Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI MINGGU PASKAH II (HARI MINGGU KERAHIMAN ILAHI) DI BASILIKA SANTO PETRUS, VATIKAN 24 April 2022 : DAMAI SEJAHTERA BAGI KAMU!

Bacaan Ekaristi : Kis. 5:12-16; Mzm. 118:2-4,22-24,25-27a; Why. 1:9-11a,12-13,17-19; Yoh. 20:19-31.

 

NB : Berhubungan Paus Fransiskus masih mengalami cedera lutut, Misa dipersembahkan oleh Uskup Agung Rino Fisichella dan Paus Fransiskus menyampaikan homilinya dalam posisi duduk.

 

Hari ini Tuhan yang bangkit menampakkan diri kepada para murid-Nya. Kepada mereka yang telah meninggalkan-Nya, Ia menawarkan kerahiman-Nya dan menunjukkan luka-luka-Nya. Kata-kata yang diucapkannya kepada mereka diselingi dengan salam yang kita dengar tiga kali dalam Bacaan Injil : “Damai sejahtera bagi kamu!” (Yoh 20:19.21.26). Damai sejahtera senantiasa besertamu! Inilah kata-kata Yesus yang bangkit ketika Ia menjumpai setiap kelemahan dan kekeliruan manusiawi. Marilah kita bercermin pada kata-kata yang tiga kali diucapkan Yesus tersebut. Di dalamnya, kita akan menemukan tiga aspek kerahiman Allah kepada kita. Kata-kata itu pertama-tama memberikan sukacita, kemudian menganugerahkan pengampunan dan akhirnya menawarkan pelipur dalam setiap kesulitan.

 

Pertama, kerahiman Allah memberikan sukacita, sukacita khusus, sukacita karena mengetahui bahwa kita telah diampuni secara cuma-cuma. Ketika, pada malam Paskah, para murid melihat Yesus dan mendengar-Nya mengatakan untuk pertama kalinya, “Damai sejahtera bagi kamu”, mereka bersukacita (ayat 20). Mereka mengunci diri di balik pintu-pintu tertutup karena takut; tetapi mereka juga menutup diri, terbebani perasaan gagal. Mereka adalah murid-murid yang telah meninggalkan Guru mereka; pada saat Ia ditangkap, mereka telah melarikan diri. Petrus bahkan menyangkal-Nya tiga kali, dan salah seorang dari mereka – salah seorang di antara mereka! - telah mengkhianati-Nya. Mereka memiliki alasan yang tepat untuk merasa tidak hanya takut, tetapi juga tidak berguna; mereka telah gagal. Di masa lalu, tentu saja, mereka telah membuat pilihan yang berani. Mereka telah mengikuti Sang Guru dengan antusias, berketetapan hati dan bermurah hati. Namun pada akhirnya, semuanya terjadi begitu cepat. Ketakutan merajalela dan mereka melakukan dosa besar: mereka meninggalkan Yesus sendirian pada saat-Nya yang paling tragis. Sebelum Paskah, mereka mengira bahwa mereka ditakdirkan untuk kebesaran; mereka berdebat tentang siapa yang akan menjadi yang terbesar di antara mereka… Sekarang mereka telah mencapai titik terendah.

 

Dalam suasana ini, mereka mendengar untuk pertama kalinya, “Damai sejahtera bagi kamu!” Para murid seharusnya merasa malu, namun mereka bersukacita. Mengapa? Karena melihat wajah-Nya dan mendengar salam-Nya mengalihkan perhatian mereka dari diri mereka sendiri dan kepada Yesus. Sebagaimana dikatakan Bacaan Injil kepada kita, “Murid-murid itu bersukacita ketika mereka melihat Tuhan” (ayat 20). Mereka teralihkan dari diri mereka sendiri dan kegagalan mereka serta tertarik oleh tatapan-Nya, yang tidak dipenuhi dengan kekerasan tetapi dengan kerahiman. Kristus tidak mencela mereka atas apa yang telah mereka lakukan, tetapi menunjukkan kepada mereka kebaikan-Nya yang lazim. Dan ini menghidupkan mereka, memenuhi hati mereka dengan damai sejahtera yang telah lenyap dan menjadikan mereka pribadi-pribadi baru, yang dimurnikan oleh pengampunan yang sama sekali tidak layak.

 

Itulah sukacita yang dibawa Yesus. Sukacita itulah yang juga kita rasakan setiap kali kita mengalami pengampunan-Nya. Kita sendiri tahu apa yang sedang dirasakan para murid itu pada Paskah, oleh karena kesalahan, dosa, dan kegagalan kita. Pada saat seperti itu, kita mungkin berpikir bahwa tidak ada yang bisa dilakukan. Namun justru saat itulah Tuhan melakukan segalanya. Ia memberi kita damai sejahtera, melalui Pengakuan Dosa yang baik, melalui kata-kata seseorang yang mendekati kita, melalui penghiburan batin dari Roh, atau melalui beberapa peristiwa yang tak terduga dan mengejutkan… Dengan beberapa cara, Allah menunjukkan bahwa Ia ingin membuat kita merasakan dekapan rahmat-Nya, sukacita yang lahir dari menerima “pengampunan dan damai sejahtera”. Sukacita yang diberikan Allah memang lahir dari pengampunan. Sukacita itu memberikan damai sejahtera. Sebuah sukacita yang mengangkat kita tanpa mempermalukan kita. Seolah-olah Tuhan tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Saudara-saudari, marilah kita mengingat saat-saat ketika kita menerima pengampunan dan damai sejahtera Yesus. Kita masing-masing telah menerimanya; kita masing-masing memiliki pengalaman itu. Ada baiknya kita mengingat saat-saat tersebut. Marilah kita menempatkan kenangan akan kehangatan pelukan Allah di atas ingatan akan kesalahan dan kegagalan kita. Dengan cara ini, kita akan bertumbuh dalam sukacita. Karena tidak ada yang akan pernah sama bagi siapa pun yang telah mengalami sukacita Allah! Sebuah sukacita yang mengubah rupa kita.

 

Damai sejahtera bagi kamu! Tuhan mengucapkan kata-kata ini untuk kedua kalinya dan menambahkan, "Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu" (ayat 21). Ia kemudian mengembusi para murid-Nya Roh Kudus untuk menjadikan mereka penyalur kerahiman : “Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni” (ayat 23). Para murid tidak hanya menerima kerahiman; mereka menjadi penyalur kerahiman yang telah mereka terima. Mereka menerima kuasa ini bukan karena jasa atau studi mereka, tetapi semata-mata sebagai karunia rahmat, berdasarkan pengalaman mereka sendiri telah diampuni. Saya sekarang sedang berbicara kepadamu, para misionaris kerahiman : jika kamu tidak merasa diampuni, jangan lakukan pelayananmu sebagai misionaris kerahiman sampai kamu merasakan pengampunan itu. Kerahiman yang telah kita terima memungkinkan kita untuk menyalurkan berlimpah-limpahnya kerahiman dan pengampunan. Hari ini dan setiap hari, dalam Gereja pengampunan harus diterima dengan cara yang sama, melalui kebaikan yang rendah hati dari bapa pengakuan yang penuh kerahiman yang melihat dirinya bukan sebagai pemegang kekuasaan tetapi sebagai saluran kerahiman, yang mencurahkan pengampunan, yang terlebih dulu ia terima, kepada orang lain. Dari sinilah muncul kemampuan untuk mengampuni segalanya karena Allah senantiasa mengampuni segalanya. Kitalah yang lelah memohon pengampunan tetapi Ia senantiasa mengampuni. Kamu harus menjadi saluran pengampunan tersebut melalui pengalaman pengampunanmu. Tidak perlu menyiksa umat beriman ketika mereka datang untuk mengaku dosa. Pentingnya memahami situasi mereka, mendengarkan, mengampuni, dan memberikan nasihat yang baik agar mereka dapat bergerak maju. Allah mengampuni segalanya dan kita tidak boleh menutup pintu itu bagi orang-orang.

 

“Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni”. Kata-kata ini merupakan asal mula Sakramen Tobat, tetapi bukan hanya itu. Yesus telah menjadikan seluruh Gereja suatu komunitas yang menyalurkan kerahiman, suatu tanda dan sarana pendamaian bagi seluruh umat manusia. Saudara-saudari, kita masing-masing, dalam pembaptisan, menerima karunia Roh Kudus untuk menjadi manusia pendamaian. Kapan pun kita mengalami sukacita karena dibebaskan dari beban dosa dan kegagalan kita; setiap kali kita mengetahui secara langsung apa artinya dilahirkan kembali setelah situasi yang tampaknya tanpa harapan, kita merasa perlu untuk membagikan roti kerahiman kepada orang-orang di sekitar kita. Marilah kita merasa terpanggil untuk hal ini. Dan marilah kita bertanya pada diri kita sendiri : di rumah, dalam keluarga saya, di tempat kerja, dalam komunitas saya, apakah saya membina persekutuan, apakah saya penjalin pendamaian? Apakah saya berketetapan hati untuk meredakan pertikaian, membawa pengampunan sebagai ganti kebencian, dan perdamaian sebagai ganti kebencian? Apakah saya menghindari menyakiti orang lain dengan tidak bergunjing? Yesus ingin kita menjadi saksi-saksi-Nya di hadapan dunia dengan kata-kata : Damai sejahtera bagi kamu!

 

Damai sejahtera bagi kamu! Tuhan mengucapkan kata-kata ini untuk ketiga kalinya ketika, delapan hari kemudian, Ia menampakkan diri kepada para murid dan memperkuat iman Thomas yang lesu. Thomas ingin melihat dan menjamah. Tuhan tidak tersinggung oleh ketidakpercayaan Thomas, tetapi datang membantunya : "Taruhlah jarimu di sini dan lihatlah tangan-Ku" (ayat 27). Ini bukan kata-kata tantangan tetapi kata-kata kerahiman. Yesus memahami kesulitan Tomas. Ia tidak memperlakukan Tomas dengan kasar, dan sang rasul sangat tersentuh oleh kebaikan ini. Dari seorang yang tidak percaya, ia menjadi seorang yang percaya, dan membuat pengakuan iman yang paling sederhana dan terbaik : “Ya Tuhanku dan Allahku!” (ayat 28). Ini adalah kata-kata yang indah. Kita dapat menjadikannya kata-kata kita dan mengulanginya sepanjang hari, terutama ketika, seperti Thomas, kita mengalami keraguan dan kesulitan.

 

Karena kisah Tomas sebenarnya adalah kisah setiap orang percaya. Ada saat-saat sulit ketika hidup tampaknya mendustakan iman, saat-saat krisis ketika kita perlu menjamah dan melihat. Seperti Thomas, justru pada saat-saat itulah kita menemukan kembali hati Kristus, kerahiman Tuhan. Dalam situasi itu, Yesus tidak mendekati kita dengan kemenangan dan dengan banyak bukti. Ia tidak melakukan mukjizat yang menghancurkan bumi, tetapi malah menawarkan kepada kita tanda-tanda kerahiman-Nya yang menghangatkan hati. Ia menghibur kita dengan cara yang sama seperti Ia lakukan dalam Injil hari ini : Ia memberi kita luka-luka-Nya. Kita tidak boleh melupakan fakta ini. Sebagai tanggapan atas dosa kita, Tuhan senantiasa hadir menawarkan luka-luka-Nya kepada kita. Dalam pelayanan kita sebagai bapa pengakuan, kita harus membiarkan umat melihat bahwa di tengah dosa mereka, Tuhan menawarkan luka-luka-Nya kepada mereka. Luka-luka Tuhan lebih kuat daripada dosa.

 

Yesus membuat kita melihat luka-luka saudara-saudari kita. Di tengah krisis dan kesulitan kita, kerahiman ilahi sering membuat kita sadar akan penderitaan sesama kita. Kita berpikir bahwa kita mengalami kepedihan yang tak tertahankan dan situasi penderitaan, dan kita tiba-tiba menemukan bahwa orang lain di sekitar kita diam-diam menanggung hal-hal yang lebih buruk. Jika kita merawat luka-luka sesama kita dan menuangkan minyak urapan kerahiman kepada mereka, kita menemukan bahwa terlahir kembali di dalam diri kita sebuah harapan yang menghibur kita dalam keletihan kita. Marilah kita bertanya pada diri kita sendiri apakah akhir-akhir ini kita telah membantu seseorang yang sedang menderita dalam pikiran atau tubuh; apakah kita telah membawa damai sejahtera bagi seseorang yang sedang menderita secara fisik atau spiritual; apakah kita telah menghabiskan beberapa waktu hanya untuk mendengarkan, hadir, atau membawa pelipur bagi orang lain. Karena setiap kali kita melakukan hal-hal ini, kita berjumpa Yesus. Dari mata semua orang yang terbebani oleh cobaan hidup, Ia memandang kita dengan kerahiman dan berkata : Damai sejahtera bagi kamu! Dalam hal ini, saya memikirkan kehadiran Bunda Maria bersama para Rasul. Saya juga mengingatkan bahwa kita memperingatinya sebagai Bunda Gereja sehari setelah Pentakosta dan sebagai Bunda Kerahiman pada hari Senin setelah Hari Minggu Kerahiman Ilahi. Semoga ia membantu kita bergerak maju dalam pelayanan kita.

_____


(Peter Suriadi - Bogor, 24 April 2022)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA MALAM PASKAH DI BASILIKA SANTO PETRUS (VATIKAN) 16 April 2022 : MELIHAT, MENDENGAR DAN MEWARTAKAN

Bacaan Ekaristi : Kej. 1:1-2:2; Kel. 14:15-15:1; MT Kel. 15:1-2,3-4,5-6,17-18; Bar. 3:9-15,32-4:4; Rm. 6:3-11; Luk. 24:1-12.

 

Banyak penulis telah membangkitkan keindahan malam berbintang. Tetapi, malam perang terbelah oleh aliran cahaya yang menandakan kematian. Pada malam ini, saudara-saudari, marilah kita memperkenankan para perempuan dalam Bacaan Injil untuk menuntun kita, sehingga, bersama mereka, kita dapat melihat sekilas cahaya perdana fajar kehidupan Allah yang terbit dalam kegelapan dunia kita. Saat bayang-bayang malam terhalau sebelum datangnya cahaya teduh, para perempuan berangkat menuju kubur, untuk mengurapi tubuh Yesus. Di sana mereka memiliki pengalaman yang membingungkan. Pertama, mereka menemukan bahwa kubur itu kosong; kemudian mereka melihat dua orang yang memakai pakaian yang berkilau-kilauan memberitahu mereka bahwa Yesus telah bangkit. Segera mereka berlari pulang untuk mewartakan kabar itu kepada murid-murid yang lain (bdk. Luk 24:1-10). Mereka melihat, mereka mendengar, mereka mewartakan. Dengan tiga kata kerja ini, semoga kita juga masuk ke dalam Paskah Tuhan dari kematian menuju kehidupan.

 

Para perempuan melihat. Pewartaan kebangkitan perdana bukanlah suatu pernyataan yang harus dibongkar, tetapi suatu tanda yang harus direnungkan. Di pekuburan, dekat kubur, di tempat di mana segala sesuatunya seharusnya tertata dan penuh kedamaian, para perempuan “mendapati batu sudah terguling dari kubur itu, dan setelah masuk mereka tidak menemukan mayat Tuhan Yesus” (ayat 2-3). Paskah dimulai dengan menggundahkan pengharapan kita. Paskah datang dengan karunia pengharapan yang mengejutkan dan membuat kita takjub. Namun tidak mudah untuk menyambut karunia itu. Terkadang – harus kita akui – pengharapan ini tidak mendapat tempat di hati kita. Seperti para perempuan dalam Bacaan Injil, kita diliputi oleh pertanyaan dan keraguan, serta reaksi pertama kita sebelum tanda yang tidak terduga tersebut adalah ketakutan : “Mereka sangat ketakutan dan menundukkan kepala” (ayat 5).

 

Terlalu sering kita melihat kehidupan dan kenyataan dengan mata tertunduk; kita memusatkan pandangan kita hanya pada hari yang berlalu ini, kecewa dengan masa depan, hanya peduli dengan diri dan kebutuhan kita, menetap di dalam penjara sikap acuh tak acuh kita, bahkan ketika kita terus mengeluh bahwa segala sesuatunya tidak akan pernah berubah. Dengan cara ini, kita berhenti di depan kubur kepasrahan dan fatalisme, serta kita mengubur sukacita penghidupan. Tetapi malam ini Tuhan ingin memberi kita mata yang berbeda, hidup dengan pengharapan bahwa ketakutan, penderitaan dan kematian tidak akan menguasai kita. Berkat misteri Paskah Yesus, kita dapat membuat lompatan dari ketiadaan menuju kehidupan. “Kematian tidak akan bisa lagi merampas hidup kita” (K. Rahner), karena kehidupan itu kini sepenuhnya dan selamanya dipeluk oleh kasih Allah yang tak terbatas. Benar, kematian dapat memenuhi diri kita dengan ketakutan; kematian bisa melumpuhkan kita. Tetapi Tuhan telah bangkit! Marilah kita angkat pandangan kita, menyingkirkan tabir kesedihan dan dukacita dari mata kita, serta membuka hati kita kepada pengharapan yang dibawa Allah!

 

Di tempat kedua, para perempuan mendengar. Setelah mereka melihat kubur kosong itu, kedua orang yang memakai pakaian yang berkilau-kilauan itu berkata kepada mereka, “Mengapa kamu mencari Dia yang hidup, di antara orang mati? Ia tidak ada di sini, Ia telah bangkit” (ayat 5-6). Sebaiknya kita mendengarkan kata-kata tersebut dan mengulanginya : Ia tidak ada di sini! Kapan pun kita berpikir bahwa kita telah memahami segala sesuatu yang perlu diketahui tentang Allah, dan dapat menyingkirkan-Nya ke dalam gagasan dan pengelompokkan kita, marilah kita ulangi bagi diri kita : Ia tidak ada di sini! Kapan pun kita mencari Dia hanya di saat-saat emosi, begitu sering berlalu, dan saat-saat membutuhkan, hanya untuk menyingkirkan dan melupakan-Nya dalam sisa kehidupan dan keputusan kita sehari-hari, marilah kita ulangi : Ia tidak ada di sini! Dan setiap kali kita berpikir kita dapat memenjarakan-Nya dalam perkataan kita, dalam rumusan kita, serta dalam lazimnya cara berpikir dan bertindak kita, dan abai mencari-Nya di sudut-sudut tergelap kehidupan, di mana ada orang-orang yang menangis, yang berjuang, menderita dan berharap, marilah kita ulangi : Ia tidak ada di sini!

 

Semoga kita juga mendengar pertanyaan yang diajukan kepada para perempuan : “Mengapa kamu mencari Dia yang hidup, di antara orang mati?” Kita tidak bisa merayakan Paskah jika kita terus mati; jika kita tetap menjadi tawanan masa lalu; jika dalam hidup kita tidak memiliki keberanian untuk memperkenankan diri kita diampuni oleh Allah yang mengampuni segalanya, tidak memiliki keberanian untuk berubah, tidak memutus perbuatan jahat, memutuskan untuk Yesus dan kasih-Nya. Jika kita terus mengurangi iman menjadi jimat, menjadikan Allah sebagai kenangan indah masa lalu, ketimbang berjumpa dengan-Nya hari ini sebagai Allah yang hidup yang ingin mengubah diri kita dan mengubah dunia kita. Kekristenan yang mencari Allah di antara reruntuhan masa lalu dan mengurung-Nya di dalam kubur kebiasaan adalah kekristenan tanpa Paskah. Tetapi Tuhan telah bangkit! Janganlah kita tinggal di antara kubur, tetapi berlarilah untuk menemukan Dia, Yang Hidup! Kita juga tidak boleh takut untuk mencari-Nya dalam wajah saudara-saudari kita, dalam kisah mereka yang berharap dan bermimpi, dalam penderitaan mereka yang kita derita : Allah ada di sana!

 

Akhirnya, para perempuan mewartakan. Apa yang mereka wartakan? Sukacita kebangkitan. Paskah tidak terjadi hanya untuk menghibur orang-orang yang berduka atas kematian Yesus, tetapi membuka hati kepada pesan luar biasa kemenangan Allah atas kejahatan dan kematian. Terang kebangkitan tidak dimaksudkan untuk membiarkan para perempuan menikmati perjalanan sukacita, tetapi menghasilkan murid-murid misioner yang "setelah kembali dari kubur" (ayat 9) membawa Injil Kristus yang telah bangkit kepada semua orang. Itulah sebabnya, setelah melihat dan mendengar, para perempuan itu berlari untuk mewartakan kepada para murid sukacita kebangkitan. Mereka tahu bahwa orang lain mungkin mengira mereka gila; memang, Bacaan Injil mengatakan bahwa perkataan para perempuan itu "seakan-akan omong kosong" (ayat 11). Tetapi para perempuan itu tidak peduli dengan nama baik mereka, terjaganya citra mereka; mereka tidak menahan perasaan atau mengukur perkataan mereka. Dalam hati, mereka hanya memiliki api untuk mewartakan, pewartaan : “Tuhan telah bangkit!”

 

Dan betapa indahnya Gereja yang dapat berjalan melalui jalan-jalan di dunia kita ini! Tanpa rasa takut, tanpa skema dan siasat, tetapi semata-mata berkeinginan untuk menuntun semua orang kepada sukacita Injil. Itulah apa yang harus kita lakukan : mengalami Kristus yang bangkit dan membagikan pengalaman tersebut kepada orang lain; menggulingkan batu kubur tempat kita mungkin telah mengurung Tuhan, untuk menyebarkan sukacita-Nya di dunia. Marilah kita membuat Yesus, Yang Hidup, bangkit kembali dari semua kubur tempat kita telah menyegel-Nya. Marilah kita membebaskan-Nya dari sel sempit tempat kita sering memenjarakan-Nya. Marilah kita bangun dari tidur nyenyak kita dan memperkenankan-Nya mengusik dan membuat kita tidak nyaman. Marilah kita membawa-Nya ke dalam kehidupan kita sehari-hari : melalui gerakan perdamaian di hari-hari ini yang ditandai dengan kengerian perang, melalui tindakan pendamaian di tengah hubungan yang rusak, tindakan kasih sayang terhadap orang-orang yang membutuhkan, tindakan keadilan di tengah situasi kesenjangan dan kebenaran di tengah kebohongan. Dan terutama, melalui karya kasih dan persaudaraan.

 

Saudara-saudari, pengharapan kita mempunyai sebuah nama : bernama Yesus. Ia memasuki kubur dosa kita; Ia turun ke kedalaman di mana kita merasa paling tersesat; Ia menjalin jalan-Nya melalui kekusutan ketakutan kita, menanggung beratnya beban kita dan dari jurang kematian yang gelap menghidupkan kita kembali dan mengubah dukacita kita menjadi sukacita. Marilah kita merayakan Paskah bersama Kristus! Ia masih hidup! Hari ini juga, Ia berjalan di tengah-tengah kita, mengubah dan membebaskan kita. Berkat Dia, kuasa kejahatan telah dirampas; kegagalan tidak bisa lagi menahan kita untuk memulai yang baru; dan kematian telah menjadi bagian kobaran kehidupan baru. Karena bersama Yesus, Tuhan yang bangkit, tidak ada malam yang bertahan selamanya; dan bahkan dalam malam yang paling gelap, dalam kegelapan itu, bintang pagi terus bersinar.

 

Dalam kegelapan yang sedang kamu jalani ini, Bapak Walikota (Ivan Federov, walikota terpilih kota Melitopol, Ukraina yang diduduki Rusia), para anggota Dewan Perwakilan Rakyat, pekatnya kegelapan perang dan kekejaman, malam ini kami semua sedang berdoa, berdoa bersama Anda dan untuk Anda. Kami sedang berdoa untuk semua orang yang sedang menderita. Kami hanya dapat memberi pelayanan, doa kami, kepada Anda dan berkata kepada Anda : “Kuatkan hati! Kami menyertai Anda!” Dan juga mengatakan kepada Anda hal terbesar yang sedang kita rayakan hari ini : Christòs voskrés! Kristus telah bangkit!

_____


(Peter Suriadi - Bogor, 17 April 2022)

KHOTBAH RANIERO KARDINAL CANTALAMESSA DALAM IBADAT JUMAT AGUNG 15 April 2022 : PASKAH ADALAH KESEMPATAN UNTUK BERPEGANG TEGUH PADA YESUS YANG TIDAK PERNAH MENGECEWAKAN KITA

Bacaan Liturgi : Yes. 52:13-53:12; Mzm. 31:2,6,12-13,15-16,17,25; Ibr. 4:14-16; 5:7-9; Yoh. 18:1-19:42.

 

Dalam Kisah Sengsaranya, Penginjil Yohanes secara khusus mementingkan dialog Yesus dengan Pilatus, dan di sinilah kita ingin bercermin beberapa saat sebelum melanjutkan lebih jauh dengan liturgi kita.

 

Seluruhnya dimulai dengan pertanyaan Pilatus : "Engkau inikah raja orang Yahudi?" (Yoh 18:33). Yesus ingin membuat Pilatus mengerti bahwa pertanyaan-Nya jauh lebih sungguh-sungguh daripada yang ia pikirkan, dan hanya berarti jika ia tidak mengulangi tuduhan orang-orang. Oleh karena itu, pada gilirannya Ia bertanya : "Apakah engkau katakan hal itu dari hatimu sendiri, atau adakah orang lain yang mengatakannya kepadamu tentang Aku?"

 

Ia berusaha menuntun Pilatus menuju tataran yang lebih tinggi. Ia berbicara kepadanya tentang kerajaan-Nya, sebuah kerajaan yang "bukan dari dunia ini". Pilatus hanya mengerti satu hal : persoalannya bukan mengenai kerajaan politik. Jika terdakwa ingin berbicara tentang agama, ia tidak ingin terlibat dalam masalah seperti ini. Oleh karena itu ia bertanya dengan sentuhan ironi : "Jadi Engkau adalah raja?". Yesus menjawab : “Engkau mengatakan, bahwa Aku adalah raja" (Yoh 18:37).

 

Dengan mengaku sebagai raja, Yesus menghadapkan diri-Nya pada bahaya kematian; tetapi alih-alih membersihkan diri-Nya dengan menyangkalnya, Ia dengan lantang menegaskannya. Ia menyatakan asal-usul ilahi-Nya kepadanya : "Aku datang ke dalam dunia ...". Oleh karena itu, Ia mengatakan, secara misterius, bahwa Ia ada sebelum kehidupan duniawi-Nya, Ia berasal dari dunia lain. Ia datang ke bumi untuk menjadi saksi kebenaran.

 

Yesus memperlakukan Pilatus sebagai jiwa yang membutuhkan terang dan kebenaran, dan bukan sebagai hakim. Ia lebih tertarik pada nasib seorang bernama Pilatus daripada nasib-Nya sendiri. Dengan ketertarikannya untuk menerima kebenaran, Ia ingin mendorongnya untuk menyadari, melihat hal-hal dengan mata yang berbeda, menempatkan dirinya di atas perselisihan sesaat dengan orang-orang Yahudi.

 

Wakil penguasa Romawi tersebut memahami undangan Yesus kepadanya, tetapi ia skeptis dan acuh tak acuh terhadap spekulasi yang lebih tinggi semacam ini. Misteri yang ia lihat sekilas dalam kata-kata Yesus membuatnya takut dan ia lebih memilih untuk mengakhiri percakapan. Bergumam pada dirinya sendiri "Apakah kebenaran itu?", Ia meninggalkan ruang pengadilan.

 

***

 

Sungguh perikop Injil yang relevan untuk hari ini! Bahkan hari ini, seperti di masa lalu, manusia bertanya pada dirinya sendiri : “Apakah kebenaran itu?” Tetapi, seperti yang dilakukan Pilatus, ia dengan santainya memunggungi Dia yang berkata, “Aku datang ke dalam dunia ini, supaya Aku memberi kesaksian tentang kebenaran”. "Aku adalah kebenaran!" (Yoh 14:6).

 

Melalui internet, saya telah mengikuti debat yang tak terhitung jumlahnya tentang agama dan ilmu pengetahuan serta tentang iman dan ateisme. Satu hal yang mengejutkan saya : berjam-jam berdialog, tanpa pernah menyebut nama Yesus. Dan jika pihak orang beriman terkadang berani menyebut nama dan kebangkitan ketimbang wafat-Nya, mereka langsung berusaha menutup pembicaraan sebagai penyimpangan yang tidak relevan. Semuanya terjadi “etsi Christus non daretur”: seolah-olah di dunia ini belum pernah ada manusia bernama Yesus Kristus.

 

Apa hasilnya? Kata “Allah” menjadi wadah kosong yang diisi setiap orang sesuka hati. Tetapi justru karena alasan inilah Allah berhati-hati untuk memberikan kepuasan atas nama-Nya. “Sabda telah menjadi daging”. Kebenaran telah menjadi daging! Karena itu usaha yang gigih untuk meninggalkan Yesus dari wacana tentang Allah; ia menyingkirkan dari kesombongan manusiawi dalih apa pun untuk memutuskan sendiri seperti apa Allah itu seharusnya!

 

“Tentu saja : Yesus dari Nazaret!” beberapa orang mungkin mengatakan. "Tetapi jika orang bahkan meragukan bahwa Ia pernah ada!". Seorang penulis Inggris terkenal abad terakhir — dikenal masyarakat umum sebagai penulis seri novel yang kemudian menjadi film, “The Lord of the Rings”, J.R.R. Tolkien — dalam sebuah surat, memberikan jawaban ini kepada putranya yang menyebutkan keberatan yang sama kepadanya:

 

“Dibutuhkan kemauan yang luar biasa untuk menjadi tidak percaya dengan menganggap Yesus tidak pernah benar-benar 'terjadi', dan terlebih lagi menganggap Ia tidak mengatakan seluruh hal yang dicatat tentang diri-Nya - sehingga tidak mampu 'ditemukan' oleh siapa pun di dunia pada masa itu : 'sesungguhnya sebelum Abraham jadi, Aku telah ada' (Yoh 8:58). 'Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa' (Yoh 14:9).

 

Satu-satunya alternatif untuk kebenaran Kristus, tambah sang penulis, yaitu "ia adalah seorang penipu" dan Injil "kisah pemutarbalikkan tentang seorang megalomaniak gila". Namun, dapatkah kasus seperti itu bertahan terhadap kritik historis dan filosofis selama dua puluh abad dan menghasilkan buah yang telah dihasilkannya?

 

Hari ini, kita melampaui skeptisisme Pilatus. Ada orang yang berpikir bahwakita seharusnya tidak mengajukan pertanyaan “Apakah kebenaran itu?” karena kebenaran sama sekali tidak ada! “Semuanya relatif, tidak ada yang pasti! Berpikir sebaliknya adalah anggapan yang tidak dapat ditoleransi!” Tidak ada lagi tempat untuk “narasi besar tentang dunia dan kenyataan”, termasuk tentang Allah dan Kristus.

 

Saudara-saudara yang terkasih ateis, agnostik, atau mereka yang masih mencari kebenaran (jika ada yang sedang mendengarkan) : kata-kata yang akan saya tujukan kepadamu bukanlah kata-kata pengkhotbah yang papa seperti saya; mereka berasal dari salah satu dari kamu, salah satu dari kamu yang banyak dikagumi, yang banyak ditulis dan tentang dirinya, mungkin, banyak juga yang menganggap diri mereka, dalam beberapa hal, murid dan pengikut : Søren Kierkegaard, penggagas filsafat keberadaan!

 

“Begitu banyak yang dikatakan”, tulisnya, “tentang penderitaan manusia dan kemiskinan… Begitu banyak yang dikatakan tentang kehidupan yang tercampakkan. Tetapi hanya nyawa manusia yang tercampakkan yang… tidak pernah disadari, karena ia tidak pernah, dalam pengertian yang paling dalam, merasakan bahwa ada Allah, dan ia, ia sendiri, dirinya sendiri, berdiri di hadirat Allah ini”.

 

Beberapa orang mengatakan : terlalu banyak ketidakadilan, terlalu banyak penderitaan di dunia untuk percaya kepada Allah! Itu benar, tetapi marilah kita berpikir sejenak betapa lebih mustahil dan putus asanya kejahatan yang mengelilingi kita menjadi tanpa iman akan kemenangan akhir kebenaran dan kebaikan. Kebangkitan Yesus dari antara orang mati, yang akan kita rayakan lusa, adalah janji dan jaminan yang pasti bahwa inilah yang akan terjadi karena sudah dimulai dengan diri-Nya.

 

Jika saya memiliki keberanian Santo Paulus, pada saat ini saya juga harus berseru : “Dalam nama Kristus kami meminta kepadamu : berilah dirimu didamaikan dengan Allah” (2Kor 5:20). Jangan sia-siakan hidupmu! Jangan tinggalkan dunia ini saat Pilatus meninggalkan ruang pengadilan, dengan pertanyaan yang belum terjawab : “Apakah kebenaran itu?”. Sangat penting : pertanyaan untuk mengetahui apakah kita hidup untuk sesuatu, atau dalam kesia-siaan!

 

Tetapi, dialog Yesus dengan Pilatus juga menawarkan kesempatan untuk cerminan lain, kali ini ditujukan kepada kita orang percaya dan umat Gereja, bukan orang luar. “Bangsa-Mu sendiri dan imam-imam kepala yang telah menyerahkan Engkau kepadaku”, kata Pilatus : Gens tua et pontifices tradiderunt te mihi (Yoh 18:35). Umat Gereja-Mu, para imam-Mu telah meninggalkan Engkau, mereka telah menjelekkan nama-Mu dengan perbuatan buruk yang mengerikan! Dan apakah kami masih harus percaya kepada-Mu?

 

Juga, terhadap keberatan yang mengerikan ini saya ingin menanggapi dengan kata-kata yang ditujukan Tolkien kepada putranya :

 

“Kasih kita mungkin menjadi dingin dan keinginan kita terkikis oleh tontonan kekurangan, kebodohan, dan bahkan dosa-dosa Gereja dan para pejabatnya, tetapi saya tidak berpikir bahwa orang yang pernah memiliki iman akan kembali melewati batas karena alasan ini (apalagi siapa pun yang memiliki pengetahuan sejarah)… Karena berkecenderungan mengalihkan mata kita dari diri kita dan kesalahan kita untuk mencari kambing hitam sangat nyaman … Saya pikir saya sama pekanya denganmu (atau umat Kristiani lainnya) terhadap skandal, baik klerus maupun awam. Saya telah sangat menderita dalam hidup saya karena para imam yang bodoh, letih, redup, dan bahkan buruk”.

 

Apalagi hasil yang buruk seperti itu sudah bisa diduga. Diawali sebelum Paskah perdana dengan pengkhianatan Yudas, penyangkalan Simon Petrus, pelarian para Rasul ... Menangislah, kalau begitu? Ya — Tolkien menganjurkan kepada putranya — bahkan kepada Yesus, untuk apa yang harus Ia tanggung, sebelumnya demi kita. Menangis — kita harus menambahkan hari ini — untuk para korban dan bersama para korban dosa-dosa kita.

 

***

 

Kesimpulan untuk semua orang, baik orang beriman maupun yang tidak beriman. Tahun ini kita merayakan Paskah bukan dengan suara lonceng yang penuh sukacita, tetapi dengan suara bom dan ledakan di telinga tidak jauh dari sini. Marilah kita ingat bagaimana pada suatu hari Yesus menanggapi kabar tentang orang-orang Galilea yang darahnya dicampurkan Pilatus dengan darah korban yang mereka persembahkan, dan para korban runtuhnya Menara Siloam : “Jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa atas cara demikian!” (Luk 13:5). Jika kamu tidak menempa pedangmu menjadi mata bajak, tombakmu menjadi pisau pemangkas (Yes 2:4), dan peluru kendalimu menjadi pabrik dan rumah, kamu akan binasa atas cara demikian!

 

Satu hal yang tiba-tiba diingatkan peristiwa-peristiwa ini kepada kita. Tatanan dunia dapat berubah hari demi hari. Semuanya berlalu, semuanya menua ; semuanya — tidak hanya “kebahagiaan masa muda” — menurun. Hanya ada satu cara untuk melarikan diri dari arus waktu yang menyeret segalanya bersamanya : melewati apa yang tidak berlalu! Meletakkan kaki kita di tanah yang kokoh! Paskah, Tuhan lewat, berarti perjalanan : marilah kita semua bertujuan untuk mengalami Paskah yang sesungguhnya tahun ini, para Bapa, saudara-saudari yang terhormat : marilah kita melewati Dia yang tidak berlalu. Marilah kita lewati sekarang dengan hati kita, sebelum suatu hari melewati-Nya dengan tubuh kita.

____

(Peter Suriadi - Bogor, 15 April 2022)

 

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI KAMIS PUTIH DI KOMPLEK PENJARA BARU CIVITAVECCHIA (ROMA) 14 April 2022

Bacaan Ekaristi : Kel. 12:1-8,11-14; Mzm. 116:12-13,15-16bc,17-18; 1Kor. 11:23-26; Yoh. 13:1-15.

 

Setiap Hari Kamis Putih kita membaca Bacaan Injil ini : hal yang sederhana. Yesus, bersama sahabat-sahabat-Nya, murid-murid-Nya sedang santap malam, perjamuan Paskah; Yesus membasuh kaki murid-murid-Nya - Ia melakukan hal yang tidak biasa : pada masa itu para hamba membasuh kaki mereka di pintu masuk rumah. Dan kemudian, Yesus - dengan gerakan yang juga menyentuh hati - membasuh kaki sang pengkhianat, orang yang menjual-Nya.

 

Seperti itulah Yesus dan Ia mengajarkan kita hal ini, dengan sederhana : di antara kamu, kamu harus membasuh kakimu. Membasuh kaki adalah lambang : di antara kamu, kamu harus melayani dirimu; yang satu melayani yang lain, tanpa kepentingan.

 

Alangkah baiknya jika hal ini dapat dilakukan setiap hari dan oleh semua orang : tetapi selalu ada kepentingan, seperti ular yang masuk. Dan kita terkejut ketika kita mengatakan, "Aku pergi ke pelayanan umum itu, mereka menjadikanku membayar tips". Ini menyakitkan, karena itu tidak baik. Dan berkali-kali, dalam kehidupan kita mengusahakan kepentingan kita, seolah-olah kita sedang membayar tips di antara kita.

 

Justru penting melakukan segala sesuatu tanpa kepentingan : saling melayani, saling bersaudara, saling bertumbuh, saling mengoreksi, jadi kamu harus terus berjalan. Melayani! Dan kemudian, hati Yesus, yang kepada sang pengkhianat mengatakan : "Sahabat" dan Ia juga menunggunya, sampai akhir : Ia mengampuni segalanya.

 

Hari ini saya ingin meletakkan hal ini dalam hati kita semua, bahkan dalam hati saya : Allah mengampuni sampai akhir. Allah mengampuni segalanya dan selalu mengampuni! Kitalah yang lelah memohon pengampunan.

 

Dan kita masing-masing, mungkin, memiliki sesuatu di dalam hati kita, yang telah kita bawa selama beberapa waktu, yang membuat kita menjadi "ron-ron", semacam kerangka yang tersembunyi di dalam lemari. Tetapi, mohonlah pengampunan dari Yesus: Ia mengampuni segalanya. Ia hanya menginginkan kepercayaan diri kita untuk memohon pengampunan. Kamu dapat melakukannya ketika kamu sendirian, ketika kamu bersama sahabat-sahabat lain, ketika kamu bersama imam.

 

Inilah doa yang indah untuk hari ini : “Tetapi, Tuhan, ampunilah aku. Aku akan berusaha melayani orang lain, tetapi Engkau melayaniku dengan pengampunan-Mu”. Jadi Ia membayar dengan pengampunan. Inilah pemikiran yang ingin saya tinggalkan kepadamu. Melayani, saling menolong, dan pastikan Tuhan mengampuni. Dan seberapa banyak Ia mengampuni kita? Semua! Dan sampai di mana? Sepanjang waktu! Ia tidak pernah lelah mengampuni : kitalah yang lelah memohon pengampunan.

 

Dan sekarang, saya akan mencoba melakukan gerakan yang sama seperti yang dilakukan Yesus : membasuh kaki. Saya melakukannya dari hati karena kita para imam harus menjadi yang pertama melayani orang lain, bukan mengeksploitasi orang lain. Klerikalisme terkadang membawa kita ke jalan ini. Tetapi kita harus melayani. Ini adalah tanda, juga tanda kasih untuk saudara-saudari ini dan untuk kamu semua di sini; sebuah tanda yang artinya : “Aku tidak menghakimi siapa pun. Aku mencoba melayani semua orang”. Ada Dia yang menghakimi, tetapi Dia adalah Hakim yang agak aneh, Tuhan : Dia menghakimi dan mengampuni. Kita mengikuti upacara ini dengan keinginan untuk melayani dan mengampuni diri kita.

______

 

(Peter Suriadi - Bogor, 15 April 2022)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA KRISMA 14 April 2022 : MATA PARA IMAM HARUS TERTUJU KEPADA YESUS SEHINGGA DAPAT MENGENYAHKAN BERHALA-BERHALA YANG TERSEMBUNYI

Bacaan Ekaristi : Yes. 61:1-3a,6a,8b-9; Mzm. 89:21-22,25,27; Why. 1:5-8; Luk. 4:16-21.

 

Dalam bacaan dari Kitab Nabi Yesaya yang telah kita dengar, Tuhan membuat janji yang penuh harapan, janji yang pertama-tama menjadi perhatian kita : “Kamu akan disebut imam TUHAN dan akan dinamai pelayan Allah kita … Aku akan memberi upahmu dengan tepat, dan akan mengikat perjanjian abadi dengan kamu” (61:6.8). Menjadi imam, saudara-saudaraku yang terkasih, adalah sebuah rahmat, sebuah rahmat yang sangat besar, namun bukan terutama sebuah rahmat bagi kita, melainkan bagi umat kita.[1] Kenyataan bahwa Tuhan mengangkat, dari antara kawanan domba-Nya, beberapa orang yang mengabdikan diri mereka secara khusus untuk memelihara kawanan domba-Nya sebagai bapa dan gembala adalah karunia besar bagi umat kita. Tuhan sendiri yang memberi upah para imam : "Aku akan memberi upahmu dengan tepat" (Yes 61:8). Dan, seperti yang kita semua ketahui, Ia adalah pemberi upah yang baik, bahkan jika Ia memiliki kekhasan dalam melakukan sesuatu, seperti memberi upah orang-orang yang terakhir ketimbang yang pertama inilah cara-Nya.

 

Bacaan dari Kitab Wahyu memberitahu kita apa upah Tuhan tersebut. Upah Tuhan adalah kasih dan pengampunan-Nya yang tanpa syarat atas dosa-dosa kita dengan harga darah-Nya yang tercurah di kayu Salib : “Dia, yang mengasihi kita dan yang telah melepaskan kita dari dosa kita oleh darah-Nya -- dan yang telah membuat kita menjadi suatu kerajaan, menjadi imam-imam bagi Allah, Bapa-Nya” ( 1:5-6). Tidak ada upah yang lebih besar daripada persahabatan dengan Yesus, jangan melupakanhal ini. Tidak ada kedamaian yang lebih besar daripada pengampunan-Nya, dan kita semua tahu hal tersebut. Tidak ada harga yang lebih mahal daripada darah-Nya yang berharga, dan kita tidak boleh membiarkannya dilecehkan oleh perilaku yang tidak layak.

 

Jika kita memikirkannya, saudara para imam yang terkasih, Tuhan sedang mengundang kita untuk setia kepada-Nya, setia kepada perjanjian-Nya, dan membiarkan diri kita dikasihi dan diampuni oleh-Nya. Semuanya adalah undangan yang ditujukan kepada kita, sehingga dengan cara ini kita dapat melayani, dengan hati nurani yang bersih, umat Allah yang kudus dan setia. Umat kita layak mendapatkan hal ini dan mereka membutuhkannya. Injil Lukas memberitahu kita bahwa, setelah Yesus membaca nas dari Kitab Nabi Yesaya di hadapan penduduk kota asal-Nya dan duduk, “mata semua orang dalam rumah ibadat itu tertuju kepada-Nya” (4:20). Kitab Wahyu juga berbicara kepada kita tentang hari ini mata yang tertuju kepada Yesus. Kitab Wahyu berbicara tentang daya tarik yang tak tertahankan dari Tuhan yang disalibkan dan bangkit yang menuntun kita untuk mengakui dan menyembah-Nya : “Lihatlah, Ia datang dengan awan-awan dan setiap mata akan melihat Dia, juga mereka yang telah menikam Dia. Dan semua bangsa di bumi akan meratapi Dia. Ya, amin!" (1:7). Rahmat utama, pada saat kembalinya Tuhan yang bangkit, akan berupa pengakuan langsung. Kita akan melihat Dia dan luka-luka-Nya. Kita akan mengenali siapa Dia, dan siapa kita, sebagai orang-orang berdosa yang malang.

 

“Membuat mata kita tertuju kepada Yesus” adalah sebuah rahmat yang perlu kita, sebagai para imam, kembangkan. Pada akhir hari, kita sebaiknya menatap Tuhan, dan membiarkan Ia menatap hati kita dan hati semua orang yang telah kita jumpai. Bukan sebagai pertanggungjawaban atas dosa-dosa kita, tetapi sebagai tindakan kontemplasi yang penuh kasih, di mana kita menelaah hari kita dengan mata Yesus, melihat rahmat dan karunia hari itu, dan mengucap syukur atas semua yang telah dilakukan-Nya bagi kita. Tetapi juga untuk menghadapkan pencobaan-pencobaan kita kepada-Nya, untuk mengenali dan menolaknya. Sebagaimana dapat kita lihat, hal ini membutuhkan pemahaman apa yang berkenan bagi Tuhan dan apa yang Ia minta dari diri kita di sini dan sekarang, pada titik ini dalam hidup kita.

 

Dan mungkin, jika kita memandang-Nya dengan penuh kebaikan, Ia juga akan membantu kita untuk menunjukkan kepada-Nya berhala-berhala kita. Berhala-berhala yang, seperti Rahel, kita sembunyikan di balik lipatan jubah kita (bdk. Kej 31:34-35). Membiarkan Tuhan melihat berhala-berhala yang tersembunyi itu - kita semua memilikinya; kita semua! - dan memperkuat kita menentang dan mengenyahkan kuasa berhala-berhala itu.

 

Tatapan Tuhan membuat kita melihat bahwa, melalui mereka kita benar-benar memuliakan diri kita sendiri,[2] karena di sana, di ruang-ruang yang kita tandai sebagai milik kita secara eksklusif, iblis menyelundupkan diri dengan racunnya. Ia tidak hanya membuat kita berpuas diri, membebaskan kendali terhadap satu kegairahan atau pemeliharaan lainnya, bahkan Ia juga menuntun kita untuk menggantikan dengan berhala-berhala itu kehadiran Pribadi ilahi, Bapa, Putra dan Roh yang berdiam di dalam diri kita. Hal ini terjadi. Meskipun kita mungkin mengatakan pada diri kita sendiri bahwa kita tahu betul perbedaan antara Allah dan berhala, dalam pelaksanaannya kita mengambil ruang Tritunggal untuk diberikan kepada iblis, dalam semacam penyembahan tidak langsung. Ibadah orang yang diam-diam namun terus-menerus mendengarkan pembicaraannya dan memakai produknya, sehingga pada akhirnya tidak ada sedikit pun sudut yang tersisa untuk Tuhan. Ia seperti itu, ia bekerja dengan tenang dan perlahan-lahan. Dalam konteks lain saya berbicara tentang setan-setan yang “terpelajar”, ​​yang menurut Yesus lebih buruk daripada yang diusir. Mereka "sopan", mereka membunyikan bel, mereka masuk dan secara bertahap mengambil alih rumah. Kita harus berhati-hati, inilah berhala-berhala kita.

 

Ada sesuatu tentang berhala-berhala yang bersifat pribadi. Ketika kita gagal membuka kedok mereka, ketika kita tidak membiarkan Yesus menunjukkan kepada kita bahwa di dalam berhala-berhala itu kita keliru dan tidak perlu mencari diri kita, kita memberi ruang bagi si Jahat. Kita perlu ingat bahwa iblis menuntut kita untuk melakukan kehendaknya dan melayaninya, tetapi ia tidak selalu meminta kita untuk melayani dan menyembahnya terus-menerus; tetapi hati-hati, ia adalah diplomat yang hebat. Menerima penyembahan kita dari waktu ke waktu sudah cukup baginya untuk membuktikan bahwa ia adalah tuan kita yang sebenarnya dan bahwa ia bisa merasa seperti allah dalam hidup kita dan di dalam hati kita.

 

Karena itu, dalam Misa Krisma ini, saya ingin membagikan kepadamu tiga ruang penyembahan berhala yang tersembunyi di mana Si Jahat menggunakan berhala-berhala kita untuk melemahkan panggilan kita sebagai gembala dan, sedikit demi sedikit, memisahkan kita dari kehadiran Yesus, Roh dan Bapa yang penuh kebajikan dan kasih.

 

Satu ruang penyembahan berhala yang tersembunyi terbuka di mana pun ada keduniawian rohani, yang merupakan "tawaran kehidupan, budaya, budaya fana, penampilan, kosmetik".[3] Kriterianya adalah triumfalisme, triumfalisme tanpa salib. Yesus berdoa agar Bapa menjaga kita dari budaya keduniawian ini. Godaan kemuliaan tanpa salib ini sungguh bertentangan dengan pribadi Tuhan, bertentangan dengan Yesus, yang merendahkan diri-Nya dalam penjelmaan dan, sebagai tanda perbantahan, adalah satu-satunya obat kita melawan setiap berhala. Menjadi miskin bersama Kristus yang miskin dan “memilih menjadi miskin”: inilah pola pikir Sang Kasih; tidak ada yang lain. Dalam Bacaan Injil hari ini, kita melihat bagaimana Tuhan memilih sebuah rumah ibadat sederhana di desa kecil di mana Ia menghabiskan sebagian besar hidup-Nya, untuk mewartakan pesan yang juga akan Ia wartakan pada akhir zaman, ketika Ia akan datang dalam kemuliaan-Nya, dikelilingi oleh para malaikat. Mata kita harus tertuju kepada Kristus, kepada kenyataan sejarah-Nya yang sesungguhnya bersama saya, sekarang, bahkan sebagaimana akan terjadi kelak. Sikap duniawi mengupayakan kemuliaan kita merampas kehadiran Yesus, yang rendah hati dan hina, Tuhan yang dekat dengan semua orang, Kristus yang menderita dengan semua orang yang menderita, yang disembah oleh umat kita, yang tahu siapa para sahabat sejati-Nya. Seorang imam duniawi tidak lebih daripada seorang kafir yang menjadi klerus.

 

Ruang kedua penyembahan berhala yang tersembunyi terbuka dengan jenis pragmatisme di mana angka menjadi hal yang paling penting. Orang-orang yang menghargai berhala tersembunyi ini dapat dikenali dari kecintaan mereka pada statistik, angka-angka yang dapat mendepersonalisasi setiap diskusi dan menarik mayoritas sebagai kriteria definitif untuk membedakan; ini tidak bagus. Ini tidak bisa menjadi satu-satunya metode atau kriteria untuk Gereja Kristus. Orang tidak dapat "dihitung", dan Allah tidak "mengukur" karunia Roh-Nya (bdk. Yoh 3:34). Dalam ketertarikan dan kecintaan pada angka-angka ini, kita benar-benar mencari diri kita sendiri, senang dengan kendali yang ditawarkan kepada kita dengan cara berpikir ini, tidak peduli dengan wajah-wajah individu dan jauh dari cinta. Salah satu ciri para kudus besar adalah mereka tahu bagaimana melangkah mundur untuk meninggalkan ruang sepenuhnya bagi Allah. Langkah mundur ini, melupakan diri kita dan ingin dilupakan oleh orang lain, adalah tanda Roh, yang dalam arti tertentu "tidak berwajah", - Roh "tidak berwajah" - hanya karena Ia sepenuhnya Kasih, menerangi gambar Sang Putra dan, di dalam Dia, gambar Bapa. Pemujaan angka mencoba untuk menggantikan pribadi Roh Kudus, yang suka bersembunyi - karena Ia "tak berwajah" - mencoba membuat segalanya "jelas", meskipun dengan cara abstrak dan direduksi menjadi angka, tanpa penjelmaan nyata.

 

Ruang ketiga penyembahan berhala yang tersembunyi, terkait dengan yang kedua, berasal dari fungsionalisme. Ini bisa memikat; banyak orang “lebih antusias dengan peta jalan daripada jalan”. Pola pikir fungsionalis memiliki sedikit perhatian terhadap misteri; tujuannya demi efisiensi. Sedikit demi sedikit, berhala ini menggantikan kehadiran Bapa di dalam diri kita. Berhala pertama menggantikan kehadiran Putra, berhala kedua menggantikan kehadiran Roh, dan berhala ketiga menggantikan kehadiran Bapa. Bapa kita adalah Sang Pencipta, tetapi bukan hanya pencipta yang membuat segala sesuatu "berfungsi". Ia “menciptakan” kita, sebagai Bapa kita, dengan cinta yang lembut, merawat ciptaan-Nya dan bekerja untuk membuat manusia semakin bebas. “Para pejabat” tidak senang dengan rahmat yang dicurahkan Roh kepada umat-Nya, yang darinya mereka juga dapat “dipelihara” seperti pekerja yang mendapatkan upahnya. Para gembala dengan pola pikir fungsionalis memiliki makanan sendiri, yaitu egonya. Dalam fungsionalisme, kita mengesampingkan penyembahan Bapa dalam perkara besar dan kecil dalam hidup kita serta menikmati efisiensi program kita. Sebagaimana dilakukan Daud ketika, tergoda oleh Iblis, ia bersikeras untuk melakukan cacah jiwa (bdk. 1Taw 21:1). Inilah para pecinta rencana rute dan rencana perjalanan, serta bukan perjalanan itu sendiri.

 

Dalam dua ruang penyembahan berhala yang tersembunyi terakhir (pragmatisme angka dan fungsionalisme), kita mengganti harapan, yang merupakan ruang perjumpaan dengan Allah, dengan hasil empiris. Ini menunjukkan sikap keangkuhan dari pihak gembala, sikap yang melemahkan persatuan umat-Nya dengan Allah dan menempa berhala baru berdasarkan angka dan program: berhala “kuasaku, kuasa kita”,[4] program kita, angka-angka dan rencana pastoral kita. Menyembunyikan berhala-berhala ini (seperti yang dilakukan Rahel), dan tidak tahu bagaimana membuka kedoknya dalam kehidupan kita sehari-hari, mengurangi kesetiaan kita pada janji imamat kita dan membuat hubungan pribadi kita dengan Tuhan menjadi suam-suam kuku. Tetapi apa yang diinginkan Uskup ini? Alih-alih berbicara tentang Yesus, ia berbicara tentang berhala hari ini. Seseorang bisa berpikir seperti itu…

 

Saudara-saudara terkasih, Yesus adalah satu-satunya "jalan" untuk menghindari kesalahan dalam memahami apa yang kita rasakan dan ke mana hati kita membawa kita. Ia adalah satu-satunya jalan yang menuntun kepada penegasan yang tepat, saat kita mengukur diri kita terhadap Dia setiap hari. Seolah-olah, bahkan sekarang, Ia duduk di gereja paroki kita dan memberitahu kita bahwa hari ini semua yang kita dengar sekarang telah digenapi. Yesus Kristus, sebagai tanda perbantahan – yang tidak selalu sesuatu yang keras dan menyakitkan, demi belas kasihan dan, terlebih lagi, kasih yang lembut, dengan sendirinya merupakan tanda perbantahan – Yesus Kristus, saya ulangi, memaksa berhala-berhala ini untuk menunjukkan diri mereka, sehingga kita dapat melihat kehadiran mereka, akar mereka dan cara mereka beroperasi, dan membiarkan Tuhan menghancurkan mereka. Ini adalah tawaran : perkenankan Tuhan menghancurkan berhala-berhala yang tersembunyi itu. Kita harus mengingat hal-hal ini dan berhati-hati, jangan sampai lalang berhala-berhala ini yang dapat kita sembunyikan di dalam lipatan hati kita dapat tumbuh kembali.

 

Saya ingin mengakhiri dengan memohon kepada Santo Yosef, sebagai bapa yang bergegas, bebas dari berhala-berhala tersembunyi, untuk membebaskan kita dari segala bentuk kepemilikan, karena kepemilikan adalah tanah subur di mana berhala-berhala ini tumbuh. Semoga ia juga mendapatkan bagi kita rahmat untuk bertekun dalam tugas yang sulit untuk membedakan berhala-berhala yang terlalu sering kita sembunyikan atau yang menyembunyikan diri mereka. Marilah kita juga memohon, kapan pun kita bertanya-tanya apakah kita dapat melakukan hal-hal yang lebih baik, agar ia menjadi perantara kita, sehingga Roh dapat menerangi penilaian kita, sama seperti yang Ia lakukan ketika Yosef tergoda untuk menceraikan Maria "secara diam-diam" (lathra). Dengan cara ini, dengan keluhuran hati, kita mungkin dapat membuat diri kita tunduk pada cinta kasih yang telah kita pelajari melalui hukum.[5]

_____


(Peter Suriadi - Bogor, 14 April 2022)



[1]Karena imamat jabatan atau hirarkis melayani imamat umum kaum beriman. Tuhan telah mengangkat orang-orang tertentu “demi nama Kristus secara resmi menunaikan tugas imamat bagi orang-orang” (Konsili Vatikan II, Dekrit tentang Pelayanan dan Kehidupan Para Imam Presbyterorum Ordinis, 2; bdk. Konstitusi Dogmatis tentang Gereja Lumen Gentium, 10). “Para pelayan, yang mempunyai kekuasaan kudus, melayani saudara-saudara mereka” (Lumen Gentium, 18).

[2]Bdk. Audiensi Umum, 1 Agustus 2018.

[3]Homili, Misa di kediaman Santa Marta, 16 Mei 2020.

[4]J.M. BERGOGLIO, Meditasi Kaum Religius, Bilbao, Mensajero, 2014, 145.

[5]Bdk. Surat Apostolik Patris Corde, 4, catatan 18.