Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA MALAM NATAL DI BASILIKA SANTO PETRUS, VATIKAN 24 Desember 2021 : NATAL BERKAITAN DENGAN KEKECILAN

Bacaan Ekaristi : Yes. 9:1-6; Mzm. 96:1-2a,2b-3,11-12,13; Tit. 2:11-14; Luk. 2:1-14.

 

Dalam kegelapan, suatu cahaya bersinar. Seorang malaikat muncul, kemuliaan Tuhan bersinar di sekitar para gembala dan akhirnya pesan yang dinantikan selama berabad-abad terdengar : "Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan" (Luk 2:11). Selanjutnya malaikat itu mengatakan sesuatu yang mengejutkan. Ia memberitahu para gembala bagaimana menemukan Allah yang telah turun ke bumi : “Dan inilah tandanya bagimu: Kamu akan menjumpai seorang bayi dibungkus dengan lampin dan terbaring di dalam palungan" (ayat 12). Itulah tandanya : seorang anak, seorang bayi yang terbaring dalam kemiskinan yang mengerikan di sebuah palungan. Tidak ada lagi cahaya terang atau paduan suara para malaikat. Hanya seorang anak. Tidak ada yang lain, bahkan sebagaimana telah dinubuatkan oleh Yesaya : “seorang anak telah lahir untuk kita” (Yes 9:6).

 

Injil menekankan kontras ini. Injil memaparkan kelahiran Yesus dimulai dengan Kaisar Augustus, yang memerintahkan cacah jiwa di seluruh dunia : Injil menghadirkan Kaisar pertama dalam seluruh keagungannya. Namun segera sesudahnya Injil membawa kita ke Betlehem, di mana tidak ada keagungan sama sekali: hanya seorang anak miskin yang terbungkus kain lampin, dengan para gembala berdiri di sampingnya. Di situlah Allah berada, dalam kekecilan. Inilah pesannya : Allah tidak muncul dalam keagungan, tetapi merendahkan diri-Nya ke dalam kekecilan. Kekecilan adalah jalan yang dipilih-Nya untuk mendekati kita, menyentuh hati kita, menyelamatkan kita dan membawa kita kembali kepada apa yang benar-benar penting.

 

Saudara-saudari, berdiri di depan kandang Natal, kita merenungkan apa yang sentral, di luar semua lampu dan dekorasi. Kita merenungkan sang anak. Dalam kekecilannya, Allah sungguh hadir. Marilah kita mengakui hal ini : "Bayi Yesus, Engkau adalah Allah, Allah yang menjadi seorang anak". Marilah kita takjub dengan kebenaran yang menghebohkan ini. Dia yang merangkul alam semesta perlu dipeluk orang lain. Dia yang menciptakan matahari perlu dihangatkan. Kelembutan yang menjelma perlu dimanjakan. Kasih yang tak terbatas memiliki hati yang sangat kecil yang berdetak dengan lembut. Sabda yang kekal adalah seorang “bayi”, seorang anak yang tidak bisa berkata-kata. Sang Roti kehidupan perlu diberi makan. Sang Pencipta dunia tidak memiliki rumah. Hari ini, semuanya terjungkir balik : Allah datang ke dunia dalam kekecilan. Keagungan-Nya tampak dalam kekecilan.

 

Marilah kita bertanya pada diri kita sendiri: dapatkah kita menerima cara Allah dalam melakukan segala sesuatu? Inilah tantangan Natal : Allah menyatakan diri-Nya, tetapi manusia gagal paham. Ia menjadikan diri-Nya kecil di mata dunia, sementara kita terus mencari keagungan di mata dunia, bahkan mungkin atas nama-Nya. Allah merendahkan diri dan kita berusaha menjadi besar. Yang Mahatinggi pergi mencari para gembala, yang tak terlihat di tengah-tengah kita, dan kita mencari keterlihatan. Yesus lahir untuk melayani, dan kita menghabiskan hidup dengan mengejar kesuksesan. Allah tidak mencari kekuasaan dan keperkasaan; Ia meminta kasih yang lembut dan kekecilan batin.

 

Inilah yang hendaknya kita mohonkan kepada Yesus pada hari Natal : rahmat kekecilan. “Tuhan, ajarilah kami untuk mencintai kekecilan. Tolonglah kami untuk memahami bahwa kekecilan adalah jalan menuju kebesaran sejati”. Apa artinya, secara nyata, menerima kekecilan? Pertama, percaya bahwa Allah ingin datang ke dalam hal-hal kecil dalam hidup kita; Ia ingin menghuni kehidupan kita sehari-hari, hal-hal yang kita lakukan setiap hari di rumah, dalam keluarga kita, di sekolah dan di tempat kerja. Di tengah pengalaman hidup kita yang biasa, Ia ingin melakukan hal-hal yang luar biasa. Pesan-Nya adalah pesan harapan yang sangat besar. Yesus meminta kita untuk menemukan kembali dan menghargai hal-hal kecil dalam kehidupan. Jika Ia hadir di sana, apa lagi yang kita butuhkan? Marilah kita berhenti merindukan keagungan yang bukan milik kita. Marilah kita singkirkan keluhan dan wajah murung kita, serta keserakahan yang tak pernah terpuaskan!

 

Namun lebih dari itu. Yesus tidak ingin datang hanya dalam hal-hal kecil dalam kehidupan kita, tetapi juga dalam kekecilan kita : dalam pengalaman ketika kita merasa lemah, rapuh, tidak berdaya, bahkan mungkin “tidak karuan”. Saudara-saudari terkasih, jika, seperti di Betlehem, kegelapan malam menguasaimu, jika kamu merasa dikelilingi oleh ketidakpedulian yang tak berperasaan, jika luka batinmu berteriak, “Kamu tidak penting; kamu tidak berharga; kamu tidak akan pernah dikasihi seperti yang kamu inginkan”, malam ini Allah kembali menjawab. Malam ini Ia memberitahumu : “Aku mengasihimu apa adanya. Kekecilanmu tidak membuat-Ku takut, kegagalanmu tidak menyusahkan-Ku. Aku menjadi kecil demi kamu. Demi menjadi Allahmu, Aku menjadi saudaramu. Saudara terkasih, saudari terkasih, jangan takut pada-Ku. Temukan dalam diri-Ku ukuran kebesaranmu. Aku dekat denganmu, dan hanya satu hal yang Kumohon : percayalah dan bukalah hatimu untuk-Ku”.

 

Menerima kekecilan berarti sesuatu yang lain juga. Menerima kekecilan berarti merangkul Yesus dalam diri orang-orang kecil dewasa ini. Mengasihi-Nya, yaitu, dalam diri saudara-saudari kita. Melayani-Nya dalam diri kaum miskin, orang-orang yang paling serupa Yesus yang lahir dalam kemiskinan. Di dalam diri mereka Ia ingin dihormati. Pada malam kasih ini, semoga kita hanya memiliki satu ketakutan : yaitu menghina kasih Allah, menyakiti-Nya dengan meremehkan kaum miskin dengan ketidakpedulian kita. Yesus sangat mengasihi mereka, dan suatu hari mereka akan menyambut kita di surga. Seorang penyair pernah menulis: “Barangsiapa telah menemukan surga – di bawah – akan gagal di atas” (E. Dickinson, Puisi, P96-17). Janganlah kita melupakan surga; marilah kita merawat Yesus sekarang, membelai-Nya dalam diri orang-orang yang membutuhkan, karena di dalam diri mereka, Ia mnjadikan diri-Nya dikenal.

 

Sekali lagi kita menatap kandang Natal, dan kita melihat bahwa pada saat kelahiran-Nya Yesus justru dikelilingi oleh orang-orang kecil, oleh kaum miskin. Siapa mereka? Para gembala. Mereka adalah orang-orang yang paling sederhana, dan paling dekat dengan Tuhan. Mereka menemukan-Nya karena mereka tinggal di padang, “menjaga kawanan ternak mereka pada waktu malam” (Luk 2:8). Mereka berada di sana untuk bekerja, karena mereka miskin. Mereka tidak punya jadwal dalam kehidupan mereka ; semuanya tergantung pada kawanan ternak mereka. Di mana dan bagaimana mereka hidup tidak dapat sesuai dengan keinginan mereka, tetapi berdasarkan kebutuhan domba yang mereka gembalakan. Di sanalah Yesus dilahirkan: dekat mereka, dekat orang-orang pinggiran yang terlupakan. Ia datang di mana martabat manusia diuji. Ia datang untuk memuliakan orang-orang yang dikucilkan dan Ia pertama kali mengungkapkan dirinya kepada mereka : bukan kepada orang-orang terpelajar dan penting, tetapi kepada kaum pekerja miskin. Malam ini dengan bermartabat Allah datang untuk menggenapi kesederhanaan kerja. Ia mengingatkan kita pentingnya menganugerahkan martabat kepada manusia melalui kerja, tetapi juga memberikan martabat pada kerja manusia itu sendiri, karena manusia adalah tuannya dan bukan budaknya. Pada hari Kehidupan, marilah kita ulangi : tidak ada lagi kematian di tempat kerja! Dan marilah kita berkomitmen untuk memastikan hal ini.

 

Saat kita memandang kandang Natal untuk terakhir kalinya, di kejauhan, kita melihat sekilas para Majus, yang melakukan perjalanan untuk menyembah Tuhan. Saat kita melihat lebih dekat, kita melihat bahwa di sekitar Yesus segala sesuatu datang bersama-sama : kita tidak hanya memandang kaum miskin, para gembala, tetapi juga orang-orang terpelajar dan orang-orang kaya, para Majus. Di Betlehem, kaya-miskin berkumpul, mereka yang menyembah, seperti orang Majus, dan mereka yang bekerja, seperti para gembala. Semuanya bersatu ketika Yesus berada di pusat : bukan gagasan kita tentang Yesus, tetapi Yesus sendiri, Sosok yang hidup.

 

Jadi, saudara-saudari terkasih, marilah kita kembali ke Betlehem, marilah kita kembali ke asal-usul : pokok iman, cinta pertama kita, adorasi dan amal kasih. Marilah kita memandang para Majus yang melakukan peziarahan mereka, dan sebagai Gereja sinodal, Gereja yang melakukan perjalanan, marilah kita pergi ke Betlehem, di mana Allah ada di dalam manusia dan manusia di dalam Allah. Di sana Allah menempati tempat pertama dan disembah; di sana kaum miskin memiliki tempat terdekat dengan-Nya; di sana para gembala dan para Majus bergabung dalam persaudaraan melampaui semua penamaan dan penggolongan. Semoga Allah memampukan kita menjadi Gereja yang menyembah, miskin dan bersaudara. Itulah apa yang terpenting. Marilah kita kembali ke Betlehem.

 

Ada baiknya kita pergi ke sana, taat kepada Injil Natal, yang menunjukkan kepada kita Keluarga Kudus, para gembala, para Majus : semua orang yang berada dalam perjalanan. Saudara-saudari, marilah kita berangkat, karena hidup itu sendiri adalah peziarahan. Marilah kita membangunkan diri kita, karena malam ini sebuah terang telah dinyalakan, terang yang ramah, mengingatkan kita bahwa, dalam kekecilan kita, kita adalah putra-putri terkasih, anak-anak terang (bdk. 1 Tes 5:5). Marilah kita bersukacita bersama, karena tidak ada seorang pun yang mampu memadamkan terang ini, terang Yesus, yang malam ini bersinar terang di dunia kita.

_____


(Peter Suriadi - Bogor, 25 Desember 2021)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI MINGGU ADVEN II DI AULA KONSER MEGARON, ATHENA (YUNANI) 5 Desember 2021 : PADANG GURUN DAN PERTOBATAN

Bacaan Ekariti : Bar. 5:1-9; Mzm.126:1-2ab.2cd-3.4-5.6; Flp. 1:4-6.8-11; Luk. 3:1-6.

 

Pada Hari Minggu Adven II ini Sabda Allah menghadirkan kepada kita sosok Santo Yohanes Pembaptis. Bacaan Injil menggarisbawahi dua lingkupnya : tempat ditemukannya, padang gurun, dan isi pesannya, pertobatan. Padang gurun dan pertobatan : Bacaan Injil hari ini menekankan hal ini dan begitu banyak desakan yang membuat kita mengerti bahwa kata-kata ini menyangkut kita secara langsung. Marilah kita sambut keduanya.

 

Padang gurun. Penginjil Lukas memperkenalkan tempat ini secara khusus. Bahkan, ia berbicara tentang keadaan sesungguhnya dan orang-orang besar saat itu : ia menyebutkan tahun kelima belas pemerintahan Kaisar Tiberius, Pontius Pilatus, sang wali negeri, Raja Herodes dan "pemimpin politik" lainnya pada waktu itu; kemudian ia menyebutkan para pemimpin keagamaan, Hanas dan Kayafas, yang berada di dekat Bait Suci Yerusalem (bdk. Luk 3:1-2). Pada titik ini ia menyatakan : "Datanglah firman Allah kepada Yohanes, anak Zakharia, di padang gurun (Luk 3.2).

 

Tetapi bagaimana caranya? Kita akan mengharapkan sabda Allah untuk berbicara kepada salah satu orang besar yang baru saja disebutkan. Tetapi saja tidak. Sebuah ironi halus muncul dari baris-baris Injil : dari lantai atas tempat tinggal para pemegang tampuk kekuasaan, sabda Allah tiba-tiba lewat menuju padang gurun, menuju seorang yang tidak dikenal dan menyendiri. Allah mengejutkan, pilihan-Nya mengejutkan : orang-orang yang tidak termasuk dalam prakiraan manusia, orang-orang yang tidak mengikuti kekuasaan dan kebesaran yang biasanya dikaitkan manusia dengannya. Tuhan lebih menyukai kekecilan dan kerendahan hati. Penebusan tidak dimulai di Yerusalem, Athena atau Roma, tetapi di padang gurun. Strategi yang bersifat paradoks ini memberi kita pesan yang sangat indah : memiliki kewenangan, berbudaya dan terkenal bukanlah jaminan berkenan bagi Allah; memang, itu semua bisa menyebabkan kesombongan dan menolak sabda Allah. Sebaliknya, miskin batin diperlukan, karena miskin adalah padang gurun.

 

Marilah kita menetap pada paradoks padang gurun. Perintis mempersiapkan kedatangan Kristus ke tempat yang tidak terjangkau dan tidak ramah, penuh bahaya ini. Sekarang, jika kamu ingin membuat pemberitahuan penting, kamu biasanya pergi ke tempat-tempat yang indah, di mana ada banyak orang, di mana ada jarak penglihatan. Yohanes, di sisi lain, berkhotbah di padang gurun. Tepatnya di sana, di tempat yang gersang, di ruang kosong yang terbentang sejauh mata memandang dan di mana hampir tidak ada kehidupan, di sanalah kemuliaan Tuhan dinyatakan, yang - sebagaimana dinubuatkan Kitab Suci (bdk. Yes 40:3-4) - mengubah padang gurun menjadi telaga, dan tanah kering menjadi mata air (bdk. Yes 41:18). Inilah pesan yang membesarkan hati lainnya : Allah, sekarang seperti dulu, mengalihkan pandangan-Nya ke tempat yang dikuasai kesedihan dan kesepian. Kita dapat mengalaminya dalam hidup : Ia sering gagal menjangkau kita saat kita berada di antara tepuk tangan dan hanya memikirkan diri kita sendiri; Ia berhasil terutama dalam jam-jam pengujian. Ia mengunjungi kita dalam situasi sulit, dalam kekosongan kita yang menyisakan ruang untuk-Nya, di padang gurun keberadaan kita. Di sanalah Tuhan mengunjungi kita.

 

Saudara-saudari terkasih, dalam kehidupan seseorang atau sekelompok orang tidak ada saat di mana seseorang tidak memiliki kesan berada di padang gurun. Dan di sinilah tepatnya Tuhan menghadirkan diri-Nya, yang seringkali tidak disambut oleh mereka yang merasa berhasil, tetapi oleh mereka yang merasa tidak dapat berhasil. Dan Ia datang dengan kata-kata kedekatan, kasih sayang dan kelembutan : "Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu; Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau" (ayat 10). Berkhotbah di padang gurun, Yohanes meyakinkan kita bahwa Tuhan datang untuk membebaskan kita dan kembali memberi kita kehidupan dalam situasi yang tampaknya tidak dapat ditebus, tanpa jalan keluar : di sanalah Ia datang. Oleh karena itu, tidak ada tempat yang tidak ingin dikunjungi Allah. Dan hari ini kita hanya bisa merasakan sukacita melihat-Nya memilih padang gurun, untuk menjangkau kita dalam kekecilan kita karena Ia mengasihi dan dalam kegersangan kita karena Ia ingin memuaskan dahaga kita! Jadi, orang-orang yang terkasih, jangan takut akan kekecilan, karena persoalannya bukanlah menjadi kecil dan sedikit, tetapi membuka diri terhadap Allah dan sesama, serta bahkan jangan takut akan kekeringan, karena Allah tidak menakut-nakuti mereka, yang datang ke sana untuk mengunjungi kita!

 

Marilah kita beralih ke aspek kedua, pertobatan. Yohanes Pembaptis mengkhotbahkannya tanpa henti dan dengan nada yang berapi-api (bdk. Luk 3:7). Ini juga merupakan masalah yang "tidak nyaman". Sama seperti padang gurun bukan tempat pertama yang ingin kita tuju, demikian pula ajakan untuk pertobatan tentu saja bukan tawaran pertama yang ingin kita dengar. Berbicara tentang pertobatan dapat membangkitkan kesedihan; pertobatan tampaknya sulit untuk didamaikan dengan Injil sukacita. Tetapi hal ini terjadi ketika pertobatan direduksi menjadi upaya moral, seolah-olah pertobatan hanya buah dari komitmen kita. Masalahnya justru terletak di sini, dalam mendasarkan segala sesuatu pada kekuatan kita. Hal ini keliru! Di sini kesedihan dan frustrasi rohani juga mengintai : kita ingin bertobat, menjadi lebih baik, mengatasi kekurangan kita, berubah, tetapi kita merasakan diri kita tidak sepenuhnya mampu dan, meskipun ada niat baik, kita selalu mundur. Kita memiliki pengalaman yang sama dengan Santo Paulus yang, tepatnya dari negeri-negeri ini, menulis: "Sebab kehendak memang ada di dalam aku, tetapi bukan hal berbuat apa yang baik. Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat” (Rm 7:18-19). Oleh karena itu, jika sendirian, kita tidak memiliki kemampuan untuk berkeinginan berbuat baikan, apa artinya kita harus bertobat?

 

Bahasamu yang indah, bahasa Yunani, dapat membantu kita dengan etimologi dari kata kerja injili “bertobat”, metanoéin. Metanoéin terdiri dari kata depan metá, yang di sini berarti melampaui, dan kata kerja noéin, yang berarti berpikir. Maka, bertobat adalah berpikir melampaui, bertobat adalah berjalan melampaui cara berpikir biasa, melampaui skema mental biasa kita. Saya sedang memikirkan dengan tepat skema yang mengurangi segalanya yang diperuntukan bagi diri kita, klaim yang diperuntukan bagi kecukupan diri kita. Atau yang diperuntukan bagi mereka yang tertutup oleh kekakuan dan ketakutan yang melumpuhkan, oleh godaan "selalu dilakukan seperti ini, mengapa berubah?", Dengan gagasan bahwa padang gurun kehidupan adalah tempat kematian dan bukan tempat kehadiran Allah.

 

Dengan menasihati kita untuk bertobat, Yohanes mengajak kita untuk melangkah lebih jauh dan tidak berhenti di sini; melampaui apa yang dikatakan naluri dan potret pikiran kita, karena kenyataan lebih besar : kenyataan lebih besar dari naluri kita, dari pikiran kita. Kenyataannya yaitu Allah lebih besar. Pertobatan, kemudian, berarti tidak mendengarkan apa yang menghancurkan harapan, tidak mendengarkan orang-orang yang mengulangi bahwa tidak ada yang akan pernah berubah dalam kehidupan - orang-orang yang pesimis sepanjang masa. Menolak untuk percaya bahwa kita ditakdirkan untuk tenggelam ke dalam pasir hisap yang biasa-biasa saja. Tidak menyerah pada hantu batin, yang muncul terutama pada saat-saat pencobaan untuk mengecilkan hati kita dan memberitahu kita bahwa kita tidak akan berhasil, bahwa segalanya keliru dan menjadi kudus bukan untuk kita. Bukan seperti itu, karena ada Allah. Kita harus percaya kepada-Nya, karena Dialah masa depan kita, kekuatan kita. Segalanya berubah jika tempat pertama diserahkan kepada-Nya. Inilah pertobatan : pintu kita yang terbuka sudah cukup bagi Tuhan untuk masuk dan melakukan keajaiban, sama seperti padang gurun dan kata-kata Yohanes sudah cukup bagi-Nya untuk datang ke dunia. Ia tidak meminta lebih.

 

Kita memohon rahmat untuk percaya bahwa bersama Allah segalanya berubah, Ia menyembuhkan ketakutan kita, menyembuhkan luka kita, mengubah rupa tempat-tempat gersang menjadi mata air. Kita memohon rahmat harapan. Karena harapan menghidupkan kembali iman dan mengobarkan kembali amal. Karena diharapkan padang gurun dunia sedang kehausan dewasa ini. Dan sementara pertemuan kita ini memperbaharui diri kita dalam harapan dan sukacita Yesus, dan saya bersukacita berada bersamamu, kita memohon kepada Bunda kita, Bunda yang Mahakudus, untuk membantu kita menjadi, seperti dia, saksi harapan, penabur sukacita di sekitar kita - harapan, saudara-saudari, tidak pernah mengecewakan, tidak pernah mengecewakan -. Tidak hanya saat kita bahagia dan bersama, tetapi setiap hari, di padang gurun yang kita huni. Karena di sanalah, dengan rahmat Allah, hidup kita dipanggil untuk bertobat. Di sana, di banyak padang gurun batiniah atau lingkungan kita, di sana kehidupan dipanggil untuk berkembang. Semoga Tuhan memberi kita rahmat dan keberanian untuk menyambut kebenaran ini.

_____


(dialihbahasakan oleh Peter Suriadi - Bogor, 6 Desember 2021)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA DI STADION GSP, SIPRUS 3 Desember 2021 : TIGA LANGKAH YANG DAPAT MEMBANTU KITA UNTUK MENYAMBUT TUHAN KETIKA IA DATANG

Bacaan Ekaristi : Yes 29:17-24; Mat 9:27-31.

 

Ketika Yesus lewat, dua orang buta berseru-seru dalam kesengsaraan dan harapan : "Kasihanilah kami, hai Anak Daud" (Mat 9:27). "Anak Daud" adalah gelar yang dikaitkan dengan Mesias, yang dinubuatkan akan datang dari garis keturunan Daud. Kedua orang dalam Injil hari ini buta, namun mereka melihat hal yang paling penting : mereka menyadari bahwa Yesus adalah Mesias yang telah datang ke dunia. Marilah kita bercermin pada tiga langkah dalam perjumpaan ini. Ketiga langkah tersebut dapat membantu kita pada gilirannya, selama masa Adven ini, untuk menyambut Tuhan ketika Ia datang.

 

Pertama : Mereka pergi kepada Yesus untuk disembuhkan. Teks mengatakan bahwa dua orang buta itu berseru-seru kepada Tuhan sambil mengikuti-Nya (bdk. ayat 27). Mereka tidak dapat melihat-Nya, tetapi mereka mendengar suara-Nya dan mengikuti jejak-Nya. Di dalam Kristus, mereka sedang mencari apa yang telah dinubuatkan oleh para nabi : tanda kuasa penyembuhan dan belas kasih Allah hadir di tengah-tengah umat-Nya. Yesaya telah menulis : “Pada waktu itu mata orang-orang buta akan dicelikkan” (35:5). Dan nubuat lain, yang kita dengar dalam Bacaan Pertama hari ini, juga telah menjanjikan : “Lepas dari kekelaman dan kegelapan mata orang-orang buta akan melihat” (29:18). Kedua orang dalam Injil itu percaya kepada Yesus. Mereka mengikuti-Nya untuk mencari terang bagi mata mereka.

 

Saudara-saudari, mengapa mereka percaya kepada Yesus? Karena mereka menyadari bahwa, dalam kegelapan sejarah, Ia adalah terang yang menerangi “malam” hati dan dunia. Terang yang mengalahkan kegelapan dan mengatasi kebutaan. Kita juga memiliki semacam "kebutaan" dalam hati kita. Seperti kedua orang buta itu, kita sering seperti musafir, tenggelam dalam kegelapan hidup. Hal pertama yang harus dilakukan sebagai tanggapan adalah pergi kepada Yesus, seperti yang dikatakan-Nya kepada kita : "Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu" (Mat 11:28). Apakah ada di antara kita yang, dalam beberapa hal, tidak lelah atau berbeban berat? Namun, kita menolak datang kepada Yesus. Seringkali kita lebih suka tetap tertutup pada diri kita sendiri, sendirian dalam kegelapan, mengasihani diri sendiri dan puas memiliki kesedihan sebagai pendamping kita. Yesus adalah tabib ilahi : Ia sendiri adalah terang sejati yang menerangi setiap orang (bdk. Yoh 1:9), Ia yang memberi kita banyak terang, kehangatan dan kasih. Hanya Yesus yang membebaskan hati dari kejahatan. Jadi marilah kita bertanya pada diri kita : apakah aku tetap terbungkus dalam kegelapan keputusasaan dan ketidakbahagiaan, atau apakah aku pergi kepada Yesus dan memberikan hidupku kepada-Nya? Apakah aku mengikuti Yesus, menyeru-nyerukan kebutuhanku, dan menyerahkan kepahitanku kepada-Nya? Marilah kita melakukannya! Marilah kita memberi Yesus kesempatan untuk menyembuhkan hati kita. Itulah langkah pertama; tetapi penyembuhan batin membutuhkan dua langkah lanjutan.

 

Langkah selanjutnyab: Mereka bersama-sama menderita. Injil tidak berbicara tentang penyembuhan orang buta secara perorangan, seperti yang terjadi dengan Bartimeus, misalnya (bdk. Mrk 10:46-52) atau orang yang buta sejak lahir (bdk. Yoh 9:1-41). Di sini ada dua orang buta. Mereka bersama-sama berada di pinggir jalan. Mereka bersama-sama menderita, tidakbahagia karena buta, dan menginginkan terang yang bersinar di kalbu "malam" mereka. Ketika mereka berbicara, dalam bentuk jamak, karena mereka melakukan segala sesuatunya bersama-sama : keduanya mengikuti Yesus, keduanya berseru-seru kepada-Nya dan memohon kesembuhan; bukan masing-masing untuk dirinya sendiri, tetapi bersama-sama, sebagai kesatuan. Yang sangat penting, mereka berkata kepada Kristus : Kasihanilah kami. "Kami", bukan "aku". Mereka bersama-sama memohon pertolongan. Ini adalah tanda yang mengesankan dari kehidupan Kristiani dan ciri khas semangat gerejawi : berpikir, berbicara dan bertindak sebagai "kita", meninggalkan individualisme dan rasa kecukupan diri yang menjangkiti hati.

 

Dengan penderitaan bersama-sama dan persahabatan persaudaraan mereka, kedua orang buta ini mengajarkan banyak hal kepada kita. Kita masing-masing buta dalam beberapa hal sebagai akibat dosa, yang menghalangi kita untuk “melihat” Allah sebagai Bapa kita dan satu sama lain sebagai saudara dan saudari. Karena itulah apa yang dilakukan dosa; dosa memutarbalikkan kenyataan : dosa membuat kita melihat Allah sebagai penguasa yang lalim dan satu sama lain sebagai masalah. Ini adalah pekerjaan si penggoda, yang memutarbalikkan berbagai hal, menempatkannya dalam terang yang negatif, membuat kita jatuh ke dalam keputusasaan dan kepahitan. Dan kemudian kita menjadi mangsa kesedihan yang mengerikan, yang berbahaya dan bukan berasal dari Allah. Kita tidak harus menghadapi kegelapan sendirian. Jika kita menanggung kebutaan batin kita sendirian, kita bisa menjadi kewalahan. Kita perlu berdiri berdampingan satu sama lain, bersama-sama menderita dan menghadapi jalan di depan bersama-sama.

 

Saudara dan saudari terkasih, dihadapkan dengan kegelapan batin kita sendiri dan tantangan di depan kita dalam Gereja dan masyarakat, kita dipanggil untuk memperbarui rasa persaudaraan kita. Jika kita tetap terbagi-bagi, jika setiap orang hanya memikirkan dirinya sendiri, atau kelompoknya, jika kita menolak untuk bersatu, jika kita tidak berdialog dan berjalan bersama, kita tidak akan pernah sepenuhnya sembuh dari kebutaan kita. Penyembuhan terjadi ketika kita membawa penderitaan kita bersama-sama, ketika kita menghadapi masalah bersama-sama, ketika kita mendengarkan dan berbicara satu sama lain. Itulah anugerah hidup dalam komunitas, menyadari betapa pentingnya menjadi komunitas. Inilah yang saya minta darimu : kamu senantiasa tetap bersama-sama, senantiasa bersatu; kamu maju bersama-sama dengan sukacita sebagai saudara dan saudari Kristiani, anak-anak dari satu Bapa. Dan saya juga memintanya untuk diri saya sendiri.

 

Dan sekarang, langkah ketiga : Mereka dengan penuh sukacita mewartakan Kabar Baik. Setelah Yesus menyembuhkan mereka, dua orang dalam Injil itu, yang di dalam diri mereka kita dapat melihat cermin diri kita, mulai menyebarkan kabar baik ke seluruh wilayah. Ada sedikit ironi dalam hal ini. Yesus telah mengatakan kepada mereka untuk tidak memberitahu siapa pun apa yang telah terjadi, namun mereka justru melakukan sebaliknya (bdk. Mat 9:30-31). Dari apa yang diberitahukan kepada kita, jelas bahwa mereka tidak berniat untuk tidak menaati Tuhan; mereka sama sekali tidak dapat menahan sukacita mereka atas kesembuhan mereka dan sukacita perjumpaan mereka dengan Yesus. Ini adalah tanda khas lain dari orang Kristiani : sukacita Injil yang tak tertahankan, yang “memenuhi hati dan hidup semua orang yang menjumpai Yesus” (Evangelii Gaudium, 1), secara alami menuntun untuk bersaksi dan membebaskan kita dari risiko iman yang bersifat pribadi, suram dan bersungut-sungut.

 

Saudara dan saudari terkasih, saya senang melihatmu menghayati dengan penuh sukacita pesan Injil yang membebaskan. Saya berterima kasih atas hal ini. Bukan penyebaran agama, tetapi kesaksian; bukan moralisme yang menghakimi tetapi rahmat yang merangkul; bukan kesalehan yang dangkal tetapi kasih yang hidup. Saya mendorongmu untuk terus maju di jalan ini. Seperti dua orang buta dalam Injil, marilah kita sekali lagi berjumpa Yesus, dan keluar dari diri kita sendiri untuk menjadi saksi Yesus yang tak kenal takut bagi semua orang yang kita temui! Marilah kita berangkat, membawa terang yang telah kita terima. Marilah kita maju untuk menerangi malam yang sering mengelilingi kita! Kita membutuhkan umat Kristiani yang tercerahkan, tetapi terutama mereka yang dipenuhi terang, orang-orang yang dapat menjamah kebutaan saudara-saudari mereka dengan kasih yang lembut dan dengan tingkah laku dan kata-kata penghiburan yang menyalakan terang harapan di tengah kegelapan. Umat Kristiani yang dapat menabur benih Injil di ladang kering kehidupan sehari-hari, dan membawa kehangatan kepada tanah terlantar penderitaan dan kemiskinan.

 

Saudara dan saudari, Tuhan Yesus juga sedang melewati jalan-jalan di Siprus, mendengarkan seruan kebutaan kita. Ia ingin menjamah mata dan hati kita serta menuntun kita menuju terang, memberi kita kelahiran kembali secara rohani dan kekuatan baru. Kepada kita, Ia mengajukan pertanyaan yang Ia ajukan kepada kedua orang buta itu : "Percayakah kamu, bahwa Aku dapat melakukannya?" (Mat 9:28). Percayakah kita bahwa Yesus dapat melakukannya? Marilah kita perbarui iman kita kepada-Nya. Marilah kita katakan kepada-Nya : Yesus, kami percaya bahwa terang-Mu lebih besar dari kegelapan kami; kami percaya bahwa Engkau dapat menyembuhkan kami, Engkau dapat memperbarui persekutuan kami, Engkau dapat meningkatkan sukacita kami. Bersama seluruh Gereja, marilah kita berdoa : Datanglah, Tuhan Yesus!

_____


(dialihbahasakan oleh Peter Suriadi - Bogor, 3 Desember 2021)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI RAYA TUHAN KITA YESUS KRISTUS RAJA SEMESTA ALAM (HARI ORANG MUDA SEDUNIA XXXVI) 21 November 2021 : DUA GAMBARAN YESUS : IA ADALAH RAJA YANG DATANG DENGAN AWAN-AWAN

Bacaan Ekaristi : Dan. 7:13-14; Mzm. 93:1ab,1c-2,5; Why. 1: 5-8; Yoh. 18:33b-37.

 

Dua gambaran yang diambil dari sabda Allah yang telah kita dengar, dapat membantu kita mendekati Yesus sebagai Raja Semesta Alam. Gambaran pertama, diambil dari Kitab Wahyu dan dinubuatkan oleh nabi Daniel dalam Bacaan Pertama, dijelaskan dalam kata-kata, “Ia datang dengan awan-awan” (Why 1:7; Dan 7:13). Acuannya adalah kedatangan Yesus yang mulia sebagai Tuhan di akhir sejarah. Gambaran kedua berasal dari Bacaan Injil : Kristus yang berdiri di hadapan Pilatus dan berkata kepadanya : “Aku adalah Raja” (Yoh 18:37). Para sahabat muda yang terkasih, ada baiknya untuk berhenti dan memikirkan dua gambaran Yesus ini, ketika kita memulai perjalanan kita menuju Hari Orang Muda Sedunia 2023 di Lisbon.

 

Maka, marilah kita bercermin pada gambaran pertama : Yesus yang datang dengan awan-awan. Gambaran itu membangkitkan kedatangan Kristus dalam kemuliaan di akhir zaman; gambaran itu membuat kita menyadari bahwa kata terakhir dalam hidup kita adalah milik Yesus, bukan milik kita. Ia adalah – demikian Kitab Suci memberitahu kita – yang “yang berkendaraan melintasi awan-awan” (Mzm 68:5), yang kekuasaan-Nya di dalam awan-awan (bdk. Mzm 68:35). Ia adalah Tuhan, matahari yang terbit dari tempat tinggi dan tidak pernah terbenam, Ia yang bertahan sementara segala sesuatu yang lain berlalu, harapan kita yang pasti dan kekal. Ia adalah Tuhan. Nubuat harapan ini menerangi malam-malam kita. Nubuat harapan ini memberitahu kita bahwa Allah memang datang, Ia hadir dan berkarya, menuntun sejarah kita menuju diri-Nya, menuju segenap kebaikan. Ia datang “dengan awan-awan” untuk meyakinkan kita. Seolah-olah mengatakan : “Aku tidak akan meninggalkanmu sendirian saat badai melanda hidupmu. Aku selalu bersamamu. Aku datang untuk membawa kembali langit yang cerah”.

 

Nabi Daniel, di sisi lain, memberitahu kita bahwa ia melihat Tuhan datang dengan awan-awan saat ia “terus melihat dalam penglihatan malam” (Dan 7:13). Penglihatan malam : Allah juga datang di waktu malam, di tengah awan gelap yang sering menyelimuti hidup kita. Kita semua tahu saat-saat seperti itu. Kita harus bisa mengenalinya, melihat melampaui malam, menengadah untuk melihat-Nya di tengah kegelapan.

 

Kaum muda yang terkasih, semoga kamu juga “terus melihat dalam penglihatan malam”! Apa artinya ini? Artinya memperkenankan matamu tetap cerah bahkan di tengah kegelapan. Jangan pernah berhenti mencari terang di tengah kegelapan apa pun yang mungkin sering kita pikul dalam hati kita atau lihat di sekitar kita. Angkatlah pandanganmu dari bumi ke surga, bukan untuk melarikan diri tetapi untuk menahan godaan tetap terpenjara oleh ketakutan kita, karena selalu ada bahaya ketakutan kita itu akan menguasai kita. Jangan tetap tertutup pada diri dan keluhan kita. Angkatlah matamu! Bangunlah! Inilah kata-kata penyemangat yang disampaikan Tuhan kepada kita, ajakan untuk mengangkat mata kita, untuk bangun, dan saya ingin mengulanginya dalam Pesan saya kepadamu untuk tahun perjalanan bersama ini. Kamu telah dipercayakan dengan tugas yang menarik tetapi juga menantang : berdiri tegak sementara segala sesuatu di sekitar kita tampaknya runtuh; menjadi penjaga yang siap melihat cahaya dalam penglihatan malam; menjadi pembangun di tengah banyak reruntuhan dunia dewasa ini; mampu bermimpi. Ini sangat penting : kaum muda yang tidak bisa bermimpi, sayangnya menjadi tua sebelum waktunya! Mampu bermimpi, karena inilah apa yang dilakukan orang yang bermimpi: mereka tidak tinggal dalam kegelapan, tetapi menyalakan lilin, nyala harapan yang mengumumkan datangnya fajar. Bermimpilah, bergegaslah, dan tataplah masa depan dengan berani.

 

Saya ingin memberitahumu sesuatu : kami, kami semua, berterima kasih kepadamu ketika kamu bermimpi. "Tetapi sungguhkah? Ketika kaum muda bermimpi, terkadang mereka membuat kegaduhan…”. Buatlah kebisingan, karena kebisinganmu adalah buah impianmu. Ketika kamu menjadikan Yesus sebagai impian hidupmu, dan kamu memeluk-Nya dengan sukacita dan kegairahan yang memapar, itu berarti kamu tidak ingin hidup di waktu malam. Ini bagus untuk kita! Terima kasih untuk segenap waktu ketika kamu bekerja dengan berani untuk mewujudkan impianmu, ketika kamu tetap percaya pada cahaya bahkan di saat-saat gelap, ketika dengan penuh semangat kamu berketetapan untuk menjadikan dunia kita lebih indah dan manusiawi. Terima kasih untuk segenap waktu ketika kamu memupuk mimpi persaudaraan, bekerja untuk menyembuhkan luka-luka ciptaan Allah, berjuang untuk memastikan penghormatan terhadap martabat kaum lemah dan menyebarkan semangat kesetiakawanan dan berbagi. Terima kasih terutama, karena di dunia yang hanya memikirkan keuntungan dewasa ini, yang cenderung melumpuhkan cita-cita besar, kamu tidak kehilangan kemampuan untuk bermimpi di dunia ini! Jangan menjalani hidupmu dengan mati rasa atau tertidur. Justru, bermimpilah dan hiduplah. Ini membantu kami kaum dewasa, dan juga Gereja. Ya, sebagai Gereja juga, kita perlu bermimpi, kita membutuhkan semangat muda untuk menjadi saksi-saksi Allah yang selalu muda!

 

Perkenankanlah saya memberitahumu hal lain : banyak impianmu sama dengan impian Injil. Persaudaraan, kesetiakawanan, keadilan, perdamaian : ini adalah impian Yesus bagi umat manusia. Jangan takut berjumpa Yesus : Ia mencintai impianmu dan membantumu mewujudkannya. Kardinal Martini biasa mengatakan bahwa Gereja dan masyarakat membutuhkan “pemimpi yang tetap terbuka terhadap kejutan Roh Kudus” (Conversazioni notturne a Gerusalemme, Sul rischio della fede, hlm. 61). Pemimpi yang membuat kita tetap terbuka terhadap kejutan Roh Kudus. Ini indah! Saya berharap dan berdoa agar kamu menjadi salah seorang pemimpi ini!

 

Sekarang kita sampai pada gambaran kedua, yaitu Yesus yang berkata kepada Pilatus : “Aku adalah raja”. Kita dikejutkan oleh ketetapan hati Yesus, keberanian-Nya, kebebasan tertinggi-Nya. Yesus ditangkap, dibawa ke pengadilan, diinterogasi oleh mereka yang memiliki kuasa untuk menjatuhkan hukuman mati kepada-Nya. Dalam situasi seperti itu, Ia memiliki hak untuk membela diri, dan bahkan “melakukan pengupayaan” dengan berkompromi. Sebaliknya, Yesus tidak menyembunyikan jatidiri-Nya, tidak menutupi niat-Nya, atau memanfaatkan celah yang bahkan ditinggalkan Pilatus untuk-Nya. Dengan keberanian yang lahir dari kebenaran, Ia menjawab : "Aku adalah raja". Ia bertanggung jawab atas hidup-Nya : Aku memiliki perutusan dan Aku akan melaksanakannya untuk menjadi saksi Kerajaan Bapa-Ku. “Untuk itulah”, kata-Nya, “Aku lahir dan untuk itulah Aku datang ke dalam dunia ini, supaya Aku memberi kesaksian tentang kebenaran” (Yoh 18:37). Inilah Yesus, yang datang tanpa bermuka dua, untuk menyatakan melalui hidup-Nya bahwa Kerajaan-Nya berbeda dari kerajaan-kerajaan dunia; Allah tidak memerintah untuk memperbesar kuasa-Nya dan menghancurkan orang lain; Ia tidak memerintah dengan kekuatan senjata. Kekuatan-Nya adalah Kerajaan kasih : "Aku adalah raja", tetapi raja Kerajaan kasih; "Aku adalah raja" dari Kerajaan orang-orang yang memberikan hidup mereka untuk keselamatan orang lain.

 

Kaum muda yang terkasih, kebebasan Yesus menarik kita masuk. Marilah kita memperkenankannya bergema di dalam diri kita, menantang kita, membangkitkan dalam diri kita keberanian yang lahir dari kebenaran. Marilah kita bertanya pada diri kita sendiri : Jika aku berada di posisi Pilatus, menatap mata Yesus, apa yang membuatku malu? Berhadapan dengan kebenaran Yesus, kebenaran yang adalah Yesus, apa saja caraku menipu atau mendua, caraku yang tidak berkenan kepada-Nya? Kita masing-masing akan menemukan cara seperti itu. Carilah cara-cara itu, dapati cara-cara itu. Kita semua memiliki duplikat ini, kompromi ini, "pengupayaan hal-hal" ini sehingga salib akan enyah. Ada baiknya berdiri di hadapan Yesus, yang adalah kebenaran, untuk dibebaskan dari khayalan kita. Ada baiknya menyembah Yesus, dan sebagai hasilnya, bebas secara batiniah, melihat kehidupan sebagaimana adanya, dan tidak tertipu oleh corak dewasa ini dan tampilan konsumerisme yang mempesona dan sekaligus mematikan. Para sahabat, kita di sini bukan untuk terpesona oleh sirene dunia, tetapi menggenggam hidup kita, "menggigit kehidupan", untuk menjalaninya sepenuhnya!

 

Dengan cara ini, dengan kebebasan Yesus, kita menemukan keberanian yang kita butuhkan untuk berenang menentang arus. Saya ingin menekankan hal ini : berenang menentang arus, memiliki keberanian untuk berenang menentang arus. Berenang menentang orang lain, seperti para korban yang tiada henti dan ahli teori konspirasi yang selalu menyalahkan orang lain bukan godaan sehari-hari; malahan menentang arus yang tidak sehat dari keegoisan, pikiran tertutup dan kekakuan kita, yang sering mencari kelompok yang berpikiran sama untuk bertahan hidup. Bukan ini, tetapi berenang menentang arus untuk menjadi semakin seperti Yesus. Karena Ia mengajarkan kita untuk menghadapi kejahatan hanya dengan kekuatan kebaikan yang lembut dan hina. Tanpa jalan pintas, tanpa tipu daya, tanpa bermuka dua. Dunia kita, yang diliputi oleh begitu banyak kejahatan, tidak memerlukan kompromi yang semakin mendua, orang-orang yang bergerak maju mundur seperti air pasang – ke mana pun angin meniup mereka, ke situlah kepentingan mereka membawa diri mereka – atau berayun ke kanan atau ke kiri, tergantung pada apa yang paling nyaman, orang-orang yang "duduk di pagar". Orang Kristiani seperti itu tampaknya lebih merupakan seorang “penyeimbang” daripada seorang Kristiani. Orang-orang yang selalu melakukan tindakan penyeimbang mencari cara untuk menghindari tangan mereka kotor, agar tidak membahayakan hidup mereka, tidak menganggap sungguh-sungguh kehidupan. Tolong, takutlah menjadi anak muda seperti itu. Sebaliknya, menjadi bebas dan otentik, menjadi hati nurani masyarakat yang kritis. Jangan takut untuk melontarkan kritik! Kami membutuhkan kritikmu. Kebanyakan daripadamu, misalnya, kritis terhadap pencemaran lingkungan. Kita membutuhkan hal ini! Bebas dalam melontarkan kritik!. Bersemangatlah tentang kebenaran, sehingga, dengan impianmu, Kamu dapat mengatakan : "Hidupku tidak tertawan oleh pola pikir dunia : aku bebas, karena aku memerintah bersama Yesus demi keadilan, cinta, dan kedamaian!" Kaum muda yang terkasih, saya berharap dan berdoa agar kamu masing-masing dapat dengan penuh sukacita mengatakan : “Bersama Yesus, aku pun adalah raja”. Aku juga memerintah : sebagai tanda yang hidup dari kasih Allah, belas kasih dan kelembutan-Nya. Aku seorang pemimpi, terpesona oleh cahaya Injil, dan aku melihat dengan harapan dalam penglihatan malam. Dan setiap kali aku jatuh, aku menemukan lagi dalam diri Yesus keberanian untuk terus berjuang dan berharap, keberanian untuk terus bermimpi. Di setiap tahap kehidupan.

______

 

(Peter Suriadi - Bogor, 21 November 2021)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XXXIII (HARI ORANG MISKIN SEDUNIA V) 14 November 2021 : KEPEDIHAN HARI INI DAN HARAPAN HARI ESOK

Bacaan Ekaristi : Dan. 12:1-3; Mzm. 16:5,8,9-10,11; Ibr. 10:11-14,18; Mrk. 13:24-32.

 

Gambaran yang digunakan Yesus di awal Injil hari ini membuat kita bingung : matahari akan menjadi gelap, bulan tidak bercahaya, bintang-bintang akan berjatuhan dari langit, dan kuasa-kuasa langit akan goncang (bdk. Mrk 13:24-25). Namun Tuhan kemudian mengundang kita untuk berharap, karena tepat pada saat kegelapan total itu, Anak Manusia akan datang (bdk. ayat 26). Bahkan sekarang, kita dapat melihat tanda-tanda kedatangan-Nya, seperti ranting-ranting pohon ara yang melembut dan mulai bertunas yang membuat kita menyadari bahwa musim panas sudah dekat (bdk. ayat 28).

 

Perikop Injil ini membantu kita untuk menafsirkan sejarah dalam dua aspeknya : kepedihan hari ini dan harapan hari esok. Penafsiran ini membangkitkan semua kontradiksi yang menyakitkan yang di dalamnya umat manusia di segala zaman terbenam, dan, pada saat yang sama, masa depan keselamatan yang menanti kita : perjumpaan dengan Tuhan yang datang untuk membebaskan kita dari segala kejahatan. Marilah kita membahas kedua aspek ini melalui mata Yesus.

 

Pertama : kepedihan hari ini. Kita adalah bagian dari sejarah yang ditandai dengan kesengsaraan, kekerasan, penderitaan dan ketidakadilan, yang selalu menunggu pembebasan yang sepertinya tidak pernah datang. Mereka yang paling terluka, tertindas dan bahkan hancur, adalah kaum miskin, mata rantai terlemah. Hari Orang Miskin Sedunia yang kita rayakan meminta kita untuk tidak menyimpang, tidak takut untuk melihat lebih dekat penderitaan mereka yang paling rentan. Injil hari ini memiliki banyak hal untuk disampaikan kepada mereka. Matahari kehidupan mereka sering digelapkan oleh kesepian, bulan harapan mereka telah memudar dan bintang-bintang impian mereka telah jatuh ke dalam kegelapan; hidup mereka telah tergoncang. Semua karena kemiskinan yang ke dalamnya mereka sering dipaksa, korban ketidakadilan dan kesenjangan dari masyarakat yang mencampakkan yang dengan tanpa melihat bergegas melewati mereka dan tanpa ragu meninggalkan mereka pada nasib mereka.

 

Namun, ada aspek lain : harapan hari esok. Yesus ingin membuka hati kita untuk berharap, menyingkirkan kecemasan dan ketakutan kita berhadapan dengan penderitaan dunia. Jadi, Ia memberitahu kita bahwa bahkan saat matahari menjadi gelap dan segala sesuatu di sekitar kita tampak runtuh, Ia semakin dekat. Di tengah rintihan sejarah kita yang menyakitkan, masa depan keselamatan mulai mekar. Harapan hari esok berbunga di tengah penderitaan hari ini. Memang, penyelamatan Allah bukan hanya janji masa depan, tetapi bahkan sekarang bekerja dalam sejarah kita yang terluka, menyebar di tengah penindasan dan ketidakadilan dunia kita. Kita semua memiliki hati yang terluka. Di tengah air mata kaum miskin, kerajaan Allah mekar seperti ranting-ranting pohon yang melembut dan membimbing sejarah menuju tujuannya, menuju perjumpaan terakhir dengan Tuhan, Raja alam semesta yang pasti akan membebaskan kita.

 

Pada titik ini, marilah kita bertanya : apa yang dituntut dari kita sebagai umat Kristiani dalam situasi ini? Kita diminta untuk memelihara harapan hari esok dengan menyembuhkan kepedihan hari ini. Keduanya terkait : jika kamu tidak bekerja untuk menyembuhkan kepedihan hari ini, akan sulit untuk memiliki harapan hari esok. Harapan yang lahir dari Injil tidak ada hubungannya dengan pengharapan pasif bahwa segala sesuatunya esok mungkin lebih baik, tetapi dengan menjadikan nyata janji keselamatan Allah hari ini. Hari ini dan setiap hari. Harapan Kristiani bukanlah optimisme yang bersahaja, bahkan belum dewasa, dari mereka yang berharap bahwa segala sesuatunya dapat berubah – itu tidak akan terjadi – tetapi dalam pada itu terus berjalan; harapan Kristiani ada hubungannya dengan membangun setiap hari, dengan gerakan sikap nyata, kerajaan kasih, keadilan, dan persaudaraan yang dicanangkan oleh Yesus. Harapan Kristiani, misalnya, tidak ditaburkan oleh orang Lewi dan imam yang berjalan melewati orang yang terluka parah oleh penyamun. Harapan Kristiani ditaburkan oleh orang asing, seorang Samaria yang berhenti dan melakukan hal itu (bdk. Luk 10:30-35). Dan hari ini seolah-olah Gereja berkata : “Berhenti dan taburlah harapan di tengah kemiskinan. Mendekatlah pada kaum miskin dan taburlah harapan”. Harapan untuk orang itu, harapanmu dan harapan Gereja. Inilah yang diminta dari kita : menjadi, di tengah reruntuhan dunia sehari-hari, pembangun harapan yang tak kenal lelah; menjadi terang saat matahari menjadi gelap, menjadi saksi kasih sayang di tengah meluasnya ketidaktertarikan; menjadi kehadiran yang penuh perhatian di tengah tumbuhnya ketidakpedulian. Saksi kasih sayang. Kita tidak akan pernah bisa berbuat baik kecuali dengan menunjukkan kasih sayang. Paling-paling, kita akan melakukan hal-hal baik, tetapi mereka tidak menyentuh cara Kristiani karena hal-hal baik tersebut tidak menyentuh hati. Yang menyentuh hati adalah kasih sayang : kita mendekat, kita merasakan kasih sayang dan kita melakukan karya kasih yang lembut. Itulah cara Allah melakukan berbagai hal : kedekatan, kasih sayang, dan kelembutan. Itulah yang diminta dari kita hari ini.

 

Baru-baru ini saya berpikir tentang apa yang biasa dikatakan oleh seorang uskup yang dekat dengan kaum miskin, dan dirinya sendiri miskin di hadapan Allah, Don Tonino Bello : “Kita tidak bisa berpuas diri dengan harapan; kita harus mengelola harapan”. Jika harapan kita tidak diterjemahkan ke dalam keputusan dan tindakan nyata kepedulian, keadilan, kesetiakawanan dan kepedulian terhadap rumah kita bersama, penderitaan kaum miskin tidak akan berkurang, ekonomi sampah yang memaksa mereka untuk hidup terpinggirkan tidak akan diubah, pengharapan mereka tidak akan mekar lagi. Kita umat Kristiani, khususnya, harus mengelola harapan - ungkapan Don Tonino Belli ini, mengelola harapan, sangat baik - mewujudkannya dalam kehidupan kita sehari-hari, dalam hubungan kita, dalam komitmen sosial dan politik kita. Saya teringat akan karya amal yang dilakukan oleh begitu banyak umat Kristiani, karya Badan Amal Kepausan… Apa yang mereka lakukan di sana? Mereka mengelola harapan. Bukan memberi sebuah mata uang di sana sini, tetapi mengelola harapan. Inilah yang diminta Gereja dari kita hari ini.

 

Hari ini Yesus menawarkan kepada kita gambaran harapan yang sederhana namun mengesankan. Gambaran ranting-ranting pohon ara, yang secara diam-diam menunjuk ke musim panas. Ranting-ranting mulai bertunas, kata Yesus, ketika ranting-ranting itu melembut (bdk. ayat 28). Saudara-saudari yang terkasih, itulah kata yang membuat harapan mekar di dunia dan meringankan penderitaan kaum miskin : kelembutan. Kasih sayang yang menuntunmu pada kelembutan. Kita perlu mengatasi keegoisan kita, kekakuan batin, yang merupakan godaan dewasa ini, yaitu godaan "pelaku pemulihan", yang menginginkan Gereja yang benar-benar tertib, benar-benar kaku : ini bukan berasal dari Roh Kudus. Kita harus mengatasi hal ini, agar harapan bisa mekar di tengah kekakuan ini. Mengatasi godaan untuk hanya peduli tentang masalah kita sendiri terserah kita; kita perlu bertumbuh dengan lembut menghadapi tragedi dunia kita, ambil bagian dalam kepedihannya. Seperti ranting-ranting pohon ara yang melembut kita dipanggil untuk menyerap polusi di sekitar kita dan mengubahnya menjadi kebaikan. Tidak ada gunanya terus berbicara tentang berbagai persoalan, berdebat, dan bergunjing – kita semua bisa melakukannya. Yang perlu kita lakukan adalah meniru ranting-ranting yang setiap hari, tanpa terasa, mengubah udara kotor menjadi udara bersih. Yesus ingin kita menjadi "orang yang mengubah" berkaitan kebaikan : orang-orang yang menghirup udara padat sama seperti orang lain, tetapi menanggapi kejahatan dengan kebaikan (bdk. Rm 12:21). Orang-orang yang bertindak : dengan memecah-mecahkan roti bersama orang yang lapar, bekerja untuk keadilan, mengangkat kaum miskin dan memulihkan martabat mereka. Seperti yang dilakukan orang Samaria.

 

Alangkah indahnya, sebuah Gereja yang injili dan awet muda siap untuk keluar dari dirinya sendiri dan, seperti Yesus, mewartakan kabar baik kepada kaum miskin (bdk. Luk 4:18). Perkenankan saya berhenti sejenak pada kata sifat terakhir tersebut : muda. Gereja yang menabur harapan adalah muda. Gereja kenabian yang, berkat kehadirannya, berkata kepada orang-orang yang patah hati dan tercampakkan dari dunia, “Tenanglah, Tuhan sudah dekat. Untukmu juga, musim panas sedang lahir di kedalaman musim dingin. Dari kepedihanmu, harapan bisa muncul”. Saudara dan saudari, marilah kita membawa pandangan harapan ini ke dunia kita. Marilah kita membawanya dengan kelembutan kepada kaum miskin, dengan kedekatan, dengan kasih sayang, tanpa menghakimi mereka, karena kita akan dihakimi. Karena di sanalah, bersama mereka, bersama kaum miskin, Yesus berada; karena di sanalah, di dalam diri mereka, Yesus, yang menanti kita, berada.

_____


(Peter Suriadi - Bogor, 15 November 2021)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA DIES NATALIS KE-60 FAKULTAS KEDOKTERAN DAN BEDAH UNIVERSITAS KATOLIK HATI KUDUS DI POLIKLINIK AGOSTINO GEMELLI, ROMA - 5 November 2021 : INGATAN, SENGSARA DAN PENGHIBURAN

Saat kita memperingati dengan rasa syukur karunia kursi Universitas Katolik ini, saya ingin berbagi denganmu beberapa pemikiran sehubungan dengan namanya. Namanya didedikasikan untuk Hati Kudus Yesus, sebagaimana hari ini, hari Jumat pertama setiap bulan. Merenungkan Hati Yesus, kita dapat memperkenankan diri kita dibimbing oleh tiga kata : ingatan, sengsara dan penghiburan.


Ingatan. Mengingat [dalam bahasa Italia, ricordare], berarti "kembali ke hati, kembali dengan hati". Ri-cordare. Apakah Hati Kudus Yesus membuat kita kembali? Untuk apakah Ia melakukannya kepada kita : Hati Kristus menunjukkan kepada kita Yesus yang mempersembahkan diri-Nya, hati Kristus adalah kompendium kerahiman-Nya. Memandangnya – seperti yang dilakukan Yohanes dalam Injil (19:31-37), wajar bagi kita untuk mengingat kebaikan-Nya, yang diberikan secara cuma-cuma, yang tidak dapat diperjualbelikan; dan tanpa syarat, tidak tergantung pada tindakan kita, berdaulat. Dan bergerak. Dalam ketergesaan hari ini, di tengah seribu tugas dan kekhawatiran yang terus-menerus, kita kehilangan kemampuan untuk tergerak dan merasakan kasih sayang, karena kita sedang kehilangan kembali ke hati ini, yaitu ingatan ini, kembali ke hati ini. Tanpa ingatan kita kehilangan akar kita, dan tanpa akar, kita tidak bertumbuh. Adalah baik bagi kita untuk memelihara ingatan tentang siapa yang telah mengasihi kita, memelihara kita, dan mengangkat kita. Saya ingin memperbarui hari ini "terima kasih" saya atas perhatian dan kasih sayang yang saya terima di sini. Saya percaya di masa pandemi ini adalah baik bagi kita untuk mengingat bahkan saat-saat yang paling menderita : tidak membuat kita sedih, tetapi agar tidak lupa, dan membimbing kita dalam pilihan kita berdasarkan pertimbangan masa lalu terkini.

 

Saya bertanya-tanya : bagaimana cara kerja ingatan kita? Sederhananya, kita dapat mengatakan bahwa kita mengingat seseorang atau sesuatu ketika menyentuh hati kita, ketika mengikat kita pada kasih sayang tertentu atau kurangnya kasih sayang. Maka Hati Yesus menyembuhkan ingatan kita karena membawanya kembali ke kasih sayang dasariah. Hati Yesus berakar pada dasar yang paling kokoh. Hati Yesus mengingatkan kita bahwa, apa pun yang terjadi pada hidup kita, kita dikasihi. Ya, kita adalah makhluk-makhluk yang dikasihi, anak-anak yang selalu dikasihi Bapa dan, dalam hal apa pun, saudara dan saudari yang didenyutkan Hati Kristus. Setiap kali kita mengintip ke dalam Hati itu, kita menemukan diri kita “berakar serta berdasar di dalam kasih”, sebagaimana dikatakan Rasul Paulus dalam Bacaan Pertama hari ini (Ef 3:17).

 

Marilah kita membudidayakan ingatan ini, yang dikuatkan ketika kita bertatap muka dengan Tuhan, terutama ketika kita memperkenankan diri kita dipandang dan dikasihi oleh-Nya dalam adorasi. Tetapi kita juga dapat mengembangkan di antara kita sendiri seni mengingat, menghargai wajah-wajah yang kita jumpai. Saya memikirkan hari-hari yang melelahkan di rumah sakit, di universitas, di tempat kerja. Kita menanggung risiko semuanya akan berlalu tanpa jejak, atau hanya kelelahan dan keletihan yang tersisa. Adalah baik bagi kita, di malam hari, untuk melihat kembali wajah-wajah yang telah kita temui, senyuman yang telah kita terima, kata-kata yang baik. Semuanya adalah ingatan kasih dan membantu ingatan kita menemukan dirinya kembali : semoga ingatan kita kembali menemukan dirinya. Alangkah pentingnya ingatan ini berada di rumah sakit! Ingatan kita dapat memberi makna pada hari si sakit. Sebuah kata persaudaraan, senyuman, belaian di wajah : ini adalah ingatan yang menyembuhkan batin, ingatan membuat hati yang baik. Janganlah kita melupakan terapi mengingat : itu sangat baik!

 

Sengsara adalah kata yang kedua. Sengsara. Kata yang pertama adalah ingatan, mengingat; kata yang kedua adalah sengsara. Hati Kristus bukan devosi kesalehan, sehingga merasakan sedikit kehangatan batin; hati Kristus bukan gambar lembut yang membangkitkan kasih sayang, bukan itu. Hati Kristus adalah hati yang penuh kesengsaraan - baca saja Injil -, hati yang terluka oleh kasih, terkoyak untuk kita di kayu salib. Kita telah mendengar bagaimana Injil berbicara tentang hal itu : “Seorang dari antara prajurit itu menikam lambung-Nya dengan tombak, dan segera mengalir keluar darah dan air” (Yoh 19:34). Ditikam, Ia memberi; dalam kematian, Ia memberi kita kehidupan. Hati Kudus adalah ikon Sengsara : Hati Kudus menunjukkan kepada kita kelembutan Allah yang mendalam, sengsara-Nya demi mengasihi kita, dan pada saat yang sama, ditinggikan oleh salib dan dikelilingi oleh duri, Hati Kudus menunjukkan kepada kita berapa banyak penderitaan yang harus dibayar demi keselamatan kita. Dalam kelembutan dan penderitaannya, Hati itu mengungkapkan, singkatnya, apa sengsara Allah. Apa sengsara Allah? Manusia, kita. Dan apa gaya Allah? Kedekatan, kasih sayang dan kelembutan. Inilah gaya Allah : kedekatan, kasih sayang dan kelembutan.

 

Apa yang disarankan hal ini? Bahwa, jika kita benar-benar ingin mengasihi Allah, kita harus bersengsara berkenaan kemanusiaan, berkenaan semua umat manusia, terutama mereka yang hidup dalam kondisi di mana Hati Yesus terwujud, yaitu penderitaan, ditinggalkan dan penolakan; terutama dalam budaya membuang yang kita jalani saat ini. Ketika kita melayani mereka yang menderita, kita menghibur dan bersukacita di dalam Hati Kristus. Satu bagian Injil sangat mengejutkan. Yohanes Penginjil, pada saat ia menceritakan lambung yang tertikam, yang daripadanya darah dan air mengalir, memberikan kesaksian agar kita dapat percaya (bdk. ayat 35). Santo Yohanes menulis, yaitu, pada saat itulah kesaksian terjadi. Karena Hati Allah yang tertikam fasih berbicara. Hati Allah yang tertikam berbicara tanpa kata-kata, karena Hati Allah yang tertikam adalah kerahiman dalam keadaan murni, kasih yang terluka dan memberi kehidupan. Allah, dengan kedekatan, kasih sayang dan kelembutan. Berapa banyak kata yang kita ucapkan tentang Allah tanpa menunjukkan kasih! Tetapi kasih berbicara untuk dirinya sendiri, tidak berbicara tentang dirinya sendiri. Marilah kita memohonkan rahmat untuk bersengsara tentang orang yang menderita, bersengsara tentang pelayanan, sehingga Gereja, sebelum mengucapkan kata-kata, dapat memelihara hati yang berdenyut dengan kasih. Sebelum berbicara, semoga Gereja belajar memelihara hatinya dalam kasih.

 

Kata yang ketiga adalah penghiburan. Kata yang pertama adalah ingatan, kata yang kedua adalah sengsara, kata yang ketiga adalah penghiburan. Kata yang ketiga menunjukkan kekuatan yang tidak berasal dari kita, tetapi dari mereka yang bersama kita : dari situlah kekuatan berasal. Yesus, Allah beserta kita, memberi kita kekuatan ini, Hati-Nya memberi kita keberanian dalam kesulitan. Begitu banyak ketidakpastian yang membuat kita takut : di masa pandemi ini kita mendapati diri kita semakin kecil, semakin rapuh. Terlepas dari begitu banyak kemajuan yang luar biasa, hal ini juga terbukti dalam bidang medis : begitu banyak penyakit langka dan tidak diketahui! Ketika saya mendapati umat dalam audiensi - terutama anak-anak - dan saya bertanya : "Apakah kamu sakit?" - [mereka menjawab] “Penyakit langka”. Dewasa ini mereka begitu banyak! Betapa sulitnya mengikuti patologi, dengan fasilitas perawatan, dengan perawatan kesehatan yang seharusnya, untuk semua orang. Kita bisa menjadi putus asa. Itulah mengapa kita membutuhkan penghiburan - kata yang ketiga. Hati Yesus berdenyut untuk kita, selalu mengulangi kata-kata itu : "Beranilah, beranilah, jangan takut, Aku di sini!". Keberanian, saudari, keberanian, saudara, jangan berkecil hati, Tuhan Allahmu lebih besar dari penyakitmu, Ia memegang tanganmu dan membelaimu, Ia dekat denganmu, Ia penyayang, Ia lemah lembut. Ia adalah penghiburanmu.

 

Jika kita melihat kenyataan dari keagungan Hati-Nya, sudut pandang berubah, pengetahuan kita tentang kehidupan berubah karena, sebagaimana diingatkan Santo Paulus, kita tahu "kasih Kristus yang melampaui segala pengetahuan" (Ef 3:19). Marilah kita mendorong diri kita dengan kepastian ini, dengan penghiburan Allah. Dan marilah kita memohon kepada Hati Kudus rahmat untuk dapat menghibur secara bergantian. Rahmat tersebut harus dimohonkan, karena kita dengan berani berkomitmen untuk membuka diri, saling membantu, saling memikul beban. Rahmat tersebut juga berlaku untuk masa depan perawatan kesehatan, terutama perawatan kesehatan “Katolik” : berbagi, saling mendukung, bergerak maju bersama-sama.

 

Semoga Yesus membuka hati mereka yang merawat orang sakit untuk bekerjasama dan bersatu padu. Kepada Hati-Mu, Tuhan, kami mempercayakan panggilan kami untuk merawat : marilah kita membuat setiap orang yang membutuhkan yang mendekati kita merasa bahwa mereka dihargai oleh kita. Amin.

_____

 

(Peter Suriadi - Bogor, 5 November 2021)