Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI RABU ABU 17 Februari 2021 : MASA PRAPASKAH MERUPAKAN SEBUAH PERJALANAN KEMBALI KEPADA ALLAH

Bacaan Ekaristi : Yl. 2:12-18; Mzm. 51:3-4,5-6a,12-13,14,17; 2Kor. 5:20-6:2; Mat. 6:1-6,16-18.

 

Kita sekarang sedang memulai perjalanan Masa Prapaskah kita, yang dibuka dengan perkataan nabi Yoel. Perkataan tersebut menunjukkan jalan yang harus kita ikuti. Kita mendengar undangan yang muncul dari hati Allah, yang dengan tangan terbuka dan mata penuh kerinduan memohon kepada kita : "Kembalilah kepada-Ku dengan segenap hatimu" (Yl 2:12). Kembalilah kepada-Ku. Masa Prapaskah adalah perjalanan kembali kepada Allah. Berapa kali, dalam kesibukan atau ketidakacuhan kita, kita telah mengatakan kepada-Nya : "Tuhan, nanti aku akan datang kepada-Mu, tunggu sebentar ... Hari ini aku tidak bisa datang, tetapi besok aku akan mulai berdoa dan melakukan sesuatu untuk sesama". Kita melakukan hal ini, berulang kali. Tetapi, sekarang juga, Allah sedang berbicara kepada hati kita. Dalam kehidupan ini, kita akan selalu memiliki hal-hal yang harus dilakukan dan mengajukan berbagai alasan, tetapi sekarang juga, saudara dan saudari, sekarang juga adalah waktu untuk kembali kepada Allah.

 

 

Kembalilah kepada-Ku, sabda-Nya, dengan segenap hatimu. Masa Prapaskah adalah perjalanan yang melibatkan seluruh kehidupan kita, segenap diri kita. Masa Prapaskah adalah waktu untuk memeriksa jalan yang sedang kita ambil, menemukan jalan pulang dan menemukan kembali hubungan kita yang terdalam dengan Allah, yang pada-Nya segala sesuatu bergantung. Masa Prapaskah bukan berkenaan dengan pengorbanan-pengorbanan kecil yang kita buat, tetapi pembedaan ke mana hati mengarah. Inilah inti Masa Prapaskah : menanyakan ke mana hatiku mengarah? Marilah kita bertanya : ke mana sistem penunjuk arah hidupku membawaku - menuju Allah atau menuju diriku? Apakah aku hidup untuk menyenangkan Tuhan, atau untuk diperhatikan, dipuji, ditempatkan di barisan depan… ? Apakah aku memiliki hati yang “goyah”, yang mengambil satu langkah maju dan kemudian satu langkah mundur? Apakah aku sedikit mengasihi Tuhan dan sedikit dunia, atau apakah hatiku teguh di dalam Allah? Apakah aku puas dengan kemunafikanku, atau apakah aku bekerja untuk membebaskan hatiku dari kepalsuan dan kebohongan yang mengikatnya?

 

Perjalanan Masa Prapaskah adalah sebuah keluaran dari perbudakan menuju kebebasan. Empat puluh hari yang berkaitan dengan empat puluh tahun perjalanan umat Allah di padang gurun untuk kembali ke tanah air mereka. Betapa sulitnya meninggalkan Mesir! Bagi umat Allah, lebih sulit meninggalkan Mesir hati, Mesir itu yang selalu mereka bawa di dalam diri mereka, ketimbang meninggalkan tanah Mesir. Sangat sulit untuk meninggalkan Mesir. Sepanjang perjalanan mereka, ada godaan merindukan bawang, kembali, melekat pada ingatan masa lalu, pada berhala ini atau itu. Demikian pula dengan kita : perjalanan kembali kita kepada Allah dihalangi oleh keterikatan kita yang tidak sehat, tertahan oleh jerat dosa kita yang menggoda, oleh andalan palsu dari uang dan penampilan, oleh kelumpuhan ketidakpuasan kita. Untuk memulai perjalanan ini, kita harus membuka topeng khayalan-khayalan ini.

 

Tetapi kita bertanya pada diri kita : lalu bagaimana kita melanjutkan perjalanan kembali kepada Allah? Kita bisa dibimbing oleh perjalanan pulang yang dijabarkan dalam Sabda Allah.

 

Kita dapat memikirkan anak yang hilang dan menyadari bahwa, bagi kita juga, inilah waktunya untuk kembali kepada Bapa. Seperti anak laki-laki itu, kita juga telah melupakan aroma akrab rumah kita, kita telah menyia-nyiakan warisan berharga untuk hal-hal remeh dan berakhir dengan tangan kosong dan hati yang tidak bahagia. Kita telah jatuh, seperti anak kecil yang terus menerus jatuh, balita yang mencoba berjalan tetapi terus jatuh dan butuh, berkali-kali, digendong oleh ayah mereka. Pengampunan Bapa yang selalu membuat kita bangkit kembali. Pengampunan Allah - Pengakuan Dosa - adalah langkah pertama dalam perjalanan kembali kita. Dalam menyebutkan Pengakuan Dosa, saya meminta para bapa pengakuan untuk menjadi seperti ayah, bukan menawarkan tongkat pukulan melainkan pelukan.

 

Kemudian kita perlu kembali kepada Yesus, seperti penderita kusta yang, setelah sembuh, kembali untuk mengucap syukur. Meskipun sepuluh penderita kusta telah disembuhkan, ia adalah satu-satunya yang diselamatkan, karena ia kembali kepada Yesus (bdk. Luk 17:12-19). Kita semua memiliki kelemahan rohani yang tidak dapat kita sembuhkan sendiri. Kita semua memiliki sifat buruk yang tidak dapat kita cerabut sendirian. Kita semua memiliki ketakutan yang melumpuhkan yang tidak dapat kita atasi sendirian. Kita perlu meneladan penderita kusta itu, yang kembali kepada Yesus dan tersungkur di kaki-Nya. Kita membutuhkan penyembuhan Yesus, kita perlu menunjukkan luka-luka kita kepada-Nya dan berkata : “Yesus, aku ada di hadapan-Mu, dengan dosaku, dengan kesedihanku. Engkau adalah tabib. Engkau bisa membebaskanku. Sembuhkanlah hatiku”.

 

Sekali lagi, sabda Allah meminta kita untuk kembali kepada Bapa, kembali kepada Yesus. Sabda Allah juga memanggil kita untuk kembali kepada Roh Kudus. Abu di kepala kita mengingatkan kita bahwa kita adalah debu dan kita akan kembali menjadi debu. Namun di atas debu kita ini, Allah menghembuskan Roh kehidupan-Nya. Jadi kita seharusnya tidak lagi menjalani hidup kita mengejar debu, mengejar hal-hal yang ada di sini hari ini dan besok pergi. Marilah kita kembali kepada Roh, Sang Pemberi Kehidupan; marilah kita kembali kepada Api yang membangkitkan abu kita, kepada Api yang mengajari kita untuk mengasihi. Kita akan selalu menjadi debu, tetapi sebagaimana dikatakan madah liturgi, “debu dalam kasih”. Marilah kita sekali lagi berdoa kepada Roh Kudus dan menemukan kembali api pujian, yang menghabiskan abu ratapan dan sikap terima nasib.

 

Saudara dan saudari, perjalanan kembali kita kepada Allah hanya mungkin karena Ia yang pertama kali melakukan perjalanan kepada kita. Kalau tidak, itu tidak mungkin. Sebelum kita mendatangi-Nya, Ia mendatangi kita. Ia mendahului kita; Ia turun untuk menemui kita. Demi kita, Ia merendahkan diri-Nya lebih dari yang bisa kita bayangkan : Ia menjadi dosa, Ia menjadi kematian. Demikian yang dikatakan Santo Paulus kepada kita: “Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita” (2 Kor 5:21). Bukan untuk meninggalkan kita tetapi untuk menyertai kita dalam perjalanan kita, Ia merangkul dosa dan kematian kita. Ia menjamah dosa kita; Ia menjamah kematian kita. Perjalanan kita kemudian adalah tentang memperkenankan Ia memegang kita. Bapa yang meminta kita pulang adalah Bapa yang meninggalkan rumah untuk mencari kita; Tuhan yang menyembuhkan kita adalah Tuhan yang membiarkan diri-Nya menderita di kayu salib; Roh yang memungkinkan kita untuk mengubah hidup kita adalah Roh yang bernapas dengan lembut namun kuat di atas debu kita.

 

Kemudian, inilah permohonan rasul Paulus : "didamaikan dengan Allah" (ayat 20). Didamaikan : perjalanan tidak berlandaskan kekuatan kita. Tidak ada seorang pun yang bisa didamaikan dengan Tuhan sendirian. Pertobatan yang sepenuh hati, dengan perbuatan dan pengamalan yang mengungkapkannya, hanya mungkin jika dimulai dengan keutamaan karya Allah. Apa yang memungkinkan kita untuk kembali kepada-Nya bukanlah kemampuan atau jasa kita, tetapi tawaran rahmat-Nya. Rahmat menyelamatkan kita; keselamatan adalah rahmat semata, kecuma-cumaan semata. Yesus mengatakan hal ini dengan jelas dalam Injil : apa yang membenarkan kita bukanlah yang kita tunjukkan di hadapan sesama, tetapi hubungan kita yang tulus dengan Bapa. Awal kembali kepada Allah adalah pengakuan akan kebutuhan kita akan Dia dan belas kasihan-Nya, kebutuhan kita akan rahmat-Nya. Inilah jalan yang benar, jalan kerendahan hati. Apakah aku merasa membutuhkan, atau apakah aku merasa diriku berkecukupan?

 

Hari ini kita menundukkan kepala untuk menerima abu. Di akhir Masa Prapaskah, kita akan membungkuk lebih rendah lagi untuk membasuh kaki saudara-saudari kita. Masa Prapaskah adalah penurunan yang rendah hati baik ke dalam diri kita maupun ke arah sesama. Masa Prapaskah adalah tentang menyadari bahwa keselamatan bukanlah pendakian menuju kemuliaan, tetapi penurunan dalam kasih. Masa Prapaskah berkenaan dengan menjadi kecil. Agar kita tidak tersesat dalam perjalanan kita, marilah kita berdiri di hadapan salib Yesus : tahkta Allah yang sunyi. Marilah kita setiap hari merenungkan luka-luka-Nya, luka-luka yang Ia bawa ke surga dan tunjukkan setiap hari kepada Bapa dalam doa pengantaraan-Nya. Marilah kita setiap hari merenungkan luka-luka itu. Di dalam luka-luka itu, kita mengenali kekosongan kita, kekurangan kita, luka dosa kita dan semua luka yang telah kita alami. Namun di sana juga, kita melihat dengan jelas bahwa Allah tidak menuding siapa pun, tetapi justru membuka tangan-Nya untuk memeluk kita. Luka-Nya ditimpakan untuk kepentingan kita, dan oleh luka-luka itu kita telah disembuhkan (bdk. 1Ptr 2:25; Yes 53: 5). Dengan mencium luka-luka itu, kita akan menyadari bahwa di sana, dalam luka hidup yang paling menyakitkan, Allah menanti kita dengan belas kasihan-Nya yang tak terbatas. Karena di sana, di mana kita paling rentan, di mana kita merasa paling malu, Ia datang menemui kita. Dan setelah datang menemui kita, Ia sekarang mengundang kita untuk kembali kepada-Nya, menemukan kembali sukacita karena dikasihi.

_____


(Peter Suriadi - Bogor, 17 Februari 2021)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA PESTA YESUS DIPERSEMBAHKAN DI BAIT ALLAH (HARI HIDUP BAKTI SEDUNIA KE-25) 2 Februari 2021 : KESABARAN ADALAH JAMINAN MUTU PARA PELAKU HIDUP BAKTI

Simeon, demikian Santo Lukas memberitahu kita, “menantikan penghiburan bagi Israel” (Luk 2:25). Ketika Maria dan Yusuf membawa Yesus ke ke Bait Allah, ia menatang Sang Mesias. Orang yang mengenali terang yang datang untuk menyinari bangsa bukan Yahudi dalam diri Anak itu adalah seorang yang sudah lanjut usia yang dengan sabar menantikan penggenapan janji Tuhan.

 

Kesabaran Simeon. Marilah kita melihat lebih dekat kesabaran orang tua itu. Sepanjang hidupnya, ia telah menanti, melatih kesabaran hati. Dalam doanya, Simeon telah belajar bahwa Allah tidak datang dalam kejadian-kejadian yang luar biasa, tetapi berkarya di tengah kemiripan yang tampak dalam kehidupan sehari-hari kita, dalam irama kegiatan kita yang sering membosankan, dalam hal-hal kecil yang, bekerja dengan keuletan dan kerendahan hati, kita capai dalam upaya kita untuk melakukan kehendak-Nya. Dengan ketekunan yang penuh kesabaran, Simeon tidak menjadi lelah seiring berjalannya waktu. Ia sekarang sudah tua, namun nyala api masih menyala terang di dalam hatinya. Dalam kehidupannya yang panjang, pasti ada saat-saat di mana ia pernah disakiti, kecewa, namun tidak putus asa. Ia percaya pada janji itu, dan tidak membiarkan dirinya diliputi oleh penyesalan masa lalu atau oleh rasa putus asa yang bisa datang saat kita mendekati senja hidup kita. Harapan dan penantiannya terungkap dalam kesabaran sehari-harinya yang, terlepas dari segala sesuatunya, tetap berjaga-jaga, sampai akhirnya "matanya melihat keselamatan" yang telah dijanjikan (bdk. Luk 2:30).

 

Saya bertanya pada diri saya sendiri : dari manakah Simeon belajar kesabaran seperti itu? Kesabaran tersebut berasal dari doa dan sejarah bangsanya, yang selalu melihat di dalam diri Tuhan “Allah penyayang dan pengasih, panjang sabar, berlimpah kasih-Nya dan setia-Nya” (Kel 34:6). Ia mengenali Bapa yang, bahkan dalam menghadapi penolakan dan ketidaksetiaan, tidak pernah menyerah, tetapi tetap "sabar bertahun-tahun lamanya" (bdk. Neh 9:30), terus-menerus mengulurkan kemungkinan pertobatan.

 

Dengan demikian, kesabaran Simeon adalah cermin kesabaran Allah sendiri. Dari doa dan sejarah bangsanya, Simeon belajar bahwa Allah memang sabar. Dengan kesabaran itu, Santo Paulus memberitahu kita, ia “menuntun kita kepada pertobatan” (Rm 2:4). Saya suka memikirkan Romano Guardini, yang pernah mengamati bahwa kesabaran adalah cara Allah untuk menanggapi kelemahan kita dan memberi kita waktu yang dibutuhkan untuk berubah (bdk. Glaubenserkenntnis, Würzburg, 1949, 28). Melebihi siapa pun, Mesias, Yesus, yang ditatang Simeon, menunjukkan kepada kita kesabaran Allah, Bapa yang penyayang yang terus memanggil kita, bahkan sampai saat terakhir kita. Allah, yang tidak menuntut kesempurnaan tetapi kegairahan yang tulus, yang membuka kemungkinan baru ketika segalanya tampak tersesat, yang ingin membuka celah dalam hati kita yang mengeras, yang membiarkan benih yang baik tumbuh tanpa mencabut lalang. Inilah alasan harapan kita : Allah tidak pernah lelah menanti kita. Saat kita berpaling, Ia datang mencari kita; saat kita jatuh, Ia memberdirikan kita; ketika kita kembali kepada-Nya setelah tersesat, Ia menanti kita dengan tangan terbuka. Kasih-Nya tidak ditimbang dalam keseimbangan perhitungan manusiawi kita, tetapi tanpa henti memberi kita keberanian untuk memulai kembali. Hal ini mengajarkan kita ketahanan, keberanian untuk selalu memulai kembali, setiap hari. Selalu memulai kembali setelah kejatuhan kita. Allah itu sabar.

 

Marilah kita melihat kesabaran kita. Marilah kita melihat kesabaran Allah dan kesabaran Simeon saat kita memikirkan hidup bakti kita sendiri. Kita bisa bertanya pada diri kita sendiri apa sebenarnya kesabaran. Tentunya ini bukan hanya tentang menoleransi kesulitan atau menunjukkan tekad yang suram dalam menghadapi kesulitan. Kesabaran bukanlah tanda kelemahan, tetapi kekuatan jiwa yang memungkinkan kita untuk "memikul beban", bersabar, menanggung beban persoalan pribadi dan komunitas, menerima sesama sebagai orang yang berbeda dari diri kita, bertekun dalam kebaikan ketika semua tampak tersesat, serta terus maju bahkan ketika diliputi oleh kepenatan dan kelesuan.

 

Perkenankan saya menunjukkan tiga "pengaturan" yang di dalamnya kesabaran bisa menjadi nyata.

 

Pengaturan yang pertama adalah kehidupan pribadi kita. Ada saat ketika kita menanggapi panggilan Tuhan, dan dengan kegairahan dan kemurahan hati mempersembahkan hidup kita kepada-Nya. Sepanjang jalan, bersama-sama penghiburan kita telah mengikutsertakan kekecewaan dan frustrasi kita. Kadang-kadang, kerja keras kita gagal mencapai hasil yang diinginkan, benih yang kita taburkan tampaknya tidak menghasilkan buah yang memadai, semangat doa kita menjadi dingin dan kita tidak selalu kebal terhadap kekeringan rohani. Dalam kehidupan kita sebagai para pelaku hidup bakti, dapat terjadi bahwa harapan perlahan memudar sebagai akibat dari pengharapan yang tidak terpenuhi. Kita harus bersabar dengan diri kita sendiri serta menantikan dengan harapan waktu dan tempat Allah, karena Ia tetap setia pada janji-janji-Nya. Inilah batu fondasi : Ia menepati janj-janji-Nya. Mengingat hal ini dapat membantu kita menelusuri kembali langkah-langkah kita dan menghidupkan kembali impian kita, ketimbang menyerah pada kesedihan dan keputusasaan batin. Saudara dan saudari, di dalam diri kita para pelaku hidup bakti, kesedihan batin adalah seekor cacing, seekor cacing yang memakan kita dari dalam. Minggatlah dari kesedihan batin!

 

Pengaturan yang kedua yang di dalamnya kesabaran dapat menjadi nyata adalah kehidupan komunitas. Kita semua tahu bahwa hubungan antarmanusia tidak selalu tenang, terutama ketika hubungan tersebut melibatkan rancangan kehidupan atau kegiatan kerasulan. Ada kalanya pertikaian muncul dan tidak ada solusi segera yang dapat diharapkan ataupun tidak seharusnya dilakukan penilaian yang terburu-buru. Dibutuhkan waktu untuk melangkah mundur, menjaga perdamaian serta menunggu waktu yang lebih baik untuk menyelesaikan situasi dalam kasih dan kebenaran. Janganlah kita membiarkan diri kita dibuat bingung oleh prahara. Dalam Ibadat Harian, Bacaan Harian untuk besok, ada bagian yang bagus tentang penegasan rohani oleh Diodokus dari Photice. Ia berkata : “Laut yang tenang memungkinkan nelayan untuk memandang kedalamannya dengan benar. Tidak ada ikan yang bisa bersembunyi di sana dan luput dari pandangannya. Tetapi, laut yang berprahara menjadi keruh saat terombang-ambing oleh angin”. Kita tidak akan pernah bisa membedakan dengan baik, melihat kebenaran, jika hati kita terombang-ambing dan tidak sabar. Tidak pernah. Komunitas kita membutuhkan kesabaran timbal balik semacam ini : kemampuan untuk mendukung, yaitu, menanggung di pundak kita, kehidupan salah seorang saudara atau saudari kita, termasuk kelemahan dan kegagalannya, seluruhnya. Marilah kita mengingat bahwa Tuhan tidak memanggil kita untuk menjadi solois - kita tahu ada banyak di Gereja - tidak, kita tidak dipanggil untuk menjadi penyanyi tunggal tetapi menjadi bagian dari paduan suara yang terkadang bisa melewatkan satu atau dua nada, tetapi harus selalu berusaha untuk bernyanyi serempak.

 

Terakhir, pengaturan yang ketiga adalah hubungan kita dengan dunia. Simeon dan Hana sangat menghargai harapan yang diberitakan oleh para nabi, meskipun harapan itu lambat tergenapi dan tumbuh dalam diam di tengah ketidaksetiaan dan reruntuhan dunia kita. Mereka tidak mengeluh tentang betapa kelirunya hal-hal itu, tetapi dengan sabar mencari terang yang bersinar dalam kegelapan sejarah. Mencari terang yang bersinar dalam kegelapan sejarah; mencari terang yang bersinar dalam kegelapan komunitas kita. Kita juga membutuhkan kesabaran semacam itu, agar tidak jatuh ke dalam perangkap keluh kesah. Beberapa orang ahli dalam berkeluh kesah, pujangga dalam berkeluh kesah, mereka sangat pandai berkeluh kesah! Tidak, berkeluh kesah memenjarakan kita : "dunia tidak lagi mendengarkan kita" - seberapa sering kita mendengar hal itu - atau "kita semakin tidak memiliki panggilan lagi, jadi kita harus menutup rumah", atau "ini bukan waktu yang mudah" - " ah, jangan beritahu aku! ... ”. Demikianlah duet keluh kesah dimulai. Dapat terjadi bahwa meskipun Allah dengan sabar mengolah tanah sejarah dan hati kita, kita menunjukkan diri tidak sabar dan ingin menilai semuanya dengan segera : sekarang atau tidak sama sekali, sekarang, sekarang, sekarang. Dengan cara ini, kita kehilangan kebajikan-kebajikan "kecil" tetapi terindah itu : harapan. Saya telah melihat banyak pelaku hidup bakti yang kehilangan harapan, hanya karena tidak sabar.

 

Kesabaran membantu kita untuk berbelas kasih dalam cara kita memandang diri kita, komunitas kita dan dunia kita. Dalam hidup kita sendiri, apakah kita menyambut kesabaran Roh Kudus? Dalam komunitas kita, apakah kita saling mendukung dan memancarkan sukacita hidup persaudaraan? Di dunia ini, apakah kita dengan sabar memberikan pelayanan kita, atau melontarkan penilaian yang sumbang? Inilah tantangan-tantangan nyata bagi hidup bakti kita : kita tidak bisa tetap terjebak dalam nostalgia masa lalu atau terus mengulangi hal-hal lama atau keluh kesah sehari-hari yang sama. Kita membutuhkan kesabaran dan keberanian untuk terus maju, menjelajahi jalan baru, dan menanggapi bisikan Roh Kudus. Dan melakukannya dengan kerendahan hati dan kesederhanaan, tanpa propaganda atau publisitas yang besar.

 

Marilah kita merenungkan kesabaran Allah serta memohonkan kesabaran Simeon dan Hana yang penuh kepercayaan. Dengan cara ini, semoga mata kita juga melihat terang keselamatan dan membawa terang itu ke seluruh dunia, seperti yang dilakukan oleh dua orang lanjut usia ini dalam kata-kata pujian mereka.

_____


(Peter Suriadi - Bogor, 2 Februari 2021)