Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XVII (HARI KAKEK-NENEK DAN LANSIA SEDUNIA) 25 Juli 2021 : MELIHAT, BERBAGI DAN MELANGGENGKAN

(dibacakan oleh Uskup Agung Mgr. Rino Fisichella. Paus Fransiskus tidak memimpin Misa karena masih dalam tahap pemulihan pascaoperasi usus)

 

Bacaan Ekaristi : 2Raj. 4:42-44; Mzm. 145:10-11,15-16,17-18; Ef. 4:1-6; Yoh. 6:1-15.

 

Saat ia duduk untuk mengajar, Yesus “memandang sekeliling-Nya dan melihat, bahwa orang banyak berbondong-bondong datang kepada-Nya, berkatalah Ia kepada Filipus: 'Di manakah kita akan membeli roti, supaya mereka ini dapat makan?'" (Yoh 6:5). Yesus tidak hanya mengajar orang banyak; Ia juga waspada terhadap kelaparan yang hadir dalam hidup mereka. Sebagai tanggapan, Ia memberi mereka makan dengan lima roti jelai dan dua ikan yang disediakan oleh seorang anak muda yang berada di dekatnya. Setelah itu, karena masih ada sisa roti, ia menyuruh murid-murid-Nya untuk mengumpulkan potongan-potongan itu, “supaya tidak ada yang terbuang" (ayat 12).

 

Pada hari yang dikhususkan untuk kakek-nenek dan lansia ini, marilah kita merenungkan tiga momen tersebut : Yesus melihat orang banyak kelaparan; Yesus membagi-bagikan roti; Yesus meminta agar sisa makanan dikumpulkan. Tiga momen yang dapat dirangkum dalam tiga kata kerja : melihat, berbagi, melanggengkan.

 

Melihat. Di awal kisahnya, penginjil Yohanes menunjukkan bahwa Yesus memandang sekeliling-Nya dan melihat orang banyak yang lapar setelah melakukan perjalanan jauh untuk menemui-Nya. Begitulah mukjizat dimulai : dengan tatapan Yesus, yang tidak acuh tak acuh dan tidak terlalu sibuk untuk merasakan kelaparan yang dirasakan oleh umat manusia yang lelah. Yesus peduli terhadap kita; Ia mengkhawatirkan kita; Ia ingin memuaskan rasa lapar kita akan kehidupan, cinta, dan kebahagiaan. Di mata-Nya, kita melihat cara Allah sendiri dalam melihat segala sesuatu. Tatapan-Nya penuh kepedulian; Ia peka terhadap kita dan terhadap harapan yang kita simpan di dalam hati kita. Tatapan-Nya mengenali keletihan kita dan harapan yang membuat kita terus maju. Ia memahami kebutuhan setiap orang. Karena di mata Allah, tidak ada orang banyak tanpa nama, hanya pribadi-pribadi dengan rasa lapar dan haus mereka. Tatapan Yesus bersifat kontemplatif. Ia melihat ke dalam hidup kita; Ia melihat dan memahami.

 

Kakek-nenek dan lansia kita telah melihat kehidupan kita dengan tatapan yang sama. Begitulah cara mereka peduli terhadap kita, sejak kita masih kanak-kanak. Meskipun hidup dengan kerja keras dan pengorbanan, mereka tidak pernah terlalu sibuk terhadap kita, atau acuh tak acuh terhadap kita. Mereka memandang kita dengan penuh kepedulian dan kasih yang lembut. Ketika kita sedang bertumbuh dewasa dan merasa disalahpahami atau takut akan tantangan hidup, mereka mengawasi kita; mereka tahu apa yang kita rasakan, air mata kita yang tersembunyi dan mimpi rahasia kita. Mereka memeluk kita dan memangku kita. Cinta itu membantu kita bertumbuh dewasa.

 

Dan bagaimana dengan kita? Bagaimana kita melihat kakek-nenek dan lansia kita? Kapan terakhir kali kita mengunjungi atau menelepon seorang lansia untuk menunjukkan kedekatan kita dan mengambil manfaat dari apa yang mereka katakan kepada kita? Saya khawatir ketika saya melihat masyarakat yang penuh dengan orang-orang yang bergerak terus-menerus, terlalu sibuk dengan urusan mereka sendiri sehingga tidak punya waktu untuk melirik, menyapa, atau berpelukan. Saya mengkhawatir masyarakat di mana pribadi hanyalah bagian dari orang banyak tanpa nama, di mana kita tidak bisa lagi saling melihat dan mengenali. Kakek-nenek kita, yang memelihara hidup kita, sekarang lapar akan perhatian kita dan cinta kita; mereka merindukan kedekatan kita. Marilah kita memandang sekeliling kita dan melihat mereka, sama seperti Yesus melihat kita.

 

Berbagi. Melihat orang-orang kelaparan, Yesus ingin memberi mereka makan. Namun hal ini hanya terjadi berkat seorang anak muda yang menawarkan lima roti jelai dan dua ikan. Betapa menyentuh, bahwa di pokok mukjizat ini, yang dengannya sekitar lima ribu orang dewasa diberi makan, kita menemukan seorang anak muda yang mau berbagi apa yang ia miliki.

 

Dewasa ini, kita membutuhkan perjanjian baru antara kaum tua dan kaum muda. Kita perlu berbagi harta kehidupan, bermimpi bersama, mengatasi pertikaian antargenerasi dan mempersiapkan masa depan bagi semua orang. Tanpa berbagi kehidupan, impian, dan masa depan seperti itu, kita beresiko mati kelaparan, karena hubungan yang rusak, kesepian, keegoisan, dan kekuatan peluruhan secara bertahap meningkat. Dalam masyarakat kita, kita sering kali menyerah pada gagasan "setiap orang untuk dirinya sendiri". Tetapi hal ini mematikan! Injil meminta kita untuk berbagi diri kita apa adanya dan apa yang kita miliki, karena hanya dengan cara ini kita akan menemukan penggenapan. Saya telah sering menyebutkan kata-kata nabi Yoel tentang pertemuan kaum tua dan kaum muda (bdk. Yl 3:1). Kaum muda, sebagai nabi masa depan, yang menghargai sejarah mereka. Kaum tua, yang terus bermimpi dan berbagi pengalaman dengan kaum muda, tanpa menghalangi jalan mereka. Tua dan muda, kekayaan tradisi dan kesegaran Roh. Tua dan muda bersama-sama. Dalam masyarakat dan dalam Gereja, bersama-sama.

 

Melanggengkan. Setelah orang banyak makan, Injil menceritakan bahwa banyak roti yang tersisa. Maka Yesus berkata kepada para murid : “Kumpulkanlah potongan-potongan yang lebih supaya tidak ada yang terbuang" (Yoh 6:12). Hal ini mengungkapkan hati Allah : Ia tidak hanya memberi kita lebih dari yang kita butuhkan, Ia juga peduli bahwa tidak ada satupun yang hilang, bahkan sepotong pun. Sepotong roti mungkin tampak kecil, tetapi di mata Allah, tidak ada satupun yang dimaksudkan untuk dibuang. Terlebih lagi, tidak ada orang yang pernah dibuang. Kita perlu membuat panggilan kenabian ini terdengar di antara kita dan di dunia kita : mengumpulkan, melanggengkan dengan kepedulian, melindungi. Kakek-nenek dan lansia bukanlah sisa-sisa kehidupan, sisa-sisa untuk dibuang. Mereka adalah potongan-potongan roti berharga yang tersisa di atas meja kehidupan yang masih dapat menyehatkan kita dengan keharuman yang telah kita hilangkan, “aroma ingatan”.

 

Jangan sampai kita kehilangan ingatan yang dilanggengkan oleh kaum tua, karena kita adalah anak-anak dari sejarah itu, dan tanpa akar, kita akan layu. Mereka melindungi kita saat kita tumbuh, dan sekarang terserah kita untuk melindungi hidup mereka, meringankan kesulitan mereka, memenuhi kebutuhan mereka dan memastikan bahwa mereka dibantu dalam kehidupan sehari-hari dan tidak merasa sendirian. Marilah kita bertanya pada diri sendiri : “Apakah aku telah mengunjungi kakek-nenekku, kerabatku yang sudah lanjut usia, orang-orang tua di lingkunganku? Sudahkah aku mendengarkan mereka? Sudahkah aku menghabiskan waktu bersama mereka?” Marilah kita melindungi mereka, sehingga tidak ada kehidupan dan impian mereka yang hilang. Semoga kita tidak pernah menyesali bahwa kita tidak cukup memperhatikan mereka yang mencintai kita dan memberi kita kehidupan.

 

Saudara-saudara, kakek-nenek dan lansia adalah roti yang memelihara hidup kita. Kita berterima kasih kepada mereka untuk mata yang waspada yang merawat kita, lengan yang menopang kita dan lutut tempat kita duduk. Karena tangan yang memegang dan mengangkat kita, karena permainan yang mereka mainkan bersama kita dan karena kenyamanan belaian mereka. Tolong, jangan biarkan kita melupakan mereka. Marilah kita membuat perjanjian dengan mereka. Marilah kita belajar untuk mendekati mereka, mendengarkan mereka dan tidak pernah membuang mereka. Marilah kita menghargai mereka dan menghabiskan waktu bersama mereka. Kita akan menjadi yang lebih baik untuk itu. Dan, bersama-sama, baik tua maupun muda, kita akan menemukan kepuasan di meja berbagi, diberkati oleh Allah.