Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA MALAM NATAL DI BASILIKA SANTO PETRUS (VATIKAN) 24 Desember 2020 : SEORANG PUTRA TELAH DIBERIKAN UNTUK KITA


Bacaan Liturgi : Yes. 9:1-6; Mzm. 96:1-2a,2b-3,11-12,13; Tit. 2:11-14; Luk. 2:1-14.

 

Malam ini, nubuat agung nabi Yesaya digenapi : “Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putra telah diberikan untuk kita” (Yes 9:5).

 

Seorang putra telah diberikan untuk kita. Kita sering mendengar bahwa sukacita terbesar dalam hidup adalah kelahiran seorang anak. Kelahiran seorang anak merupakan sesuatu yang luar biasa dan mengubah segalanya. Kelahiran seorang anak membawa kegirangan yang membuat kita tidak memikirkan keletihan, ketidaknyamanan, dan malam-malam tidak bisa tidur, karena memenuhi kita dengan kebahagiaan yang tak terlukiskan dan tiada taranya. Itulah apakah Natal : kelahiran Yesus adalah “kebaruan” yang memampukan kita untuk dilahirkan kembali setiap tahun dan menemukan, di dalam Dia, kekuatan yang dibutuhkan untuk menghadapi setiap pencobaan. Mengapa? Sebab kelahiran-Nya adalah untuk kita - untuk saya, untuk kamu, untuk semua orang. “Sebab” adalah kata yang muncul berulang kali di malam kudus ini : “Sebab seorang anak telah lahir untuk kita”, Yesaya menubuatkan. “Sebab hari ini telah lahir bagi kita seorang Juruselamat”, kita mengulanginya dalam Mazmur Tanggapan. Yesus "telah menyerahkan diri-Nya bagi kita" (Tit 2:14), Santo Paulus memberitahu kita, dan dalam Bacaan Injil, malaikat menyatakan : "Sebab hari ini telah lahir bagimu Juruselamat" (Luk 2:11).

 

Namun - untuk kita - apa sebenarnya arti kata-kata itu? Kata-kata itu berarti bahwa Putra Allah, Dia yang pada hakekatnya kudus, datang untuk menjadikan kita, sebagai anak-anak Allah, kudus berkat kasih karunia. Ya, Allah datang ke dunia sebagai seorang Anak untuk menjadikan kita anak-anak Allah. Sungguh karunia yang mahaagung! Hari ini, Allah menakjubkan kita dan berkata kepada kita masing-masing : “Kamu menakjubkan”. Saudari terkasih, saudara terkasih, jangan pernah berputus asa. Apakah kamu tergoda untuk merasa bahwa kamu adalah sebuah kesalahan? Allah memberitahu kamu, "Tidak, kamu adalah anak-Ku!" Apakah kamu telah merasa gagal atau tidak mampu, ketakutan bahwa kamu tidak akan pernah keluar dari terowongan gelap pencobaan? Allah berkata kepadamu, "Teguhkan hati, Aku besertamu". Ia melakukan hal ini bukan dengan kata-kata, tetapi dengan menjadikan diri-Nya seorang Anak besertamu dan untuk kamu. Dengan cara ini, Ia mengingatkan kamu bahwa titik awal seluruh kelahiran kembali adalah pengakuan bahwa kita adalah anak-anak Allah. Inilah pokok harapan kita, inti yang berpijar yang memberikan kehangatan dan makna bagi kehidupan kita. Yang mendasari seluruh kekuatan dan kelemahan kita, lebih kuat dari seluruh kesakitan dan kegagalan masa lalu kita, atau ketakutan dan kekhawatiran kita tentang masa depan, adalah kebenaran yang agung ini : kita adalah putra dan putri yang dikasihi. Kasih Allah untuk kita tidak, dan tidak akan pernah, bergantung pada diri kita. Kasih-Nya adalah kasih yang sepenuhnya cuma-cuma, kasih karunia semata. Malam ini, Santo Paulus memberitahu kita, “kasih karunia Allah sudah nyata” (Tit 2:11). Tidak ada yang lebih berharga dari hal ini.

 

Seorang putra telah diberikan untuk kita. Bapa tidak memberikan sebuah benda, sebuah barang, kepada kita; Ia memberikan Putra satu-satunya, Putra-Nya yang tunggal, yang adalah segenap sukacita-Nya. Namun jika kita memandang rasa tidak berterimakasih kita terhadap Allah dan ketidakadilan kita terhadap begitu banyak saudara dan saudari kita, keraguan bisa muncul. Tepatkah Allah memberi kita begitu banyak? Masih tepatkah Ia memercayai kita? Apakah Ia tidak berharap tinggi terhadap kita? Tentu saja, Ia berharap tinggi terhadap kita, dan Ia melakukan hal ini karena Ia sangat mengasihi kita. Ia tidak bisa tidak mengasihi kita. Begitulah cara-Nya, sangat berbeda dengan cara kita. Allah senantiasa mengasihi kita dengan kasih yang lebih besar dari kasih yang kita miliki untuk diri kita sendiri. Inilah rahasia-Nya untuk memasuki hati kita. Allah tahu bahwa kita menjadi lebih baik hanya dengan menerima kasih-Nya yang tak pernah gagal, kasih yang tak berubah yang mengubah kita. Hanya kasih Yesus yang dapat mengubah hidup kita, menyembuhkan luka kita yang paling dalam, dan membebaskan kita dari lingkaran setan kekecewaan, kemarahan, dan sungut-sungut yang terus-menerus.

 

Seorang putra telah diberikan untuk kita. Dalam palungan hina di kandang yang gelap, Putra Allah sungguh hadir. Tetapi hal ini menimbulkan pertanyaan lain. Mengapa Ia lahir pada malam hari, tanpa penginapan yang layak, dalam kemiskinan dan penolakan, ketika Ia pantas dilahirkan sebagai raja yang terbesar di istana yang terbaik? Mengapa? Untuk membuat kita memahami betapa besar kasih-Nya terhadap keadaan manusiawi kita : bahkan sampai menyentuh kedalaman kemiskinan kita dengan kasih-Nya yang nyata. Putra Allah dilahirkan sebagai seorang buangan, untuk memberitahu kita bahwa setiap orang yang terbuang adalah anak Allah. Ia datang ke dunia seperti setiap anak yang datang ke dunia, lemah dan rentan sehingga kita bisa belajar menerima kelemahan kita dengan kasih yang lembut. Dan untuk menemukan sesuatu yang penting. Seperti yang diperbuat-Nya di Betlehem, begitu juga dengan kita, Allah berkenan melakukan keajaiban melalui kemiskinan kita. Ia menempatkan seluruh keselamatan kita dalam palungan di sebuah kandang. Ia tidak takut dengan kemiskinan kita, jadi marilah kita memperkenankan belas kasihan-Nya mengubah sepenuhnya!

 

Inilah yang dimaksud dengan mengatakan bahwa seorang putra telah lahir untuk kita. Namun kita mendengar kata "untuk/bagi" di tempat lain juga. Malaikat mewartakan kepada para gembala : "Inilah tanda bagimu : seorang bayi terbaring di dalam palungan" (Luk 2:12). Tanda itu, Anak di dalam palungan, juga merupakan tanda untuk kita, untuk membimbing kita menjalani kehidupan. Di Betlehem, sebuah nama yang berarti “Rumah Roti”, Allah tergeletak di dalam palungan, seolah-olah mengingatkan kita bahwa, untuk hidup, kita membutuhkan Dia, seperti roti yang kita makan. Kita perlu dipenuhi dengan kasih-Nya yang bebas, tidak pernah gagal, dan nyata. Seberapa sering justru, dalam rasa lapar kita akan hiburan, kesuksesan, dan kesenangan duniawi, kita memelihara hidup dengan makanan yang tidak memadai dan membuat batin kita hampa! Tuhan, melalui nabi Yesaya, mengeluh bahwa, sementara lembu dan keledai mengetahui palungan yang disediakan tuannya, kita, umat-Nya, tidak mengenal Dia, sumber kehidupan kita (bdk. Yes 1:2-3). Memang benar : dalam tak berujungnya keinginan kita untuk memiliki, kita mengejar sejumlah palungan yang dipenuhi dengan hal-hal yang fana dan melupakan palungan Betlehem. Palungan itu, miskin dalam segala hal namun kaya akan kasih, mengajarkan bahwa makanan yang sesungguhnya dalam kehidupan berasal dari memperkenankan diri kita dikasihi oleh Allah dan pada gilirannya mengasihi orang lain. Yesus memberi kita teladan. Ia, Sabda Allah, menjadi seorang Anak; Ia tidak mengatakan sepatah kata pun tetapi menawarkan kehidupan. Kita, di sisi lain, penuh dengan kata-kata, tetapi sering kali hanya sedikit yang bisa dikatakan tentang kebaikan.

 

Seorang putra telah diberikan untuk kita. Orangtua yang memiliki anak-anak kecil tahu betapa mereka membutuhkan kasih dan kesabaran. Kita harus memberi mereka makan, merawat mereka, memandikan mereka, serta peduli terhadap kerentanan dan kebutuhan mereka, yang seringkali sulit untuk dipahami. Seorang anak membuat kita merasa dikasihi tetapi juga bisa mengajari kita bagaimana mengasihi. Allah lahir sebagai seorang anak untuk mendorong kita peduli pada orang lain. Air mata-Nya yang teduh membuat kita menyadari kesia-siaan dari banyak ledakan ketidaksabaran kita. Kasih-Nya yang melumpuhkan mengingatkan kita bahwa waktu kita tidak dihabiskan untuk mengasihani diri sendiri, tetapi untuk menghibur air mata orang-orang yang sedang menderita. Allah datang di antara kita dalam kemiskinan dan kebutuhan, untuk memberitahu kita bahwa dengan melayani orang miskin, kita akan menunjukkan kasih kita kepada-Nya. Mulai malam ini dan seterusnya, seperti yang ditulis seorang penyair, "Kediaman Allah berada di sebelah kediamanku, perabotan-Nya adalah kasih" (EMILY DICKINSON, Puisi, XVII).

 

Seorang putra telah diberikan untuk kita. Yesus, Engkau adalah Anak yang menjadikanku seorang anak. Engkau mengasihiku apa adanya, bukan seperti yang kubayangkan. Dengan merangkul-Mu, Anak Palungan, aku sekali lagi merangkul hidupku. Dengan menyambut-Mu, Roti hidup, aku juga ingin memberikan hidupku. Engkau, Juruselamatku, ajarilah aku untuk melayani. Engkau yang tidak meninggalkanku sendirian, tolonglah aku untuk menghibur saudara-saudari-Mu, karena, mulai malam ini, semua adalah saudara dan saudariku.

_____

 

(Peter Suriadi - Bogor, 25 Desember 2020)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA PESTA SANTA PERAWAN MARIA DARI GUADALUPE DI BASILIKA SANTO PETRUS (VATIKAN) 12 Desember 2020 : KELIMPAHAN, BERKAT DAN KARUNIA


Bacaan Ekaristi : Sir. 24:23-31; Luk 1:39-48.

 

Dalam liturgi hari ini, tiga kata, tiga gagasan mengemuka : kelimpahan, berkat dan karunia. Dan, memandang gambar Perawan dari Guadalupe, entah bagaimana kita juga berkaca terhadap tiga kenyataan ini : kelimpahan, berkat, dan karunia.

 

Kelimpahan, karena Allah selalu memberi dalam kelimpahan, selalu memberi dalam kelimpahan. Ia tidak mengenal dosis. Ia membiarkan diri-Nya "diukur" oleh kesabaran-Nya. Kitalah yang - pada dasarnya, dengan keterbatasan kita - mengetahui kebutuhan akan cicilan yang nyaman. Sebaliknya, Ia memberikan diri-Nya dalam kelimpahan, sepenuhnya. Dan di mana ada Allah, di situ ada kelimpahan.

 

Memikirkan misteri Natal, liturgi Adven mengambil banyak gagasan tentang kelimpahan ini dari nabi Yesaya. Allah memberikan seluruh diri-Nya, sebagaimana adanya, sepenuhnya. Kemurahan hati bisa menjadi - saya suka berpikir demikian - "kebatasan" Allah (setidaknya!) : Ketidakmungkinan memberikan diri kita dengan cara yang berbeda, itu bukan dalam kelimpahan.

 

Kata kedua adalah berkat. Pertemuan Maria dengan Elisabet adalah sebuah berkat, sebuah berkat. Berkat berarti “mengucapkan dengan baik”. Dan Allah, sejak halaman pertama kitab Kejadian, telah membiasakan kita dengan gaya bicara-Nya yang baik. Kata kedua yang diucapkan-Nya, menurut Alkitab, adalah : "Dan semuanya itu baik", "semuanya itu baik", "semuanya itu sangat baik". Gaya Allah selalu berkata baik, jadi kutukan adalah gaya iblis, gaya musuh; gaya kekejian, ketidakmampuan untuk memberikan diri sendiri secara penuh, "mengucapkan yang jahat". Allah selalu mengucapkan hal-hal yang baik. Dan Ia mengucapkannya dengan senang hati, Ia mengucapkannya dengan memberikan diri-Nya. Baik. Ia memberikan diri-Nya dalam kelimpahan, mengucapkan yang baik, berkat.

 

Kata ketiga adalah karunia. Dan kelimpahan ini, mengucapkan yang baik ini, adalah karunia, itu adalah karunia. Karunia yang diberikan kepada kita di dalam Dia yang adalah segala rahmat, yang adalah segenap diri-Nya, segenap keilahian : di dalam Yang Terpuji. Karunia yang diberikan kepada kita di dalam dia yang "penuh rahmat", "yang terpuji". Yang terpuji oleh alam dan yang terpuji oleh rahmat : inilah dua acuan yang ditunjukkan oleh Alkitab.

 

Terhadapnya dikatakan : "terpujilah engkau di antara wanita", "penuh rahmat". Yesus adalah Yang Terpuji yang membawa berkat.

 

Dan memandang gambar Bunda kita yang menanti Yang Terpuji, penuh rahmat yang menanti Yang Terpuji, kita sedikit mengerti tentang kelimpahan ini, tentang mengucapkan yang baik, tentang “berkat”. Dan kita memahami karunia ini, karunia Allah yang menampilkan diri-Nya kepada kita dalam kelimpahan Putra-Nya, secara alami, dalam kelimpahan Bunda-Nya, oleh rahmat. Karunia Allah muncul dengan sendirinya kepada kita sebagai berkat, dalam yang terpuji oleh alam dan yang terpuji oleh rahmat. Inilah karunia yang dihadirkan Allah kepada kita dan yang terus ingin disoroti-Nya, untuk membuat karunia tersebut muncul dalam perjalanan pewahyuan.

 

“Terpujilah engkau di antara wanita karena engkau telah membawakan kita Sang Terpuji” - “Aku Bunda Allah yang dengannya kita hidup, Ia yang memberi hidup, Yang Terpuji”.

 

Sehingga, dengan merenungkan gambar Bunda Maria hari ini, kita dapat "mencuri" dari Allah sedikit gaya yang Ia miliki : kemurahan hati, kelimpahan, "ucapan yang baik", tidak pernah mengutuk, dan mengubah hidup kita menjadi karunia, karunia untuk semua orang. Semoga.

_____

 

*(Peter Suriadi - Bogor, 12 Desember 2020)*