Bacaan Ekaristi : Why. 21:9b-14; 1Ptr. 2:4-9; Mat. 16:13-19.
Saya
akan mulai dengan sepatah kata dalam bahasa Inggris, lalu sisanya dalam bahasa
Italia. Namun, saya ingin mengulangi kata-kata dari Mazmur Tanggapan:
"Nyanyikanlah nyanyian baru bagi Tuhan, sebab Ia telah melakukan
perbuatan-perbuatan yang ajaib." Dan memang, bukan hanya bersama saya,
tetapi bersama kita semua, saudara-saudara saya para kardinal. Saat kita
merayakan pagi ini, saya mengajakmu untuk menyadari keajaiban-keajaiban yang
telah dilakukan Tuhan, berkat-berkat yang terus dicurahkan Tuhan kepada kita
semua. Melalui pelayanan Petrus, kamu telah memanggil saya untuk memikul salib
itu dan diberkati dengan misi itu. Dan saya tahu bahwa saya dapat mengandalkan
kamu masing-masing untuk berjalan bersama saya saat kita terus berlanjut
sebagai sebuah gereja, sebagai komunitas sahabat-sahabat Yesus, sebagai
orang-orang percaya, untuk mewartakan kabar baik, untuk mewartakan Injil.
[Dalam bahasa Italia]
"Engkau
adalah Mesias, Putra Allah yang hidup" (Mat 16:16). Dengan kata-kata ini,
Petrus, yang ditanyai Sang Guru, bersama dengan murid-murid lainnya, tentang
imannya kepada-Nya, mengungkapkan warisan yang telah dilestarikan, diperdalam,
dan diwariskan oleh Gereja, melalui suksesi para rasul, selama dua ribu tahun.
Yesus
adalah Mesias, Putra Allah yang hidup: satu-satunya Juruselamat, yang
menyingkapkan wajah Bapa semata.
Di
dalam Dia, Allah, agar dapat membuat diri-Nya dekat dan dapat diakses oleh
manusia, menyingkapkan diri-Nya kepada kita melalui mata seorang anak yang
penuh kepercayaan, melalui pikiran seorang muda yang bersemangat, dan melalui
fitur dewasa seorang manusia (bdk. “Gaudium et Spes,” No. 22), dan akhirnya
menampakkan diri kepada para murid-Nya setelah kebangkitan-Nya dengan tubuh-Nya
yang mulia. Dengan demikian, Ia menunjukkan kepada kita suatu model kekudusan
manusiawi yang dapat kita semua teladani, bersama dengan janji tentang takdir kekal
yang melampaui segala keterbatasan dan kemampuan kita.
Petrus,
dalam tanggapannya, memahami kedua hal ini: karunia Allah dan jalan yang harus
diikuti agar dirinya dapat diubah oleh karunia itu. Keduanya merupakan dua
aspek keselamatan yang tidak terpisahkan yang dipercayakan kepada Gereja untuk
diwartakan demi kebaikan umat manusia. Sesungguhnya, keduanya dipercayakan
kepada kita, yang telah dipilih-Nya sebelum kita dibentuk dalam rahim ibu kita
(bdk. Yer 1:5), dilahirkan kembali dalam air baptisan dan, melampaui
keterbatasan kita dan tanpa jasa kita, dibawa ke sini dan diutus dari sini,
sehingga Injil dapat diwartakan kepada segala makhluk (bdk. Mrk 16:15).
Secara
khusus Allah telah memanggil saya melalui keterpilihan saya untuk menggantikan
Pangeran Para Rasul, dan telah mempercayakan harta ini kepada saya sehingga,
dengan bantuan-Nya, saya dapat menjadi pengelola yang setia (bdk. 1 Kor 4:2)
demi seluruh Tubuh mistik Gereja. Ia telah melakukan hal itu agar kota itu
dapat semakin menjadi kota yang terletak di atas bukit (bdk. Why 21:10),
bahtera keselamatan yang berlayar di tengah lautan sejarah dan mercusuar yang
menerangi malam-malam gelap dunia ini. Dan ini, bukan melalui kementerengan
tatanannya atau kemegahan bangunannya – seperti monumen yang kita temukan di
antaranya – melainkan melalui kekudusan para anggotanya. Karena kita adalah
umat pilihan Allah untuk memberitakan perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan
oleh Dia, yang telah memanggil kita keluar dari kegelapan kepada terang-Nya
yang ajaib (bdk. 1Ptr 2:9).
Namun,
Petrus membuat pengakuan imannya dalam menjawab pertanyaan khusus: "Kata
orang, siapakah Anak Manusia itu?" (Mat 16:13). Pertanyaan itu tidak
remeh. Pertanyaan itu menyangkut aspek penting pelayanan kita, yaitu dunia
tempat kita hidup, dengan keterbatasan dan potensinya, pertanyaan dan
keyakinannya.
"Kata
orang, siapakah Anak Manusia itu?" Jika kita merenungkan kejadian yang
sedang kita pikirkan, kita mungkin menemukan dua kemungkinan jawaban, yang
mencirikan dua sikap yang berbeda.
Pertama,
ada tanggapan dunia. Matius memberitahu kita bahwa percakapan antara Yesus dan
murid-murid-Nya terjadi di kota Kaisarea Filipi yang indah, yang dipenuhi
dengan istana-istana mewah, terletak di lanskap alam yang luar biasa di kaki
Gunung Hermon, tetapi juga tempat perebutan kekuasaan yang kejam serta tempat
pengkhianatan dan perselingkuhan. Latar ini berbicara kepada kita tentang dunia
yang menganggap Yesus sebagai orang yang sama sekali tidak penting, paling
banter seseorang dengan cara bicara dan bertindak yang tidak biasa dan
mencolok. Jadi, begitu kehadiran-Nya menjadi menjengkelkan karena tuntutan-Nya
akan kejujuran dan persyaratan moral-Nya yang keras, "dunia" ini
tidak akan ragu untuk menolak dan menyingkirkan-Nya.
Lalu
ada tanggapan lain yang mungkin terhadap pertanyaan Yesus: tanggapan
orang-orang biasa. Bagi mereka, orang Nazaret itu bukan seorang penipu, tetapi
orang yang jujur, orang yang memiliki keberanian, yang berbicara dengan baik
dan mengatakan hal-hal yang benar, seperti nabi-nabi besar lainnya dalam
sejarah Israel. Itulah sebabnya mereka mengikuti-Nya, setidaknya selama mereka
dapat melakukannya tanpa terlalu banyak risiko atau ketidaknyamanan. Namun bagi
mereka, Ia hanya seorang manusia. Karena itu, di saat-saat bahaya, selama penderitaan-Nya,
mereka pun meninggalkan-Nya dan pergi dengan kecewa.
Yang
mencolok dari kedua sikap ini adalah relevansinya saat ini. Keduanya merupakan
perwujudan gagasan yang dapat dengan mudah kita temukan di bibir banyak orang
di zaman kita, meskipun, pada dasarnya identik, keduanya diungkapkan dalam
bahasa yang berbeda.
Bahkan
saat ini, ada banyak lingkungan di mana iman kristiani dianggap tidak masuk
akal, ditujukan untuk kaum lemah dan tidak cerdas. Lingkungan di mana jaminan
lain lebih disukai, seperti teknologi, uang, kesuksesan, kekuasaan, atau
kesenangan.
Inilah
konteks di mana tidaklah mudah untuk memberitakan Injil dan menjadi saksi
kebenarannya, di mana orang-orang percaya diejek, ditentang, dihina atau paling
banter ditoleransi dan dikasihani. Namun, justru karena alasan inilah, di
sanalah jangkauan misioner kita sangat dibutuhkan. Ketiadaan iman sering kali
disertai dengan hilangnya makna hidup, pengabaian belas kasihan, pelanggaran
martabat manusia yang mengerikan, krisis keluarga, dan begitu banyak luka lain
yang menimpa masyarakat kita. Dan ini tidak sedikit.
Saat
ini, juga, ada banyak situasi di mana Yesus, meskipun dihargai sebagai seorang
manusia, direduksi menjadi semacam pemimpin yang karismatik atau manusia super.
Hal ini berlaku tidak hanya di kalangan orang-orang yang tidak percaya tetapi
juga di kebanyakan umat kristiani, yang dengan demikian akhirnya hidup, pada
tingkatan ini, dalam keadaan ateisme praktis.
Inilah
dunia yang telah dipercayakan kepada kita, dunia yang di dalamnya, sebagaimana
diajarkan Paus Fransiskus kepada kita berkali-kali, kita dipanggil untuk
memberi kesaksian tentang iman kita yang penuh sukacita kepada Yesus Sang
Juruselamat. Oleh karena itu, penting bagi kita juga untuk mengulangi, bersama
Petrus: “Engkau adalah Mesias, Putra Allah yang hidup” (Mat 16:16).
Penting
untuk melakukan ini, pertama-tama, dalam hubungan pribadi kita dengan Tuhan,
dalam komitmen kita untuk perjalanan pertobatan setiap hari. Kemudian,
melakukannya sebagai sebuah Gereja, bersama-sama mengalami kesetiaan kita
kepada Tuhan dan membawa Kabar Baik kepada semua orang (lih. “Lumen Gentium,”
No. 1).
Saya
katakan ini pertama-tama kepada diri saya sendiri, sebagai Penerus Petrus, saat
saya memulai misi saya sebagai Uskup Roma dan, menurut ungkapan terkenal dari
Santo Ignatius dari Antiokhia, dipanggil untuk memimpin dalam kasih atas Gereja
universal (lih. Surat kepada Jemaat di Roma, Prolog). Santo Ignatius, yang
dirantai ke kota ini, tempat pengurbanannya yang akan datang, menulis kepada umat
kristiani di sana: “Maka saya akan benar-benar menjadi murid Yesus Kristus,
ketika dunia tidak lagi melihat tubuh saya” (Surat kepada Jemaat di Roma, IV,
1). Ignatius berbicara tentang dimangsa oleh binatang buas di arena — dan
memang begitulah yang terjadi — tetapi kata-katanya berlaku lebih umum pada
komitmen yang sangat diperlukan bagi semua orang di dalam Gereja yang
menjalankan pelayanan otoritas. Yaitu menyingkir agar Kristus tetap tinggal,
mengecilkan diri agar Ia dapat dikenal dan dimuliakan (lih. Yoh 3:30),
mengurbankan diri semaksimal mungkin agar semua orang dapat memiliki kesempatan
untuk mengenal dan mengasihi-Nya.
Semoga
Allah menganugerahkan rahmat ini kepada saya, hari ini dan selalu, melalui
perantaraan Maria, Bunda Gereja, yang penuh kasih.
_____
(Peter Suriadi - Bogor, 9 Mei 2025)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.