Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA MALAM NATAL 24 Desember 2022 : PALUNGAN MENGATAKAN, SETIDAKNYA, TIGA HAL KEPADA KITA, YAITU KEDEKATAN, KEMISKINAN DAN KEBERWUJUDAN

Bacaan Ekaristi : Yes 9:1-6; Tit 2:11-14; Luk 2:1-14.


Apa yang malam ini masih harus terucap untuk hidup kita? Dua ribu tahun setelah kelahiran Yesus, setelah begitu banyak Natal dihabiskan di tengah dekorasi dan hadiah, setelah begitu banyak konsumerisme yang telah mengemas misteri yang kita rayakan, ada sebuah bahaya. Kita tahu banyak hal tentang Natal, tetapi kita lupa makna sesungguhnya. Jadi bagaimana kita menemukan kembali makna Natal? Pertama-tama, ke mana kita pergi untuk menemukannya? Injil kelahiran Yesus tampaknya telah ditulis dengan tepat untuk tujuan ini : memegang tangan kita dan menuntun kita pergi ke tempat yang dikehendaki Allah.

 

Situasinya dimulai dengan situasi yang mirip dengan situasi kita : semua orang sibuk, bersiap-siap untuk sebuah peristiwa penting, cacah jiwa besar, yang membutuhkan banyak persiapan. Dalam pengertian itu, suasananya sangat mirip dengan perayaan Natal kita di zaman modern. Tetapi Injil tidak ada hubungannya dengan skenario duniawi tersebut; dengan cepat Injil mengalihkan pandangan kita kepada sesuatu yang lain, yang dianggapnya lebih penting. Injil mengalihkan pandangan kita kepada rincian kecil yang tampaknya tidak penting yang disebutkan tiga kali, selalu dalam kaitannya dengan tokoh utama dalam narasi. Pertama, Maria yang membaringkan Yesus “di dalam palungan” (Luk 2:7); kemudian seorang malaikat yang memberitahu para gembala tentang “seorang bayi dibungkus dengan lampin dan terbaring di dalam palungan” (ayat 12); dan akhirnya, para gembala, yang menjumpai “bayi itu sedang berbaring di dalam palungan” (ayat 16). Untuk menemukan kembali makna Natal, kita perlu melihat palungan. Namun mengapa palungan begitu penting? Karena palungan adalah tanda, dan bukan suatu kebetulan, kedatangan Kristus ke dunia ini. Begitulah cara Ia mengumumkan kedatangan-Nya. Begitulah cara Allah dilahirkan dalam sejarah, sehingga sejarah itu sendiri dapat dilahirkan kembali. Lalu apa yang dikatakan Tuhan kepada kita? Melalui palungan, setidaknya ada tiga hal yang dikatakan kepada kita : kedekatan, kemiskinan dan keberwujudan.

 

1.       Kedekatan. Palungan berfungsi sebagai tempat makan, agar makanan dapat dikonsumsi lebih cepat. Dengan cara ini, palungan bisa melambangkan satu aspek kemanusiaan kita : keserakahan kita akan konsumsi. Sementara hewan makan di kandang mereka, manusia di dunia kita, dalam kelaparan mereka akan kekayaan dan kekuasaan, bahkan memakan sesama mereka, saudara-saudari mereka. Berapa banyak perang yang telah kita lihat! Dan di berapa banyak tempat, bahkan hari ini, martabat dan kebebasan manusia diperlakukan dengan hina! Seperti biasa, korban utama keserakahan manusia ini adalah kaum lemah dan rentan. Natal ini juga, seperti dalam kasus Yesus, dunia yang rakus akan uang, kekuasaan dan kesenangan tidak memberi ruang bagi orang-orang kecil, bagi begitu banyak anak yang belum lahir, miskin dan terlupakan. Saya terutama memikirkan anak-anak yang dilahap oleh perang, kemiskinan dan ketidakadilan. Justru ke sanalah Yesus datang, seorang anak dalam palungan penolakan dan penampikan. Di dalam diri-Nya, diri Sang Anak Betlehem, setiap anak hadir. Dan kita diajak untuk melihat kehidupan, politik dan sejarah melalui kacamata anak-anak.

 

Dalam palungan penolakan dan ketidaknyamanan, Allah menghadirkan diri-Nya. Ia datang ke sana karena di sana kita melihat masalah kemanusiaan kita : ketidakpedulian yang dihasilkan oleh keserakahan untuk memiliki dan mengonsumsi. Di sana, di palungan itu, Kristus lahir, dan di sana kita menemukan kedekatan-Nya dengan kita. Ia datang ke sana, ke tempat makan, untuk menjadi santapan kita. Allah bukanlah bapa yang melahap anak-anak-Nya, tetapi Bapa yang, di dalam Yesus, menjadikan kita anak-anak-Nya dan memberi kita makan dengan kasih-Nya yang lembut. Ia datang untuk menjamah hati kita dan memberitahu kita bahwa kasih semata adalah kekuatan yang mengubah jalannya sejarah. Ia tidak menjauh dan digjaya, tetapi mendekati kita dalam kerendahan hati; meninggalkan singgasananya di surga, Ia memperkenankan diri-Nya dibaringkan di dalam palungan.

 

Saudara-saudari terkasih, malam ini Allah sedang mendekatimu, karena kamu penting bagi-Nya. Dari palungan, sebagai santapan untuk hidupmu, Ia memberitahumu : “Jika kamu merasa terkonsumsi oleh berbagai peristiwa, jika kamu dilahap oleh rasa bersalah dan ketidakmampuan, jika kamu lapar akan keadilan, Aku, Allahmu, besertamu. Aku tahu apa yang sedang kamu alami, karena Aku mengalaminya sendiri di dalam palungan. Aku tahu kelemahan, kegagalan dan sejarahmu. Aku lahir untuk memberitahumu bahwa Aku, dan akan senantiasa, dekat denganmu”. Palungan Natal, pesan pertama dari Sang Putra ilahi, memberitahu kita bahwa Allah menyertai kita, Ia mengasihi kita dan Ia mencari kita. Jadi berhati-hatilah! Jangan biarkan dirimu dikuasai oleh rasa takut, kepasrahan atau keputusasaan. Allah dilahirkan di palungan agar kamu dapat dilahirkan kembali di tempat yang kamu pikir telah mencapai titik terendah. Tidak ada kejahatan, tidak ada dosa, yang daripadanya Yesus ingin menyelamatkanmu. Dan Ia mampu. Natal berarti Allah mendekati kita: biarlah keyakinan terlahir kembali!

 

2.     Palungan Betlehem berbicara kepada kita tidak hanya tentang kedekatan, tetapi juga tentang kemiskinan. Di sekitar palungan hanya ada sedikit : tumpukan jerami, beberapa binatang, sedikit lainnya. Orang-orang merasa hangat di penginapan, tetapi tidak di sini dalam dinginnya kandang. Padahal di sanalah Yesus dilahirkan. Palungan mengingatkan kita bahwa Ia dikelilingi oleh kasih : Maria, Yusuf dan para gembala; semua orang miskin, dipersatukan oleh kasih sayang dan keheranan, bukan oleh kekayaan dan pengharapan besar. Kemiskinan palungan dengan demikian menunjukkan kepada kita tempat dapat diketemukannya kekayaan sejati dalam kehidupan : bukan dalam bentuk uang dan kekuasaan, tetapi dalam hubungan dan pribadi.

Dan orang pertama, kekayaan terbesar, adalah Yesus sendiri. Tetapi apakah kita ingin berdiri di samping-Nya? Apakah kita mendekati-Nya? Apakah kita mengasihi kemiskinan-Nya? Atau apakah kita lebih memilih untuk tetap berlindung dengan nyaman dalam kepentingan dan urusan kita? Terutama, apakah kita mengunjungi-Nya di tempat Ia dapat ditemukan, yaitu di dalam palungan kaum miskin di dunia kita? Karena disitulah Ia hadir. Kita dipanggil untuk menjadi Gereja yang menyembah Yesus yang miskin dan yang melayani-Nya dalam diri kaum miskin. Sebagaimana pernah dikatakan oleh seorang uskup yang telah menjadi santo : “Gereja mendukung dan memberkati upaya untuk mengubah tatanan ketidakadilan, dan menetapkan satu syarat : perubahan sosial, ekonomi dan politik harus sungguh bermanfaat bagi kaum miskin” (O.A. Romero, Pesan Pastoral Tahun Baru, 1 Januari 1980). Tentu saja, tidak mudah untuk meninggalkan kehangatan keduniawian yang nyaman guna merangkul keindahan gua Bethlehem semata, tetapi marilah kita ingat bahwa tanpa kaum miskin Natal bukan sesungguhnya. Tanpa kaum miskin, kita bisa merayakan Natal, tetapi bukan kelahiran Yesus. Saudara-saudari terkasih, pada hari Natal Allah itu miskin : biarlah amal kasih dilahirkan kembali!

 

3.     Sekarang kita sampai pada poin terakhir kita : palungan berbicara kepada kita tentang keberwujudan. Memang, seorang anak yang terbaring di dalam palungan memberi kita pemandangan yang mencolok, bahkan kasar. Palungan mengingatkan kita bahwa Allah sungguh menjadi daging. Akibatnya, seluruh teori, pemikiran tajam, dan perasaan saleh kita tidak lagi memadai. Yesus lahir miskin, hidup miskin dan mati miskin; Ia tidak banyak berbicara tentang kemiskinan melainkan menjalaninya, hingga akhir hayat-Nya, demi kita. Dari palungan hingga salib, kasih-Nya kepada kita selalu dapat dirasakan, berwujud. Sejak lahir hingga wafat, sang Putra tukang kayu itu merangkul kerasnya kayu, kerasnya keberadaan kita. Ia tidak hanya mengasihi kita dengan kata-kata; Ia mengasihi kita dengan sangat sungguh-sungguh!

 

Akibatnya, Yesus tidak puas dengan penampilan. Ia yang mengambil rupa daging seperti kita menginginkan lebih dari sekadar niat baik. Ia yang lahir di dalam palungan, menuntut iman yang berwujud, berupa penyembahan dan amal kasih, bukan kata-kata kosong dan kedangkalan. Ia yang berbaring telanjang di dalam palungan dan tergantung telanjang di kayu salib, memohonkan kebenaran kepada kita, Ia meminta kita untuk pergi ke kenyataan telanjang berbagai hal, serta meletakkan di kaki palungan seluruh alasan, pembenaran dan kemunafikan kita. Dibungkus lembut dengan lampin oleh Maria, Ia ingin kita mengenakan busana kasih. Allah tidak menginginkan penampilan tetapi keberwujudan. Saudara-saudari, semoga Natal ini tidak kita lewatkan tanpa melakukan kebaikan. Mulai perayaan-Nya, hari ulang tahun-Nya, marilah kita memberi-Nya hadiah yang berkenan kepada-Nya! Di hari Natal, Allah mewujud : dalam nama-Nya marilah kita membantu sedikit harapan untuk dilahirkan kembali bagi orang-orang yang merasa putus asa!

 

Yesus, kami memandang Engkau terbaring di dalam palungan. Kami memandang Engkau sedekat mungkin, senantiasa di samping kami : terima kasih Tuhan! Kami memandang Engkau sebagai orang miskin, untuk mengajari kami bahwa kekayaan sejati tidak terletak pada harta benda tetapi pada orang-orang, dan terutama pada orang miskin : ampunilah kami, jika kami gagal mengenali dan melayani Engkau di dalam diri mereka. Kami memandang Engkau berwujud, karena kasih-Mu kepada kami dapat kami rasakan. Tolonglah kami untuk memberikan daging dan kehidupan bagi iman kami. Amin.

_____


(Peter Suriadi - Bogor, 25 Desember 2022)