Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA DI KATEDRAL KHALDEAN SANTO YOSEF, BAGHDAD, IRAK 6 MARET 2021 : KEBIJAKSANAAN, KESAKSIAN DAN JANJI


Bacaan Ekaristi : Keb 6:1-11; 1Kor 12:31-13:8; Mat 5:1-10

 

Hari ini sabda Allah berbicara kepada kita tentang kebijaksanaan, kesaksian dan janji.

 

Kebijaksanaan di negeri ini telah dibudidayakan sejak zaman dahulu kala. Memang pencarian kebijaksanaan selalu menarik manusia. Namun, seringkali, orang-orang yang lebih mampu dapat memperoleh lebih banyak pengetahuan dan memiliki kesempatan yang lebih besar, sementara orang-orang yang kurang mampu disingkirkan. Kesenjangan seperti itu - yang telah meningkat di zaman kita - tidak dapat diterima. Kitab Kebijaksanaan mengejutkan kita dengan membalikkan sudut pandang ini. Kitab Kebijaksanaan memberitahu kita bahwa “memang yang bawahan saja dapat dimaafkan karena belas kasihan, tetapi yang berkuasa akan disiksa dengan berat” (Keb 6:6). Di mata dunia, orang-orang yang kurang mampu disingkirkan, sementara orang-orang yang lebih mampu diistimewakan. Tidak demikian bagi Allah : yang lebih berkuasa tunduk pada pengawasan yang ketat, sedangkan yang paling hina diistimewakan oleh Allah.

 

Yesus, yang adalah Sang Kebijaksanaan secara pribadi, menuntaskan pembalikan ini dalam Bacaan Injil, dan Ia melakukannya dengan khotbah pertama-Nya, dengan Sabda Bahagia. Pembalikan sepenuhnya : orang yang miskin, orang yang berdukacita, orang yang dianiaya semuanya disebut berbahagia. Bagaimana hal ini mungkin? Bagi dunia, orang yang berbahagia adalah orang yang kaya, orang yang berkuasa dan orang yang terkenal! Mereka yang kaya dan makmurlah yang terhitung! Tetapi tidak bagi Allah : Bukan lagi orang kaya yang luar biasa, tetapi orang yang miskin di hadapan Allah; bukan orang yang bisa memaksakan kehendaknya pada orang lain, tetapi orang yang lemah lembut terhadap semua orang. Bukan orang yang disanjung oleh orang banyak, tetapi orang yang menunjukkan belas kasihan kepada saudara-saudarinya. Pada titik ini, kita mungkin bertanya-tanya : jika saya hidup seperti yang diminta Yesus, apa yang saya dapatkan? Bukankah saya mengambil risiko membiarkan orang lain menguasai saya? Apakah undangan Yesus berharga, atau urusan kehilangan? Undangan itu bukannya tidak berharga, tetapi bijaksana.

 

Undangan Yesus bijaksana karena kasih yang merupakan inti Sabda Bahagia, meski tampak lemah di mata dunia, nyatanya selalu berjaya. Di kayu salib, kasih terbukti lebih kuat dari dosa, di dalam kubur, Ia mengalahkan maut. Kasih itu juga membuat para martir menang dalam pencobaan mereka - dan berapa banyak martir yang telah ada di abad terakhir, bahkan lebih banyak daripada di masa lalu! Kasih adalah kekuatan kita, sumber kekuatan bagi saudara-saudari kita yang di sini juga telah menderita prasangka dan penghinaan, penganiayaan dan penyiksaan demi nama Yesus. Namun seraya kekuatan, kemuliaan dan kesia-siaan dunia lenyap, kasih tetap ada. Sebagaimana dikatakan Rasul Paulus kepada kita : “Kasih tidak berkesudahan” (1 Kor 13:8). Maka, menjalani kehidupan yang dibentuk oleh Sabda Bahagia searti dengan mengabadikan hal-hal yang sepintas lalu, membawa surga ke bumi.

 

Tetapi bagaimana kita mengamalkan Sabda Bahagia? Sabda Bahagia tidak meminta kita melakukan hal-hal yang luar biasa, kemahiran di luar kemampuan kita. Sabda Bahagia meminta kesaksian sehari-hari. Yang berbahagia adalah mereka yang hidup dengan lemah lembut, yang menunjukkan kemurahan hati di mana pun mereka berada, yang suci hatinya di mana pun mereka tinggal. Yang berbahagia, kita tidak perlu sesekali menjadi pahlawan, tetapi menjadi saksi hari demi hari. Kesaksian adalah cara untuk mewujudkan kebijaksaan Yesus. Begitulah bagaimana dunia diubah : bukan dengan kekuatan dan kekuasaan, tetapi oleh Sabda Bahagia. Karena itulah yang dilakukan Yesus : Ia hidup sampai kesudahan apa yang Ia katakan sejak awal. Semuanya bergantung pada memberikan kesaksian tentang kasih Yesus, kasih yang dijelaskan oleh Santo Paulus dengan luar biasa dalam Bacaan Kedua hari ini. Marilah kita lihat bagaimana ia memaparkannya.

 

Pertama, Paulus mengatakan bahwa “kasih itu sabar” (ayat 4). Kita tidak sedang mengharapkan kata sifat ini. Kasih tampaknya serupa dengan kebaikan, kemurahan hati, dan perbuatan baik, namun Paulus mengatakan bahwa kasih itu terutama merupakan kesabaran. Kitab Suci berbicara pertama-tama dan terutama tentang kesabaran Allah. Sepanjang sejarah, manusia terbukti terus-menerus tidak setia terhadap perjanjian dengan Allah, jatuh ke dalam dosa-dosa lama yang sama. Namun alih-alih menjadi lelah dan menjauh, Allah selalu tetap setia, mengampuni dan memulai kembali. Kesabaran untuk memulai kembali setiap saat ini adalah mutu pertama kasih, karena kasih tidak mudah cemburu, tetapi selalu memulai kembali. Kasih tidak menjadi lelah dan putus asa, tetapi selalu mendesak. Kasih tidak menjadikan berkecil hati, tetapi tetap kreatif. Menghadapi kejahatan, kasih tidak menyerah atau mundur. Orang-orrang yang mengasihi tidak menutup diri ketika ada hal yang keliru, tetapi menanggapi kejahatan dengan kebaikan, sadar akan kebijaksanaan salib yang berjaya. Saksi-saksi Allah adalah seperti itu : tidak pasif atau menerima nasib, tetapi pada kemurahan hati kejadian, perasaan atau peristiwa di sekitar. Sebaliknya, mereka terus-menerus penuh harapan, karena berlandaskan kasih yang "menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu" (ayat 7).

 

Kita bisa bertanya pada diri sendiri : bagaimana kita bereaksi terhadap situasi yang tidak benar? Dalam menghadapi kesulitan, selalu ada dua godaan. Godaan yang pertama adalah lari : kita bisa lari, membelakangi, berusaha menjauhkan diri dari segalanya. Godaan yang kedua adalah bereaksi dengan amarah, dengan unjuk kekuatan. Begitulah kasus para murid di Taman Getsemani : dalam kebingungan mereka, banyak yang melarikan diri dan Petrus menghunus pedang. Namun baik lari maupun pedang tidak mencapai apa-apa. Sebaliknya, Yesus mengubah sejarah. Bagaimana? Dengan kekuatan kasih yang rendah hati, dengan kesaksian-Nya yang sabar. Inilah yang harus kita lakukan; dan begitulah cara Allah memenuhi janji-Nya.

 

Janji. Kebijaksanaan Yesus, yang diwujudkan dalam Sabda Bahagia, memanggil untuk bersaksi dan menawarkan pahala yang terkandung dalam janji-janji ilahi. Karena setiap Sabda Bahagia segera diikuti oleh sebuah janji : mereka yang mengamalkannya akan memiliki Kerajaan Surga, mereka akan dihibur, mereka akan dipuaskan, mereka akan melihat Allah… (bdk. Mat 5:3-12). Janji Allah menjamin sukacita yang tak tertandingi dan tidak pernah mengecewakan. Tetapi bagaimana janji tersebut terpenuhi? Melalui kelemahan kita. Allah memberkati orang-orang yang menempuh jalan kemiskinan batin sampai kesudahan.

 

Inilah caranya; tidak ada cara lain. Marilah kita memandang Abraham, sang bapa bangsa. Allah menjanjikannya keturunan yang banyak, tetapi ia dan Sarah sekarang sudah tua dan tidak mempunyai anak. Namun justru di usia tua mereka sabar dan setia sehingga Allah melakukan keajaiban dan memberi mereka seorang putra. Marilah kita juga memandang Musa : Allah berjanji bahwa Ia akan membebaskan bangsa Israel dari perbudakan, dan untuk itu Ia meminta Musa untuk berbicara kepada Firaun. Meskipun Musa mengatakan bahwa ia tidak pandai berbicara, namun melalui perkataannya Allah akan memenuhi janji-Nya. Marilah kita memandang Bunda Maria, yang menurut Hukum tidak dapat memiliki seorang anak, namun dipanggil untuk menjadi seorang ibu. Dan marilah kita memandang Petrus : ia menyangkal Tuhan, namun ia adalah orang yang dipanggil Yesus untuk menguatkan saudara-saudaranya. Saudara dan saudari yang terkasih, terkadang kita mungkin merasa tidak berdaya dan tidak berguna. Kita tidak boleh menyerah terhadap hal ini, karena Allah ingin melakukan keajaiban justru melalui kelemahan kita.

 

Allah berkenan melakukan hal itu, dan malam ini, delapan kali, kepada kita Ia telah mengucapkan kata ţūb'ā [berbahagia], untuk membuat kita menyadari bahwa, bersama-Nya, kita benar-benar “berbahagia”. Tentu saja, kita mengalami pencobaan, dan kita sering jatuh, tetapi jangan lupa bahwa, bersama Yesus, kita berbahagia. Apa pun yang diambil dunia dari kita tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kasih yang lembut dan sabar yang dengannya Allah memenuhi janji-Nya. Saudari yang terkasih, saudara yang terkasih, mungkin ketika kamu melihat tanganmu, tanganmu tampak kosong, mungkin kamu merasa putus asa dan tidak puas dengan kehidupan. Jika demikian, jangan takut : Sabda Bahagia adalah untukmu. Untuk kamu yang menderita, yang lapar dan haus akan keadilan, yang dianiaya. Allah berjanji kepadamu bahwa namamu tertulis di hati-Nya, tertulis di surga!

 

Hari ini saya bersyukur kepada Allah bersamamu dan karenamu, karena di sini, tempat kebijaksanaan muncul sejak dahulu kala, begitu banyak saksi telah muncul di zaman kita sekarang, sering kali terabaikan oleh berita, namun berharga di mata Allah. Saksi-saksi yang, dengan menghayati Sabda Bahagia, membantu Allah memenuhi janji-janji perdamaian-Nya.

______


(Peter Suriadi - Bogor, 6 Maret 2021)

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.