Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA MALAM NATAL 24 Desember 2023 : MEMAKNAI CACAH JIWA

Bacaan Ekaristi : Yes. 9:1-6; Mzm. 96:1-2a,2b-3,11-12,13; Tit. 2:11-14; Luk. 2:1-14.

 

“Cacah jiwa semua orang di seluruh dunia” (bdk. Luk 2:1). Inilah konteks kelahiran Yesus, dan Bacaan Injil menegaskan hal ini. Cacah jiwa mungkin disebutkan secara sepintas, namun justru dicatat dengan cermat. Dan dengan cara ini, muncul perbedaan yang sangat besar. Ketika kaisar menghitung jumlah penduduk dunia, Allah memasuki dunia secara sembunyi-sembunyi. Sementara mereka yang menjalankan kekuasaan berusaha untuk mengambil tempat mereka di antara orang-orang besar dalam sejarah, Raja sejarah memilih jalan kekecilan. Tak seorang pun dari kalangan berkuasa memperhatikan-Nya: hanya sejumlah kecil gembala, yang terpinggirkan dalam kehidupan sosial.

 

Cacah jiwa menunjukkan sesuatu yang lain. Dalam Kitab Suci, pelaksanaan cacah jiwa berakibat buruk. Raja Daud, yang tergoda oleh jumlah penduduk yang besar dan perasaan tidak mampu mencukupi dirinya sendiri, melakukan dosa besar dengan memerintahkan dilakukannya pendaftaran semua orang. Ia ingin tahu seberapa kuat dirinya. Setelah sekitar sembilan bulan, ia mengetahui berapa banyak orang yang dapat menggunakan pedang (bdk. 2 Sam 24:1-9). Tuhan murka dan rakyat menderita. Tetapi pada malam ini, Yesus, “Putra Daud”, setelah sembilan bulan di dalam rahim Maria, lahir di Betlehem, kota Daud. Ia tidak memberikan hukuman terhadap Cacah jiwa tersebut, tetapi dengan rendah hati membiarkan diri-Nya didaftarkan sebagai salah seorang dari sekian banyak orang. Di sini kita melihat, bukan allah yang murka dan penghajar, melainkan Allah belas kasihan, yang mengambil rupa manusia dan memasuki dunia dalam kelemahan, yang dimaklumatkan : “damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya” (Luk. 2:14). Malam ini, hati kita berada di Betlehem, tempat Sang Raja Damai sekali lagi ditolak oleh nalar perang yang sia-sia, oleh bentrokan senjata yang bahkan hingga saat ini menghalangi-Nya untuk menemukan ruang di dunia (bdk. Luk 2:7).

 

Singkatnya, cacah jiwa di seluruh dunia mengejawantahkan benang merah yang sangat manusiawi sepanjang sejarah: pencarian kekuasaan dan keperkasaan duniawi, ketenaran dan kemuliaan, yang mengukur segala sesuatu berdasarkan keberhasilan, hasil, jumlah dan angka, dunia yang terobsesi dengan prestasi. Tetapi cacah jiwa juga mengejawantahkan cara Yesus, yang datang mencari kita melalui kedagingan. Ia bukan allah pencapaian, tetapi Allah penjelmaan. Ia tidak menyingkirkan ketidakadilan dari atas dengan menunjukkan kekuasaan, tetapi dari bawah, dengan menunjukkan kasih. Ia tidak muncul dengan kekuasaan yang tak terbatas, tetapi turun ke perbatasan-perbatasan sempit kehidupan kita. Ia tidak menghindari kelemahan kita, tetapi menjadikan kelemahan itu kelemahan-Nya.

 

Saudara-saudari, malam ini kita mungkin bertanya pada diri kita sendiri: Allah manakah yang kita percayai? Allah penjelmaan atau allah pencapaian? Karena selalu ada risiko kita merayakan Natal sambil memikirkan Allah dalam istilah kafir, sebagai penguasa yang berkuasa di angkasa; allah yang dikaitkan dengan kekuasaan, keberhasilan duniawi, dan penyembahan berhala konsumerisme. Dengan gambaran palsu tentang tuhan yang jauh dan pemurka yang memperlakukan orang baik dengan baik dan orang jahat dengan buruk; tuhan yang diciptakan menurut gambar dan rupa kita, berguna untuk menyelesaikan masalah kita dan menyingkirkan penyakit kita. Sebaliknya, Allah tidak menggunakan tongkat ajaib; Ia bukan allah perdagangan yang menjanjikan “semuanya sekaligus”. Ia tidak menyelamatkan kita dengan menekan sebuah tombol, tetapi mendekatkan kita, mengubah dunia kita dari hati. Tetapi betapa tertanam kuatnya gagasan duniawi tentang sosok tuhan yang jauh, menguasai, tak tergoyahkan, dan berkuasa yang membantu diri-Nya untuk mengatasi sosok lainnya! Seringkali gambaran ini tertanam dalam diri kita. Tetapi bukan itu masalahnya : Allah kita dilahirkan untuk semua orang, pada saat cacah jiwa di seluruh dunia.

 

Maka, marilah kita memandang kepada “Allah yang hidup dan benar” (1 Tes. 1:9). Allah yang melampaui segala perhitungan manusiawi tetapi membiarkan diri-Nya dihitung berdasarkan perhitungan kita. Allah yang merevolusi sejarah dengan menjadi bagian dari sejarah. Allah yang begitu menghormati kita sehingga membiarkan kita menolak-Nya; yang menghapus dosa dengan menanggungnya di atas diri-Nya; yang tidak menyingkirkan penderitaan tetapi mengubah rupanya; yang tidak menyingkirkan permasalahan dalam hidup kita tetapi memberikan pengharapan yang lebih besar dari segala permasalahan kita. Allah sangat ingin merangkul hidup kita sehingga, meskipun Ia tidak terbatas, Ia menjadi terbatas demi kita. Dalam kebesaran-Nya, ia memilih menjadi kecil; dalam kebenaran-Nya, Ia tunduk pada ketidakadilan kita. Saudara-saudari, inilah keheranan Natal: bukan campuran emosi yang tidak menyenangkan dan kepuasan duniawi, tetapi kelembutan sesosok Allah yang belum pernah terjadi sebelumnya yang menyelamatkan dunia dengan menjelma. Marilah kita merenungkan Sang Anak, marilah kita merenungkan palungan, tempat tidur-Nya, yang oleh para malaikat disebut “tanda” bagi kita (bdk. Luk 2:12). Sebab sesungguhnya itulah tanda yang menampakkan wajah Allah, wajah kasih sayang dan belas kasihan, yang keperkasaan-Nya selalu ditunjukkan dan hanya dalam kasih. Ia menjadikan diri-Nya dekat, lembut, dan penuh kasih sayang. Inilah cara Allah: kedekatan, kasih sayang, kelembutan.

 

Saudara-saudari, marilah kita heran akan fakta bahwa Ia “telah menjadi manusia” (Yoh. 1:14). Manusia: kata itu sendiri membangkitkan kelemahan manusiawi kita. Bacaan Injil menggunakan kata ini untuk menunjukkan kepada kita bahwa Allah sepenuhnya mengambil alih kondisi kemanusiaan kita. Mengapa Ia bertindak sejauh itu? Karena Ia peduli pada kita, karena Ia mengasihi kita sampai-sampai Ia menganggap kita lebih berharga dari siapa pun. Saudara terkasih, saudari terkasih, bagi Allah, yang mengubah sejarah melalui cacah jiwa, kamu bukan sebuah angka, tetapi sebuah wajah. Namamu tertulis dalam hati-Nya. Tetapi jika kamu melihat ke dalam hatimu, dan memikirkan kekuranganmui dan dunia yang begitu menghakimi dan tidak mengampuni ini, kamu mungkin merasa sulit untuk merayakan Natal ini. Kamu mungkin berpikir segalanya berjalan buruk, atau merasa tidak puas dengan keterbatasan, kegagalan, masalah, dan dosa-dosamu. Tetapi hari ini, perkenankanlah Yesus mengambil prakarsa. Ia berkata kepadamu, “Demi engkau, Aku telah menjadi manusia; demi engkau, aku menjadi seperti engkau”. Jadi mengapa tetap terjebak dalam masalahmu? Seperti para gembala, yang meninggalkan kawanan dombanya, tinggalkanlah penjara kesedihanmu dan rangkullah kasih lembut Allah yang menjadi seorang anak. Singkirkan topeng dan baju besimu; serahkanlah kekhawatiranmu kepada-Nya dan Ia akan memeliharamu (bdk. Mzm 55:23). Ia menjadi manusia; Ia tidak mencari pencapaianmu tetapi hatimu yang terbuka dan percaya. Di dalam Dia, kamu akan menemukan kembali siapa dirimu yang sebenarnya: putra atau putri Allah yang terkasih. Sekarang kamu dapat mempercayainya, karena malam ini Tuhan telah lahir untuk menerangi hidupmu; mata-Nya bersinar dengan kasihi demi kamu. Kita sulit mempercayai hal ini, bahwa mata Allah bersinar dengan kasihi demi kita.

 

Kristus tidak melihat angka, tetapi wajah. Tetapi, siapa yang memandang-Nya di tengah banyaknya gangguan dan hiruk pikuk dunia yang sibuk dan acuh tak acuh? Siapa yang sedang mengamati? Di Betlehem, ketika orang banyak terjebak dalam kegairahan cacah jiwa, datang dan pergi, memenuhi penginapan, dan terlibat dalam percakapan kecil, ada beberapa orang yang dekat dengan Yesus: Maria dan Yusuf, para gembala, dan kemudian para Majus.

 

Marilah kita belajar dari mereka. Mereka berdiri menatap Yesus, dengan hati tertuju kepada-Nya. Mereka tidak berbicara, mereka menyembah. Malam ini, saudara-saudari, adalah saat adorasi, saat penyembahan.

 

Penyembahan adalah cara untuk merangkul penjelmaan. Sebab dalam keheningan itulah Yesus, Sabda Bapa, menjadi manusia dalam hidup kita. Marilah kita lakukan seperti yang mereka lakukan di Betlehem, sebuah kota yang namanya berarti “Rumah Roti”. Marilah kita berdiri di hadapan Dia yang adalah Roti Hidup. Marilah kita menemukan kembali penyembahan, karena penyembahan bukan menyia-nyiakan waktu, tetapi menjadikan waktu kita sebagai tempat bersemayamnya Allah. Menemukan kembali penyembahan berarti membiarkan benih penjelmaan berkembang di dalam diri kita; bahkan bekerja sama dalam pekerjaan Tuhan, yang bagaikan ragi, mengubah dunia. Menyembah berarti menjadi pengantara, melakukan perbaikan, memperkenankan Allah menyelaraskan kembali sejarah. Seperti pernah ditulis oleh seorang penutur kisah-kisah epik yang hebat kepada putranya, “Aku persembahkan kepadamu satu hal besar yang patut dicintai di dunia : Sakramen Mahakudus… Di sana kamu akan menemukan percintaan, kemuliaan, kehormatan, kesetiaan, dan jalan sejati segenap kasihmu di dunia” (J.R.R. TOLKIEN, Surat 43, Maret 1941).

 

Saudara-saudari, malam ini kasih mengubah sejarah. Tuhan, jadikanlah diri kami percaya pada kekuatan kasih-Mu, yang sangat berbeda dengan kekuatan dunia. Tuhan, jadikanlah kami, seperti Maria, Yusuf, para gembala, dan para Majus, berkumpul di sekitar-Mu dan menyembah-Mu. Karena Engkau telah menyelaraskan diri kami dengan diri-Mu, kami akan menjadi saksi di hadapan dunia tentang keindahan raut wajah-Mu.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 25 Desember 2023)