Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI RAYA PENAMPAKAN TUHAN 6 Januari 2022 : SEPERTI PARA MAJUS, MARILAH KITA BERMIMPI, MENCARI DAN MENYEMBAH

Bacaan Ekaristi : Yes. 60:1-6; Mzm. 72:1-2,7-8,10-11,12-13; Ef. 3:2-3a,5-6; Mat. 2:1-12.


Para Majus melakukan perjalanan menuju Betlehem. Peziarahan mereka juga berbicara kepada kita, yang dipanggil untuk melakukan perjalanan menuju Yesus, karena Ia adalah Bintang Utara yang menerangi langit kehidupan dan membimbing langkah kita menuju sukacita sejati. Namun dimulai di manakah peziarahan para Majus untuk berjumpa Yesus? Apa yang membuat orang-orang dari Timur ini memulai perjalanan mereka?

 

Mereka punya alasan sangat bagus untuk tidak pergi. Mereka adalah orang bijak dan ahli perbintangan, terkenal dan kaya. Setelah mencapai jaminan budaya, sosial dan ekonomi yang memadai, mereka dapat tetap puas dengan apa yang telah mereka ketahui dan miliki. Mereka justru membiarkan diri mereka gelisah oleh sebuah pertanyaan dan tanda : "Di manakah Dia, raja orang Yahudi yang baru dilahirkan itu? Kami telah melihat bintang-Nya ..." (Mat 2:2). Mereka tidak membiarkan hati mereka mundur ke dalam gua kesuraman dan acuh tak acuh; mereka ingin melihat terang. Mereka tidak puas bekerja keras sepanjang hidup, tetapi mendambakan cakrawala baru yang lebih luas. Mata mereka tidak terpaku ke bawah sini; mereka adalah jendela yang terbuka ke langit. Seperti dikatakan Paus Benediktus XVI, para Majus adalah "orang-orang dengan hati gelisah.... Mereka dipenuhi dengan harapan, tidak puas dengan jaminan penghasilan mereka dan tempat terhormat dalam masyarakat... Mereka adalah para pencari Allah" (Homili, 6 Januari 2013).

 

Dari mana asalnya, semangat kegelisahan yang sehat yang menuntun mereka untuk memulai perjalanan? Semangat tersebut lahir dari kehendak. Itulah rahasia mereka : kemampuan untuk berkehendak. Marilah kita memikirkan hal ini. Berkehendak berarti mengobarkan api yang menyala di dalam diri kita; berkehendak mendorong kita untuk melihat melampaui apa yang segera dan terlihat. Berkehendak berarti merangkul kehidupan sebagai misteri yang melampaui kita, sebagai celah yang selalu ada di dinding yang mengundang kita untuk melihat ke kejauhan, karena hidup bukan hanya milik kita di sini dan sekarang, tetapi sesuatu yang jauh lebih besar. Hidup seperti kanvas kosong yang menyerukan warna. Seorang pelukis besar, Vincent Van Gogh, pernah berkata bahwa kebutuhannya akan Allah mendorongnya untuk pergi keluar pada malam hari untuk melukis bintang-bintang. Karena begitulah cara Allah menciptakan kita : penuh dengan kehendak, diarahkan, seperti para Majus, menuju bintang-bintang. Tanpa berlebihan, kita dapat mengatakan bahwa kita adalah apa yang kita kehendaki. Karena kehendak kitalah yang memperbesar pandangan kita dan mendorong hidup kita ke depan, melampaui batasan kebiasaan, melampaui konsumerisme dangkal, melampaui keyakinan yang menjemukan dan suram, melampaui rasa takut untuk terlibat dan melayani sesama serta kebaikan bersama. Dalam kata-kata Santo Agustinus, "seluruh hidup kita adalah latihan kehendak suci" (Homili tentang Surat Pertama Yohanes, IV, 6).

 

Saudara-saudari, seperti para Majus, demikian juga kita. Perjalanan hidup dan iman menuntut kehendak yang mendalam dan semangat batin. Terkadang kita hidup dalam semangat "tempat parkir", kita tetap terparkir, tanpa dorongan kehendak yang membawa kita maju. Sebaiknya kita bertanya : di manakah kita dalam perjalanan iman kita? Apakah kita sudah terlalu lama terjebak, terkungkung dalam keagamaan konvensional, lahiriah dan formal yang tidak lagi menghangatkan hati kita dan mengubah hidup kita? Apakah kata-kata dan liturgi kita menyulut dalam hati orang-orang kehendak untuk bergerak menuju Allah, atau apakah "bahasa mati" yang hanya berbicara tentang dirinya sendiri dan kepada dirinya sendiri? Sungguh menyedihkan ketika sebuah komunitas orang percaya kehilangan kehendak dan berpuas diri dengan "pemeliharaan" daripada membiarkan dirinya dikejutkan oleh Yesus serta oleh sukacita Injil yang meledak-ledak dan meresahkan. Menyedihkan bila seorang imam telah menutup pintu kehendak, menyedihkan terjerumus ke dalam fungsionalisme klerikal, sangat menyedihkan.

 

Krisis iman dalam hidup kita dan dalam masyarakat kita juga berkaitan dengan gerhana kehendak akan Allah. Krisis iman berkaitan dengan semacam ketiduran roh, hingga kebiasaan berpuas diri menjalani hidup dari hari ke hari, tanpa pernah menanyakan apa yang sebenarnya diinginkan Allah dari kita. Kita mengintip peta dunia, tetapi lupa melihat ke surga. Kita dipuaskan dengan banyak hal, tetapi gagal untuk lapar akan ketiadaan kehendak kita akan Allah. Kita terpaku pada kebutuhan kita sendiri, pada apa yang akan kita makan dan pakai (bdk. Mat 6:25), bahkan saat kita membiarkan kerinduan akan hal-hal yang lebih besar menguap. Dan kita mendapati diri kita hidup dalam komunitas yang mendambakan segalanya, memiliki segalanya, namun terlalu sering merasakan kekosongan di hati mereka : komunitas individu, uskup, imam atau pelaku hidup bakti yang tertutup. Memang kurangnya kehendak hanya mengarah pada kesedihan dan ketidakpedulian, pada komunitas yang sedih, para imam atau uskup yang sedih.

 

Marilah kita lihat dulu diri kita sendiri dan bertanya : Bagaimana perjalanan imanku? Ini adalah sebuah pertanyaan yang dapat kita ajukan pada diri kita sendiri hari ini, kita masing-masing. Bagaimana perjalanan imanku? Duduk terparkir atau sedang bergerak? Iman, jika ingin bertumbuh, harus dimulai dari awal lagi. Iman perlu dipicu oleh kehendak, untuk menerima tantangan memasuki hubungan yang hidup dan bersemangat dengan Allah. Apakah hatiku masih membara dengan kerinduan akan Allah? Atau apakah aku telah membiarkan kekuatan kebiasaan dan kekecewaanku untuk memadamkan api itu? Hari ini, saudara-saudara, adalah hari di mana kita hendaknya mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini. Hari ini adalah hari di mana kita hendaknya kembali memupuk keinginan kita. Bagaimana kita melakukan hal ini? Marilah kita pergi kepada para Majus dan belajar dari "sekolah kehendak" mereka. Mereka akan mengajari kita di sekolah kehendak mereka. Marilah kita melihat langkah-langkah yang mereka ambil, dan ambillah beberapa pelajaran dari mereka.

 

Di tempat pertama, mereka berangkat pada saat terbitnya bintang. Para Majus mengajari kita bahwa kita perlu memulai yang baru setiap hari, dalam kehidupan seperti dalam iman, karena iman bukanlah baju zirah yang membungkus kita; sebaliknya, iman adalah perjalanan yang menarik, gerakan yang terus menerus dan gelisah, selalu mencari Allah, selalu melihat jalan kita ke depan.

 

Kemudian, di Yerusalem para Majus mengajukan pertanyaan : mereka menanyakan di mana Anak itu dapat diketemukan. Mereka mengajari kita bahwa kita perlu bertanya. Kita perlu mendengarkan dengan seksama pertanyaan hati dan hati nurani kita, karena di sanalah Allah sering berbicara kepada kita. Ia menyapa kita lebih banyak dengan pertanyaan daripada dengan jawaban. Kita harus mempelajari ini dengan baik : Allah berbicara kepada kita lebih banyak dengan pertanyaan daripada dengan jawaban. Namun marilah kita juga gelisah oleh pertanyaan anak-anak kita, dan oleh keraguan, harapan dan keinginan pria dan wanita di zaman kita. Kita perlu menyuguhkan pertanyaan-pertanyaan.

 

Para Majus kemudian menentang Herodes. Mereka mengajari kita bahwa kita membutuhkan iman yang berani, iman yang tidak takut untuk menantang nalar kekuasaan yang jahat, serta menjadi benih keadilan dan persaudaraan dalam masyarakat di mana di zaman kita, Herodes-herodes modern terus menabur kematian dan membantai orang miskin dan tak bersalah, di tengah-tengah ketidakacuhan umum.

 

Akhirnya, para Majus pulang "melalui jalan lain" (Mat 2:12). Mereka menantang kita untuk melalui jalan baru. Di sini kita melihat kreativitas Roh yang selalu memunculkan hal-hal baru. Itu juga merupakan salah satu tugas Sinode yang saat ini kita emban : melakukan perjalanan bersama dan saling mendengarkan, sehingga Roh dapat menyarankan kepada kita cara dan jalan baru untuk membawa Injil ke hati mereka yang jauh, acuh tak acuh atau tanpa harapan, namun terus mencari apa yang ditemukan para Majus : "sukacita yang besar" (Mat 2:10). Kita harus selalu bergerak maju.

 

Di akhir perjalanan para Majus datanglah saat puncak : begitu mereka tiba di tempat tujuan, "mereka sujud menyembah Anak itu" (bdk. ayat 11). Mereka menyembah. Marilah kita tidak pernah melupakan hal ini : perjalanan iman menemukan kembali kekuatan dan penggenapan hanya ketika dilakukan di hadirat Allah. Hanya jika kita memulihkan "selera" penyembahan kita, kehendak kita akan menyala kembali. Kehendak membawa kita kepada penyembahan dan penyembahan memperbaharui kehendak kita. Karena kerinduan kita akan Allah hanya bisa tumbuh ketika kita menempatkan diri kita di hadirat-Nya. Karena hanya Yesus yang menyembuhkan kehendak kita. Dari apa? Dari tirani kebutuhan. Memang, hati kita menjadi sakit setiap kali kehendak kita bertepatan hanya dengan kebutuhan kita. Allah, di sisi lain, meninggikan kehendak kita; Ia memurnikan kehendak kita dan menyembuhkan kehendak kita dari keegoisan, membuka kehendak kita untuk mengasihi Dia dan saudara-saudari kita. Inilah sebabnya mengapa kita tidak boleh mengabaikan adorasi, keheningan doa adorasi yang tidak begitu umum di antara kita. Tolong jangan biarkan kita melupakan adorasi.

 

Dengan cara ini, seperti para Majus, setiap hari kita akan memiliki kepastian bahwa bahkan di malam yang paling gelap pun sebuah bintang terus bersinar. Bintang Tuhan yang datang untuk merawat kemanusiaan kita yang lemah. Marilah kita berangkat ke jalan menuju Dia. Janganlah kita memberikan kekuatan kepada sikap acuh tak acuh dan pasrah yang membawa kita ke dalam kehidupan yang hampa dan dangkal. Biarlah hati kita yang gelisah merangkul kegelisahan Roh. Dunia mengharapkan dari orang percaya ledakan antusiasme baru untuk hal-hal surgawi. Seperti para Majus, marilah kita menengadah, mendengarkan kehendak yang bersarang di hati kita, dan mengkuti bintang yang dijadikan Allah bersinar di atas kita. Sebagai pencari yang gelisah, marilah kita tetap terbuka terhadap kejutan-kejutan Allah. Saudara dan saudari, marilah kita bermimpi, marilah kita mencari dan marilah kita menyembah.

______


(Peter Suriadi - Bogor, 6 Januari 2022)

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.