Bacaan Ekaristi : Yes. 60:1-6; Mzm. 72:1-2,7-8,10-11,12-13; Ef. 3:2-3a,5-6; Mat. 2:1-12.
Para Majus melakukan perjalanan menuju Betlehem. Peziarahan mereka juga berbicara kepada kita, yang dipanggil untuk melakukan perjalanan menuju Yesus, karena Ia adalah Bintang Utara yang menerangi langit kehidupan dan membimbing langkah kita menuju sukacita sejati. Namun dimulai di manakah peziarahan para Majus untuk berjumpa Yesus? Apa yang membuat orang-orang dari Timur ini memulai perjalanan mereka?
Mereka punya
alasan sangat bagus untuk tidak pergi. Mereka adalah orang bijak dan ahli
perbintangan, terkenal dan kaya. Setelah mencapai jaminan budaya, sosial dan
ekonomi yang memadai, mereka dapat tetap puas dengan apa yang telah mereka
ketahui dan miliki. Mereka justru membiarkan diri mereka gelisah oleh sebuah
pertanyaan dan tanda : "Di manakah Dia, raja orang Yahudi yang baru
dilahirkan itu? Kami telah melihat bintang-Nya ..." (Mat 2:2). Mereka
tidak membiarkan hati mereka mundur ke dalam gua kesuraman dan acuh tak acuh;
mereka ingin melihat terang. Mereka tidak puas bekerja keras sepanjang hidup,
tetapi mendambakan cakrawala baru yang lebih luas. Mata mereka tidak terpaku ke
bawah sini; mereka adalah jendela yang terbuka ke langit. Seperti dikatakan
Paus Benediktus XVI, para Majus adalah "orang-orang dengan hati gelisah....
Mereka dipenuhi dengan harapan, tidak puas dengan jaminan penghasilan mereka
dan tempat terhormat dalam masyarakat... Mereka adalah para pencari Allah"
(Homili, 6 Januari 2013).
Dari mana
asalnya, semangat kegelisahan yang sehat yang menuntun mereka untuk memulai
perjalanan? Semangat tersebut lahir dari kehendak. Itulah rahasia mereka :
kemampuan untuk berkehendak. Marilah kita memikirkan hal ini. Berkehendak
berarti mengobarkan api yang menyala di dalam diri kita; berkehendak mendorong
kita untuk melihat melampaui apa yang segera dan terlihat. Berkehendak berarti
merangkul kehidupan sebagai misteri yang melampaui kita, sebagai celah yang
selalu ada di dinding yang mengundang kita untuk melihat ke kejauhan, karena
hidup bukan hanya milik kita di sini dan sekarang, tetapi sesuatu yang jauh
lebih besar. Hidup seperti kanvas kosong yang menyerukan warna. Seorang pelukis
besar, Vincent Van Gogh, pernah berkata bahwa kebutuhannya akan Allah
mendorongnya untuk pergi keluar pada malam hari untuk melukis bintang-bintang.
Karena begitulah cara Allah menciptakan kita : penuh dengan kehendak,
diarahkan, seperti para Majus, menuju bintang-bintang. Tanpa berlebihan, kita
dapat mengatakan bahwa kita adalah apa yang kita kehendaki. Karena kehendak
kitalah yang memperbesar pandangan kita dan mendorong hidup kita ke depan,
melampaui batasan kebiasaan, melampaui konsumerisme dangkal, melampaui
keyakinan yang menjemukan dan suram, melampaui rasa takut untuk terlibat dan
melayani sesama serta kebaikan bersama. Dalam kata-kata Santo Agustinus, "seluruh
hidup kita adalah latihan kehendak suci" (Homili tentang Surat Pertama
Yohanes, IV, 6).
Saudara-saudari,
seperti para Majus, demikian juga kita. Perjalanan hidup dan iman menuntut
kehendak yang mendalam dan semangat batin. Terkadang kita hidup dalam semangat
"tempat parkir", kita tetap terparkir, tanpa dorongan kehendak yang
membawa kita maju. Sebaiknya kita bertanya : di manakah kita dalam perjalanan
iman kita? Apakah kita sudah terlalu lama terjebak, terkungkung dalam keagamaan
konvensional, lahiriah dan formal yang tidak lagi menghangatkan hati kita dan
mengubah hidup kita? Apakah kata-kata dan liturgi kita menyulut dalam hati
orang-orang kehendak untuk bergerak menuju Allah, atau apakah "bahasa
mati" yang hanya berbicara tentang dirinya sendiri dan kepada dirinya
sendiri? Sungguh menyedihkan ketika sebuah komunitas orang percaya kehilangan
kehendak dan berpuas diri dengan "pemeliharaan" daripada membiarkan
dirinya dikejutkan oleh Yesus serta oleh sukacita Injil yang meledak-ledak dan
meresahkan. Menyedihkan bila seorang imam telah menutup pintu kehendak,
menyedihkan terjerumus ke dalam fungsionalisme klerikal, sangat menyedihkan.
Krisis iman
dalam hidup kita dan dalam masyarakat kita juga berkaitan dengan gerhana
kehendak akan Allah. Krisis iman berkaitan dengan semacam ketiduran roh, hingga
kebiasaan berpuas diri menjalani hidup dari hari ke hari, tanpa pernah
menanyakan apa yang sebenarnya diinginkan Allah dari kita. Kita mengintip peta
dunia, tetapi lupa melihat ke surga. Kita dipuaskan dengan banyak hal, tetapi
gagal untuk lapar akan ketiadaan kehendak kita akan Allah. Kita terpaku pada
kebutuhan kita sendiri, pada apa yang akan kita makan dan pakai (bdk. Mat
6:25), bahkan saat kita membiarkan kerinduan akan hal-hal yang lebih besar
menguap. Dan kita mendapati diri kita hidup dalam komunitas yang mendambakan
segalanya, memiliki segalanya, namun terlalu sering merasakan kekosongan di
hati mereka : komunitas individu, uskup, imam atau pelaku hidup bakti yang
tertutup. Memang kurangnya kehendak hanya mengarah pada kesedihan dan
ketidakpedulian, pada komunitas yang sedih, para imam atau uskup yang sedih.
Marilah kita
lihat dulu diri kita sendiri dan bertanya : Bagaimana perjalanan imanku? Ini
adalah sebuah pertanyaan yang dapat kita ajukan pada diri kita sendiri hari
ini, kita masing-masing. Bagaimana perjalanan imanku? Duduk terparkir atau
sedang bergerak? Iman, jika ingin bertumbuh, harus dimulai dari awal lagi. Iman
perlu dipicu oleh kehendak, untuk menerima tantangan memasuki hubungan yang hidup
dan bersemangat dengan Allah. Apakah hatiku masih membara dengan kerinduan akan
Allah? Atau apakah aku telah membiarkan kekuatan kebiasaan dan kekecewaanku
untuk memadamkan api itu? Hari ini, saudara-saudara, adalah hari di mana kita
hendaknya mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini. Hari ini adalah hari di mana
kita hendaknya kembali memupuk keinginan kita. Bagaimana kita melakukan hal
ini? Marilah kita pergi kepada para Majus dan belajar dari "sekolah
kehendak" mereka. Mereka akan mengajari kita di sekolah kehendak mereka.
Marilah kita melihat langkah-langkah yang mereka ambil, dan ambillah beberapa
pelajaran dari mereka.
Di tempat
pertama, mereka berangkat pada saat terbitnya bintang. Para Majus mengajari
kita bahwa kita perlu memulai yang baru setiap hari, dalam kehidupan seperti
dalam iman, karena iman bukanlah baju zirah yang membungkus kita; sebaliknya,
iman adalah perjalanan yang menarik, gerakan yang terus menerus dan gelisah,
selalu mencari Allah, selalu melihat jalan kita ke depan.
Kemudian, di
Yerusalem para Majus mengajukan pertanyaan : mereka menanyakan di mana Anak itu
dapat diketemukan. Mereka mengajari kita bahwa kita perlu bertanya. Kita perlu
mendengarkan dengan seksama pertanyaan hati dan hati nurani kita, karena di
sanalah Allah sering berbicara kepada kita. Ia menyapa kita lebih banyak dengan
pertanyaan daripada dengan jawaban. Kita harus mempelajari ini dengan baik :
Allah berbicara kepada kita lebih banyak dengan pertanyaan daripada dengan
jawaban. Namun marilah kita juga gelisah oleh pertanyaan anak-anak kita, dan
oleh keraguan, harapan dan keinginan pria dan wanita di zaman kita. Kita perlu
menyuguhkan pertanyaan-pertanyaan.
Para Majus
kemudian menentang Herodes. Mereka mengajari kita bahwa kita membutuhkan iman
yang berani, iman yang tidak takut untuk menantang nalar kekuasaan yang jahat,
serta menjadi benih keadilan dan persaudaraan dalam masyarakat di mana di zaman
kita, Herodes-herodes modern terus menabur kematian dan membantai orang miskin
dan tak bersalah, di tengah-tengah ketidakacuhan umum.
Akhirnya,
para Majus pulang "melalui jalan lain" (Mat 2:12). Mereka menantang
kita untuk melalui jalan baru. Di sini kita melihat kreativitas Roh yang selalu
memunculkan hal-hal baru. Itu juga merupakan salah satu tugas Sinode yang saat
ini kita emban : melakukan perjalanan bersama dan saling mendengarkan, sehingga
Roh dapat menyarankan kepada kita cara dan jalan baru untuk membawa Injil ke
hati mereka yang jauh, acuh tak acuh atau tanpa harapan, namun terus mencari
apa yang ditemukan para Majus : "sukacita yang besar" (Mat 2:10).
Kita harus selalu bergerak maju.
Di akhir
perjalanan para Majus datanglah saat puncak : begitu mereka tiba di tempat
tujuan, "mereka sujud menyembah Anak itu" (bdk. ayat 11). Mereka
menyembah. Marilah kita tidak pernah melupakan hal ini : perjalanan iman
menemukan kembali kekuatan dan penggenapan hanya ketika dilakukan di hadirat
Allah. Hanya jika kita memulihkan "selera" penyembahan kita, kehendak
kita akan menyala kembali. Kehendak membawa kita kepada penyembahan dan
penyembahan memperbaharui kehendak kita. Karena kerinduan kita akan Allah hanya
bisa tumbuh ketika kita menempatkan diri kita di hadirat-Nya. Karena hanya
Yesus yang menyembuhkan kehendak kita. Dari apa? Dari tirani kebutuhan. Memang,
hati kita menjadi sakit setiap kali kehendak kita bertepatan hanya dengan
kebutuhan kita. Allah, di sisi lain, meninggikan kehendak kita; Ia memurnikan
kehendak kita dan menyembuhkan kehendak kita dari keegoisan, membuka kehendak
kita untuk mengasihi Dia dan saudara-saudari kita. Inilah sebabnya mengapa kita
tidak boleh mengabaikan adorasi, keheningan doa adorasi yang tidak begitu umum
di antara kita. Tolong jangan biarkan kita melupakan adorasi.
Dengan cara
ini, seperti para Majus, setiap hari kita akan memiliki kepastian bahwa bahkan
di malam yang paling gelap pun sebuah bintang terus bersinar. Bintang Tuhan
yang datang untuk merawat kemanusiaan kita yang lemah. Marilah kita berangkat
ke jalan menuju Dia. Janganlah kita memberikan kekuatan kepada sikap acuh tak acuh
dan pasrah yang membawa kita ke dalam kehidupan yang hampa dan dangkal. Biarlah
hati kita yang gelisah merangkul kegelisahan Roh. Dunia mengharapkan dari orang
percaya ledakan antusiasme baru untuk hal-hal surgawi. Seperti para Majus,
marilah kita menengadah, mendengarkan kehendak yang bersarang di hati kita, dan
mengkuti bintang yang dijadikan Allah bersinar di atas kita. Sebagai pencari
yang gelisah, marilah kita tetap terbuka terhadap kejutan-kejutan Allah.
Saudara dan saudari, marilah kita bermimpi, marilah kita mencari dan marilah kita menyembah.
______
(Peter Suriadi - Bogor, 6 Januari 2022)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.