Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA PERINGATAN 60 TAHUN PEMBUKAAN KONSILI VATIKAN II 11 Oktober 2022 : DUA CARA MELIHAT GEREJA YANG KITA PELAJARI DARI KONSILI VATIKAN II

Bacaan Ekaristi : Yeh 34:11-16; Yoh 21:15-17.

 

"Apakah engkau mengasihi Aku?". Inilah kata-kata pertama yang diucapkan Yesus kepada Petrus dalam Bacaan Injil yang baru saja kita dengar (Yoh 21:15). Kata-kata terakhir-Nya adalah : “Gembalakanlah domba-domba-Ku” (ayat 17). Pada peringatan pembukaan Konsili Vatikan II, kita dapat merasakan bahwa kata-kata Tuhan yang sama itu juga ditujukan kepada kita, kepada kita sebagai Gereja : Apakah engkau mengasihi Aku? Gembalakanlah domba-domba-Ku.

 

Pertama : Apakah engkau mengasihi Aku? Ini adalah sebuah pertanyaan, karena gaya Yesus bukanlah menawarkan jawaban melainkan mengajukan pertanyaan, pertanyaan yang menantang hidup kita. Tuhan, yang “dari kelimpahan cinta kasih-Nya menyapa manusia sebagai sahabat-sahabat-Nya dan bergaul dengan mereka” (Dei Verbum, 2), terus bertanya kepada Gereja, Mempelai Perempuan-Nya: “Apakah engkau mengasihi Aku?”. Konsili Vatikan II adalah salah satu tanggapan yang bagus untuk pertanyaan ini. Untuk mengobarkan kembali cintanya kepada Tuhan, Gereja, untuk pertama kalinya dalam sejarahnya, mengabdikan sebuah Konsili untuk memeriksa dirinya serta merenungkan kodrat dan perutusannya. Ia melihat dirinya sekali lagi sebagai misteri rahmat yang dihasilkan oleh cinta; ia melihat dirinya secara baru sebagai Umat Allah, Tubuh Kristus, bait Roh Kudus yang hidup!

 

Inilah cara pertama melihat Gereja : dari atas. Memang, Gereja pertama-tama perlu dilihat dari atas, dengan mata Allah, mata penuh cinta. Marilah kita bertanya pada diri kita apakah kita, di dalam Gereja, memulai dengan Allah dan tatapan kasih-Nya kepada kita. Kita selalu tergoda untuk memulai dari diri kita sendiri dan bukan dari Allah, menempatkan agenda kita di depan Injil, membiarkan diri kita terperangkap dalam angin keduniawian untuk mengejar mode saat ini atau membalikkan punggung kita pada saat penyelenggaraan ilahi telah dianugerahkan kepada kita, untuk menelusuri kembali langkah kita. Namun marilah kita berhati-hati : baik “progresivisme” yang berbaris di belakang dunia dan “tradisionalisme” – atau “melihat ke belakang” – yang merindukan dunia masa lalu bukanlah bukti cinta, tetapi ketidaksetiaan. Semua itu adalah bentuk keegoisan Pelagian yang menempatkan selera dan rencana kita di atas cinta yang berkenan bagi Allah, cinta yang sederhana, rendah hati dan setia yang diminta Yesus dari Petrus.

 

Apakah engkau mengasihi Aku? Marilah kita temukan kembali Konsili untuk memulihkan keutamaan Allah, pada apa yang hakiki : pada Gereja yang jatuh cinta dengan Tuhannya dan semua manusia yang Ia kasihi; pada Gereja yang kaya dalam Yesus dan miskin dalam aset; pada Gereja yang bebas dan sedang membebaskan. Ini adalah jalan yang ditunjukkan oleh Konsili kepada Gereja. Jalan yang menuntunnya untuk kembali, seperti Petrus dalam Bacaan Injil, ke Galilea, ke sumber cinta pertamanya; menemukan kembali kekudusan Allah dalam kemiskinannya (bdk. Lumen Gentium, 8c; bab 5). Kita masing-masing kita juga memiliki Galilea, Galilea cinta pertama kita, dan tentu saja hari ini kita semua dipanggil untuk kembali ke Galilea kita untuk mendengarkan suara Tuhan : "Ikutlah Aku". Dan di sana, menemukan kembali dalam tatapan Tuhan yang disalibkan dan bangkit sukacita yang telah memudar; berfokus pada Yesus. Menemukan kembali sukacita kita, karena telah lama kehilangan sukacitanya, Gereja telah kehilangan cintanya. Menjelang akhir hayatnya, Paus Yohanes menulis : “Hidupku ini, yang sekarang mendekati matahari terbenam, tidak dapat menemukan akhir yang lebih baik daripada memusatkan segenap pikiranku di dalam Yesus, Putera Maria… persahabatan yang besar dan terus-menerus dengan Yesus, direnungkan sebagai seorang Kanak-kanak dan di atas kayu salib, serta disembah dalam Sakramen Mahakudus” (Jurnal Sebuah Jiwa). Ini adalah pandangan kita dari atas; ini adalah sumber kita yang selalu hidup : Yesus, Galilea cinta, Yesus yang memanggil kita, Yesus yang bertanya kepada kita : "Apakah engkau mengasihi Aku?".

 

Saudara dan saudari, marilah kita kembali ke sumber cinta murni Konsili. Marilah kita temukan kembali semangat Konsili dan memperbarui semangat kita untuk Konsili! Tenggelam dalam misteri Gereja, Bunda dan Mempelai Perempuan, marilah kita juga mengatakan, bersama Santo Yohanes XXIII : Gaudet Mater Ecclesia! (Wejangan pada Pembukaan Konsili, 11 Oktober 1962). Semoga Gereja diliputi dengan sukacita. Jika ia gagal untuk bersukacita, ia akan menyangkal dirinya sendiri, karena ia akan melupakan cinta yang melahirkannya. Namun berapa banyak dari kita yang tidak mampu menjalani iman dengan sukacita, tanpa mengeluh dan mengkritik? Gereja yang mengasihi Yesus tidak punya waktu untuk dan berbantah-bantahan, bergunjing, dan berselisih paham. Semoga Allah membebaskan kita dari sikap kritis dan intoleran, keras dan marah! Ini bukan soal gaya tetapi soal cinta. Bagi mereka yang mengasihi, seperti yang diajarkan Rasul Paulus, lakukan segala sesuatu tanpa bersungut-sungut (bdk. Flp 2:14). Tuhan, ajari kami tatapanmu yang luhur; ajarilah kami untuk melihat Gereja seperti Engkau melihatnya. Dan ketika kita kritis dan tidak puas, marilah kita ingat bahwa menjadi Gereja berarti menjadi saksi keindahan cinta-Mu, menjalani hidup kita sebagai jawaban atas pertanyaan-Mu : Apakah engkau mengasihi Aku? Dan tidak bertindak seolah-olah kita sedang berada di pemakaman.

Apakah engkau mengasihi Aku? Gembalakanlah domba-domba-Ku. Dengan kata kerja kedua, gembalakanlah, Yesus mengungkapkan jenis kasih yang Ia inginkan dari Petrus. Jadi marilah kita sekarang berkaca pada Petrus. Ia adalah seorang nelayan yang dijadikan Yesus penjala manusia (bdk. Luk 5:10). Yesus memberinya peran baru, peran sebagai gembala, sesuatu yang sama sekali baru baginya. Ini sebenarnya merupakan titik balik dalam kehidupan Petrus, karena sementara para nelayan sibuk mengangkut tangkapan untuk diri mereka, para gembala peduli dengan sesama, dengan menggembalakan sesama. Gembala hidup dengan domba-domba mereka; mereka menggembalakan domba dan datang untuk mencintai mereka. Seorang gembala tidak “di atas” jala – seperti seorang nelayan – tetapi “di tengah” domba-dombanya. Seorang gembala berdiri di depan orang-orang untuk menandai jalan, di tengah-tengah orang-orang sebagai salah satu dari mereka, dan di belakang orang-orang agar dekat dengan orang-orang yang tersesat. Seorang gembala tidak berada di atas, seperti seorang nelayan, tetapi di tengah-tengah.

 

Inilah cara kedua melihat Gereja yang kita pelajari dari Konsili : melihat sekeliling. Dengan kata lain, berada di dunia bersama orang lain tanpa pernah merasa lebih tinggi dari yang lain, menjadi hamba dari kenyataan yang lebih tinggi yaitu Kerajaan Allah (bdk. Lumen Gentium, 5); membawa kabar baik Injil ke dalam kehidupan dan bahasa bangsa-bangsa (bdk. Sacrosanctum Concilium, 36), ambil bagian dalam kegembiraan dan harapan mereka (bdk. Gaudium et Spes, 1). Berada di tengah-tengah umat, bukan di atas umat, yang merupakan dosa buruk klerikalisme yang membunuh domba-domba daripada membimbing atau membantu mereka bertumbuh. Alangkah tepatnya saat Konsili! Konsili membantu kita menolak godaan untuk mengurung diri dalam batas-batas kenyamanan dan keyakinan kita. Konsili membantu kita meneladan pendekatan Allah, yang digambarkan oleh nabi Yehezkiel kepada kita hari ini : “Carilah domba yang hilang dan bawalah pulang ke kandang, balutlah domba yang terluka dan kuatkanlah domba yang lemah” (bdk. Yeh 34:16).

 

Gembalakanlah : Gereja tidak mengadakan Konsili untuk mengagumi dirinya sendiri, tetapi untuk memberikan dirinya kepada orang lain. Memang, Bunda kita yang kudus dan hierarkis, yang muncul dari hati Tritunggal, ada demi cinta. Ia adalah umat imami (bdk. Lumen Gentium, 10 dst.), tidak dimaksudkan untuk menonjol di mata dunia, tetapi untuk melayani dunia. Janganlah kita lupa bahwa Umat Allah dilahirkan "ekstrovert" dan memperbarui masa mudanya dengan penyerahan diri, karena itu adalah sakramen cinta, "tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia" (Lumen Gentium, 1). Saudara dan saudari, marilah kita kembali ke Konsili, yang menemukan kembali sungai Tradisi yang hidup tanpa tetap terperosok dalam tradisi. Konsili menemukan kembali sumber cinta, bukan untuk tetap berada di ketinggian gunung, tetapi mengalir ke bawah sebagai saluran belas kasih bagi semua orang. Marilah kita kembali ke Konsili dan bergerak melampaui diri kita, menahan godaan untuk mementingkan diri sendiri, yang merupakan cara untuk menjadi duniawi. Sekali lagi, Tuhan memberitahu Gereja-Nya : gembalakanlah! Dan saat ia menggembalakan, ia meninggalkan nostalgia masa lalu, penyesalan atas berlalunya pengaruh sebelumnya, dan keterikatan pada kekuasaan. Bagimu, Umat Allah yang kudus, adalah umat pastoral. Kamu tidak berada di sini untuk menggembalakan dirimu sendiri, atau mendaki, tetapi menggembalakan orang lain – semua yang lain – dengan cinta. Dan jika tepatnya untuk menunjukkan perhatian khusus, penggembalaan hendaknya ditujukan kepada mereka yang paling dikasihi Allah : kaum miskin dan kaum yang terbuang (bdk. Lumen Gentium, 8; Gaudium et Spes, 1). Gereja dimaksudkan untuk menjadi, seperti yang dikatakan Paus Yohanes, “Gereja semua orang, dan khususnya Gereja kaum miskin” (Pesan Radio kepada umat beriman di seluruh dunia sebulan sebelum Konsili Ekumenis Vatikan II, 11 September 1962).

 

Apakah engkau mengasihi Aku? Tuhan kemudian berkata : “Gembalakanlah domba-domba-Ku”. Ia tidak bermaksud hanya beberapa domba, tetapi semuanya, karena Ia mencintai mereka semua, dengan penuh kasih menyebut mereka sebagai "domba-domba-Ku". Gembala yang baik melihat keluar dan ingin domba-dombanya bersatu, di bawah bimbingan para gembala yang telah diberikan-Nya kepada mereka. Ia ingin kita – dan ini adalah cara ketiga dalam memandang Gereja – melihat keseluruhan, kita semua bersama-sama. Konsili mengingatkan kita bahwa Gereja adalah persekutuan menurut gambar Tritunggal (bdk. Lumen Gentium, 4.13). Iblis, di sisi lain, ingin menabur benih perpecahan. Janganlah kita menyerah pada bujukan atau godaan pengutuban. Seberapa sering, setelah Konsili, umat Kristiani lebih memilih untuk memihak Gereja, tanpa menyadari bahwa mereka telah menghancurkan hati Bunda mereka! Berapa kali mereka lebih suka menyemangati pesta mereka sendiri daripada menjadi pelayan semua orang? Menjadi progresif atau konservatif daripada menjadi saudara dan saudari? Berada di “kanan” atau “kiri”, bukannya bersama Yesus? Menampilkan diri mereka sebagai "penjaga kebenaran" atau "pelopor inovasi" daripada melihat diri mereka sebagai anak-anak Gereja Bunda yang kudus yang rendah hati dan penuh syukur. Kita semua adalah anak-anak Allah, semua saudara dan saudari di Gereja, kita semua yang membentuk Gereja, kita semua. Menjadi seperti itulah Tuhan menginginkan kita. Kita adalah domba-domba-Nya, kawanan-Nya, dan kita hanya bisa bersama dan sebagai satu kesatuan. Marilah kita atasi semua pengutuban dan melestarikan persekutuan kita. Semoga kita semua semakin “menjadi satu”, seperti yang didoakan Yesus sebelum mengorbankan nyawa-Nya untuk kita (bdk. Yoh 17:21). Dan semoga Maria, Bunda Gereja, membantu kita dalam hal ini. Semoga kerinduan akan persatuan bertumbuh di dalam diri kita, keinginan untuk berkomitmen dalam persekutuan penuh di antara semua orang yang percaya kepada Kristus. Marilah kita menyingkirkan “isme”, karena umat Allah tidak menyukai pengutuban. Umat ​​Allah adalah umat Allah yang setia dan kudus : inilah Gereja. Ada baiknya hari ini, seperti selama Konsili, perwakilan dari komunitas Kristiani lainnya hadir bersama kita. Terima kasih! Terima kasih telah berada di sini, terima kasih atas kehadiranmu!

 

Kami berterima kasih, Tuhan, atas karunia Konsili. Engkau yang mencintai kami, bebaskan kami dari anggapan kecukupan diri dan dari semangat kritik duniawi. Halangilah kami untuk tidak mengecualikan diri dari persatuan. Engkau yang dengan penuh kasih menggembalakan kami, tuntunlah kami keluar dari bayang-bayang keasyikan diri. Engkau yang menginginkan kami menjadi satu kawanan yang bersatu padu, selamatkan kami dari bentuk-bentuk pengutuban dan “isme” yang merupakan hasil karya iblis. Dan kami, Gereja-Mu, bersama Petrus dan seperti Petrus, sekarang berkata kepada-Nya : “Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau" (bdk. Yoh 21:17).

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 12 Oktober 2022)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XXVIII (MISA KANONISASI BEATO GIOVANNI BATTISTA SCALABRINI DAN BEATO ARTEMIDE ZATTI) 9 Oktober 2022 : BERJALAN BERSAMA DAN MENGUCAP SYUKUR

Bacaan Ekaristi : 2Raj. 5:14-17; Mzm. 98:1,2-3ab,3cd-4; 2Tim. 2:8-13; Luk. 17:11-19.

 

Ketika Yesus sedang berjalan, datanglah sepuluh orang kusta menemui Dia dan berteriak, "Kasihanilah kami!" (Luk 17:13). Kesepuluh orang itu disembuhkan, namun hanya satu dari mereka yang kembali untuk mengucap syukur kepada Yesus. Ia adalah seorang Samaria, semacam bidaah bagi orang-orang Yahudi. Pada mulanya, mereka berjalan bersama, tetapi kemudian orang Samaria itu meninggalkan yang lainnya dan “kembali sambil memuliakan Allah dengan suara nyaring” (ayat 15). Marilah kita berhenti dan merenungkan dua aspek Injil hari ini : berjalan bersama dan mengucap syukur.

 

Pertama, berjalan bersama. Di awal kisah, tidak ada perbedaan antara orang Samaria dan sembilan orang lainnya. Kita hanya mendengar bahwa mereka adalah penderita kusta, yang bersama-sama, sebagai kelompok, mendekati Yesus. Kusta, sebagaimana kita ketahui, bukan hanya penyakit fisik yang sampai sekarang harus kita upayakan untuk memberantasnya, tetapi juga merupakan “penyakit sosial”, karena pada masa itu, karena takut menulari, penderita kusta harus dipisahkan dari masyarakat (bdk. Im 13:46). Oleh karena itu, mereka tidak bisa memasuki desa; mereka dijauhkan, dikucilkan dan diasingkan ke pinggiran kehidupan sosial dan bahkan kehidupan keagamaan. Dengan berjalan bersama, para penderita kusta ini menuntut masyarakat yang mengucilkan mereka. Kita juga harus mencatat bahwa orang Samaria, meskipun dianggap bidaah, “orang asing”, adalah bagian dari kelompok mereka. Saudara dan saudari, setiap kali penyakit dan kerapuhan ditanggung bersama, hambatan runtuh dan pengucilan diatasi.

 

Gambaran ini juga berarti bagi kita : ketika kita jujur ​​pada diri sendiri, kita menyadari bahwa kita semua sakit hati, semua pendosa membutuhkan belas kasihan Bapa. Kemudian kita berhenti menciptakan perpecahan berdasarkan prestasi, posisi sosial atau kriteria dangkal lainnya; hambatan batin dan prasangka kita juga runtuh. Pada akhirnya, kita menyadari sekali lagi bahwa kita adalah saudara-saudari. Bahkan Naaman, orang Siria, sebagaimana Bacaan Pertama mengingatkan kita, dengan segala kekayaan dan kekuasaannya, hanya dapat disembuhkan dengan melakukan sesuatu yang sederhana : mandi di sungai yang di dalamnya semua orang juga sedang mandi. Pertama-tama, ia harus menanggalkan baju zirah dan jubahnya (bdk. 2Raj 5). Sebaiknya kita mengesampingkan baju zirah kita, penghalang pertahanan kita, dan mandi dengan kerendahan hati, sadar bahwa batin kita semua rentan dan membutuhkan penyembuhan. Kita semua adalah saudara dan saudari. Marilah kita ingat hal ini : iman kristiani selalu meminta kita untuk berjalan bersama orang lain, tidak pernah menjadi musafir sendirian. Iman selalu mendorong kita untuk bergerak melampaui diri kita serta menuju Allah dan saudara-saudari kita, tidak pernah tinggal tertutup di dalam diri kita. Iman mengundang kita untuk mengakui terus-menerus bahwa kita membutuhkan penyembuhan dan pengampunan, serta ambil bagian dalam kelemahan orang-orang yang dekat dengan kita, tanpa merasa diri kita lebih unggul.

 

Saudara dan saudari, marilah kita merenungkan dan melihat apakah dalam hidup kita, dalam keluarga kita, di tempat-tempat di mana kita sehari-hari bekerja dan menghabiskan waktu kita, kita mampu berjalan bersama dengan orang lain, mendengarkan mereka, menangkal godaan untuk mengunci diri. dalam keasyikan diri dan hanya memikirkan kebutuhan kita. Berjalan bersama – bersifat “sinodal” – juga merupakan panggilan Gereja. Marilah kita bertanya pada diri kita apakah kita benar-benar komunitas yang benar-benar terbuka dan bersifat menyertakan semua orang; apakah kita bekerjasama, sebagai imam dan awam, dalam pelayanan Injil; dan apakah kita menunjukkan diri kita menyambut, tidak hanya dengan kata-kata tetapi dengan gerakan nyata, kepada mereka yang dekat dan jauh, dan semua orang yang diterpa pasang surut kehidupan. Apakah kita membuat mereka merasa menjadi bagian dari masyarakat? Atau apakah kita mengecualikan mereka? Saya terganggu ketika saya melihat komunitas Kristiani yang membagi dunia menjadi baik dan buruk, orang kudus dan orang berdosa : ini membuat mereka merasa lebih unggul dari yang lain dan mengecualikan begitu banyak orang yang ingin dipeluk oleh Allah. Tolong, selalu menyertakan : dalam Gereja dan dalam masyarakat, yang masih dirusak oleh banyak bentuk ketidaksetaraan dan marginalisasi. Selalu menyertakan. Hari ini, hari di mana Uskup Scalabrini menjadi orang kudus, saya memikirkan para migran. Mengecualikan migran adalah skandal. Sebenarnya, mengecualikan imigran adalah kriminal. Mereka sekarat tepat di depan kita, karena Mediterania adalah kuburan terbesar di dunia. Mengecualikan migran adalah memberontak, berdosa dan kriminal. Tidak membuka pintu bagi mereka yang membutuhkan – “Tidak, kami tidak mengecualikan mereka, kami mengirim mereka pergi” ke kamp-kamp, ​​di mana mereka dieksploitasi dan dijual seperti budak. Saudara dan saudari, hari ini marilah kita mengingat para migran ini, terutama mereka yang sedang sekarat. Dan mereka yang bisa masuk, apakah kita menyambut mereka sebagai saudara atau kita mengeksploitasi mereka? Saya hanya mengajukan pertanyaan.

 

Aspek kedua adalah mengucap syukur.  Dalam kelompok sepuluh penderita kusta, hanya ada satu orang yang menyadari bahwa ia telah sembuh, kembali untuk memuji Allah dan menunjukkan rasa syukur kepada Yesus. Sembilan lainnya disembuhkan, tetapi kemudian pergi dengan cara mereka sendiri, melupakan orang yang telah menyembuhkan mereka. Mereka melupakan rahmat yang diberikan Allah kepada mereka. Orang Samaria, di sisi lain, menjadikan karunia yang diterimanya sebagai langkah pertama dari sebuah perjalanan baru : ia kembali kepada orang yang menyembuhkannya;  ia kembali kepada Yesus untuk mengenal Dia lebih baik; ia masuk ke dalam hubungan dengan Tuhan. Maka, sikap syukurnya bukanlah sekadar tindakan sopan santun, tetapi awal dari perjalanan syukur : ia tersungkur di kaki Yesus (bdk. Luk 17:16) dan menyembah-Nya. Ia mengakui bahwa Yesus adalah Tuhan, bahwa Yesus lebih penting daripada kesembuhan yang ia terima.

 

Ini juga merupakan pelajaran yang berharga bagi kita, saudara-saudari, yang setiap hari mendapat manfaat dari karunia-karunia Allah, namun seringkali menempuh jalan kita sendiri, gagal memupuk hubungan yang hidup dan nyata dengan-Nya. Inilah penyakit rohani yang menjijikan : kita menganggap remeh segala sesuatu, termasuk iman, termasuk hubungan kita dengan Allah, sampai pada titik di mana kita menjadi orang Kristiani yang tidak lagi bisa kagum atau bersyukur, tidak bersyukur dan tidak mampu melihat keajaiban-keajaiban Tuhan. Seorang perempuan yang saya kenal pernah berkata, “Mereka adalah orang Kristen air mawar”. Kita akhirnya berpikir bahwa semua karunia yang kita terima setiap hari adalah alami dan karena kita. Syukur, kemampuan mengucap syukur, justru membuat kita lebih menghargai kehadiran Allah yang Mahakasih dalam hidup kita. Dan menyadari pentingnya orang lain, mengatasi ketidakpuasan dan ketidakpedulian yang menodai hati kita. Sangat penting untuk mengetahui bagaimana mengucapkan "terima kasih". Mengucapkan terima kasih kepada Tuhan setiap hari dan saling berterima kasih. Dalam keluarga kita, karena karunia-karunia kecil kita terima setiap hari dan seringkali bahkan tidak kita pikirkan. Di tempat-tempat kita menghabiskan hari-hari kita, karena banyak pelayanan yang kita nikmati dan semua orang yang mendukung kita. Dalam komunitas Kristiani kita, karena kasih Allah yang kita alami dalam kedekatan saudara dan saudari kita yang, seringkali dalam diam, berdoa, berkorban, menderita dan melakukan perjalanan bersama kita. Jadi tolong, jangan lupa untuk mengucapkan kata-kata kunci ini : terima kasih!

 

Kedua orang kudus yang dikanonisasi hari ini mengingatkan kita akan pentingnya berjalan bersama dan mampu mengucap syukur. Uskup Scalabrini, yang mendirikan dua Kongregasi – satu laki-laki dan satu perempuan – untuk perawatan para migran, pernah mengatakan bahwa dalam perjalanan bersama para migran, kita tidak hanya melihat masalah, tetapi juga rencana takdir. Dalam kata-katanya : “Tepatnya karena migrasi yang dipaksakan oleh penganiayaan, Gereja melampaui batas Yerusalem dan Israel, dan menjadi 'katolik'; berkat migrasi pada zaman kita, Gereja akan menjadi alat perdamaian dan persekutuan di antara bangsa-bangsa” (L’emigrazione degli operai italiani, Ferrara, 1899). Migrasi yang saat ini terjadi di Eropa menyebabkan penderitaan besar dan memaksa kita untuk membuka hati – yaitu migrasi rakyat Ukraina yang melarikan diri dari perang. Jangan kita melupakan para migran Ukraina yang terkepung. Dengan visi yang besar, Scalabrini melihat ke depan ke dunia dan Gereja tanpa hambatan, di mana tidak ada orang asing. Sedangkan Bruder Artemide Zatti dari Salesian – dengan sepedanya – adalah contoh hidup dari rasa syukur. Sembuh dari tuberkulosis, ia mengabdikan seluruh hidupnya untuk melayani orang lain, merawat yang lemah dengan cinta yang lembut. Ia dikatakan telah membawa di pundaknya mayat salah seorang pasiennya. Dipenuhi dengan rasa syukur atas semua yang telah ia terima, ia ingin mengucapkan "terima kasih" dengan menanggung sendiri luka orang lain.

 

Marilah kita berdoa agar para kudus ini, saudara-saudara kita, dapat membantu kita berjalan bersama, tanpa tembok pemisah; dan memupuk keluhuran jiwa yang berkenan kepada Allah, yaitu rasa syukur.

______

 

(Peter Suriadi - Bogor, 9 Oktober 2022)