Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI MINGGU PASKAH V (MISA KANONISASI SEPULUH BEATO/BEATA) 15 Mei 2022

Titus Brandsma - Lazzaro, detto Devasahayam - César de Bus - Luigi Maria Palazzolo - Giustino Maria Russolillo - Charles de Foucauld - Maria Rivier - Maria Francesca di Gesù Rubatto - Maria di Gesù Santocanale - Maria Domenica Mantovani

 

Bacaan Ekaristi : Kis. 14:21b-27; Mzm.145:8-9,10-11,12-13ab; Why. 21:1-5a; Yoh. 13:31-33a,34-35.

 

Kita telah mendengar apa yang diucapkan Yesus kepada murid-murid-Nya sebelum meninggalkan dunia ini dan kembali kepada Bapa. Ia memberitahu kita apa artinya menjadi umat Kristiani : “Sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi” (Yoh 13:34). Inilah harta pusaka yang diwariskan Kristus kepada kita, kriteria utama untuk membedakan apakah kita benar-benar murid-Nya atau tidak. Perintah kasih. Marilah kita berhenti untuk menelaah dua unsur hakiki perintah ini : kasih Yesus bagi kita – “sama seperti Aku telah mengasihi kamu” – dan kasih yang Ia minta untuk kita tunjukkan kepada sesama – “demikian pula kamu harus saling mengasihi”.

 

Pertama, kata-kata “sama seperti Aku telah mengasihi kamu”. Bagaimana Yesus mengasihi kita? Hingga kesudahan, hingga pemberian diri seutuhnya. Sangatlah mengejutkan memikirkan bahwa Ia mengucapkan kata-kata ini pada malam kegelapan itu, ketika di Ruang Atas bersuasana emosi dan kecemasan yang mendalam : emosi yang mendalam, karena Sang Guru hendak mengucapkan selamat tinggal kepada murid-murid-Nya; kecemasan karena Ia telah berucap bahwa salah seorang dari mereka akan mengkhianati-Nya. Kita dapat membayangkan kesedihan yang memenuhi hati Yesus, awan gelap yang sedang berkumpul di hati para rasul, dan kepahitan mereka melihat Yudas yang, setelah menerima sepotong roti yang dicelupkan untuknya oleh Sang Guru, meninggalkan ruangan untuk masuk ke dalam malam pengkhianatan. Tetapi pada saat pengkhianatan terhadap-Nya, Yesus menegaskan kembali kasih-Nya untuk para murid-Nya. Karena di tengah kegelapan dan prahara kehidupan, itulah hal yang terpenting : Allah mengasihi kita.

 

Saudara-saudari, semoga pesan ini menjadi inti iman kita dan seluruh cara kita mengungkapkannya : “...: bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita” (1 Yoh 4:10). Jangan pernah kita melupakan hal ini. Kemampuan dan pamrih kita bukanlah hal yang utama, melainkan kasih Allah yang tanpa syarat, bebas dan tanpa pamrih. Hidup Kristiani kita tidak dimulai dengan ajaran dan perbuatan baik, tetapi dengan keheranan yang lahir dari kesadaran bahwa kita dikasihi, sebelum ada tanggapan dari pihak kita. Sementara dunia sering berusaha meyakinkan kita bahwa kita dihargai hanya berkat apa yang dapat kita hasilkan, Injil mengingatkan kita akan kebenaran hidup yang sebenarnya : kita dikasihi. Seorang penulis rohani masa kini mengatakannya sebagai berikut : “Jauh sebelum manusia manapun melihat kita, kita telah dilihat oleh mata kasih Allah. Jauh sebelum ada yang mendengar kita menangis atau tertawa, kita sudah didengar oleh Allah kita, yang menjadi telinga kita semua. Jauh sebelum ada orang yang berbicara kepada kita di dunia ini, kita sudah diajak bicara oleh suara kasih abadi” (H. Nouwen, Kehidupan Pribadi Yang Dikasihi). Ia mengasihi kita terlebih dulu; Ia menanti kita; Ia tetap mengasihi kita. Inilah jatidiri kita: kita adalah orang-orang yang dikasihi Allah. Inilah kekuatan kita : kita dikasihi Allah.

 

Mengakui kebenaran ini membutuhkan pertobatan dalam cara yang sering kita pikirkan tentang kekudusan. Kadang-kadang, dengan terlalu menekankan upaya kita untuk melakukan pekerjaan baik, kita telah menciptakan cita-cita kekudusan secara berlebihan berdasarkan pada diri kita sendiri, kepahlawanan pribadi kita, kemampuan kita untuk meninggalkan keduniawian, kesiapan kita untuk mengorbankan diri guna mencapai pamrih. Hal ini kadang-kadang tampak sebagai cara memandang kehidupan dan kekudusan yang terlalu “pelagian”. Kita telah mengubah kekudusan menjadi tujuan yang tidak dapat dicapai. Kita telah memisahkannya dari kehidupan sehari-hari, alih-alih mengusahakan dan merangkulnya dalam rutinitas kita sehari-hari, di dalam debu jalanan, dalam pencobaan kehidupan nyata dan, dalam kata-kata Teresa dari Avila kepada para biarawatinya, “di antara panci dan wajan". Menjadi murid Yesus dan berkembang di jalan kekudusan berarti pertama-tama dan terutama memperkenankan diri kita diubah rupa oleh kuasa kasih Allah. Janganlah kita pernah melupakan keutamaan Allah atas diri, keutamaan Roh atas daging, rahmat atas perbuatan. Karena terkadang kita lebih mementingkan diri sendiri, daging dan perbuatan. Tidak, keutamaan Allah di atas diri, Roh di atas daging, rahmat di atas perbuatan.

 

Kasih yang kita terima dari Tuhan adalah kekuatan yang mengubah rupa hidup kita. Kasih itu membuka hati kita dan memungkinkan kita untuk mengasihi. Karena alasan ini, Yesus berkata – inilah unsur kedua – “sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi”. Kata “sama seperti” tersebut bukan sekadar ajakan untuk meneladan kasih Yesus; kata tersebut memberitahu kita bahwa kita dapat mengasihi hanya karena Ia telah mengasihi kita, karena Ia mencurahkan ke dalam hati kita Roh-Nya, Roh kekudusan, kasih yang menyembuhkan dan mengubah rupa. Hasilnya, kita dapat membuat keputusan dan menunjukkan karya kasih dalam setiap situasi dan kepada setiap saudara dan saudari yang kita temui, karena kita dikasihi dan memiliki kekuatan untuk mengasihi. Sama seperti aku dikasihi, demikian pula aku hendaknya mengasihi sesama. Kasih yang kuberikan dipersatukan dengan kasih Yesus untukku. “Sama seperti” Ia mengasihiku, demikian pula aku hendaknya mengasihi sesama. Hidup Kristiani sesederhana itu. Jangan menjadikannya semakin rumit dengan begitu banyak hal. Sesederhana itu.

 

Dalam pelaksanaannya, apa artinya menghayati kasih ini? Sebelum memberikan perintah ini kepada kita, Yesus telah membasuh kaki para murid; kemudian, setelah memberikannya, ia menyerahkan diri-Nya pada kayu salib. Mengasihi berarti hal ini : melayani dan memberikan hidup kita. Melayani, yaitu, tidak mengutamakan kepentingan kita : membersihkan sistem kita dari racun keserakahan dan persaingan; menentang kanker ketidakpedulian dan cacing acuan diri; berbagi karisma dan karunia yang telah diberikan Allah kepada kita. Secara khusus, kita harus bertanya pada diri kita sendiri, “Apa yang kuperbuat untuk sesama?” Itulah apa artinya mengasihi, menjalani kehidupan kita sehari-hari dalam semangat pelayanan, dengan kasih yang sederhana dan tanpa mencari pamrih apa pun.

 

Kemudian, memberikan hidup kita. Ini lebih dari sekadar menawarkan sesuatu dari milik kita kepada sesama; ini tentang memberi mereka diri kita sendiri. Saya suka bertanya kepada orang-orang yang meminta nasihat saya apakah mereka memberi sedekah. Dan jika mereka melakukannya, apakah mereka menyentuh tangan penerima atau hanya, secara suci hama, melempar sedekah. Orang-orang itu biasanya tersipu dan mengatakan tidak. Dan saya bertanya apakah, dalam memberi sedekah, mereka menatap mata orang tersebut, atau memandang ke arah lain. Mereka mengatakan tidak. Menyentuh dan melihat, menyentuh dan memandang daging Kristus yang menderita di dalam saudara-saudari kita. Ini sangat penting; berkenaan dengan apa artinya memberikan kehidupan kita.

 

Kekudusan tidak berupa beberapa perilaku heroik, tetapi berupa banyak perbuatan kecil kasih sehari-hari. “Apakah kamu seorang anggota hidup bakti? Kamu begitu banyak di sini hari ini! Jadilah kudus dengan menghayati persembahan dirimu dengan sukacita. Apakah kamu menikah? Jadilah kudus dengan mengasihi dan memperhatikan suami atau istrimu, sebagaimana Kristus lakukan kepada Gereja-Nya. Apakah kamu seorang pekerja? Jadilah
kudus dengan melakukan pekerjaanmu dengan kejujuran dan kemampuan untuk melayani sesama. Apakah kamu orangtua atau kakek-nenek? Jadilah kudus dengan mengajarkan dengan sabar anak atau cucu untuk mengikuti Yesus. Katakan kepadaku, apakah kamu sedang memiliki kekuasaan? Begitu banyak orang yang sedang memiliki kekuasaan di sini hari ini! Jadilah kudus dengan berjuang demi kesejahteraan bersama dan melepaskan kepentingan pribadi” (Gaudete et Exsultate, 14). Inilah jalan kekudusan, dan sangat sederhana! Melihat Yesus senantiasa dalam diri sesama.

 

Melayani Injil dan saudara-saudari kita, menawarkan hidup kita tanpa mengharapkan pamrih apa pun, kemuliaan duniawi apa pun : inilah rahasianya dan merupakan panggilan kita. Begitulah cara rekan-rekan peziarah kita yang dikanonisasi hari ini menghayati kekudusan mereka. Dengan antusias menyambut panggilan mereka – sebagai imam, sebagai biarawati, sebagai awam – mereka mengabdikan hidup mereka untuk Injil. Mereka menemukan sukacita yang tak tertandingi dan mereka menjadi cermin cemerlang dari Sang Empunya sejarah. Untuk itulah para kudus : cermin bercahaya dari Sang Empunya sejarah. Semoga kita berusaha untuk melakukan hal yang sama. Jalan kekudusan tidak terhalang; jalan kekudusan bersifat universal dan dimulai dengan Pembaptisan. Marilah kita berusaha keras untuk mengikutinya, karena kita masing-masing dipanggil menuju kekudusan, menuju bentuk kekudusan kita semua. Kekudusan selalu “asli”, seperti yang biasa dikatakan Beato Carlo Cutis : kekudusan bukan fotokopi, tetapi “asli”, kekudusanku, kekudusanmu, kekudusan kita semua. Kekudusan kita unik. Sungguh, Tuhan memiliki rencana kasih bagi setiap orang. Ia memiliki impian untuk hidupmu, untuk hidupku, untuk hidup kita masing-masing. Apa lagi yang bisa saya katakan? Kejarlah impian itu dengan sukacita.
_____

(Peter Suriadi - Bogor, 15 Mei 2022)