Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI RAYA TUBUH DAN DARAH KRISTUS 6 Juni 2021 : MEMAKNAI TIGA GAMBARAN INJIL MENGENAI PERJAMUAN TERAKHIR

Bacaan Ekaristi : Kel. 24:3-8; Mzm. 116:12-13,15,16bc,17-18; Ibr. 9:11-15; Mrk. 14:12-16,22-26.

 

Yesus mengutus murid-murid-Nya untuk pergi dan mempersiapkan tempat untuk merayakan perjamuan Paskah. Merekalah yang bertanya : "Ke tempat mana Engkau kehendaki kami pergi untuk mempersiapkan perjamuan Paskah bagi-Mu?" (Mrk 14:12). Saat kita merenungkan dan menyembah kehadiran Tuhan dalam Roti Ekaristi, kita juga dipanggil untuk bertanya pada diri sendiri : di "tempat" apakah kita ingin mempersiapkan Paskah Tuhan? "Tempat-tempat" apakah dalam hidup kita Allah meminta dijamu oleh kita? Saya ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan berpusat pada tiga gambaran Injil yang telah kita dengar (Mrk 14:12-16.22-26).

 

Gambaran pertama adalah seorang yang membawa kendi berisi air (bdk. ayat 13). Gambaran ini merupakan rincian yang tampaknya berlebihan. Namun orang yang benar-benar tidak dikenal itu menjadi pemandu para murid yang sedang mencari tempat yang nantinya akan disebut Ruang Atas. Dan kendi berisi air adalah tanda pengenalan : tanda yang membuat kita berpikir tentang umat manusia yang kehausan, selalu mencari sumber air yang memuaskan dan memperbaharuinya kembali. Kita semua menjalani hidup dengan kendi di tangan : kita semua, kita masing-masing haus akan kasih, sukacita, kehidupan yang berhasil di dunia yang semakin manusiawi. Dan terhadap kehausan ini, air hal-hal duniawi tidak berguna, karena ada kehausan yang lebih dalam, yang hanya dapat dipuaskan oleh Allah.

 

Kita masih mengikuti "sinyal" simbolik ini. Yesus memberitahu para pengikut-Nya bahwa ketika ada seorang dengan kendi berisi air menuntun mereka, mereka dapat merayakan Perjamuan Paskah. Oleh karena itu, untuk merayakan Ekaristi, pertama-tama kita harus mengenali kehausan kita akan Allah : merasa membutuhkan Dia, menginginkan kehadiran-Nya dan kasih-Nya, menyadari bahwa kita tidak dapat melakukannya sendiri tetapi kita membutuhkan makanan dan minuman kehidupan kekal yang menopang kita di jalan. Drama hari ini - bisa kita katakan - yakni kehausan sering kali telah sirna. Pertanyaan tentang Allah telah sirna, keinginan akan Dia telah memudar, para pencari Allah menjadi semakin langka. Allah tidak lagi menarik karena kita tidak lagi merasakan kehausan kita yang dalam. Tetapi hanya jika ada seorang dengan kendi berisi air - kita memikirkan perempuan Samaria, misalnya (bdk. Yoh 4:5-30) - Tuhan dapat menyatakan diri-Nya sebagai Sosok yang memberi kehidupan baru, yang memelihara impian dan cita-cita kita dengan harapan yang dapat diandalkan, kehadiran kasih yang memberi makna dan arah pada peziarahan duniawi kita. Sebagaimana telah kita catat, seorang dengan kendi itulah yang menuntun para murid ke ruangan tempat Yesus akan menetapkan Ekaristi. Kehausan akan Allah membawa kita ke altar. Jika tidak ada kehausan, perayaan kita menjadi kering. Kemudian, bahkan sebagai Gereja, kelompok kecil orang-orang yang biasa berkumpul untuk merayakan Ekaristi tidak memadai; kita harus pergi ke kota, bertemu orang-orang, belajar mengenali dan membangkitkan kehausan akan Allah dan hasrat akan Injil.

 

Gambaran kedua adalah sebuah ruangan atas yang besar (lihat ayat 15). Di sanalah Yesus dan umat-Nya akan mengadakan perjamuan Paskah dan ruangan ini terletak di rumah seseorang yang menjamu mereka. Don Primo Mazzolari berkata : "Di sini ada seorang tanpa nama, seorang tuan tanah, sedang meminjamkan ruangannya yang paling indah. […] Ia memberikan yang terbesar dari apa yang ia miliki karena segala sesuatu di sekitar sakramen agung itu agung, ruangan dan hati, perkataan dan tingkah laku” (La Pasqua, La Locusta 1964, 46-48).

 

Sebuah ruangan yang besar untuk sepotong kecil Roti. Allah menjadikan diri-Nya sekecil sepotong roti dan karena alasan inilah dibutuhkan hati yang besar untuk dapat mengenali, menyembah, menyambut-Nya. Kehadiran Allah begitu rendah hati, tersembunyi, terkadang kasat mata, sehingga membutuhkan hati yang siap, terpelihara, dan menyambut untuk mengenalinya. Sebaliknya jika hati kita, melebihi sebuah ruangan besar, menyerupai lemari tempat kita menyimpan barang-barang lama dengan penyesalan; jika terlihat seperti loteng di mana kita telah lama menempatkan kegairahan dan impian kita; jika terlihat seperti ruangan sempit, ruangan gelap karena kita hanya hidup pada diri kita, masalah dan kepahitan kita, maka mustahil untuk mengenali hadirat Allah yang hening dan rendah hati ini. Kita membutuhkan ruangan yang besar. Hati harus diperbesar. Meninggalkan ruangan kecil diri kita dan memasuki ruangan besar ketakjuban dan penyembahan diperlukan. Dan kita sangat merindukan hal ini! Kita tidak memiliki hal ini dalam banyak gerakan yang kita lakukan untuk bertemu, bersatu kembali, berpikir bersama tentang pelayanan pastoral … Tetapi jika hal ini tidak ada, jika tidak ada ketakjuban dan penyembahan, tidak ada jalan yang membawa kita kepada Allah. Bahkan tidak akan ada sinode, tidak ada apa-apa. Inilah sikap di depan Ekaristi, inilah yang kita butuhkan : penyembahan. Gereja juga harus menjadi aula yang besar. Bukan lingkaran kecil dan tertutup, tetapi komunitas dengan tangan terbuka, menyambut semua orang. Marilah kita bertanya pada diri kita sendiri : ketika seseorang yang terluka, yang telah berbuat salah, yang memiliki jalan hidup yang berbeda, mendekat, Gereja, Gereja ini, apakah sebuah ruangan besar untuk menyambutnya dan menuntunnya menuju sukacita perjumpaan dengan Kristus? Ekaristi ingin memberi makan mereka yang lelah dan lapar di sepanjang jalan, jangan lupakan hal itu! Gereja yang sempurna dan murni adalah sebuah ruangan di mana tidak ada ruang bagi siapa pun; Gereja dengan pintu terbuka, yang merayakan di sekitar Kristus, adalah sebuah ruangan besar di mana setiap orang - semua orang, baik orang benar maupun orang berdosa - dapat masuk.

 

Terakhir, gambaran ketiga, gambaran Yesus memecah-mecahkan Roti. Gambaran ini, terutama, mengisyaratkan Ekaristi, mengisyaratkan jatidiri iman kita, tempat perjumpaan kita dengan Allah yang mempersembahkan diri-Nya untuk membuat kita dilahirkan kembali kepada kehidupan baru. Isyarat ini juga mengejutkan : sampai saat itu domba dikorbankan dan dipersembahkan sebagai korban kepada Allah, sekarang Yesus yang menjadikan diri-Nya Anak Domba dan mengorbankan diri-Nya untuk memberikan kehidupan kepada kita. Dalam Ekaristi kita merenungkan dan menyembah Allah kasih. Tuhan tidak memecah-mecahkan siapa pun tetapi memecah-mecahkan diri-Nya. Tuhan tidak menuntut pengorbanan tetapi mengorbankan diri-Nya. Tuhan tidak meminta apapun selain memberikan segalanya. Merayakan dan menghayati Ekaristi, kita juga dipanggil untuk menghayati kasih ini. Karena kamu tidak dapat memecah-mecahkan Roti Hari Minggu jika hatimu tertutup terhadap saudara-saudaramu. Kamu tidak bisa makan Roti ini jika kamu tidak memberikan roti kepada orang-orang yang lapar. Kamu tidak dapat membagikan Roti ini jika kamu tidak ikut serta dalam penderitaan orang-orang yang membutuhkan. Pada akhir segalanya, bahkan akhir liturgi Ekaristi kita yang khusyuk, hanya kasih yang akan tetap ada. Dan mulai sekarang, Ekaristi kita mengubah rupa dunia sejauh kita memperkenankan diri diubahrupa dan menjadi roti bagi orang lain.

 

Saudara dan saudari, juga hari ini ke mana "mempersiapkan perjamuan Tuhan"? Perarakan Sakramen Mahakudus - ciri khas Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus, tetapi untuk saat ini kita belum bisa melakukannya - perarakan mengingatkan kita bahwa kita dipanggil untuk pergi membawa Yesus. Dengan kegairahan pergi keluar membawa Kristus kepada orang-orang yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Kita menjadi sebuah Gereja dengan kendi di tangan, yang membangkitkan kehausan dan membawa air. Marilah kita membuka hati kita dalam kasih, menjadi ruangan yang luas dan ramah di mana setiap orang dapat masuk untuk bertemu Tuhan. Marilah memecah-mecahkan hidup kita dalam kasih sayang dan kesetiakawanan, agar dunia melihat melalui kita keagungan kasih Allah. Dan kemudian Tuhan akan datang, Ia kembali akan mengejutkan kita, Ia akan menjadikan diri-Nya santapan untuk kehidupan dunia. Dan santapan itu akan memuaskan kita selamanya, sampai hari ketika, dalam perjamuan surgawi, kita akan merenungkan wajah-Nya dan bersukacita tanpa akhir.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.