Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI MINGGU PASKAH IV (MISA TAHBISAN IMAM) 25 April 2021 : PARA IMAM HARUS MENGADOPSI EMPAT BENTUK KEDEKATAN AGAR MENJADI GEMBALA YANG BAIK

Bacaan Liturgi : Kis. 4:8-12; Mzm. 118:1,8-9,21-23,26,28cd,29; 1Yoh. 3:1-2; Yoh. 10:11-18. 

Saudara-saudara yang terkasih, anak-anak kita ini telah dipanggil ke dalam jenjang presbiterat. Marilah kita dengan seksama memikirkan pelayanan apa yang akan mereka tingkatkan di dalam Gereja.

 

Seperti yang kamu ketahui, saudara-saudara, Tuhan Yesus adalah satu-satunya Imam Besar Perjanjian Baru; tetapi di dalam diri-Nya juga segenap umat Allah yang kudus diangkat menjadi umat yang imami. Meskipun demikian, di antara semua murid-Nya, Tuhan Yesus ingin memilih beberapa orang secara khusus, sehingga dengan secara terbuka menjalankan jabatan imamat di dalam Gereja atas nama-Nya demi kepentingan semua orang, mereka akan melanjutkan perutusan pribadi-Nya sebagai guru, imam dan gembala.

 

Setelah permenungan yang matang, sekarang kita akan mengangkat saudara-saudara ini ke dalam jenjang presbiterat, sehingga dalam melayani Kristus Sang Guru, Imam dan Gembala mereka bekerjasama dalam membangun tubuh Kristus, yaitu Gereja, menjadi umat Allah. dan bait suci Roh Kudus.

 

Adapun bagimu, anak-anak yang terkasih, yang akan diangkat ke jenjang presbiterat, pikirkan bahwa dengan menjalankan pelayanan ajaran suci kamu akan berperan serta dalam perutusan Kristus, Guru satu-satunya. Kamu akan menjadi gembala seperti Dia, inilah yang Ia inginkan darimu. Gembala. Gembala umat Allah yang kudus. Gembala yang pergi bersama-sama umat Allah : terkadang di depan kawanan dombanya, terkadang di tengah atau di belakang, tetapi selalu di sana, bersama umat Allah.

 

Pada suatu ketika - dalam bahasa masa lalu - ada pembicaraan tentang "karir gerejawi", yang tidak memiliki arti yang sama seperti saat ini. Ini bukanlah sebuah "karir" : sebuah pelayanan, sebuah pelayanan seperti yang telah diperbuat Allah kepada umat-Nya. Dan pelayanan Allah kepada umat-Nya ini memiliki "jejak", memiliki gaya, gaya yang harus kamu ikuti. Gaya kedekatan, gaya kasih sayang dan gaya kelembutan. Inilah gaya Allah. Kedekatan, kasih sayang, kelembutan.

 

Lingkungan sekitar. Ada empat lingkungan imam. Kedekatan dengan Allah dalam doa, sakramen-sakramen, Misa. Bicara kepada Tuhan, dekat dengan Tuhan. Ia menjadikan diri-Nya dekat dengan kita dalam Putra-Nya. Seluruh cerita Putra-Nya. Ia juga telah dekat denganmu, dengan kamu masing-masing, di jalan hidupmu hingga saat ini. Bahkan di saat-saat buruk dosa, kedekatan itu tetap ada. Kedekatan. Dekat dengan umat Allah yang kudus. Tetapi pertama-tama dekat dengan Allah, dengan doa. Seorang imam yang tidak berdoa perlahan-lahan memadamkan api Roh di dalam dirinya. Kedekatan dengan Allah.

 

Kedua : kedekatan dengan Uskup, dan dalam hal ini dengan "Wakil Uskup". Tetap dekat, karena di dalam Uskup kamu akan memiliki kesatuan. Kamu adalah, saya tidak memaksudkan hamba - kamu adalah hamba Allah - tetapi rekan kerja Uskup. Kedekatan. Saya ingat suatu kali, dahulu kala, seorang imam yang mengalami kemalangan - bisa dibilang - "terpeleset" ... Hal pertama yang ada dalam benak saya adalah menelepon Uskup. Bahkan di saat-saat buruk ia memanggil Uskup untuk dekat dengannya. Kedekatan dengan Allah dalam doa, kedekatan dengan Uskup. “Tetapi saya tidak menyukai Uskup ini…”. Tetapi ia adalah bapamu. "Tetapi Uskup ini memperlakukan saya dengan buruk ...". Bersikaplah rendah hati, pergilah kepada Uskup.

 

Ketiga : kedekatan di antara kamu. Dan saya menyarankan kamu membuat sebuah ketetapan hati hari ini : jangan pernah berbicara buruk tentang seorang saudara imam. Jika kamu memiliki sesuatu yang bertentangan dengan orang lain, jadilah lelaki, kamu memiliki celana : pergilah ke sana, dan katakan padanya di depan wajahnya. "Tetapi ini adalah hal yang sangat buruk ... aku tidak tahu bagaimana ia akan menerimanya ...". Pergilah kepada Uskup, yang membantumu. Tetapi jangan pernah, jangan pernah bergosip. Jangan banyak bicara. Jangan jatuh ke dalam gosip. Kesatuan di antara kalian : dalam dewan imam, dalam komisi, di tempat kerja. Kedekatan antara kamu dan Uskup.

 

Dan keempat : bagi saya, setelah Allah, kedekatan yang paling penting adalah dengan umat Allah yang kudus. Tak satu pun dari kamu belajar untuk menjadi seorang imam. Kamu telah mempelajari ilmu-ilmu gerejawi, sebagaimana dikatakan Gereja itu harus dilakukan. Tetapi kamu dipilih, diambil dari umat Allah. Tuhan berkata kepada Daud : "Aku telah mengambilmu dari kawanan domba". Jangan lupa dari mana asalmu : keluargamu, umatmu ... Jangan kehilangan rasa sebagai umat Allah. Paulus berkata kepada Timotius : "Ingatlah ibumu, nenekmu ...". Ya, darimana asalmu. Dan umat Allah itu ... Penulis Surat kepada orang Ibrani mengatakan : "Ingatlah orang-orang yang memperkenalkanmu pada iman". Imam umat, bukan klerus negara!

 

Empat kedekatan imam : kedekatan dengan Allah, kedekatan dengan uskup, kedekatan di antaramu, kedekatan dengan umat Allah. Gaya kedekatan yang merupakan gaya Allah. Tetapi gaya Allah juga merupakan gaya kasih sayang dan kelembutan. Jangan menutup hatimu dari masalah. Dan kamu akan melihat begitu banyak! Ketika umat datang untuk memberitahumu tentang masalah mereka dan didampingi… kamu menghabiskan waktu untuk mendengarkan dan menghibur. Kasih sayang, yang menuntunmu pada pengampunan, belas kasihan. Tolong: berbelas kasihanlah, jadilah pengampun. Karena Allah mengampuni segalanya, Ia tidak pernah lelah mengampuni, kitalah yang lelah memohon pengampunan. Kedekatan dan kasih sayang. Tetapi kasih sayang yang lembut, dengan kelembutan keluarga, saudara, seorang ayah ... dengan kelembutan itu yang membuatmu merasakan bahwa kamu berada di rumah Allah.

 

Saya berharap kamu memiliki gaya ini, gaya yang merupakan gaya Allah ini.

 

Dan kemudian, saya menyebutkan sesuatu kepadamu dalam Sakristi, tetapi saya ingin menyebutkannya di sini di hadapan umat Allah. Tolong, jauhi kesombongan, kebanggaan akan uang. Iblis masuk "dari kantong". Pikirkan tentang hal ini. Jadilah miskin, karena umat Allah yang kudus adalah miskin. Umat yang miskin yang mengasihi kaum miskin. Jangan menjadi pendaki. "Karir gerejawi" ... Kemudian kamu menjadi pejabat, dan ketika seorang imam mulai menjadi seorang wirausahawan, baik di paroki maupun di perguruan tinggi ..., di mana pun ia berada, ia kehilangan kedekatan dengan umat, ia kehilangan kemiskinan yang menjadikannya serupa dengan Kristus yang miskin dan disalibkan, serta menjadi pengusaha, imam pengusaha dan bukan pelayan. Saya mendengar sebuah cerita yang menyentuh hati saya. Seorang imam yang sangat cerdas, sangat praktis, sangat cakap, yang memegang banyak tugas administrasi, tetapi suatu hari hatinya terikat pada jabatan itu, karena ia melihat salah satu karyawannya, seorang lelaki tua, telah melakukan kesalahan, memarahinya, mengusirnya. Dan orang tua itu meninggal karenanya. Orang itu telah ditahbiskan sebagai imam, dan berakhir sebagai pengusaha yang kejam. Selalu milikilah gambaran ini, selalu milikilah gambaran ini.

 

Gembala yang dekat dengan Allah, dengan Uskup, di antaramu, dan dengan umat Allah. Gembala : hamba sebagai gembala, bukan pengusaha. Dan menjauhlah dari uang.

 

Dan kemudian, ingatlah bahwa jalan keempat lingkungan sekitar ini indah, jalan menjadi gembala ini, karena Yesus menghibur para gembala, karena Ia adalah Sang Gembala yang baik. Dan mencari penghiburan di dalam Yesus, mencari penghiburan dalam Bunda Maria - jangan lupakan Bunda Maria - carilah selalu penghiburan di sana : dihibur dari sana.

 

Dan memikul salib - akan ada beberapa salib dalam hidup kita - di tangan Yesus dan Bunda Maria. Dan jangan takut, jangan takut. Jika kamu dekat dengan Tuhan, Uskup, di antaramu sendiri, dan umat Allah, jika kamu memiliki gaya Allah - kedekatan, kasih sayang dan kelembutan - jangan takut, semuanya akan baik-baik saja.

 

NB : para diakon yang ditahbiskan menjadi imam adalah Diakon Georg Marius Bogdan, Diakon Salvatore Marco Montone, Diakon Manuel Secci, Diakon Diego Armando Barrera Parra, Diakon Salvatore Lucchesi, Diakon Giorgio de Iuri, Diakon Riccardo Cendamo, Samuel Piermarini dan Diakon Mateus Henrique Ataide da Cruz.

_____


(Peter Suriadi - Bogor, 25 April 2021)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI MINGGU PASKAH II (HARI MINGGU KERAHIMAN ILAHI) DI GEREJA ROH KUDUS, SASSIA, 11 April 2021 : KERAHIMAN YESUS DITERIMA MELALUI TIGA KARUNIA


Bacaan Ekaristi : Kis. 4:32-35; Mzm. 118:2-4,16ab-18,22-24; 1Yoh. 5:1-6; Yoh. 20:19-31.

 

Yesus yang bangkit menampakkan diri kepada para murid pada beberapa kesempatan. Ia dengan sabar menenangkan hati mereka yang bermasalah. Sekarang, kebangkitan-Nya menyebabkan "kebangkitan para murid". Ia membangkitkan semangat mereka dan hidup mereka diubah. Sebelumnya, perkataan Tuhan dan teladan-Nya telah gagal mengubah mereka. Sekarang, pada Paskah, sesuatu yang baru terjadi, dan itu terjadi dalam terang kerahiman. Yesus membangkitkan mereka dengan kerahiman. Setelah menerima kerahiman tersebut, mereka pada gilirannya menjadi berkerahiman. Sulit untuk berkerahiman tanpa pengalaman pertama menerima kerahiman.

 

Pertama, mereka menerima kerahiman melalui tiga karunia. Mula-mula, Yesus menawarkan damai sejahtera kepada mereka, kemudian Roh Kudus dan akhirnya luka-luka-Nya. Murid-murid kecewa. Mereka terkurung karena takut, takut ditangkap dan berakhir seperti Sang Guru. Tetapi mereka tidak hanya berkumpul bersama di sebuah ruangan; mereka juga terjebak dalam penyesalan. Mereka telah meninggalkan dan menyangkal Yesus. Mereka merasa tidak berdaya, tercela, tidak berguna. Yesus datang dan berkata kepada mereka sebanyak dua kali, "Damai sejahtera bagi kamu!". Ia tidak membawa damai sejahtera yang menyingkirkan masalah, tetapi yang menanamkan kepercayaan di dalam diri mereka. Bukan damai sejahtera lahiriah, tetapi damai sejahtera hati. Ia mengatakan kepada mereka, “Damai sejahtera bagi kamu! Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu" (Yoh 20:21). Seolah-olah mengatakan, “Aku mengutus kamu karena Aku percaya kepadamu”. Murid-murid yang putus asa itu didamaikan dengan diri mereka. Damai sejahtera Yesus membuat mereka beralih dari penyesalan menuju perutusan. Damai sejahtera Yesus membangkitkan perutusan. Damai sejahtera Yesus tidak memerlukan kemudahan dan kenyamanan, tetapi tantangan untuk keluar dari diri kita. Damai sejahtera Yesus membebaskan diri dari keasyikan yang melumpuhkan; damai sejahtera Yesus memusnahkan ikatan yang membuat hati terpenjara. Murid-murid menyadari bahwa mereka telah diberi kerahiman : mereka menyadari bahwa Allah tidak mengutuk atau merendahkan mereka, tetapi percaya kepada mereka. Pada kenyataannya, Allah lebih percaya kepada kita daripada kita percaya kepada diri kita sendiri. “Ia mengasihi kita lebih baik daripada kita mengasihi diri kita sendiri (bdk. SANTO JOHN HENRY NEWMAN, Meditasi dan Devosi, III, 12, 2). Sejauh menyangkut Allah, tidak ada yang tidak berguna, tercela atau tercampakkan. Hari ini Yesus juga mengatakan kepada kita, “Damai sejahtera bagi kamu! Kamu sangat berharga di mata-Ku. Damai sejahtera bagi kamu! Kamu penting bagi-Ku. Damai sejahtera bagi kamu! Kamu memiliki perutusan. Tidak ada seorang pun yang bisa menggantikanmu. Kamu tidak tergantikan. Dan Aku percaya kepadamu”.

 

Kedua, Yesus menunjukkan kerahiman kepada murid-murid-Nya dengan memberi mereka Roh Kudus. Ia menganugerahkan Roh Kudus demi pengampunan dosa (bdk. ayat 22-23). Murid-murid itu bersalah; mereka telah melarikan diri, mereka telah meninggalkan Sang Guru. Dosa membawa siksaan; kejahatan ada harganya. Dosa kita, seperti yang dikatakan Pemazmur (bdk. 51:5), selalu ada di depan kita. Kita tidak dapat menyingkirkannya. Hanya Allah yang dapat menyingkirnya, dengan kerahiman-Nya hanya Ia yang dapat membuat kita keluar dari kedalaman kesengsaraan kita. Seperti para murid, kita perlu membiarkan diri kita diampuni, memohon pengampunan Tuhan dengan segenap hati. Kita perlu membuka hati kita untuk diampuni. Pengampunan dalam Roh Kudus adalah karunia Paskah yang memungkinkan kebangkitan batin kita. Marilah kita memohon rahmat untuk menerima karunia itu, menerima Sakramen Tobat. Dan untuk memahami bahwa Pengakuan Dosa bukanlah tentang diri kita sendiri dan dosa-dosa kita, tetapi tentang Allah dan kerahiman-Nya. Janganlah kita mengaku dosa untuk merendahkan diri sendiri, tetapi untuk dibangkitkan. Kita, kita semua, sangat membutuhkan hal ini. Seperti anak kecil yang, kapan pun mereka jatuh, perlu digendong oleh ayahnya, kita membutuhkan hal ini. Kita terlalu sering jatuh. Dan tangan Bapa kita siap untuk menjejakkan kaki kita kembali dan membuat kita terus berjalan. Tangan yang terbukti dan dapat dipercaya itu adalah Pengakuan Dosa. Pengakuan dosa adalah sakramen yang mengangkat kita; pengakuan dosa tidak meninggalkan kita di tanah, menangis di atas batu-batu keras tempat kita jatuh. Pengakuan dosa adalah sakramen kebangkitan, kerahiman belaka. Semua orang yang mendengarkan pengakuan dosa harus menyampaikan manisnya kerahiman. Inilah yang harus dilakukan oleh para bapa pengakuan : menyampaikan manisnya kerahiman Yesus yang mengampuni segalanya. Allah mengampuni segalanya.

 

Bersama dengan damai sejahtera yang merehabilitasi kita dan pengampunan yang mengangkat kita, Yesus memberi murid-murid-Nya karunia kerahiman yang ketiga : Ia menunjukkan kepada mereka luka-luka-Nya. Dengan luka-luka itu kita disembuhkan (bdk. 1Ptr 2:24; Yes 53:5). Tetapi bagaimana luka-luka bisa menyembuhkan kita? Dengan kerahiman. Dalam luka-luka itu, seperti Thomas, kita secara harfiah dapat menyentuh fakta bahwa Allah telah mengasihi kita sampai akhir. Ia telah membuat luka-luka kita menjadi luka-luka-Nya dan menanggung kelemahan kita dalam tubuh-Nya. Luka-luka-Nya adalah saluran yang terbuka antara Dia dan kita, menumpahkan kerahiman atas kesengsaraan kita. Luka-luka-Nya adalah jalan yang telah dibuka Allah bagi kita untuk masuk ke dalam kasih-Nya yang lembut dan “menyentuh” siapa Dia sesungguhnya. Marilah kita tidak pernah lagi meragukan kerahiman-Nya. Dengan menyembah dan mencium luka-luka-Nya, kita menyadari bahwa dalam kasih-Nya yang lembut segenap kelemahan kita diterima. Hal ini terjadi pada setiap Misa, di mana Yesus menawarkan kepada kita tubuh-Nya yang terluka dan bangkit. Kita menyentuh-Nya dan Ia menyentuh hidup kita. Ia menurunkan surga bagi kita. Luka-luka-Nya yang bercahaya menghalau kegelapan yang kita bawa dalam batin. Seperti Thomas, kita menemukan Allah; kita menyadari betapa dekatnya Ia dengan kita dan kita tergerak untuk berseru, "Ya Tuhanku dan Allahku!" (Yoh 20:28). Segalanya berasal dari hal ini, dari rahmat menerima kerahiman. Inilah titik awal perjalanan Kristiani kita. Tetapi jika kita percaya pada kemampuan kita sendiri, pada efisiensi tatanan dan rencana kita, kita tidak akan melangkah jauh. Hanya jika kita menerima kasih Allah, barulah kita dapat menawarkan sesuatu yang baru kepada dunia.

 

Dan itulah yang dilakukan para murid : menerima kerahiman, mereka pada gilirannya menjadi berkerahiman. Kita melihat hal ini dalam Bacaan Pertama. Kisah Para Rasul mempertalikan bahwa "Tidak seorang pun yang berkata, bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama" (4:32). Ini bukan komunisme, tetapi Kristiani belaka. Lebih mengejutkan lagi ketika kita memikirkan bahwa mereka adalah murid-murid yang sebelumnya juga mempertengkarkan tentang kelayakan dan pahala, dan tentang siapa yang terbesar di antara mereka (bdk. Mat 10:37; Luk 22:24). Sekarang mereka berbagi segalanya; mereka "sehati dan sejiwa"(Kis 4:32). Bagaimana mereka berubah seperti itu? Mereka sekarang melihat dalam diri orang lain kerahiman yang juga mengubah hidup mereka sendiri. Mereka menemukan bahwa mereka berbagi perutusan, pengampunan dan tubuh Yesus, dan oleh karena itu berbagi kepunyaan mereka tampaknya wajar. Teks melanjutkan : "Tidak ada seorang pun yang berkekurangan di antara mereka" (ayat 34). Ketakutan mereka telah disingkirkan dengan menyentuh luka-luka Tuhan, dan sekarang mereka tidak takut untuk menyembuhkan luka-luka mereka yang berkekurangan. Karena di sana mereka melihat Yesus. Karena Yesus ada di sana, dalam luka-luka mereka yang berkekurangan.

 

Saudari yang terkasih, saudara yang terkasih, apakah kamu ingin bukti bahwa Tuhan telah menjamah hidupmu? Lihatlah apakah kamu bisa membungkuk untuk membalut luka-luka orang lain. Hari ini adalah hari untuk memohon, “Apakah aku yang begitu sering menerima damai sejahtera Tuhan, kerahiman-Nya, berkerahiman kepada orang lain? Apakah aku, yang sudah begitu sering diberi makan tubuh Yesus, berusaha menghilangkan rasa lapar orang miskin?” Janganlah kita tetap acuh tak acuh. Janganlah kita menjalankan iman satu arah, iman yang menerima tetapi tidak memberi, iman yang menerima pemberian tetapi tidak memberikannya sebagai balasannya. Setelah menerima belas kasihan, marilah kita sekarang menjadi berkerahiman. Karena jika kasih hanya tentang kita, iman menjadi gersang, mandul dan mengedepankan perasaan. Tanpa orang lain, iman menjadi tanpa tubuh. Tanpa perbuatan kerahiman, iman mati (bdk. Yak 2:17). Saudara dan saudari yang terkasih, marilah kita diperbarui oleh damai sejahtera, pengampunan dan luka-luka Yesus yang penuh kerahiman. Marilah kita memohon rahmat untuk menjadi saksi-saksi kerahiman. Hanya dengan cara ini iman kita akan hidup dan hidup kita bersatu. Hanya dengan cara ini kita akan memberitakan Injil Tuhan, yaitu Injil kerahiman.

____


(Peter Suriadi - Bogor, 11 April 2021)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA MALAM PASKAH DI BASILIKA SANTO PETRUS, VATIKAN, 3 April 2021 : TIGA MAKNA PERGI KE GALILEA


Bacaan Ekaristi : Bacaan 1: Kej. 1:1-2:2; Mzm. 104:1-2a,5-6,10,12,13-14,24,35c atau Mzm. 33:4-5,6-7,12-13,20,22; Bacaan 2: Kej. 22:1-18; Mzm. 16:5,8,9-10,11; Bacaan 3: Kel. 14:15-15:1; MT Kel. 15:1-2,3-4,5-6,17-18; Bacaan 4: Yes. 54:5-14; Mzm. 30:2,4,5-6,11,12a,13b; Bacaan 5: Yes. 55:1-11; MT Yes. 12:2-3,4bcd,5-6; Bacaan 6: Bar. 3:9-15,32-4:4; Mzm. 19:8,9,10,11; Bacaan 7: Yeh. 36:16-17a,18-28; Mzm. 42:3,5bcd; 43:3,4 atau kalau ada pembaptisan MT Yes. 12:2-3,4bcd,5-6 atau juga Mzm. 51:12-13,14-15,18-19; Epistola : Rm. 6:3-11; Mzm. 118:1-2,16ab-17,22-23; Bacaan Injil: Mrk. 16:1-7.

 

Para perempuan mengira mereka akan menemukan jasad untuk diurapi; sebaliknya mereka malahan menemukan kubur kosong. Mereka pergi untuk meratapi orang mati; sebaliknya mereka malahan mendengar pewartaan kehidupan.

 

Karena alasan ini, Injil memberitahu kita, para perempuan "ditimpa gentar dan dahsyat" (Mrk 16:8). Penuh ketakutan, gentar, dan kedahsyatan. Ketakutan bercampur baur dengan sukacita yang membuat hati mereka terkejut ketika mereka melihat batu yang sangat besar di hadapan kubur sudah terguling dan di dalamnya ada seorang muda yang memakai jubah putih.

 

Heran ketika mendengar kata-kata : “Jangan takut! Kamu mencari Yesus orang Nazaret, yang disalibkan itu. Ia telah bangkit". Dan sebuah pesan : “Ia mendahului kamu ke Galilea; di sana kamu akan melihat Dia".

 

Semoga kita juga menerima pesan ini, pesan Paskah. Marilah kita pergi ke Galilea, di mana Tuhan yang bangkit telah mendahului kita. Namun apa artinya "pergi ke Galilea?"

 

Pertama, pergi ke Galilea berarti memulai kembali. Bagi para murid, pergi ke Galilea berarti kembali ke tempat di mana Tuhan pertama kali mencari dan memanggil mereka untuk mengikuti-Nya. Tempat perjumpaan pertama mereka dan tempat cinta pertama mereka.

 

Sejak saat itu, dengan meninggalkan jala, mereka mengikuti Yesus, mendengarkan khotbah-Nya dan menyaksikan berbagai mukjizat yang Ia perbuat. Namun, meski mereka selalu bersama-Nya, mereka tidak sepenuhnya memahami-Nya. Seringkali mereka salah memahami kata-kata-Nya dan di depan salib mereka meninggalkan-Nya dan melarikan diri.

 

Meskipun demikian, Tuhan yang bangkit sekali lagi tampil sebagai yang mendahului mereka ke Galilea. Ia mendahului mereka. Ia berdiri di depan mereka dan terus-menerus memanggil mereka untuk mengikuti-Nya. Ia berkata kepada mereka : “Mari kita memulai dari tempat kita memulai. Marilah kita memulai kembali. Aku ingin kamu bersama-Ku lagi, terlepas dari segalanya”.

 

Di Galilea ini, kita belajar untuk dahsyat dengan kasih Tuhan yang tak terbatas, yang membuka jalur baru di sepanjang jalan kekalahan kita. Ia seperti ini, dan Ia mengundang kita ke Galilea untuk menjadi seperti ini.

 

Inilah pesan pertama Paskah yang akan saya tawarkan kepadamu : selalu mungkin untuk memulai kembali, karena selalu ada kehidupan baru yang dapat dibangkitkan Allah di dalam diri kita terlepas dari semua kegagalan kita.

 

Bahkan dari puing-puing hati kita - kita masing-masing tahu, tahu puing-puing hati kita masing-masing. Dari puing-puing hati kita, Allah bisa menciptakan sebuah karya seni; dari sisa-sisa kemanusiaan kita yang remuk redam, Allah dapat mempersiapkan sejarah baru. Ia tidak pernah berhenti mendahului kita : di dalam salib penderitaan, kehancuran dan kematian, dan dalam kemuliaan hidup yang dibangkitkan kembali, sejarah yang berubah, harapan yang dilahirkan kembali. Di bulan-bulan pandemi yang kelam ini, marilah kita mendengarkan Tuhan yang bangkit saat Ia mengundang kita untuk memulai kembali dan jangan pernah berputus asa.

 

Pergi ke Galilea juga berarti menempuh jalan baru. Pergi ke Galilea berarti menjauhi kubur. Para perempuan sedang mencari Yesus di kubur; mereka pergi untuk mengingat apa yang telah mereka alami bersama-Nya, yang sekarang telah hilang selamanya. Mereka pergi untuk menikmati kesedihan mereka.

 

Ada semacam iman yang bisa menjadi kenangan akan sesuatu yang dulu indah, sekarang hanya untuk diingat. Banyak orang - kita juga - mengalami "iman kenangan" seolah-olah Yesus adalah seseorang dari masa lalu, seorang sahabat lama pada masa muda mereka yang sekarang sudah jauh, sebuah peristiwa yang terjadi di masa lalu, ketika mereka menghadiri katekisasi sebagai seorang anak. Keyakinan yang berupa kebiasaan, hal-hal dari masa lalu, kenangan masa kecil yang indah, justru bukan lagi keyakinan yang menggerakkan saya, atau menantang saya.

 

Pergi ke Galilea justru berarti menyadari bahwa iman, jika ingin dihidupkan, harus kembali ke jalannya. Pergi ke Galilea setiap hari harus memperbarui langkah pertama perjalanan, kedahsyatan perjumpaan pertama. Dan pergi ke Galilea harus terus percaya, tidak memikirkan sudah tahu segalanya, tetapi merangkul kerendahan hati orang-orang yang memperkenankan diri mereka dikejutkan oleh cara Allah.

 

Kita takut akan kejutan-kejutan Allah; kita sering takut Allah akan mengejutkan kita. Dan hari ini Tuhan mengundang kita untuk menjadikan diri kita terkejut.

 

Lalu, marilah kita pergi ke Galilea untuk menemukan bahwa Allah tidak dapat bersemayam di antara kenangan masa kecil kita, tetapi hidup dan dipenuhi dengan kejutan. Bangkit dari antara orang mati, Yesus tidak pernah berhenti membuat kita dahsyat.

 

Kemudian, inilah pesan kedua Paskah : iman bukanlah album kenangan masa lalu; Yesus tidak ketinggalan zaman. Ia hidup di sini dan sekarang. Ia berjalan di sampingmu setiap hari, dalam setiap situasi yang sedang kamu alami, dalam setiap pencobaan yang harus kamu tanggung, dalam harapan dan impianmu yang terdalam.

 

Ia membuka pintu baru ketika kamu tidak mengharapkannya, Ia mendorongmu untuk tidak memanjakan diri dalam nostalgia masa lalu atau sinisme tentang masa kini. Bahkan jika kamu merasa bahwa semuanya telah hilang, tolong perkenankanlah dirimu terbuka terhadap kedahsyatan kebaruan yang dibawa Yesus : Ia pasti akan mengejutkanmu.

 

Pergi ke Galilea juga berarti pergi ke pinggiran. Galilea adalah pos terdepan : mereka yang tinggal di wilayah yang beragam dan berlainan itu adalah orang-orang yang paling jauh dari kemurnian ritual Yerusalem. Namun di sanalah Yesus memulai perutusan-Nya. Di sanalah Ia membawa pesan-Nya kepada orang-orang yang berjuang untuk hidup dari hari demi hari, mewartakan pesan ini kepada orang-orang yang tersisih, yang rentan dan yang miskin. Di sana Ia membawa wajah dan kehadiran Allah, yang tanpa kenal lelah mencari orang-orang yang putus asa atau tersesat, yang pergi ke pinggiran keberadaan, karena di mata-Nya tidak ada orang yang paling hina, tidak ada orang yang tidak disertakan.

 

Tuhan yang bangkit meminta murid-murid-Nya untuk pergi ke sana bahkan sampai hari ini. Ia meminta kita untuk pergi ke Galilea, ke “Galilea yang sesungguhnya” ini. Pergi ke Galilea adalah tatanan kehidupan sehari-hari, jalanan yang kita lalui setiap hari, sudut-sudut kota kita. Di sana Tuhan mendahului kita dan menjadikan diri-Nya hadir dalam kehidupan orang-orang di sekitar kita, orang-orang yang ambil bagian di zaman kita, rumah kita, pekerjaan kita, kesulitan dan harapan kita.

 

Di Galilea kita belajar bahwa kita dapat menemukan Yesus yang bangkit di wajah saudara-saudari kita, dalam antusiasme orang-orang yang bermimpi dan kepasrahan orang-orang yang putus asa, dalam senyuman orang-orang yang bersukacita dan air mata orang-orang yang menderita, dan terutama orang-orang miskin dan orang-orang yang berada di pinggiran. Kita akan merasakan betapa dahsyat kebesaran Allah terungkap dalam kehinaan, betapa keindahan-Nya terpancar dalam diri orang-orang miskin dan sederhana.

 

Dan inilah pesan ketiga Paskah : Yesus, Tuhan yang bangkit, mengasihi kita tanpa batas dan ada di sana setiap saat kehidupan kita. Setelah menjadikan diri-Nya hadir di jantung dunia kita, Ia mengundang kita untuk mengatasi rintangan, menyingkirkan prasangka, dan setiap hari mendekati orang-orang di sekitar kita untuk menemukan kembali rahmat kehidupan sehari-hari.

 

Marilah kita mengenali-Nya di sini, hadir di Galilea kita, dalam kehidupan sehari-hari. Bersama-Nya, hidup akan berubah. Karena mengatasi seluruh kekalahan, kejahatan dan kekerasan, mengatasi seluruh penderitaan dan kematian, Yesus yang bangkit hidup dan menuntun sejarah.

 

Saudara, saudari, jika pada malam ini kamu sedang mengalami satu jam kegelapan, hari yang belum fajar, cahaya yang redup atau mimpi yang remuk redam, bukalah hatimu dengan kedahsyatan terhadap pesan Paskah : “Jangan takut, Ia telah bangkit! Ia menunggumu di Galilea”.

 

Pengharapanmu tidak akan tetap tidak terpenuhi, air matamu akan mengering, ketakutanmu akan digantikan oleh harapan. Karena Tuhan selalu berjalan di depanmu, Ia selalu berjalan mendahuluimu. Dan, bersama Dia, hidup selalu dimulai kembali.

____


(Peter Suriadi - Bogor, 4 April 2021)

KHOTBAH RANIERO KARDINAL CANTALAMESSA, OFMCAP, DALAM IBADAT JUMAT AGUNG YANG DIPIMPIN PAUS FRANSISKUS DI BASILIKA SANTO PETRUS, VATIKAN, 2 April 2021 : SALIB, LANDASAN KRISTOLOGIS PERSAUDARAAN

“YANG SULUNG DI ANTARA BANYAK SAUDARA” (Rm 8:29)

 

Pada tanggal 3 Oktober 2020, di makam Santo Fransiskus dari Asisi, Bapa Suci Paus Fransiskus menandatangani ensiklik, “Tentang Persaudaraan dan Persahabatan Sosial”, Fratelli Tutti. Dalam waktu singkat, ensiklik tersebut membangkitkan kembali di dalam hati banyak orang cita-cita menuju nilai universal tersebut; telah menjelaskan banyak luka yang melanda dunia dewasa ini; telah menyarankan beberapa cara untuk mencapai persaudaraan manusia yang nyata dan adil; serta telah mendorong setiap orang - baik perorangan maupun secara kelembagaan - untuk bekerja demi tujuan itu.

 

Ensiklik ini ditujukan kepada khalayak yang sangat luas, di dalam maupun di luar Gereja, bahkan praktis seluruh umat manusia. Ensiklik tersebut mencakup berbagai ranah kehidupan, mulai dari ranah pribadi hingga ranah publik, dan dari lingkup keagamaan hingga lingkup sosial-politik. Mengingat ruang lingkup universal, ensiklik tersebut dengan tepat menghindari pembatasan diskusi pada aspek-aspek yang menjadi ciri khas dan hanya dimiliki oleh umat Kristiani. Menjelang akhir ensiklik, ada satu paragraf di mana landasan Injil persaudaraan terangkum. Sedikit dalam kata-kata tetapi bermakna mendalam yang berbunyi :

 

Umat lain minum dari sumber lain. Bagi kita, sumber mata air martabat dan persaudaraan manusia ada di dalam Injil Yesus Kristus. Dari situlah muncul, “karena pemikiran Kristiani dan tindakan Gereja, keutamaan yang diberikan pada hubungan, perjumpaan dengan misteri suci lainnya, persekutuan universal dengan seluruh keluarga manusia, sebagai panggilan semua orang" (Fratelli Tutti, 277).

 

Misteri salib yang sedang kita rayakan mengharuskan kita untuk berfokus tepatnya pada landasan Kristologis persaudaraan yang diresmikan di Kalvari.

 

Kadang-kadang, Perjanjian Baru menggunakan istilah saudara (adelfos) dalam makna primitif, yang paling umum, yaitu saudara kandung, seseorang yang lahir dari ayah yang sama dan ibu yang sama. Kedua, orang-orang yang berasal dari bangsa atau suku bangsa yang sama disebut saudara. Paulus berkata bahwa ia bahkan mau terkutuk - dan terpisah dari Kristus - demi saudara-saudaranya, "kaum sebangsanya secara jasmani", kaum Israel (lihat Rm 9:3). Dalam konteks tersebut, seperti dalam hal ihwal lainnya, saudara adalah istilah umum yang mencakup laki-laki dan perempuan, saudara dan saudari.

 

Cakrawala makna meluas hingga mencakup setiap pribadi manusia, hanya karena dalam keutamaan seperti itu. Saudara, dalam pengertian ini, kadang-kadang diterjemahkan dalam Kitab Suci sebagai sesama. "Barangsiapa membenci saudaranya ..." (1Yoh 2:9) berarti "ia pun membenci sesamanya". Ketika Yesus berkata : “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40), Ia bermaksud untuk menyertakan setiap orang yang membutuhkan pertolongan.

 

Selain semua nuansa ini, Perjanjian Baru juga menggunakan kata saudara untuk menunjukkan sekelompok orang tertentu. Saudara-saudaraku adalah murid-murid Yesus, mereka yang menyambut ajaran-Nya. “Siapa ibu-Ku? Dan siapa saudara-saudara-Ku?" [...] Siapa pun yang melakukan kehendak Bapa-Ku di sorga, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku” (Mat 12:48-50).

 

Paskah menandai perkembangan yang baru dan menentukan dalam hal ini. Dalam Misteri Paskah, Kristus menjadi "yang sulung di antara banyak saudara" (Rm 8:29). Murid-murid menjadi saudara dan saudari dalam arti yang baru dan sangat mendalam. Mereka tidak hanya berbagi keyakinan dalam ajaran Yesus, tetapi juga Roh-Nya, kehidupan-Nya yang baru sebagai Yang Bangkit.

 

Menariknya, hanya setelah kebangkitan untuk pertama kalinya Yesus menyebut murid-murid-Nya saudara. Ia memerintahkan Maria Magdalena, "Pergilah kepada saudara-saudara-Ku dan katakanlah kepada mereka, bahwa sekarang Aku akan pergi kepada Bapa-Ku dan Bapamu, kepada Allah-Ku dan Allahmu" (Yoh 20:17). Surat kepada orang Ibrani menggunakan istilah ini dalam arti serupa, “Sebab Ia yang menguduskan dan mereka yang dikuduskan, mereka semua berasal dari satu Bapa; itulah sebabnya Yesus tidak malu menyebut mereka saudara” (Ibr 2:11).

 

Setelah peristiwa Paskah, inilah penggunaan yang paling umum dari istilah saudara. Istilah tersebut menunjuk pada saudara seiman, anggota jemaat Kristiani. Juga saudara sedarah - tetapi di dalam darah Kristus! Karena Kristus juga Allah, persaudaraan ini unik dan juga transenden.

 

Persaudaraan Kristus tidak menggantikan jenis persaudaraan lainnya, persaudaraan berdasarkan keluarga, bangsa, atau suku bangsa, melainkan memahkotainya. Sebagai ciptaan yang berasal dari Allah dan Bapa yang sama, semua manusia adalah saudara. Iman Kristiani menambahkan dimensi kedua dan yang menentukan. Kita bersaudara bukan hanya karena kita semua memiliki Bapa yang sama dalam hal penciptaan, tetapi kita juga memiliki saudara yang sama, Kristus, “yang sulung di antara banyak saudara” dalam keutamaan penebusan.

 

* * *

 

Beberapa akibat praktis mengalir dari kebenaran ini. Kita membangun persaudaraan dengan cara yang persis sama dengan kita membangun perdamaian, yang dimulai dari dekat, dengan diri kita sendiri, bukan dengan strategi yang hebat dan ambisius, tujuan yang abstrak. Bagi kita, membangun persaudaraan universal harus dimulai dengan Gereja Katolik. Untuk kali ini, saya bahkan ingin mengesampingkan lingkup kedua, yaitu persaudaraan yang ada di antara semua orang yang percaya kepada Kristus, yaitu ekumenisme.

 

Persaudaraan di antara umat Katolik terluka! Perpecahan di antara Gereja-gereja telah mengoyak jubah Kristus hingga tercabik-cabik, dan lebih buruk lagi, setiap sayatan telah tercabik-cabik menjadi sayatan yang lebih kecil. Tentu saja saya berbicara perihal unsur manusiawinya, karena tidak seorang pun akan pernah dapat mengoyak jubah Kristus yang sesungguhnya, tubuh mistik-Nya yang digerakkan oleh Roh Kudus. Di mata Allah, Gereja adalah "satu, kudus, katolik dan apostolik", dan akan tetap demikian sampai akhir dunia. Tetapi, hal ini tidak meniadakan perpecahan kita, tetapi membuat perpecahan tersebut semakin bersalah dan harus mendorong kita semakin kuat untuk menyembuhkannya.

 

Apa penyebab paling umum dari getirnya perpecahan di antara umat Katolik? Penyebabnya bukan dogma, bukan pula sakramen maupun pelayanan, tidak ada satu hal pun yang berkat rahmat Allah semata kita lestarikan secara penuh dan bersifat universal. Perpecahan yang mengutubkan umat Katolik berasal dari pilihan politik yang tumbuh menjadi ideologi yang diprioritaskan dibanding pertimbangan agama maupun Gereja serta mengarah pada pengabaian sepenuhnya nilai dan kewajiban ketaatan di dalam Gereja.

 

Di pelbagai belahan dunia, perpecahan ini sangat nyata, meskipun tidak dibicarakan secara terbuka atau disangkal karena merupakan sesuatu yang nista. Inilah dosa dalam makna aslinya. Kerajaan dunia ini menjadi lebih penting, di dalam hati manusia ketimbang Kerajaan Allah.

 

Saya percaya bahwa dalam hal ini kita semua perlu sungguh melakukan pemeriksaan hati nurani dan bertobat. Perpecahan yang berkobar terutama adalah pekerjaan sosok yang bernama 'diabolos' yaitu, sang pencerai-berai, musuh yang menabur lalang, yang dirujuk Yesus dalam perumpamaan-Nya (lihat Mat 13:25).

 

Kita perlu belajar dari teladan Yesus dan Injil. Ia hidup pada masa pengutuban politik yang kuat. Ada empat kelompok : Farisi, Saduki, Herodian, dan Zelot. Yesus tidak memihak salah satu dari mereka dan dengan penuh semangat menolak upaya untuk ditarik ke salah satu kubu. Jemaat Kristiani yang paling awal dengan setia mengikuti-Nya dalam pilihan tersebut, memberikan teladan terutama bagi para gembala, yang perlu menjadi gembala dari seluruh umatnya, tidak hanya sebagian umat. Para gembala harus menjadi orang pertama yang sungguh melakukan pemeriksaan hati nurani. Mereka perlu bertanya pada diri sendiri ke manakah mereka memimpin umat mereka - ke posisi mereka atau ke posisi Yesus. Konsili Vatikan II secara khusus mempercayakan kepada kaum awam tugas untuk menerjemahkan dampak sosial, ekonomi dan politik dari penerapan Injil dalam beragam situasi sejarah, selalu dengan cara yang penuh hormat dan damai.

 

* * *

 

Jika ada karisma atau karunia khusus yang diserukan oleh Gereja Katolik untuk dipelihara demi seluruh Gereja Kristiani, persatuanlah tepatnya. Perjalanan Bapa Suci ke Irak baru-baru ini telah membuat kita melihat secara langsung betapa pentingnya bagi orang-orang yang tertindas atau yang selamat dari penganiayaan, kekejaman, dan perang untuk merasakan memiliki tubuh universal, dengan seseorang yang menyuarakan suaranya kepada mereka yang tidak bersuara, sehingga jeritan mereka dapat didengar oleh seluruh dunia dan harapan dihidupkan kembali. Sekali lagi amanat Kristus kepada Petrus, “Kuatkanlah saudara-saudaramu” (Luk 22:32) telah tergenapi.

 

Kepada Dia yang wafat di kayu salib “untuk mengumpulkan dan mempersatukan anak-anak Allah yang tercerai-berai” (Yoh 11:52), dengan jiwa yang rendah hati dan hati yang menyesal, kita lambungkan doa yang dialamatkan kepada-Nya oleh Gereja sebelum Komuni dalam setiap Misa :

 

Tuhan Yesus Kristus, Engkau telah bersabda kepada para rasul, ‘Damai Kutinggalkan bagimu, damai-Ku Kuberikan kepadamu’. Jangan memperhitungkan dosa kami, tetapi perhatikanlah iman Gereja-Mu, dan restuilah kami supaya hidup bersatu dengan rukun sesuai dengan kehendak-Mu. Sebab Engkaulah Pengantara kami, kini dan sepanjang masa”.

_____


(Peter Suriadi - Bogor, 3 April 2021)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA KRISMA DI BASILIKA SANTO PETRUS, VATIKAN 1 April 2021 : PEMBERITAAN INJIL SELALU TERKAIT DENGAN MEMELUK SALIB


Bacaan Ekaristi : Yes. 61:1-3a,6a,8b-9; Mzm. 89:21-22,25,27; Why. 1:5-8; Luk. 4:16-21.

 

Bacaan Injil menunjukkan kepada kita perubahan hati di antara orang-orang yang sedang mendengarkan Tuhan. Perubahannya dramatis, dan mengungkapkan sejauh mana penganiayaan dan salib terkait dengan pemberitaan Injil. Kekaguman yang ditimbulkan oleh kata-kata penuh rahmat yang diucapkan oleh Yesus tidak bertahan lama di benak orang-orang Nazaret. Komentar yang diucapkan seseorang menjadi viral secara diam-diam : "Bukankah Ia ini anak Yusuf?" (Luk 4:22).

 

Komentar tersebut merupakan salah satu ungkapan mendua yang terlontar sambil lalu. Seseorang dapat mengatakannya dengan senang hati : “Betapa hebatnya seseorang yang berasal dari asal-usul yang rendah hati berbicara dengan otoritas ini!” Orang lain dapat mengatakannya dengan mencemooh : “Dan orang ini, dari manakah ia berasal? Siapakah dia yang ada di benaknya?" Jika kita memikirkannya, kita juga dapat mendengarkan kata-kata yang diucapkan pada hari Pentakosta, ketika para rasul, yang dipenuhi oleh Roh Kudus, mulai memberitakan Injil. Beberapa orang berkata : "Bukankah mereka semua yang berkata-kata itu orang Galilea?" (Kis 2:7). Sementara beberapa orang menerima perkataan tersebut, yang lainnya malah mengira bahwa para rasul sedang mabuk.

 

Sesungguhnya, kata-kata yang diucapkan di Nazaret itu mungkin bisa berjalan keliru, malahan jika kita melihat apa yang terjadi selanjutnya, jelas bahwa kata-kata itu mengandung benih kekerasan yang kemudian akan dilancarkan terhadap Yesus.

 

Kata-kata tersebut merupakan "pembenaran",[1] seperti, misalnya, ketika seseorang berkata : "Itu terlalu berlebihan!" dan kemudian menyerang orang lain atau pergi begitu saja.

 

Kali ini, Tuhan, yang terkadang tidak mengatakan apapun atau pergi begitu saja, tidak membiarkan komentar itu berlalu. Sebaliknya, Ia mengungkapkan kebencian yang tersembunyi dengan berkedok pergunjingan desa yang sederhana. "Tentu kamu akan mengatakan pepatah ini kepada-Ku: Hai tabib, sembuhkanlah diri-Mu sendiri. Perbuatlah di sini juga, di tempat asal-Mu ini!” (Luk 4:23). “Sembuhkanlah diri-Mu sendiri …”.

 

Itu adalah "kata-kata pembenaran",[1] seperti, misalnya, ketika seseorang berkata: "Itu terlalu berlebihan!" dan kemudian menyerang orang lain atau pergi.

 

Kali ini, Tuhan, yang terkadang tidak mengatakan apa-apa atau pergi begitu saja, tidak membiarkan komentar itu berlalu. Sebaliknya, dia mengungkapkan kebencian yang disembunyikan dalam kedok gosip desa sederhana. Anda akan mengutip saya pepatah: 'Tabib, sembuhkan dirimu'. Apa yang kami dengar yang Anda lakukan di Kapernaum, lakukan di sini juga di negara Anda sendiri! ” (Luk 4:23). “Sembuhkan dirimu…”.

 

“Biarlah sekarang Ia menyelamatkan diri-Nya sendiri”. Ada racun! Kata-kata yang sama itu akan mengikuti Tuhan menuju kayu salib : “Orang lain Ia selamatkan, biarlah sekarang Ia menyelamatkan diri-Nya sendiri" (Luk 23:35). "Dan selamatkanlah kami", salah seorang penjahat menambahkan (bdk. ayat 39).

 

Seperti biasa, Tuhan menolak untuk berdialog dengan roh jahat; Ia hanya menjawab dengan kata-kata Kitab Suci. Nabi Elia dan Nabi Elisa, pada zamannya, diterima bukan oleh orang sebangsa mereka tetapi oleh seorang janda Fenisia dan seorang Siria yang telah terjangkit kusta : dua orang asing, dua orang yang beragama lain. Hal ini dengan sendirinya mengejutkan dan menunjukkan alangkah benarnya nubuat yang diilhami oleh Simeon yang sudah lanjut usia bahwa Yesus akan menjadi " suatu tanda yang menimbulkan perbantahan" (semeion antilegomenon) (Luk 2:34)[2].

 

Perkataan Yesus memiliki kuasa untuk menerangi apa pun yang kita simpan di dalam lubuk hati kita masing-masing, yang sering kali bercampur seperti gandum dan lalang. Dan hal ini menimbulkan perselisihan spiritual. Melihat tanda-tanda belas kasihan Tuhan yang sangat melimpah dan mendengarkan "Sabda Bahagia" tetapi juga "celaka" yang ditemukan dalam Injil, kita mendapati diri kita dipaksa untuk membedakan dan memutuskan. Dalam hal ini, perkataan Yesus tidak diterima dan hal ini membuat orang banyak yang murka berusaha membunuh-Nya. Tetapi itu belum menjadi "saat"-Nya, dan Tuhan, sebagaimana dikatakan Injil kepada kita, "lewat di tengah-tengah mereka, pergi begitu saja".

 

Meski belum saat-Nya, namun derasnya kemarahan orang banyak yang terlontar, dan keganasan amukan yang bersiap untuk membunuh Tuhan di tempat, menunjukkan kepada kita bahwa itu selalu saat-Nya. Itulah yang ingin saya bagikan kepada kalian hari ini, para imam yang terkasih : saat pemberitaan yang penuh sukacita, saat penganiayaan, dan saat salib berjalan seiring.

 

Pemberitaan Injil selalu dikaitkan dengan pelukan salib tertentu. Terang sabda Allah yang lembut bersinar terang di dalam hati yang berkemampuan baik, tetapi membangkitkan kebingungan dan penolakan pada mereka yang tidak memilikinya. Kita melihat hal ini berulang kali dalam keempat Injil.

 

Benih yang baik yang ditaburkan di ladang menghasilkan buah - seratus, enam puluh dan tiga puluh kali lipat - tetapi juga membangkitkan kecemburuan musuh, yang terdorong untuk menaburkan lalang pada waktu malam (bdk. Mat 13:24-30.36-43).

 

Kasih yang lembut dari bapa yang penuh belas kasih secara tak tertahankan menarik pulang anak yang hilang, tetapi juga menyebabkan kemarahan dan kebencian si anak sulung (bdk. Luk 15:11-32).

 

Kemurahan hati sang pemilik kebun anggur yang menjadi alasan untuk bersyukur di antara para pekerja yang dipanggil pada jam terakhir justru memicu reaksi getir salah seorang pekerja yang dipanggil pertama, yang tersinggung oleh kemurahan hati majikannya (bdk. Mat 20:1-16).

 

Kedekatan Yesus, yang makan bersama orang-orang berdosa, memenangkan hati Zakheus, Matius dan perempuan Samaria, tetapi juga membangkitkan cemoohan dalam diri orang-orang yang merasakan diri mereka benar.

 

Kebesaran hati raja yang mengutus putranya, berpikir bahwa ia akan dihormati oleh para petani penyewa, tetapi justru mereka melampiaskannya dengan keganasan yang tak terkira. Di sini kita menemukan diri kita berhadapan dengan misteri kejahatan, yang mengarah pada pembunuhan Orang benar (bdk. Mat 21:33-46).

 

Para saudara imam yang terkasih, semua ini memungkinkan kita untuk melihat bahwa pemberitaan Kabar Baik secara misterius terkait dengan penganiayaan dan salib.

 

Santo Ignatius dari Loyola - maafkan “iklan keluarga” - mengungkapkan kebenaran injili ini dalam permenungannya tentang kelahiran Tuhan. Di sana ia mengundang kita “untuk melihat dan memikirkan apa yang dilakukan Santo Yusuf dan Bunda Maria dalam memulai perjalanan mereka sehingga Tuhan dapat dilahirkan dalam kemiskinan yang ekstrim dan setelah segala upaya - mengalami kelaparan, kehausan, panas dan dingin, luka-luka dan penghinaan - wafat di kayu Salib, dan semua ini untukku”. Ia kemudian mengundang kita, “dengan merenungkan hal ini, mendapatkan manfaat rohani” (Latihan Rohani, 116). Sukacita kelahiran Tuhan; penderitaan salib; penganiayaan.

 

Cerminan apa yang dapat kita buat untuk "menarik manfaat" bagi kehidupan imamat kita dengan merenungkan penampakan awal salib ini - kesalahpahaman, penolakan dan penganiayaan - pada permulaan dan pokok pemberitaan Injil?

 

Dua pemikiran muncul di benak saya.

 

Pertama: kita terhenyak melihat salib hadir dalam kehidupan Tuhan di awal pelayanan-Nya, bahkan sebelum kelahiran-Nya. Salib sudah ada dalam kebingungan awal Maria atas pesan malaikat; salib ada dalam diri Yusuf yang tidak bisa tidur, ketika ia merasa berkewajiban untuk menceraikan Maria secara diam-diam. Salib ada dalam penganiayaan terhadap Herodes dan dalam kesulitan yang dialami oleh Keluarga Kudus, seperti kesulitan banyak keluarga lain yang terpaksa hidup dalam pengasingan jauh dari tanah air mereka.

 

Semua ini membuat kita menyadari bahwa misteri salib hadir “sejak awal”. Misteri salib membuat kita mengerti bahwa salib bukanlah pemikiran kemudian, sesuatu yang terjadi secara kebetulan dalam kehidupan Tuhan. Memang benar bahwa semua orang yang menyalibkan orang lain sepanjang sejarah akan membuat salib tampak sebagai kerugian tambahan, tetapi bukan itu masalahnya : salib tidak muncul secara kebetulan. Salib besar dan kecil umat manusia, salib kita masing-masing, tidak muncul secara kebetulan.

 

Mengapa Tuhan memeluk salib sepenuhnya dan sampai akhir? Mengapa Yesus menerima seluruh sengsara-Nya : pengkhianatan dan penolakan terhadap diri-Nya oleh sahabat-sahabat-Nya setelah Perjamuan Terakhir, penangkapan-Nya yang ilegal, persidangan yang singkat dan hukuman yang tidak sepadan, kekerasan yang tidak beralasan dan tidak dapat dibenarkan di mana Ia disesah dan diludahi ...? Jika hanya keadaan yang mengkondisikan kekuatan salib yang menyelamatkan, Tuhan tidak akan memeluk segalanya. Tetapi ketika saat-Nya tiba, Ia memeluk salib sepenuhnya. Karena di kayu salib tidak ada kemenduaan! Salib tidak bisa dirundingkan.

 

Pemikiran yang kedua : memang benar, ada aspek salib yang merupakan bagian terpadu kondisi manusiawi kita, keterbatasan dan kerapuhan kita. Namun memang benar juga bahwa sesuatu yang terjadi di kayu salib tidak ada hubungannya dengan kelemahan manusiawi kita tetapi merupakan gigitan ular, yang, melihat Tuhan yang tersalib tidak berdaya, menggigit-Nya dalam upaya untuk meracuni dan meniadakan seluruh karya-Nya. Gigitan yang mencoba untuk membuat skandal - dan inilah masa skandal - gigitan yang berusaha untuk melumpuhkan dan membuat seluruh pelayanan dan pengorbanan penuh kasih untuk sesama menjadi sia-sia dan tidak berarti. Racun si jahat yang terus bersikeras : selamatkanlah diri-Mu.

 

Dalam “gigitan” yang keras dan menyakitkan yang berusaha membawa kematian inilah, kedigjayaan Allah akhirnya terlihat. Santo Maximus Sang Pengaku Iman memberitahu kita bahwa di dalam Yesus yang disalibkan terjadi pembalikan. Dengan menggigit daging Tuhan, iblis tidak meracuni-Nya, karena di dalam Dia ia hanya menemukan kelembutan dan ketaatan yang tak terbatas pada kehendak Bapa. Sebaliknya, tertangkap oleh kail salib, ia melahap daging Tuhan, yang terbukti meracuninya, sedangkan bagi kita salib menjadi penawar yang menetralkan kuasa si jahat.[3]

 

Inilah cerminan saya. Marilah kita memohon rahmat Tuhan untuk mendapatkan manfaat dari ajaran ini. Memang benar bahwa salib ada dalam pemberitaan Injil kita, tetapi adalah salib keselamatan kita. Berkat darah Yesus yang mendamaikan, salib tersebut mengandung kuasa kemenangan Kristus, yang mengalahkan kejahatan dan membebaskan kita dari si jahat. Memeluknya bersama Yesus dan, seperti yang dilakukan-Nya di hadapan kita, berangkat dan memberitakannya, akan memungkinkan kita untuk membedakan dan menolak racun skandal, yang dengannya iblis ingin meracuni kita setiap kali salib tiba-tiba muncul dalam kehidupan kita.

 

“Tetapi kita bukanlah orang-orang yang mengundurkan diri (hypostoles)” (Ibr 10:39), demikian dikatakan penulis surat kepada orang Ibrani. “Kita bukanlah orang-orang yang mengundurkan diri”. Ini adalah nasehat yang diberikan sang penulis kepada kita. Kita tidak mengalami skandal, karena Yesus sendiri tidak mengalami skandal ketika melihat pemberitaan sukacita keselamatan kepada orang miskin tidak diterima dengan sepenuh hati, tetapi di tengah teriakan dan ancaman dari orang-orang yang menolak untuk mendengar kata-kata-Nya atau ingin menguranginya menjadi legalisme seperti moralisme atau klerikalisme.

 

Kita tidak mengalami skandal karena Yesus tidak mengalami skandal ketika menyembuhkan orang sakit dan membebaskan tahanan di tengah pertengkaran moralistik, legalistik dan klerikal yang muncul setiap kali Ia berbuat baik.

 

Kita tidak mengalami skandal karena Yesus tidak mengalami skandal ketika memulihkan penglihatan kepada orang buta di tengah orang-orang yang tutup mata agar tidak melihat, atau melihat ke arah lain.

 

Kita tidak mengalami skandal karena Yesus tidak mengalami skandal ketika pemberitaan-Nya tentang tahun rahmat Tuhan - tahun yang memeluk seluruh sejarah - menghasut skandal publik dalam hal-hal yang saat ini hampir tidak menjadi halaman ketiga surat kabar setempat.

 

Kita tidak mengalami skandal karena pemberitaan Injil efektif bukan karena hikmat perkataan kita tetapi karena kekuatan salib (bdk. 1 Kor 1:17).

 

Cara kita memeluk salib ketika kita memberitakan Injil - dengan perbuatan dan, bila perlu, dengan kata-kata - memperjelas dua hal. Pertama, kesengsaraan yang berasal dari Injil bukanlah kesengsaraan kita, melainkan “kesengsaraan Kristus di dalam kita” (2Kor 1:5), dan, kedua, “sebab bukan diri kita yang kita beritakan, tetapi Yesus Kristus sebagai Tuhan, dan diri kita sebagai hamba semua orang karena kehendak Yesus” (2Kor 4:5).

 

Saya ingin mengakhiri dengan membagikan salah satu kenangan saya. “Suatu ketika, pada saat-saat kelam dalam hidup saya, saya memohonkan rahmat kepada Tuhan untuk membebaskan saya dari situasi yang sulit dan rumit. Saat yang kelam. Saya harus menyampaikan Latihan Rohani kepada beberapa biarawati, dan pada hari terakhir, seperti kebiasaan pada masa itu, mereka semua melakukan pengakuan dosa. Seorang suster tua datang; ia memiliki tatapan yang jernih, mata penuh cahaya. Seorang perempuan Allah. Di akhir pengakuan, saya merasakan dorongan untuk meminta bantuannya, jadi saya berkata kepadanya, 'Saudari, sebagai penebusan dosa, doakan saya, karena saya membutuhkan rahmat khusus. Mohonkanlah hal itu kepada Tuhan. Jika kamu memohonkannya kepada Tuhan, niscaya Ia akan memberikannya kepada saya'. Sejenak ia berhenti dalam diam dan sepertinya sedang berdoa, kemudian ia menatap saya dan berkata, 'Tuhan niscaya akan memberimu rahmat itu, tetapi jangan salah tentang hal itu : Ia akan memberikannya kepadamu secara ilahi' . Hal ini sangat membantu saya, mendengar bahwa Tuhan selalu memberi kita apa yang kita minta, tetapi Ia melakukannya secara ilahi. Cara itu melibatkan salib. Bukan demi kesenangan menderita. Tetapi demi kasih, kasih sampai kesudahannya”.[4]

______

 

(Peter Suriadi - Bogor, 1 April 2021)



[1]Seorang guru kehidupan spiritual, Pastor Claude Judde berbicara tentang ungkapan yang menyertai keputusan-keputusan kita dan mengandung "kata akhir ”, kata yang mendorong sebuah keputusan dan menggerakkan seseorang atau kelompok untuk bertindak. Bdk. C. JUDDE, Oeuvres spirituelles, II, 1883 (Instruction sur la connaissance de soi-même), hlm. 313-319), dalam M. Á. FIORITO, Buscar y hallar la voluntad de Dios, Buenos Aires, Paulinas, 2000, 248 s.

[2]"Antilegomenon" berarti mereka akan berbicara dengan cara yang berbeda tentang Dia : beberapa orang akan berbicara baik dan yang lainnya akan berbicara buruk tentang Dia.

[3]Bdk. Cent. I, 8-13.

[4]Homili dalam Misa di Casa Santa Marta, 29 Mei 2013.