Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI RABU ABU DI BASILIKA SANTA SABINA 22 Februari 2023 : MASA PRAPASKAH ADALAH WAKTU PERKENANAN UNTUK KEMBALI KEPADA APA YANG PENTING

Bacaan Ekaristi : Yl. 2:12-18; Mzm. 51:3-4,5-6a,12-13,14,17; 2Kor. 5:20 - 6:2; Mat. 6:1-6,16-18.


"Sesungguhnya, waktu ini adalah waktu perkenanan itu; sesungguhnya, hari ini adalah hari penyelamatan itu!” (2 Kor 6:2). Dengan kata-kata ini, Rasul Paulus membantu kita memasuki semangat Masa Prapaskah. Masa Prapaskah memang merupakan “waktu perkenanan” untuk kembali kepada apa yang penting, melepaskan diri kita dari segala yang membebani kita, berdamai dengan Allah, dan menyalakan kembali api Roh Kudus yang tersembunyi di bawah abu kemanusiaan kita yang rapuh. Kembali kepada apa yang penting. Masa rahmat adalah masa ketika kita melaksanakan apa yang diminta Tuhan dari kita di awal Bacaan Pertama hari ini : “Berbaliklah kepada-Ku dengan segenap hatimu” (Yl 2:12). Kembali kepada apa yang penting : kembali kepada Tuhan.

 

Ritus penerimaan abu berfungsi sebagai awal perjalanan kembali ini. Ritus penerimaan abu menasihati kita untuk melakukan dua hal : kembali kepada kebenaran tentang diri kita serta kembali kepada Allah dan saudara-saudari kita.

Pertama, kembali kepada kebenaran tentang diri kita. Abu mengingatkan kita siapa kita dan dari mana kita berasal. Abu membawa kita kembali kepada kebenaran hakiki kehidupan kita : Tuhan adalah satu-satunya Allah dan kita adalah buatan tangan-Nya. Itulah kebenaran tentang siapa kita. Kita memiliki kehidupan, sedangkan Allah adalah kehidupan. Ia adalah Sang Pencipta, sedangkan kita adalah tanah liat yang rapuh yang dibuat oleh tangan-Nya. Kita berasal dari bumi dan membutuhkan surga; kita membutuhkan-Nya. Bersama Allah, kita akan bangkit dari abu kita, tetapi tanpa Dia, kita hanyalah debu. Ketika kita dengan rendah hati menundukkan kepala untuk menerima abu, kita diingatkan akan kebenaran ini : kita adalah milik Tuhan; kita adalah milik-Nya. Karena Allah “membentuk manusia dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya” (Kej 2:7); kita ada karena Ia menghembuskan nafas hidup ke dalam diri kita. Sebagai Bapa yang lembut dan penuh belas kasihan, Allah juga mengalami Masa Prapaskah, karena Ia memperhatikan kita; Ia menunggu kita; Ia menunggu kita kembali. Dan Ia terus-menerus mendesak kita untuk tidak berputus asa, bahkan ketika kita terbaring dalam debu kelemahan dan dosa kita, sebab "Ia sendiri tahu apa kita, Dia ingat, bahwa kita ini debu” (Mzm 103:14). Marilah kita kembali mendengarkan kata-kata tersebut : Dia ingat, bahwa kita ini debu. Allah tahu hal ini; tetapi kita sering melupakannya, dan berpikir bahwa kita memadai, kuat dan tak terkalahkan tanpa Dia. Kita berdandan dan berpikir kita lebih baik dari diri kita yang sebenarnya. Kita adalah debu.

 

Jadi, Masa Prapaskah adalah waktu untuk mengingatkan kita siapa Sang Pencipta dan siapa ciptaan. Waktu untuk mewartakan bahwa Allah satu-satunya Tuhan, menyingkirkan kepura-puraan memadai dan kebutuhan untuk menempatkan diri kita sebagai pusat segala sesuatu, menjadi yang teratas, berpikir bahwa dengan kemampuan kita, kita dapat berhasil dalam kehidupan dan mengubah rupa dunia di sekitar kita. Sekarang adalah waktu perkenanan untuk bertobat, berhenti melihat diri kita dan mulai melihat ke dalam diri kita. Berapa banyak gangguan dan hal-hal sepele yang mengalihkan perhatian kita dari hal-hal yang benar-benar penting! Seberapa sering kita terjebak dalam keinginan dan kebutuhan kita, kehilangan pokok persoalan, dan gagal memahami makna sebenarnya dari kehidupan kita di dunia ini! Masa Prapaskah adalah masa kebenaran, masa untuk melepaskan topeng yang kita kenakan setiap hari agar tampil sempurna di mata dunia. Masa Prapaskah adalah masa, sebagaimana dikatakan Yesus dalam Bacaan Injil, untuk menentang kebohongan dan kemunafikan : bukan kebohongan dan kemunafikan sesama, tetapi kebohongan dan kemunafikan kita : Kita menatap mata kebohongan dan kemunafikan serta menentangnya.

 

Tetapi ada langkah kedua : abu mengundang kita juga untuk kembali kepada Allah dan kepada saudara-saudari kita. Begitu kita kembali kepada kebenaran tentang diri kita dan mengingatkan diri kita bahwa kita tidak memadai, kita menyadari bahwa kita ada hanya melalui hubungan : hubungan primordial kita dengan Tuhan dan hubungan vital kita dengan sesama. Abu yang kita terima sore ini memberitahu kita bahwa setiap anggapan memadai keliru dan pemujaan diri merusak, memenjarakan kita dalam keterasingan dan kesepian : kita melihat cermin dan percaya bahwa kita sempurna, pusat dunia. Sebaliknya, kehidupan adalah sebuah hubungan : kita menerimanya dari Allah dan kedua orangtua kita, serta kita selalu dapat menghidupkan dan memperbaruinya berkat Tuhan dan orang-orang yang Ia tempatkan di samping kita. Maka, Masa Prapaskah adalah masa rahmat ketika kita dapat membangun kembali hubungan kita dengan Allah dan sesama, membuka hati kita dalam keheningan doa dan bangkit dari benteng memadai kita. Masa Prapaskah adalah waktu perkenanan ketika kita dapat memutuskan belenggu individualisme dan keterasingan kita, serta menemukan kembali, melalui perjumpaan dan mendengarkan, rekan-rekan perjalanan kita setiap hari. Dan belajar sekali lagi untuk mengasihi mereka sebagai saudara dan saudari.

 

Bagaimana kita bisa melakukan hal ini? Untuk melakukan perjalanan ini, kembali kepada kebenaran tentang diri kita serta kembali kepada Allah dan sesama, kita dianjurkan untuk menempuh tiga jalan agung : sedekah, doa dan puasa. Ketiganya adalah cara tradisional, dan tidak memerlukan hal-hal baru. Yesus mengatakannya dengan jelas : sedekah, doa dan puasa. Ketiganya tidak hanya tentang ritus lahiriah, ketiganya harus menjadi tindakan yang mengungkapkan pembaharuan hati kita. Sedekah bukan tindakan tergesa-gesa yang dilakukan untuk menenangkan hati nurani kita, mengimbangi ketidakseimbangan batin kita; sebaliknya, sedekah adalah cara menjamah penderitaan kaum miskin dengan tangan dan hati kita. Doa bukan ritual, tetapi dialog yang jujur ​​dan penuh kasih dengan Bapa. Puasa bukan devosi yang pelik, tetapi isyarat yang kuat untuk mengingatkan diri kita apa yang benar-benar penting dan apa yang hanya sesaat. Yesus memberikan “nasihat yang tetap mempertahankan nilai yang bermanfaat bagi kita : isyarat lahiriah harus selalu diimbangi dengan hati yang tulus dan perilaku yang konsisten. Sungguh, apa gunanya mengoyak pakaian kita jika hati kita tetap jauh dari Tuhan, yaitu dari kebaikan dan keadilan?” (Benediktus XVI, Homili Hari Rabu Abu, 1 Maret 2006). Terlalu sering, perilaku tubuh dan ritus kita tidak berdampak pada kehidupan kita; keduanya tetap dangkal. Mungkin kita melakukannya hanya untuk mendapatkan kekaguman atau penghargaan dari orang lain. Marilah kita mengingat hal ini : dalam kehidupan pribadi kita, seperti dalam kehidupan Gereja, tampilan lahiriah, penilaian manusiawi dan persetujuan dunia tidak berarti apa-apa; satu-satunya hal yang benar-benar penting adalah kebenaran dan kasih yang dipandang Allah semata.

 

Jika kita berdiri dengan rendah hati di hadapan tatapan-Nya, maka sedekah, doa dan puasa tidak hanya akan menjadi tampilan lahiriah, tetapi akan mengungkapkan siapa diri kita yang sebenarnya : anak-anak Allah, saling bersaudara. Sedekah, amal, akan menjadi tanda belas kasihan kita terhadap mereka yang membutuhkan, dan membantu kita untuk kembali kepada sesama. Doa akan menyuarakan keinginan kita yang mendalam untuk berjumpa dengan Bapa, dan akan membawa kita kembali kepada-Nya. Puasa akan menjadi tempat latihan rohani di mana kita dengan senang hati meninggalkan hal-hal berlebihan yang membebani kita, bertumbuh dalam kebebasan batin dan kembali kepada kebenaran tentang diri kita. Berjumpa Bapa, kebebasan batin, belas kasihan.

 

Saudara-saudari terkasih, marilah kita menundukkan kepala, menerima abu, dan meringankan hati kita. Marilah kita berangkat di jalan amal. Kita telah diberikan empat puluh hari, “waktu perkenanan” untuk mengingatkan diri kita bahwa dunia lebih besar daripada kebutuhan pribadi kita yang sempit, dan menemukan kembali sukacita, bukan berupa mengumpulkan benda-benda materi, tetapi peduli terhadap orang miskin dan menderita. Maka, marilah kita berangkat di jalan doa dan menggunakan empat puluh hari ini untuk memulihkan keutamaan Allah dalam kehidupan kita dan berdialog dengan-Nya dari hati, dan tidak hanya di saat-saat senggang. Marilah kita memulai jalan puasa dan mempergunakan empat puluh hari ini untuk memeriksa diri kita, membebaskan diri kita dari kediktatoran jadwal yang padat, agenda yang sibuk dan kebutuhan yang dangkal, serta memilih hal-hal yang benar-benar penting.

 

Saudara-saudari, marilah kita tidak mengabaikan rahmat masa suci ini, tetapi mengarahkan pandangan kita pada salib dan berangkat, menanggapi dengan murah hati dorongan kuat Masa Prapaskah. Di akhir perjalanan, kita akan berjumpa dengan Tuhan sang empunya kehidupan dengan sukacita yang lebih besar, kita akan bertemu dengan Dia, satu-satunya yang dapat membangkitkan kita dari abu kita.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 23 Februari 2023)

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.