setelah mendengar hal-hal ini, heran (bdk. ayat 18). Kata-kata dan keheranan. Maria, sebaliknya, termenung; ia menyimpan segala perkara di dalam hatinya, merenungkannya. Kita sendiri juga dapat memiliki dua tanggapan yang berbeda. Kisah yang diceritakan oleh para gembala, dan keheranan mereka, mengingatkan kita pada permulaan iman, ketika segala sesuatu tampak mudah dan lugas. Kita bersukacita dalam kebaruan Allah yang masuk ke dalam hidup kita dan memenuhi kita dengan kekaguman. Di sisi lain, ketermenungan Maria merupakan ungkapan iman yang matang dan dewasa, bukan iman pemula. Bukan iman yang baru lahir, melainkan iman yang sekarang melahirkan. Karena kesuburan rohani lahir dari pencobaan dan ujian. Dari ketenangan Nazaret dan dari janji-janji kedigjayaan yang diterima berkat Malaikat – permulaan – Maria sekarang menemukan dirinya di kandang gelap Betlehem. Namun di situlah ia memberikan Allah kepada dunia. Orang-orang lainnya, berhadapan dengan skandal palungan, mungkin merasa sangat terganggu. Ia tidak demikian : ia menyimpan segala perkara di dalam hatinya dan merenungkannya.

 

Marilah kita belajar dari Bunda Allah bagaimana memiliki sikap serupa : menyimpan dan merenungkan. Karena kita mungkin harus menanggung "skandal palungan" tertentu. Kita berharap semuanya akan baik-baik saja dan kemudian, seperti sambaran petir, masalah tak terduga muncul. Harapan kita berbenturan secara menyakitkan dengan kenyataan. Itu juga dapat terjadi dalam kehidupan iman, ketika sukacita Injil diuji dalam situasi sulit. Hari ini Bunda Allah mengajarkan kita untuk mengambil keuntungan dari benturan ini. Ia menunjukkan kepada kita bahwa itu perlu : benturan adalah jalan sempit untuk mencapai tujuan, salib, yang tanpanya tidak ada kebangkitan. Seperti rasa sakit saat melahirkan, benturan melahirkan iman yang lebih dewasa.

 

Saya bertanya, saudara-saudari, bagaimana kita menjadikan peran ini, bagaimana kita mengatasi benturan antara yang dicita-citakan dan yang nyata ini? Dengan berbuat persis seperti yang diperbuat Maria : dengan menyimpan dan merenungkan. Pertama, Maria “menyimpan”, yakni ia berpegang pada apa yang terjadi; ia tidak melupakan atau menolaknya. Ia menyimpan di dalam hatinya semua yang ia lihat dan dengar. Hal-hal yang indah, seperti yang dikatakan kepadanya oleh malaikat dan para gembala, tetapi juga hal-hal yang mengganggu : bahaya kedapatan hamil sebelum menikah dan, sekarang, kandang hina tempat ia harus melahirkan. Itulah yang diperbuat Maria. Ia tidak mengumpat dan memilih; ia menyimpannya. Ia menerima hidup apa adanya, tanpa berusaha menyamarkan atau memperindahnya; ia menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya.

 

Kemudian, sikap Maria yang kedua adalah tentang bagaimana ia menyimpan : ia menyimpan dan ia merenungkan. Injil berbicara tentang Maria "mempersatukan", membandingkan, pengalamannya yang berbeda dan menemukan benang tersembunyi yang menghubungkannya. Dalam hatinya, dalam doanya, ia melakukan persis seperti itu: ia mempersatukan hal-hal yang indah dan hal-hal yang tidak menyenangkan. Ia tidak memisahkan keduanya, tetapi mempersatukan keduanya. Karena alasan inilah Maria disebut Bunda Kekatolikan. Dalam hal ini, kita berani mengatakan bahwa karena itulah Maria dikatakan Katolik, karena ia mempersatukan, ia tidak memecah belah. Dan dengan cara ini ia memahami makna yang lebih besar dari kedua hal itu, dari sudut pandang Allah. Dalam hati ibunya, Maria menyadari bahwa kemuliaan Yang Mahatinggi muncul dalam kerendahan hati; ia menyambut rencana keselamatan di mana Allah harus berbaring di dalam palungan. Ia melihat Sang Anak ilahi lemah dan menggigil, serta ia menerima interaksi ilahi yang menakjubkan antara keagungan dan kekecilan. Maria menyimpan dan merenungkan.

 

Cara pandang yang menyertakan ini, yang melampaui ketegangan berkat "menyimpan" dan "merenungkan", adalah cara para ibu, yang, pada saat-saat tegang, tidak memecah belah, mereka menyimpan, dan dengan cara ini memungkinkan kehidupan bertumbuh. Ini adalah cara begitu banyak ibu merangkul masalah anak-anak mereka. "Tatapan" keibuan mereka tidak menyerah pada stres; "tatapan" keibuan mereka tidak lumpuh di hadapan masalah-masalah itu, tetapi melihatnya dalam sudut pandang yang lebih luas. Dan inilah sikap Maria : ia menyimpan dan merenungkan hingga Kalvari. Kita bisa membayangkan wajah semua ibu yang merawat seorang anak yang sedang sakit atau mengalami kesulitan. Betapa besar kasih yang kita lihat di mata mereka! Bahkan di tengah air mata mereka, mereka mampu mengilhami harapan. Tatapan mereka adalah tatapan yang sadar dan berdasarkan kenyataan, tetapi pada saat yang sama menawarkan, melampaui rasa sakit dan masalah, gambaran yang lebih besar, perhatian dan kasih yang melahirkan harapan baru. Itulah yang perbuat para ibu : mereka tahu bagaimana mengatasi rintangan dan perselisihan, dan menanamkan perdamaian. Dengan cara ini, mereka mengubah masalah menjadi peluang untuk kelahiran kembali dan pertumbuhan. Mereka bisa melakukan ini karena mereka tahu bagaimana "menyimpan", mempersatukan berbagai benang kehidupan. Kita membutuhkan orang-orang seperti itu, yang mampu menenun benang persekutuan menggantikan kawat berduri perselisihan dan perpecahan. Bunda Maria tahu bagaimana melakukan hal ini.

 

Tahun Baru dimulai di bawah tanda Santa Bunda Allah, di bawah tanda Bunda. Tatapan seorang ibu adalah jalan menuju kelahiran kembali dan pertumbuhan. Kita membutuhkan para ibu, para perempuan yang melihat dunia bukan untuk dieksploitasi, tetapi agar bisa memiliki kehidupan. Para perempuan yang melihat dengan hati mampu memadukan mimpi dan cita-cita dengan wujud nyata, tanpa hanyut dalam abstraksi dan pragmatisme yang mandul. Dan Gereja adalah seorang Ibu, inilah yang membuat Gereja menjadi feminin. Karena alasan ini, kita tidak dapat menemukan tempat bagi para perempuan di dalam Gereja tanpa membiarkan hati perempuan dan ibu bersinar. Inilah tempat para perempuan di dalam Gereja, tempat yang luar biasa, yang menjadi asal mula tempat-tempat lain yang lebih nyata dan kurang penting. Tetapi Gereja adalah Ibu, Gereja adalah perempuan. Dan karena ibu memberikan kehidupan, dan perempuan "menjaga" dunia, marilah kita semua melakukan upaya yang lebih besar untuk mempromosikan para ibu dan melindungi perempuan. Betapa banyak kekerasan ditujukan terhadap perempuan! Cukup! Menyakiti seorang perempuan berarti menghina Allah, yang dari seorang perempuan mengambil rupa kemanusiaan kita. Ia tidak melakukannya melalui malaikat; ia juga tidak datang secara langsung; ia melakukannya melalui seorang perempuan. Seperti seorang perempuan, Gereja induk, mengambil rupa kemanusiaan putra dan putrinya.

 

Maka, di awal Tahun Baru, marilah kita menempatkan diri kita di bawah perlindungan perempuan ini, Bunda Allah, yang juga bunda kita. Semoga ia membantu kita untuk menyimpan dan merenungkan segala perkara, tidak takut akan pencobaan dan dengan kepastian yang penuh sukacita bahwa Tuhan setia dan dapat mengubah rupa setiap salib menjadi kebangkitan. Hari ini juga, marilah kita memanggilnya seperti yang dilakukan Umat Allah di Efesus. Mari kita berdiri dan, menghadap Bunda Maria seperti yang dilakukan umat Allah di Efesus, marilah kita bersama-sama mengulangi gelar Bunda Allah sebanyak tiga kali : “Santa Bunda Allah, Santa Bunda Allah, Santa Bunda Allah”! Amin.

_____

 

(Peter Suriadi - Bogor, 1 Januari 2022)