Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI MINGGU BIASA III 24 Januari 2021 : TENTANG HARI MINGGU SABDA ALLAH


[Homili dibacakan oleh Uskup Agung Rino Fisichella yang memimpin Misa karena Paus Fransiskus menderita sakit linu panggul]

 

Bacaan Ekaristi : Yun. 3:1-5,10; Mzm. 25:4bc-5ab,6-7bc,8-9; 1Kor. 7:29-31; Mrk. 1:14-20.

 

Pada Hari Minggu Sabda Allah ini, marilah kita mendengarkan Yesus saat Ia memberitakan Kerajaan Allah. Marilah kita perhatikan apa yang Ia katakan dan kepada siapa Ia mengatakannya.

 

Apa yang Ia katakan? Yesus memulai khotbahnya dengan kata-kata ini : “Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat” (Mrk 1:15). Allah sudah dekat, itulah pesan pertama. Kerajaan-Nya telah turun ke bumi. Allah tidak, sebagaimana kita sering tergoda untuk berpikir, jauh, di surga, terlepas dari kondisi manusiawi. Tidak, Ia ada di tengah-tengah kita. Waktu berjarak-Nya berakhir ketika, di dalam Yesus, Ia menjadi manusia. Sejak saat itu, Allah sangat dekat dengan kita; Ia tidak akan pernah menarik diri dari kondisi manusiawi kita atau bosan karenanya. Kedekatan ini adalah pesan pokok Injil yang sesungguhnya; bacaan hari ini memberitahu kita bahwa Yesus "mengucapkan" (ayat 15) kata-kata itu : Ia terus mengulanginya. “Allah sudah dekat” adalah motif utama dari khotbah-Nya, inti pesan-Nya. Jika hal ini adalah tema pembuka dan pengulangan dari seluruh khotbah Yesus, maka harus menjadi satu-satunya yang berkesinambungan dalam kehidupan dan pesan Kristiani. Sebelum semuanya, kita harus percaya dan menyatakan bahwa Allah telah mendekat kepada kita, kita telah diampuni dan ditunjukkan belas kasihan. Sebelum setiap perkataan kita tentang Allah, ada sabda-Nya kepada kita, sabda-Nya yang terus memberitahu kita : “Jangan takut, Aku menyertai kamu. Aku ada di sampingmu dan Aku akan selalu ada”.

 

Sabda Allah Tuhan memampukan kita untuk menyentuh kedekatan ini, karena - seperti yang dikatakan dalam Kitab Ulangan - sabda Allah tidak jauh dari kita, sabda Allah dekat dengan hati kita (bdk. 30:14). Sabda AlIah adalah penawar rasa takut ketika kita harus menghadapi hidup sendirian. Sungguh, dengan sabda-Nya Allah menghibur kita, yaitu, Ia berdiri “bersama” (con-) orang-orang yang “sendirian” (soli). Saat berbicara kepada kita, Ia mengingatkan kita bahwa Ia telah mengambil hati kita, kita berharga di mata-Nya, dan Ia menggenggam kita. Sabda Allah Tuhan menanamkan kedamaian ini, tetapi tidak meninggalkan kita dalam kedamaian. Sabda Allah adalah sabda penghiburan tetapi juga panggilan untuk bertobat. “Bertobatlah”, kata Yesus, segera setelah menyatakan kedekatan Allah. Karena, berkat kedekatan-Nya, kita tidak bisa lagi menjauhkan diri dari Allah dan sesama. Waktu di mana kita hidup hanya memikirkan diri kita sendiri sekarang sudah berakhir. Melakukannya tidak Kristiani, karena mereka yang mengalami kedekatan Allah tidak dapat mengabaikan sesama mereka atau memperlakukan mereka dengan ketidakpedulian. Mereka yang mendengar sabda Allah terus menerus diingatkan bahwa hidup bukanlah tentang melindungi diri kita dari orang lain, tetapi tentang berjumpa mereka dalam nama Allah yang dekat. Sabda yang ditaburkan di tanah hati kita, pada gilirannya menuntun kita untuk menaburkan harapan melalui kedekatan dengan sesama. Bahkan seperti yang telah dilakukan Allah dengan kita.

 

Sekarang marilah kita memikirkan kepada siapa Yesus berbicara. Kata-kata pertama-Nya ditujukan kepada para nelayan Galilea, rakyat sederhana yang hidup dengan kerja kasar, siang dan malam. Mereka bukanlah pakar Kitab Suci atau orang-orang dengan pengetahuan dan budaya yang hebat. Mereka tinggal di wilayah yang terdiri dari berbagai bangsa, kelompok etnis, dan kultus : wilayah yang sangat jauh dari kemurnian agama Yerusalem, jantung negeri. Namun di situlah Yesus memulai, bukan dari pusat tetapi dari pinggiran, dan Ia melakukannya untuk memberitahu kita juga bahwa tidak ada seorang pun yang jauh dari hati Allah. Setiap orang dapat menerima sabda-Nya dan menjumpai-Nya secara langsung. Injil menawarkan rincian yang bagus dalam hal ini, ketika mengatakan kepada kita bahwa pemberitaan Yesus datang "setelah" pemberitaan Yohanes (Mrk 1:14). Kata "setelah" tersebut menentukan : kata itu menunjuk pada sebuah perbedaan. Yohanes menerima orang-orang di padang gurun, di mana hanya orang-orang yang bisa meninggalkan rumah yang bisa pergi. Yesus, sebaliknya, berbicara tentang Allah di jantung masyarakat, kepada semua orang, di mana pun mereka berada. Ia tidak berbicara pada waktu atau tempat tertentu, tetapi “berjalan menyusur pantai”, kepada para nelayan yang “sedang menebarkan jala mereka” (ayat 16). Ia berbicara kepada orang-orang di waktu dan tempat yang paling biasa. Di sini kita melihat kekuatan universal dari sabda Allah untuk menjangkau setiap orang dan setiap ranah kehidupan.

 

Namun Sabda Allah juga memiliki kekuatan tertentu, yaitu dapat menyentuh setiap orang secara langsung. Murid-murid tidak akan pernah melupakan kata-kata yang mereka dengar hari itu di tepi danau, di perahu mereka, ditemani anggota keluarga dan rekan kerja mereka : kata-kata yang menandai kehidupan mereka selamanya. Yesus berkata kepada mereka : "Mari, ikutlah Aku dan kamu akan Kujadikan penjala manusia" (ayat 17). Ia tidak menarik mereka menggunakan kata-kata dan gagasan yang luhur, tetapi berbicara tentang kehidupan mereka. Ia memberitahu para nelayan bahwa mereka akan menjadi penjala manusia. Jika Ia memberitahu mereka : “Mari, ikutlah Aku dan kamu akan Kujadikan penjala manusia, engkau akan diutus ke dunia untuk mewartakan Injil dengan kuasa Roh; engkau akan dibunuh, tetapi engkau akan menjadi orang-orang kudus", kita yakin bahwa Petrus dan Andreas akan menjawab : "Terima kasih, tetapi kami akan tetap berpegang pada jala dan perahu kami!" Tetapi Yesus berbicara kepada mereka dalam konteks mata pencaharian mereka : “Engkau adalah penjala ikan, dan engkau akan menjadi penjala manusia”. Terpesona oleh kata-kata itu, mereka menyadari bahwa menebarkan jala mereka untuk menangkap ikan terlalu kecil, sedangkan bertolak ke tempat yang dalam sebagai jawaban atas sabda Yesus adalah rahasia sukacita sejati. Tuhan melakukan hal yang sama dengan kita : Ia mencari kita di mana pun kita berada, Ia mengasihi kita apa adanya, dan Ia dengan sabar berjalan di samping kita. Seperti yang dilakukan-Nya dengan para nelayan itu, Ia menunggu kita di tepi kehidupan kita. Dengan sabda-Nya, Ia ingin mengubah kita, mengundang kita untuk menjalani kehidupan yang lebih utuh dan bertolak ke tempat yang dalam bersama-Nya.

 

Jadi saudara dan saudari terkasih, marilah kita tidak mengabaikan sabda Allah. Sabda Allah adalah surat cinta, ditulis untuk kita oleh Dia yang paling mengenal kita. Saat membacanya, kita mendengar lagi suara-Nya, memandang wajah-Nya dan menerima Roh-Nya. Sabda itu membawa kita dekat dengan Allah. Janganlah kita menjauhkannya, tetapi selalu membawanya, dalam saku, dalam gawai. Marilah kita memberinya tempat yang layak di rumah kita. Marilah kita meletakkan Injil di tempat di mana kita dapat ingat untuk membukanya setiap hari, mungkin di awal dan di akhir hari, sehingga di tengah semua perkataan yang terngiang di telinga kita, mungkin juga ada beberapa ayat dari Sabda Allah yang bisa menyentuh hati kita. Untuk dapat melakukan hal ini, marilah kita memohonkan kepada Tuhan kekuatan untuk mematikan televisi dan membuka Kitab Suci, mematikan gawai kita dan membuka Injil. Selama tahun liturgi ini, kita membaca Santo Markus, Injil yang paling sederhana dan paling pendek. Mengapa tidak membacanya di rumah juga, bahkan satu perikop singkat setiap hari. Itu akan membuat kita merasakan kedekatan Allah dengan kita dan memenuhi diri kita dengan keberanian saat kita menjalani kehidupan.

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI RAYA PENAMPAKAN TUHAN DI BASILIKA SANTO PETRUS, VATIKAN, 6 Januari 2021 : MENGANGKAT MUKA, MEMULAI PERJALANAN DAN MELIHAT


Bacaan Ekaristi : Yes. 60:1-6; Mzm. 72:1-2,7-8,10-11,12-13; Ef. 3:2-3a,5-6; Mat. 2:1-12.

 

Penginjil Matius memberitahu kita bahwa para Majus, ketika mereka datang ke Betlehem, “melihat Anak itu bersama Maria, ibu-Nya, lalu sujud menyembah Dia” (Mat 2:11). Menyembah Tuhan tidaklah mudah; menyembah Tuhan tidak terjadi begitu saja. Menyembah Tuhan membutuhkan kedewasaan rohani tertentu dan merupakan buah dari perjalanan batin yang terkadang panjang. Menyembah Tuhan bukanlah sesuatu yang kita lakukan secara spontan. Memang, manusia memiliki kebutuhan untuk menyembah, tetapi kita dapat beresiko kehilangan tujuan tersebut. Sungguh, jika kita tidak menyembah Allah, kita akan menyembah berhala - tidak ada jalan tengah, menyembah Allah atau menyembah berhala; atau, menggunakan kata-kata dari seorang penulis Prancis : “Barangsiapa tidak menyembah Allah, ia menyembah iblis” - dan bukannya menjadi orang percaya, kita akan menjadi para penyembah berhala. Hanya seperti itu, otomatis.

 

Di zaman kita, sangatlah penting bagi kita, baik sebagai individu maupun sebagai komunitas, mencurahkan lebih banyak waktu untuk menyembah. Kita perlu belajar lebih baik bagaimana merenungkan Tuhan. Kita agak kehilangan makna doa adorasi, jadi kita harus mengembalikannya, baik dalam komunitas kita maupun dalam kehidupan rohani kita sendiri. Hari ini, marilah kita mempelajari beberapa pelajaran yang bermanfaat dari para Majus. Seperti mereka, kita ingin sujud menyembah Tuhan. Menyembah-Nya dengan sungguh-sungguh, tidak seperti yang dikatakan Herodes : “Kabarkanlah kepadaku supaya aku pun datang menyembah Dia". Bukan, penyembahan itu tidak baik. Penyembahan kita harus sungguh-sungguh!

 

Liturgi Sabda menawarkan kepada kita tiga frasa yang dapat membantu kita untuk memahami lebih lengkap apa artinya menjadi para penyembah Tuhan. Ketiga frasa tersebut adalah : "mengangkat muka kita", "memulai perjalanan" dan "melihat". Ketiga frasa ini dapat membantu kita untuk memahami apa artinya menjadi penyembah Tuhan.

 

Frasa yang pertama, mengangkat muka kita, datang kepada kita dari nabi Yesaya. Kepada jemaat Yerusalem, yang baru saja kembali dari pengasingan dan putus asa karena besarnya tantangan dan kesulitan, nabi Yesaya menyampaikan kata-kata dorongan yang kuat ini : “Angkatlah mukamu dan lihatlah ke sekeliling” (60:4). Ia mendesak mereka untuk menyingkirkan keletihan dan keluhan, melepaskan diri dari kemacetan cara pandang yang sempit, mengenyahkan kediktatoran diri, godaan terus-menerus untuk menarik diri ke dalam diri kita sendiri dan perhatian kita sendiri. Menyembah Tuhan, pertama-tama kita harus “mengangkat muka kita”. Dengan kata lain, jangan biarkan diri kita terkurung oleh hantu khayalan yang melumpuhkan harapan, jangan menjadikan masalah dan kesulitan kita sebagai pusat kehidupan kita. Ini tidak berarti menyangkal kenyataan, atau menipu diri sendiri dengan berpikir bahwa semuanya baik-baik saja. Sebaliknya, ini adalah perkara memandang masalah dan kecemasan dengan cara baru, memahami bahwa Tuhan sadar akan masalah kita, memperhatikan doa-doa kita dan tidak mengabaikan air mata kita yang tertumpah.

 

Cara melihat hal-hal ini, yang terlepas dari segala sesuatu terus memercayai Tuhan, menimbulkan rasa syukur bakti. Saat ini terjadi, hati kita menjadi terbuka untuk menyembah. Di sisi lain, ketika kita hanya berfokus pada masalah, dan menolak untuk mengangkat muka kita kepada Allah, ketakutan dan kebingungan merayap ke dalam hati kita, menimbulkan kemarahan, kebingungan, kecemasan dan depresi. Kemudian menjadi sulit untuk menyembah Tuhan. Setelah ini terjadi, kita perlu menemukan keberanian untuk keluar dari lingkaran kesimpulan kita yang terdahulu dan menyadari bahwa kenyataan jauh lebih besar dari yang kita bayangkan. Angkat mukamu, lihat di sekeliling dan lihat. Tuhan meminta kita pertama-tama untuk percaya kepada-Nya, karena Ia benar-benar peduli pada semua orang. Jika Allah mendandani rumput di ladang, yang tumbuh hari ini, dan besok dibuang ke dalam api, berapa banyak lagi yang akan Ia sediakan bagi kita? (bdk. Luk 12:28). Jika kita mengangkat muka kita kepada Tuhan, dan mempertimbangkan segala sesuatu dalam terang-Nya, kita akan melihat bahwa Ia tidak pernah meninggalkan kita. Sabda menjadi manusia (bdk. Yoh 1:14) dan senantiasa tinggal bersama kita, sepanjang masa (bdk. Mat 28:20). Senantiasa.

 

Ketika kita mengangkat muka kita kepada Allah, masalah hidup tidak akan lenyap, tidak; sebaliknya kita merasa yakin bahwa Tuhan memberi kita kekuatan untuk menghadapinya. Langkah pertama menuju sikap penyembahan, kemudian, adalah "mengangkat muka kita". Penyembahan kita yakni penyembahan para murid yang telah menemukan sukacita baru dan tak terduga di dalam Allah. Sukacita duniawi berlandaskan kekayaan, kesuksesan atau hal serupa, senantiasa dengan diri kita sendiri sebagai pusatnya. Sukacita murid-murid Kristus, sebaliknya, berlandaskan kesetiaan Allah, yang janji-janji-Nya tidak pernah gagal, apapun krisis yang mungkin kita hadapi. Rasa syukur dan sukacita bakti membangkitkan dalam diri kita keinginan untuk menyembah Tuhan, yang tetap sungguh setia dan tidak pernah meninggalkan kita.

 

Frasa bermanfaat yang kedua adalah memulai perjalanan. Sebelum mereka bisa menyembah Sang Anak di Betlehem, para Majus harus menempuh perjalanan yang panjang. Matius memberitahu kita bahwa pada masa itu "datanglah orang-orang majus dari Timur ke Yerusalem dan bertanya-tanya: 'Di manakah Dia, raja orang Yahudi yang baru dilahirkan itu? Kami telah melihat bintang-Nya di Timur dan kami datang untuk menyembah Dia'" (Mat 2:1-2). Perjalanan senantiasa melibatkan perubahan rupa, perubahan. Setelah melakukan perjalanan, kita tidak lagi sama. Senantiasa ada sesuatu yang baru tentang mereka yang telah melakukan perjalanan : mereka telah mempelajari hal-hal baru, menemukan orang-orang dan situasi-situasi baru, serta menemukan kekuatan batin di tengah kesulitan dan resiko yang mereka hadapi di sepanjang jalan. Tidak ada yang menyembah Tuhan tanpa terlebih dahulu mengalami pertumbuhan batin yang berasal dari memulai sebuah perjalanan.

 

Kita menjadi para penyembah Tuhan melalui proses bertahap. Pengalaman mengajarkan kita, misalnya, bahwa pada usia lima puluh tahun kita menyembah secara berbeda daripada yang kita lakukan pada usia tiga puluh tahun. Mereka yang membiarkan diri dibentuk oleh rahmat biasanya berkembang seiring dengan waktu : secara lahiriah, kita bertambah tua - demikian Santo Paulus memberitahu kita - sementara kodrat batin kita diperbarui setiap hari (bdk. 2 Kor 4:16), saat bertumbuhnya pemahaman kita tentang cara terbaik untuk menyembah Tuhan. Dari sudut pandang ini, kegagalan, krisis, dan kesalahan kita dapat menjadi pengalaman pembelajaran : sering kali semuanya itu dapat membantu kita untuk lebih menyadari bahwa hanya Tuhan yang layak untuk kita sembah, karena hanya Dia yang dapat memuaskan hasrat terdalam kita akan kehidupan dan kekekalan. Dengan berlalunya waktu, pencobaan dan kesulitan hidup - dialami dalam iman - membantu memurnikan hati kita, membuat lebih rendah hati dan dengan demikian semakin terbuka kepada Allah. Bahkan dosa-dosa kita, kesadaran menjadi orang berdosa, mengalami hal-hal buruk seperti itu. “Tetapi saya melakukan ini ... saya melakukan ...” : jika kamu mendekatinya dengan iman dan pertobatan, dengan penyesalan, itu akan membantumu bertumbuh. Paulus berkata bahwa segala sesuatu dapat membantu kita untuk bertumbuh secara rohani, bertemu dengan Yesus, bahkan dosa-dosa kita. Dan Santo Thomas menambahkan : “etiam mortalia”, bahkan dosa-dosa yang buruk, yang terburuk. Tetapi jika kamu menanggapi dengan pertobatan itu akan membantumu dalam perjalanan untuk berjumpa Tuhan ini dan menyembah-Nya dengan lebih baik.

 

Seperti para Majus, kita juga harus membiarkan diri kita belajar dari perjalanan hidup, yang ditandai dengan ketidaknyamanan perjalanan yang tak terhindarkan. Kita tidak bisa membiarkan keletihan kita, kejatuhan kita, dan kegagalan kita mematahkan semangat kita. Sebaliknya, dengan mengakui semua itu dengan rendah hati, kita seharusnya menjadikan semuanya itu kesempatan untuk maju menuju Tuhan Yesus. Hidup bukanlah tentang memamerkan kemampuan kita, tetapi sebuah perjalanan menuju Dia yang mengasihi kita. Kita tidak boleh memamerkan kebajikan kita dalam setiap langkah hidup kita; sebaliknya, dengan kerendahan hati kita harus berjalan menuju Tuhan. Dengan menjaga pandangan kita tetap tertuju pada Tuhan, kita akan menemukan kekuatan yang dibutuhkan untuk bertahan dengan sukacita yang diperbarui.

 

Jadi kita sampai pada frasa yang ketiga : melihat. Mengangkat muka kita; memulai perjalanan; melihat. Penginjil mengatakan kepada kita bahwa, "Maka masuklah mereka ke dalam rumah itu dan melihat Anak itu bersama Maria, ibu-Nya, lalu sujud menyembah Dia” (Mat 2:11). Menyembah adalah tindakan penghormatan yang diperuntukkan bagi penguasa dan pejabat tinggi. Para Majus menyembah Dia yang mereka tahu adalah raja orang Yahudi (bdk. Mat 2:2). Tetapi apa yang sebenarnya mereka lihat? Mereka melihat seorang Anak yang miskin dan ibu-Nya. Namun orang-orang bijak dari negeri nun jauh ini mampu melihat melampaui lingkungan hina itu dan mengenali dalam diri Anak itu kehadiran rajawi. Mereka mampu "melihat" melampaui penampilan. Sambil berlutut di hadapan Sang Bayi Betlehem, mereka mengungkapkan penyembahan yang terutama berada di dalam di diri mereka : membuka harta yang mereka bawa sebagai hadiah melambangkan persembahan hati mereka.

 

Untuk menyembah Tuhan kita perlu “melihat” di balik tabir hal-hal yang terlihat, yang seringkali terbukti menipu. Herodes dan warga terkemuka Yerusalem mewakili keduniawian yang diperbudak oleh penampilan dan atraksi langsung. Mereka melihat, namun mereka tidak dapat melihat. Bukan karena mereka tidak percaya, tidak; mereka tidak tahu bagaimana melihat karena mereka budak penampilan dan mencari apa yang menarik. Mereka hanya menghargai hal-hal yang sensasional, hal-hal yang menarik perhatian khalayak. Akan tetapi, dalam diri para Majus, kita melihat pendekatan yang sangat berbeda, yang dapat kita definisikan sebagai realisme teologis – kata-kata yang sangat "tinggi", namun bermanfaat - cara untuk memahami kenyataan obyektif dari berbagai hal dan mengarah pada kesadaran bahwa Allah menghindari segenap kesombongan. Tuhan ada dalam kerendahan hati, Ia bagaikan seorang anak yang rendah hati itu, yang menghindari kesombongan yang justru merupakan produk keduniawian. Sebuah cara untuk “melihat” yang melampaui yang terlihat dan memungkinkan kita untuk menyembah Tuhan yang sering kali tersembunyi dalam situasi sehari-hari, dalam diri orang-orang miskin dan mereka yang berada di pinggiran. Cara melihat hal-hal yang tidak dikesankan oleh suara dan amarah, tetapi mencari dalam setiap situasi perkara yang benar-benar penting, dan perkara mencari Tuhan. Bersama Santo Paulus, marilah kita “tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan, karena yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal” (2 Kor 4:18).

 

Semoga Tuhan Yesus menjadikan kita para penyembah sejati, yang mampu menunjukkan melalui hidup kita rencana kasih-Nya bagi segenap umat manusia. Marilah kita memohon rahmat bagi kita masing-masing dan bagi seluruh Gereja, untuk belajar menyembah, terus menyembah, sering melakukan doa adorasi ini, karena hanya Allah yang harus disembah.

HOMILI PAUS FRANSISKUS (YANG DIBACAKAN OLEH PIETRO KARDINAL PAROLIN) DALAM MISA HARI RAYA SANTA MARIA BUNDA ALLAH DI BASILIKA SANTO PETRUS, VATIKAN, 1 Januari 2021 : MEMBERKATI, DILAHIRKAN DAN MENEMUKAN


Karena menderita sakit linu panggul, homili Paus Fransiskus dibacakan oleh Sekretaris Negara Vatikan, Pietro Kardinal Parolin, yang memimpin Misa.

 

Bacaan Ekaristi : Bil. 6:22-27; Mzm. 67:2-3,5,6,8; Gal. 4:4-7; Luk. 2:16-21.

 

Dalam Bacaan-bacaan Misa hari ini, tiga kata kerja menemukan penggenapannya dalam Bunda Allah : memberkati, dilahirkan dan menemukan.

 

Memberkati. Dalam Kitab Bilangan, Tuhan memberitahu para pelayan-Nya yang kudus untuk memberkati umat-Nya : “Beginilah harus kamu memberkati orang Israel, katakanlah kepada mereka: Tuhan memberkati engkau” (6:23-24). Ini bukan merupakan sebuah seruan yang saleh; merupakan sebuah permintaan khusus. Dan, hari ini juga, para imam terus-menerus memberkati umat Allah dan agar mereka menjadi pembawa berkat; agar mereka memberkati, adalah penting. Tuhan tahu betapa kita perlu diberkati. Hal pertama yang Ia perbuat setelah menciptakan dunia adalah mengatakan bahwa semuanya itu baik (bene-dicere) dan mengatakan kepada kita bahwa kita sungguh amat baik. Tetapi, sekarang, bersama Putra Allah kita menerima tidak hanya kata-kata berkat, tetapi berkat itu sendiri : Yesus sendiri adalah berkat dari Bapa. Di dalam Dia, Santo Paulus memberitahu kita, Bapa memberkati kita “dengan segala berkat” (Ef 1: 3). Setiap kali kita membuka hati kita kepada Yesus, berkat Allah memasuki hidup kita.

 

Hari ini kita merayakan Putra Allah, yang "diberkati" secara alami, yang datang kepada kita melalui Bunda-Nya, "diberkati" oleh kasih karunia. Dengan cara ini, Maria memberikan berkat Allah kepada kita. Di mana pun ia berada, Yesus datang kepada kita. Oleh karena itu, kita seharusnya menyambutnya seperti Santa Elisabet yang, segera mengakui berkat tersebut, berseru : “Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu!” (Luk 1:42). Kita mengulangi kata-kata itu setiap kali kita mendaraskan doa Salam Maria. Dengan menyambut Maria, kita menerima berkat, tetapi kita juga belajar untuk memberkati. Bunda Maria mengajari kita bahwa berkat diterima untuk diberikan. Ia, yang terberkati, menjadi berkat bagi semua orang yang ia temui : bagi Elisabet, bagi pengantin baru di Kana, bagi para Rasul di Ruang Atas … Kita juga dipanggil untuk memberkati, untuk "berbicara dengan baik" dalam nama Allah. Dunia kita sangat tercemar oleh cara kita "berbicara" dan berpikir "buruk" tentang orang lain, tentang masyarakat, tentang diri kita sendiri. Berbicara buruk merusak dan menghancurkan, sedangkan berkat memulihkan kehidupan dan memberikan kekuatan yang dibutuhkan untuk memulai kembali setiap hari. Marilah kita memohon rahmat kepada Bunda Allah agar menjadi pembawa berkat Allah yang penuh sukacita bagi orang lain, sebagaimana ia bagi kita.

 

Kata kerja yang kedua adalah dilahirkan. Santo Paulus menunjukkan bahwa Putra Allah “lahir dari seorang perempuan” (Gal 4:4). Dalam beberapa kata ini, ia memberitahu kita sesuatu yang luar biasa : bahwa Tuhan dilahirkan seperti kita. Ia tidak muncul di panggung sebagai orang dewasa, tetapi sebagai seorang anak. Ia datang ke dunia bukan dengan sendirinya, tetapi dari seorang perempuan, setelah sembilan bulan di dalam rahim ibu-Nya, yang daripadanya Ia memperkenankan kemanusiaannya dibentuk. Hati Tuhan mulai berdetak di dalam diri Maria; Allah Sang Empunya Kehidupan mengambil oksigen darinya. Sejak saat itu, Maria telah mempersatukan kita dengan Allah karena di dalam dirinya Allah mengikatkan diri pada daging kita, dan Ia tidak pernah meninggalkannya. Santo Fransiskus suka mengatakan bahwa Maria “menjadikan Tuhan yang Mahaluhur saudara kita” (SANTO BONAVENTURA, Legenda Maior, 9, 3). Maria bukan hanya jembatan yang menghubungkan kita dengan Allah; ia lebih dari itu. Ia adalah jalan yang dilalui Allah untuk mencapai kita, dan jalan yang harus kita lalui untuk mencapai-Nya. Melalui Maria, kita berjumpa Allah dengan cara yang diinginkan-Nya terhadap kita : dalam kasih yang lembut, dalam keintiman, dalam daging. Karena Yesus bukanlah gagasan yang abstrak; Ia nyata dan menjelma; Ia "lahir dari seorang perempuan", dan tumbuh dengan teduh. Para perempuan tahu tentang jenis pertumbuhan yang teduh ini. Kita para laki-laki cenderung abstrak dan menginginkan sesuatu dengan segera. Para perempuan nyata dan tahu bagaimana menjalin benang kehidupan dengan kesabaran yang teduh. Berapa banyak perempuan, berapa banyak ibu, yang melahirkan dan melahirkan kembali kehidupan, menawarkan sebuah masa depan kepada dunia!

 

Kita ada di dunia ini bukan untuk mati, tetapi untuk memberikan kehidupan. Santa Bunda Allah mengajarkan kita bahwa langkah pertama dalam memberikan kehidupan kepada orang-orang di sekitar kita adalah dengan menghargainya di dalam diri kita sendiri. Injil hari ini memberitahu kita bahwa Maria "menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya" (bdk. Luk 2:19). Dan kebaikan berasal dari hati. Betapa pentingnya untuk menjaga hati kita tetap murni, untuk mengembangkan kehidupan batin kita dan bertekun dalam doa kita! Betapa pentingnya mendidik hati kita untuk peduli, menghargai orang dan hal-hal di sekitar kita. Semuanya dimulai dari hal ini : dari menghargai orang lain, dunia dan ciptaan. Apa gunanya mengenal banyak orang dan hal jika kita gagal menghargainya? Tahun ini, seraya kita mengharapkan permulaan yang baru dan penyembuhan yang baru, marilah kita tidak mengabaikan kepedulian. Bersama dengan vaksin untuk tubuh kita, kita membutuhkan vaksin untuk hati kita. Vaksin itu kepedulian. Ini akan menjadi suatu tahun yang baik jika kita peduli terhadap orang lain, seperti yang dilakukan Bunda Maria dengan kita.

 

Kata kerja yang ketiga adalah menemukan. Injil memberitahu kita bahwa para gembala "menemukan Maria dan Yusuf dan bayi itu" (ayat 16). Mereka tidak menemukan tanda-tanda yang ajaib dan spektakuler, tetapi sebuah keluarga yang sederhana. Namun di sana mereka benar-benar menemukan Allah, yang adalah keagungan dalam kekecilan, kekuatan dalam kelembutan. Tetapi bagaimana para gembala dapat menemukan tanda yang tidak mencolok ini? Mereka dipanggil oleh malaikat. Kita juga tidak akan menemukan Allah jika kita tidak dipanggil oleh kasih karunia. Kita tidak pernah bisa membayangkan Allah yang semacam itu, lahir dari seorang perempuan, yang merevolusi sejarah dengan kasih yang lembut. Namun oleh kasih karunia kita menemukan-Nya. Dan kita menemukan bahwa pengampunan-Nya membawa kelahiran baru, penghiburan-Nya membangkitkan harapan, kehadiran-Nya melimpahkan sukacita yang tak tertahankan. Kita menemukan-Nya, tetapi kita tidak boleh tak mengindahkan-Nya. Sungguh, Tuhan tidak pernah ditemukan sekali untuk selamanya : setiap hari Ia harus ditemukan kembali. Jadi Injil menggambarkan para gembala sebagai orang-orang yang terus-menerus mengawasi, terus bergerak : "mereka cepat-cepat berangkat, mereka menemukan, mereka memberitahukan, mereka kembali, mereka memuji dan memuliakan Allah" (ayat 16-17.20). Mereka tidak pasif, karena untuk menerima kasih karunia kita harus aktif.

 

Bagaimana dengan diri kita sendiri? Kita dipanggil untuk menemukan apa di awal tahun ini? Menemukan waktu untuk seseorang akan sangat baik. Waktu adalah harta yang kita semua miliki, namun kita menjaganya dengan cemburu, karena kita ingin menggunakannya hanya untuk diri kita sendiri. Marilah kita memohon rahmat untuk meluangkan waktu bagi Allah dan sesama kita - bagi mereka yang sendirian atau sedang menderita, bagi mereka yang membutuhkan seseorang untuk mendengarkan dan menunjukkan perhatian kepada mereka. Jika kita dapat menemukan waktu untuk memberi, kita akan takjub dan dipenuhi dengan sukacita, seperti para gembala. Semoga Bunda Maria, yang membawa Allah ke dunia waktu, membantu kita untuk bermurah hati dengan waktu kita. Santa Bunda Allah, kepada engkau kami mempersembahkan Tahun Baru ini. Engkau, yang tahu bagaimana menghargai berbagai hal di dalam hatimu, pedulikan kami, berkati waktu kami, dan ajari kami untuk menemukan waktu bagi Allah dan sesama. Dengan sukacita dan keyakinan, kami menobatkan engkau : Santa Bunda Allah! Amin.

______

 

(Peter Suriadi - Bogor, 1 Januari 2021)