Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA DI SPORTS HUB NATIONAL STADIUM, SINGAPURA 12 September 2024


Bacaan Ekaristi : 1Kor 8:1b-7.11-13; Mzm 139:1-3.13-14ab.23-24; Luk 6:27-38.

 

“Pengetahuan membuat orang menjadi sombong, tetapi kasih membangun” (1 Kor 8:1). Santo Paulus menyampaikan kata-kata ini kepada saudara-saudari jemaat kristiani di Korintus. Dalam surat-suratnya kepada jemaat ini, yang telah menjadi kaya dalam segala hal (bdk. 1 Kor 1:4-5), Rasul Paulus sering menyarankan agar mereka membina persekutuan dalam kasih.

 

Marilah kita mendengarkan kata-kata Paulus tersebut seraya kita bersama-sama mengucap syukur kepada Tuhan atas Gereja di Singapura, yang juga telah menjadi kaya dalam segala hal, sebuah Gereja yang bersemangat, bertumbuh, dan terlibat dalam dialog yang membangun dengan berbagai pengakuan dan agama lain yang merupakan bagian dari negeri yang indah ini.

 

Oleh karena itu, saya ingin merenungkan kata-kata Paulus, dengan bertitik tolak dari keindahan kota ini dan arsitekturnya yang sangat megah, khususnya komplek Stadion Nasional yang mengesankan ini, yang berkontribusi menjadikan Singapura sangat terkenal dan mempesona. Pertama, marilah kita ingat bahwa, pada akhirnya, pada asal-usul bangunan yang megah ini, seperti halnya bangunan lain yang meninggalkan jejak positif di dunia kita, sementara orang mungkin memikirkannya pertama-tama berkaitan dengan uang, teknik, atau bahkan kemampuan rekayasa, yang tentu saja berguna, sangat berguna, apa yang sebenarnya kita temukan adalah kasih, tepatnya "kasih yang membangun".

 

Meskipun sebagian orang mungkin menganggap ini pernyataan yang bersahaja, dengan merenungkannya kita melihat bahwa ini tidaklah demikian. Memang, meskipun karya-karya yang baik mungkin memiliki orang-orang yang brilian, kuat, kaya, dan kreatif di belakangnya, selalu ada manusia yang rapuh, seperti kita, yang tanpa cinta tidak ada kehidupan, tidak ada dorongan, tidak ada alasan untuk bertindak, tidak ada kekuatan untuk membangun.

 

Saudara-saudari terkasih, jika ada sesuatu yang baik yang ada dan bertahan di dunia ini, itu hanya karena, dalam situasi yang tak terhitung banyaknya, cinta telah menang atas kebencian, kesetiakawanan telah menang atas ketidakpedulian, kemurahan hati telah menang atas keegoisan. Tanpa ini, tidak seorang pun di sini akan mampu melahirkan kota metropolitan yang begitu besar, karena para arsitek tidak akan merancangnya, para pekerja tidak akan mengerjakannya dan tidak ada yang akan tercapai.

 

Jadi, apa yang kita lihat adalah sebuah tanda, dan di balik setiap karya yang ada di hadapan kita, ada banyak kisah cinta yang dapat ditemukan: tentang manusia yang bersatu dalam satu komunitas, tentang warga negara yang mengabdikan diri bagi negara mereka, tentang ibu dan ayah yang peduli terhadap keluarga mereka, tentang berbagai macam tenaga ahli dan pekerja yang dengan tulus terlibat dalam berbagai peran dan tugas mereka. Oleh karena itu, ada baiknya kita belajar membaca kisah-kisah ini, yang ditulis di depan rumah kita dan di jalan-jalan kita, serta meneruskan kenangan mereka, guna mengingatkan kita bahwa tidak ada yang abadi yang lahir atau tumbuh tanpa cinta.

 

Terkadang kebesaran dan kemegahan proyek-proyek kita dapat membuat kita melupakan hal ini, dan menipu kita dengan berpikir bahwa kita dapat menjadi satu-satunya penulis kehidupan, kekayaan, kesejahteraan, kebahagiaan kita. Namun, pada akhirnya, hidup selalu membawa kita kembali ke satu kenyataan: tanpa cinta, kita bukanlah apa-apa.

 

Dengan demikian, iman semakin meneguhkan dan mencerahkan kita mengenai keyakinan ini, karena iman memberitahu kita bahwa akar dari kapasitas kita untuk mengasihi dan dikasihi adalah Allah sendiri, yang dengan hati seorang Bapa menghendaki dan ingin membawa kita ke dalam keberadaan secara cuma-cuma (bdk. 1 Kor 8:6) serta telah menebus dan membebaskan kita dari dosa dan kematian, melalui kematian dan kebangkitan Putra-Nya yang tunggal. Di dalam Yesus, semua yang kita miliki dan dapat kita capai memiliki asal-usul dan pemenuhannya.

 

Dengan demikian, dalam kasih kita, kita melihat cerminan kasih Allah, sebagaimana dikatakan Santo Yohanes Paulus II selama kunjungannya ke negeri ini (bdk. Homili dalam Misa Kudus di Stadion Nasional, Singapura, 20 November 1986). Beliau kemudian menambahkan poin penting bahwa, “kasih bercirikan rasa hormat yang mendalam bagi semua orang, terlepas dari ras, kepercayaan, atau apa pun yang membuat mereka berbeda dari kita” (idem.).

 

Saudara-saudari, kata-kata ini penting bagi kita karena, di luar keheranan yang kita rasakan di hadapan karya-karya manusia, kata-kata itu mengingatkan kita bahwa ada keajaiban yang bahkan lebih besar yang harus dirangkul dengan kekaguman dan rasa hormat yang lebih besar: yaitu, saudara-saudari yang kita jumpai, tanpa diskriminasi, setiap hari di jalan kita, seperti yang kita lihat dalam masyarakat Singapura dan Gereja, yang secara etnis beragam namun tetap bersatu dan dalam kesetiakawanan!

 

Apa bangunan yang paling indah, harta yang paling berharga, investasi yang paling menguntungkan di mata Allah? Diri kita, kita semua, karena kita adalah anak-anak terkasih dari Bapa yang sama (bdk. Luk 6:35), yang pada gilirannya dipanggil untuk menyebarkan kasih. Bacaan-bacaan Misa ini berbicara kepada kita tentang hal tersebut dengan berbagai cara. Dari sudut pandang yang berbeda, bacaan-bacaan Misa menggambarkan kasih yang sama, yakni lemah lembut dalam menghargai kerentanan mereka yang lemah (bdk. 1 Kor 8:13), penuh perhatian dalam mengenal dan mendampingi mereka yang tidak yakin akan perjalanan hidup (bdk. Mzm 138), dan murah hati, baik hati dalam mengampuni melampaui segala perhitungan dan ukuran (bdk. Luk 6:27-38).

 

Kasih yang ditunjukkan Allah kepada kita, dan yang Ia ajak untuk kita bagikan kepada orang lain, “menanggapi dengan murah hati kebutuhan orang miskin… ditandai dengan bela rasa bagi mereka yang berduka… segera menawarkan keramahtamahan dan bertekun di saat-saat pencobaan. Kasih selalu siap untuk mengampuni, siap untuk berharap”, mengampuni dan berharap bahkan sampai pada titik balas “memberkati ketimbang mengutuk… kasih adalah pusat Injil yang sesungguhnya” (Santo Yohanes Paulus II, Homili dalam Misa Kudus di Stadion Nasional, Singapura, 20 November 1986).

 

Sesungguhnya, kita dapat melihat hal ini dalam banyak orang kudus, orang-orang yang begitu ditaklukkan oleh Allah yang penuh belas kasih sehingga mereka menjadi cerminan belas kasih itu, sebuah gema, sebuah gambaran yang hidup. Di sini, sebagai penutup, saya hanya ingin mengingat dua dari mereka.

 

Pertama, Maria, yang nama tersucinya kita rayakan hari ini. Ia telah memberikan harapan kepada begitu banyak orang melalui dukungan dan kehadirannya, yang terus ia lakukan! Alangkah banyak namanya terucap, dan terus terucap di saat suka maupun duka! Ini karena di dalam dirinya, di dalam diri Maria, kita melihat kasih Bapa terwujud dalam salah satu cara yang paling indah dan penuh, karena di dalam dirinya kita melihat kelembutan – janganlah kita melupakan kelembutan! – seorang ibu, yang memahami dan mengampuni segalanya dan yang tidak pernah meninggalkan kita. Inilah sebabnya kita berpaling kepadanya!

 

Kedua, seorang santo yang dikasihi di negeri ini, yang menemukan keramahtamahan di sini berkali-kali selama perjalanan misinya. Saya berbicara tentang Santo Fransiskus Xaverius, yang diterima di negeri ini pada banyak kesempatan, yang terakhir pada tanggal 21 Juli 1552.

 

Kita masih menyimpan surat yang indah yang ditujukannya kepada Santo Ignatius dan para sahabat pertamanya, di mana ia mengungkapkan keinginannya untuk pergi ke seluruh perguruan tinggi pada masanya untuk berseru “bagaikan orang gila… [kepada] mereka yang lebih banyak belajar daripada beramal” sehingga mereka mungkin merasa terdorong untuk menjadi misionaris demi mengasihi saudara-saudari mereka, dan “berseru dengan segenap hati mereka: ‘Tuhan, aku berada di sini! Apa yang Engkau kehendaki supaya aku perbuat?’” (Surat, Cochin, Januari 1544).

 

Kita juga dapat menjadikan kata-kata ini sebagai kata-kata kita, mengikuti teladannya dan teladan Maria: “Tuhan, aku berada di sini; apa yang Engkau kehendaki supaya aku perbuat?”, sehingga kata-kata itu dapat menyertai kita tidak hanya pada hari-hari ini, tetapi selalu, sebagai komitmen terus-menerus untuk siap sedia mendengarkan dan menanggapi undangan untuk mengasihi dan hidup benar yang berasal dari kasih Allah yang tak terbatas yang terus menghampiri kita hari ini.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 12 September 2024)

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.