Bacaan Ekaristi : Yl. 2:12-18; Mzm.
51:3-4,5-6a,12-13,14,17; 2Kor. 5:20-6:2; Mat. 6:1-6,16-18.
Kita sekarang sedang memulai
perjalanan Masa Prapaskah kita, yang dibuka dengan perkataan nabi Yoel.
Perkataan tersebut menunjukkan jalan yang harus kita ikuti. Kita mendengar
undangan yang muncul dari hati Allah, yang dengan tangan terbuka dan mata penuh
kerinduan memohon kepada kita : "Kembalilah kepada-Ku dengan segenap
hatimu" (Yl 2:12). Kembalilah kepada-Ku. Masa Prapaskah adalah perjalanan kembali
kepada Allah. Berapa kali, dalam kesibukan atau ketidakacuhan kita, kita telah
mengatakan kepada-Nya : "Tuhan, nanti aku akan datang kepada-Mu, tunggu
sebentar ... Hari ini aku tidak bisa datang, tetapi besok aku akan mulai berdoa
dan melakukan sesuatu untuk sesama". Kita melakukan hal ini, berulang kali.
Tetapi, sekarang juga, Allah sedang berbicara kepada hati kita. Dalam kehidupan
ini, kita akan selalu memiliki hal-hal yang harus dilakukan dan mengajukan berbagai
alasan, tetapi sekarang juga, saudara dan saudari, sekarang juga adalah waktu
untuk kembali kepada Allah.
Kembalilah kepada-Ku, sabda-Nya,
dengan segenap hatimu. Masa Prapaskah adalah perjalanan yang melibatkan seluruh
kehidupan kita, segenap diri kita. Masa Prapaskah adalah waktu untuk memeriksa
jalan yang sedang kita ambil, menemukan jalan pulang dan menemukan kembali hubungan
kita yang terdalam dengan Allah, yang pada-Nya segala sesuatu bergantung. Masa
Prapaskah bukan berkenaan dengan pengorbanan-pengorbanan kecil yang kita buat, tetapi
pembedaan ke mana hati mengarah. Inilah inti Masa Prapaskah : menanyakan ke
mana hatiku mengarah? Marilah kita bertanya : ke mana sistem penunjuk arah
hidupku membawaku - menuju Allah atau menuju diriku? Apakah aku hidup untuk menyenangkan
Tuhan, atau untuk diperhatikan, dipuji, ditempatkan di barisan depan… ? Apakah
aku memiliki hati yang “goyah”, yang mengambil satu langkah maju dan kemudian satu
langkah mundur? Apakah aku sedikit mengasihi Tuhan dan sedikit dunia, atau apakah
hatiku teguh di dalam Allah? Apakah aku puas dengan kemunafikanku, atau apakah
aku bekerja untuk membebaskan hatiku dari kepalsuan dan kebohongan yang
mengikatnya?
Perjalanan Masa Prapaskah adalah sebuah
keluaran dari perbudakan menuju kebebasan. Empat puluh hari yang berkaitan
dengan empat puluh tahun perjalanan umat Allah di padang gurun untuk kembali ke
tanah air mereka. Betapa sulitnya meninggalkan Mesir! Bagi umat Allah, lebih
sulit meninggalkan Mesir hati, Mesir itu yang selalu mereka bawa di dalam diri
mereka, ketimbang meninggalkan tanah Mesir. Sangat sulit untuk meninggalkan
Mesir. Sepanjang perjalanan mereka, ada godaan merindukan bawang, kembali, melekat
pada ingatan masa lalu, pada berhala ini atau itu. Demikian pula dengan kita :
perjalanan kembali kita kepada Allah dihalangi oleh keterikatan kita yang tidak
sehat, tertahan oleh jerat dosa kita yang menggoda, oleh andalan palsu dari
uang dan penampilan, oleh kelumpuhan ketidakpuasan kita. Untuk memulai
perjalanan ini, kita harus membuka topeng khayalan-khayalan ini.
Tetapi kita bertanya pada diri kita :
lalu bagaimana kita melanjutkan perjalanan kembali kepada Allah? Kita bisa
dibimbing oleh perjalanan pulang yang dijabarkan dalam Sabda Allah.
Kita dapat memikirkan anak yang
hilang dan menyadari bahwa, bagi kita juga, inilah waktunya untuk kembali kepada
Bapa. Seperti anak laki-laki itu, kita juga telah melupakan aroma akrab rumah kita,
kita telah menyia-nyiakan warisan berharga untuk hal-hal remeh dan berakhir
dengan tangan kosong dan hati yang tidak bahagia. Kita telah jatuh, seperti
anak kecil yang terus menerus jatuh, balita yang mencoba berjalan tetapi terus
jatuh dan butuh, berkali-kali, digendong oleh ayah mereka. Pengampunan Bapa
yang selalu membuat kita bangkit kembali. Pengampunan Allah - Pengakuan Dosa -
adalah langkah pertama dalam perjalanan kembali kita. Dalam menyebutkan
Pengakuan Dosa, saya meminta para bapa pengakuan untuk menjadi seperti ayah, bukan
menawarkan tongkat pukulan melainkan pelukan.
Kemudian kita perlu kembali kepada
Yesus, seperti penderita kusta yang, setelah sembuh, kembali untuk mengucap
syukur. Meskipun sepuluh penderita kusta telah disembuhkan, ia adalah
satu-satunya yang diselamatkan, karena ia kembali kepada Yesus (bdk. Luk 17:12-19).
Kita semua memiliki kelemahan rohani yang tidak dapat kita sembuhkan sendiri.
Kita semua memiliki sifat buruk yang tidak dapat kita cerabut sendirian. Kita
semua memiliki ketakutan yang melumpuhkan yang tidak dapat kita atasi
sendirian. Kita perlu meneladan penderita kusta itu, yang kembali kepada Yesus
dan tersungkur di kaki-Nya. Kita membutuhkan penyembuhan Yesus, kita perlu
menunjukkan luka-luka kita kepada-Nya dan berkata : “Yesus, aku ada di hadapan-Mu,
dengan dosaku, dengan kesedihanku. Engkau adalah tabib. Engkau bisa membebaskanku.
Sembuhkanlah hatiku”.
Sekali lagi, sabda Allah meminta kita
untuk kembali kepada Bapa, kembali kepada Yesus. Sabda Allah juga memanggil
kita untuk kembali kepada Roh Kudus. Abu di kepala kita mengingatkan kita bahwa
kita adalah debu dan kita akan kembali menjadi debu. Namun di atas debu kita ini,
Allah menghembuskan Roh kehidupan-Nya. Jadi kita seharusnya tidak lagi
menjalani hidup kita mengejar debu, mengejar hal-hal yang ada di sini hari ini
dan besok pergi. Marilah kita kembali kepada Roh, Sang Pemberi Kehidupan;
marilah kita kembali kepada Api yang membangkitkan abu kita, kepada Api yang
mengajari kita untuk mengasihi. Kita akan selalu menjadi debu, tetapi sebagaimana
dikatakan madah liturgi, “debu dalam kasih”. Marilah kita sekali lagi berdoa kepada
Roh Kudus dan menemukan kembali api pujian, yang menghabiskan abu ratapan dan sikap
terima nasib.
Saudara dan saudari, perjalanan kembali
kita kepada Allah hanya mungkin karena Ia yang pertama kali melakukan perjalanan
kepada kita. Kalau tidak, itu tidak mungkin. Sebelum kita mendatangi-Nya, Ia
mendatangi kita. Ia mendahului kita; Ia turun untuk menemui kita. Demi kita, Ia
merendahkan diri-Nya lebih dari yang bisa kita bayangkan : Ia menjadi dosa, Ia
menjadi kematian. Demikian yang dikatakan Santo Paulus kepada kita: “Dia yang
tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita” (2 Kor 5:21).
Bukan untuk meninggalkan kita tetapi untuk menyertai kita dalam perjalanan
kita, Ia merangkul dosa dan kematian kita. Ia menjamah dosa kita; Ia menjamah
kematian kita. Perjalanan kita kemudian adalah tentang memperkenankan Ia
memegang kita. Bapa yang meminta kita pulang adalah Bapa yang meninggalkan
rumah untuk mencari kita; Tuhan yang menyembuhkan kita adalah Tuhan yang
membiarkan diri-Nya menderita di kayu salib; Roh yang memungkinkan kita untuk
mengubah hidup kita adalah Roh yang bernapas dengan lembut namun kuat di atas
debu kita.
Kemudian, inilah permohonan rasul
Paulus : "didamaikan dengan Allah" (ayat 20). Didamaikan : perjalanan
tidak berlandaskan kekuatan kita. Tidak ada seorang pun yang bisa didamaikan
dengan Tuhan sendirian. Pertobatan yang sepenuh hati, dengan perbuatan dan pengamalan
yang mengungkapkannya, hanya mungkin jika dimulai dengan keutamaan karya Allah.
Apa yang memungkinkan kita untuk kembali kepada-Nya bukanlah kemampuan atau jasa
kita, tetapi tawaran rahmat-Nya. Rahmat menyelamatkan kita; keselamatan adalah rahmat
semata, kecuma-cumaan semata. Yesus mengatakan hal ini dengan jelas dalam Injil
: apa yang membenarkan kita bukanlah yang kita tunjukkan di hadapan sesama,
tetapi hubungan kita yang tulus dengan Bapa. Awal kembali kepada Allah adalah
pengakuan akan kebutuhan kita akan Dia dan belas kasihan-Nya, kebutuhan kita
akan rahmat-Nya. Inilah jalan yang benar, jalan kerendahan hati. Apakah aku
merasa membutuhkan, atau apakah aku merasa diriku berkecukupan?
Hari ini kita menundukkan kepala
untuk menerima abu. Di akhir Masa Prapaskah, kita akan membungkuk lebih rendah
lagi untuk membasuh kaki saudara-saudari kita. Masa Prapaskah adalah penurunan
yang rendah hati baik ke dalam diri kita maupun ke arah sesama. Masa Prapaskah adalah
tentang menyadari bahwa keselamatan bukanlah pendakian menuju kemuliaan, tetapi
penurunan dalam kasih. Masa Prapaskah berkenaan dengan menjadi kecil. Agar kita
tidak tersesat dalam perjalanan kita, marilah kita berdiri di hadapan salib
Yesus : tahkta Allah yang sunyi. Marilah kita setiap hari merenungkan luka-luka-Nya,
luka-luka yang Ia bawa ke surga dan tunjukkan setiap hari kepada Bapa dalam doa
pengantaraan-Nya. Marilah kita setiap hari merenungkan luka-luka itu. Di dalam
luka-luka itu, kita mengenali kekosongan kita, kekurangan kita, luka dosa kita
dan semua luka yang telah kita alami. Namun di sana juga, kita melihat dengan
jelas bahwa Allah tidak menuding siapa pun, tetapi justru membuka tangan-Nya
untuk memeluk kita. Luka-Nya ditimpakan untuk kepentingan kita, dan oleh
luka-luka itu kita telah disembuhkan (bdk. 1Ptr 2:25; Yes 53: 5). Dengan
mencium luka-luka itu, kita akan menyadari bahwa di sana, dalam luka hidup yang
paling menyakitkan, Allah menanti kita dengan belas kasihan-Nya yang tak
terbatas. Karena di sana, di mana kita paling rentan, di mana kita merasa
paling malu, Ia datang menemui kita. Dan setelah datang menemui kita, Ia
sekarang mengundang kita untuk kembali kepada-Nya, menemukan kembali sukacita
karena dikasihi.
_____
(Peter Suriadi - Bogor, 17 Februari 2021)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.