Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA GRANARIES, FLORIANA, MALTA 3 April 2022 : BELAJAR DARI PEREMPUAN YANG TERTANGKAP BASAH KETIKA IA SEDANG BERBUAT ZINAH DAN PARA PENDAKWANYA

Bacaan Ekaristi : Yes. 43:16-21; Mzm. 126:1-2b,2c-3,4-5,6; Flp. 3:8-14; Yoh. 8:1-11.

 

“Pagi-pagi benar Ia berada lagi di Bait Allah, dan seluruh rakyat datang kepada-Nya” (Yoh 8:2). Kata-kata ini memperkenalkan kisah perempuan yang tertangkap basah ketika ia sedang berbuat zinah. Latar belakangnya tenang : pagi-pagi benar di Bait Allah, di jantung kota Yerusalem. Pusatnya adalah umat Allah, yang sedang mencari Yesus, Sang Guru, di pelataran Bait Allah : mereka ingin mendengarkan-Nya, karena kata-kata-Nya penuh pengertian dan menghangatkan hati. Tidak ada yang abstrak dalam ajaran-Nya; ajaran-Nya menyentuh, membebaskan, mengubah rupa, dan memperbarui kehidupan nyata. Di sini kita melihat “gerak batin” umat Allah; mereka tidak puas dengan bait yang dibangun dari batu, tetapi berkerumun di sekitar pribadi Yesus. Dalam perikop ini, kita dapat melihat orang-orang percaya dari segala zaman, umat Allah yang kudus. Di sini, di Malta, orang-orang itu banyak dan giat, setia dalam mencari Tuhan melalui iman yang nyata dan hidup. Untuk ini, saya berterima kasih kepada kamu semua.

 

Di hadapan orang-orang itu, Yesus meluangkan waktu : Injil memberitahu kita bahwa, "Ia duduk dan mengajar mereka" (ayat 2). Namun, ada kursi kosong di sekolah Yesus tersebut. Tidak ada perempuan tersebut dan para pendakwanya. Tidak seperti yang lain, mereka tidak pergi kepada Sang Guru. Mereka semua punya alasan : ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi berpikir bahwa mereka sudah tahu segalanya dan tidak membutuhkan pengajaran Yesus; perempuan tersebut, di sisi lain, tersesat dan bingung, seseorang yang tersesat mencari kebahagiaan di tempat yang salah. Mereka tidak hadir karena alasan yang berbeda, dan cerita akan berakhir berbeda untuk mereka masing-masing. Marilah kita renungkan "ketidakhadiran" ini.

 

Pertama-tama, marilah kita memperhatikan para pendakwa perempuan itu. Di dalam diri mereka, kita melihat cerminan dari semua orang yang membanggakan diri sebagai orang benar, pemerhati hukum Allah, orang-orang yang baik dan terhormat. Mereka mengabaikan kesalahan mereka sendiri, namun mereka sangat memperhatikan kesalahan orang lain. Mereka pergi kepada Yesus : tidak dengan hati terbuka untuk mendengarkan perkataan-Nya, tetapi "untuk mencobai Dia, supaya mereka memperoleh sesuatu untuk menyalahkan-Nya" (ayat 6). Ini mengungkapkan pikiran batin orang-orang yang terpelajar dan religius ini, yang mengetahui Kitab Suci dan mengunjungi Bait Allah, namun menempatkan hal ini di bawah kepentingan pribadi mereka dan tidak menentang pikiran jahat yang muncul di hati mereka. Di mata orang-orang, mereka tampak ahli dalam perkara Allah, namun mereka gagal mengenali Yesus; memang, mereka memandang-Nya sebagai musuh yang harus dilenyapkan. Untuk mencapai hal ini, mereka menempatkan di hadapan-Nya seseorang yang mereka sebut sebagai "perempuan ini", memperlakukannya sebagai sesuatu, dan secara terbuka mencela perzinahannya. Mereka menyerukan agar perempuan tersebut dilempari batu, dan mencurahkan seluruh permusuhan mereka terhadap belas kasihan yang ditunjukkan oleh Yesus. Dan mereka melakukannya di balik jubah nama baik mereka sebagai orang yang saleh dan religius.

 

Saudara dan saudari, tokoh-tokoh Injil ini mengingatkan kita bahwa setiap saat keagamaan pribadi dan komunal kita dapat menyembunyikan cacing kemunafikan dan dorongan untuk menuding orang lain. Kita selalu dapat berisiko gagal untuk memahami Yesus, memiliki nama-Nya di bibir kita tetapi menyangkal Dia dengan cara kita hidup. Bahkan saat kita mengangkat spanduk yang mempertontonkan salib. Kalau begitu, bagaimana kita bisa membuktikan apakah kita sungguh bukan murid Sang Guru? Kita melakukannya dengan cara kita memandang sesama kita dan cara kita memandang diri kita sendiri. Inilah poin penting dalam mendefinisikan siapa kita.

 

Membicarakan kita memandang sesama kita : apakah kita melakukan ini dengan pandangan belas kasihan, seperti yang ditunjukkan Yesus kepada kita hari ini, atau dengan pandangan menghakimi, bahkan menghina, seperti para pendakwa dalam Bacaan Injil, yang menampilkan diri mereka sebagai pembela Allah tetapi gagal untuk menyadari bahwa mereka menginjak-injak saudara-saudari mereka. Orang-orang yang meyakini bahwa mereka menegakkan iman dengan menuding orang lain mungkin memiliki "keagamaan" tertentu, tetapi mereka belum memeluk semangat Injil, karena mereka mengabaikan belas kasihan, yang merupakan hati Allah.

 

Untuk memahami apakah kita adalah sungguh murid Sang Guru atau bukan, kita perlu memikirkan bagaimana kita memandang diri kita. Para pendakwa perempun itu yakin bahwa mereka tidak perlu belajar apa-apa. Penampilan lahiriah mereka sempurna, namun mereka tidak memiliki kebenaran hati. Mereka mewakili orang-orang percaya yang di setiap zaman menjadikan iman sebagai bagian tampak muda mereka; penampilan lahiriah mereka mengesankan dan resmi, namun mereka tidak memiliki kemiskinan lahiriah, harta hati manusia yang terbesar. Bagi Yesus, yang sungguh penting adalah keterbukaan dan kepatuhan dari orang-orang yang tidak menganggap diri mereka aman, tetapi menyadari kebutuhan mereka akan keselamatan. Maka ada baiknya bagi kita, setiap kali kita berdoa, tetapi juga setiap kali kita ikut serta dalam ibadat keagamaan yang indah, untuk bertanya pada diri sendiri apakah kita benar-benar selaras dengan Tuhan. Kita dapat langsung bertanya kepada-Nya, “Yesus, aku di sini bersama-Mu, tetapi apa yang Engkau inginkan dari diriku? Apa yang ada di hatiku, dalam hidupku, yang Engkau ingin kuubah? Bagaimana Engkau ingin aku menghargai orang lain?” Berdoa seperti itu akan bermanfaat bagi kita, karena Sang Guru tidak puas dengan penampilan; Ia mencari kebenaran hati. Begitu kita membuka hati kita kepada-Nya dalam kebenaran, Ia dapat melakukan keajaiban dalam diri kita.

 

Kita melihat hal ini pada perempuan yang tertangkap basah ketika ia sedang berbuat zinah. Situasinya tampak tanpa harapan, tetapi kemudian cakrawala baru dan tak terduga terbuka di hadapannya. Ia dihina dan menunggu penghakiman tanpa ampun dan hukuman berat. Namun yang mengejutkannya, ia mendapati dirinya dibebaskan oleh Allah, yang mengarahkannya ke masa depan yang sama sekali tidak diantisipasinya : "Tidak adakah seorang yang menghukum engkau?" – Yesus berkata kepadanya – "Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang” (ayat 10.11). Betapa berbedanya Sang Guru dan para pendakwa perempuan itu! Mereka mengutip Kitab Suci untuk mengutuknya; Yesus, Sabda Allah, sepenuhnya memulihkan nama baik perempuan itu, memulihkan harapannya. Dari kisah ini, kita belajar bahwa penilaian apa pun yang tidak diilhami dan digerakkan oleh amal kasih hanya akan memperburuk keadaan bagi mereka yang menerimanya. Allah, di sisi lain, selalu meninggalkan ruang untuk kesempatan kedua; Ia selalu dapat menemukan jalan yang mengarah pada pembebasan dan keselamatan.

 

Pengampunan mengubah hidup perempuan itu. Belas kasihan dan kesengsaraan dipeluk. Belas kasihan dan kesengsaraan bertemu di sana, dan kehidupan perempuan itu berubah. Kita bahkan dapat berspekulasi apakah, setelah diampuni oleh Yesus, ia mampu pada gilirannya untuk mengampuni orang lain. Mungkin ia bahkan datang untuk melihat para pendakwanya tidak lagi sebagai manusia yang kejam dan jahat, tetapi sebagai sarana yang membawanya kepada perjumpaan dengan Yesus. Tuhan juga menginginkan kita, para murid-Nya, Gereja-Nya, yang juga diampuni oleh-Nya, menjadi saksi rekonsiliasi yang tak kenal lelah. Saksi-saksi Allah yang tidak ada kata “tak dapat ditebus”, Allah yang selalu mengampuni. Allah selalu mengampuni. Kitalah yang bosan memohon ampun. Allah kita adalah Allah yang tidak pernah berhenti mempercayai kita dan selalu memberi kita kesempatan untuk memulai yang baru. Tidak ada dosa atau kegagalan yang dapat kita bawa ke hadapan-Nya yang tidak dapat menjadi kesempatan untuk memulai hidup baru dan berbeda di bawah panji-panji belas kasihan. Tidak ada dosa yang tidak dapat diperlakukan dengan cara ini. Allah mengampuni segalanya. Ia mengampuni setiap dosa.

 

Inilah Tuhan Yesus. Kita benar-benar mengenal-Nya ketika kita mengalami pengampunan-Nya, dan ketika, seperti perempuan dalam Injil, kita menemukan bahwa Allah datang kepada kita melalui luka batin kita. Memang di situlah Tuhan berkenan menjadikan diri-Nya dikenal, karena Ia datang bukan untuk orang sehat tetapi untuk orang sakit (bdk. Mat 9:12). Hari ini, perempuan, yang menemukan belas kasihan di tengah kesengsaraannya dan yang pergi disembuhkan oleh pengampunan Yesus, mengundang kita, sebagai Gereja, untuk kembali ke sekolah Injil, untuk belajar dari Allah harapan yang tidak pernah berhenti mengejutkan kita. Jika kita meneladani-Nya, kita tidak akan berkecenderungan untuk berfokus mengutuk dosa, tetapi berangkat dengan kasih untuk mencari orang berdosa. Kita akan berpuas diri dengan mereka yang sudah hadir, tetapi akan pergi mencari mereka yang tidak hadir. Kita tidak akan kembali menuding, tetapi akan mulai mendengarkan. Kita tidak akan menyingkirkan orang yang hina, tetapi memandangnya pertama-tama sebagai orang-orang yang dianggap paling kecil oleh orang lain. Saudara dan saudari, inilah yang diajarkan Yesus kepada kita hari ini melalui teladan-Nya. Marilah kita memperkenankan-Nya memukau kita. Marilah kita dengan sukacita menyambut kabar baik yang dibawa-Nya.

_____


(Peter Suriadi - Bogor, 3 April 2022)

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.