Kata-kata
Rasul Paulus menerangi permulaan tahun baru: “Setelah genap waktunya, Allah
mengutus Putra-Nya yang lahir dari seorang perempuan” (Gal. 4:4). Ungkapan
“genap waktunya” sungguh mengejutkan. Pada zaman dulu, merupakan kebiasaan
untuk mengukur waktu dengan mengosongkan dan mengisi amphorae: ketika amphorae
kosong, periode waktu baru dimulai, yang berakhir ketika amphorae sudah penuh.
Inilah kepenuhan waktu: ketika amphora sejarah penuh, rahmat ilahi melimpah:
Tuhan menjadi manusia dan melakukannya dalam nama seorang perempuan, Maria. Dia
adalah jalan yang dipilih oleh Tuhan; dialah titik kedatangan banyak orang dan
generasi yang, “setetes demi setetes”, telah mempersiapkan kedatangan Tuhan ke
dunia. Oleh karena itu, Ibu berada di jantung waktu: Tuhan berkenan membuat
sejarah berputar melalui dirinya, sang perempuan. Dengan kata ini, Kitab Suci
merujuk kita pada asal usul, pada Kejadian, dan menyarankan bahwa Ibu dengan
Anak menandai ciptaan baru, permulaan baru. Oleh karena itu, pada awal masa
keselamatan ada Bunda Allah yang kudus, Bunda Suci kita.
Kata-kata
Rasul Paulus menerangi permulaan tahun baru ini: “Setelah genap waktunya, Allah
mengutus Putra-Nya yang lahir dari seorang perempuan” (Gal. 4:4). Ungkapan
”genap waktunya” sungguh mengejutkan. Pada zaman dulu, waktu diukur dengan
menggunakan jambanganair; berlalunya waktu ditandai dengan berapa lama waktu
yang dibutuhkan untuk mengisi jambangan kosong. Oleh karena itu makna ungkapan
“genap waktunya” : begitu jambangan sejarah terisi, rahmat ilahi pun melimpah.
Allah menjadi manusia dan Ia melakukannya melalui seorang perempuan, Maria.
Maria adalah sarana yang dipilih Allah, puncak dari garis panjang individu dan
generasi tersebut yang “setetes demi setetes” bersiap menyambut kedatangan
Tuhan ke dalam dunia. Maka, Bunda Maria berdiri di tengah-tengah misteri waktu.
Allah berkenan untuk membalikkan sejarah melalui dia, perempuan itu. Dengan
satu kata, “perempuan”, Kitab Suci membawa kita kembali ke permulaan, ke Kitab
Kejadian, dan menyadarkan kita bahwa ibu dan anak menandai ciptaan baru,
permulaan baru. Jadi, pada awal masa keselamatan, ada Bunda Allah yang kudus,
Bunda kita yang kudus.
Oleh
karena itu, sudah sepantasnya tahun dibuka dengan memohon kepadanya; Sudah
sepantasnya umat Allah yang setia memujinya dengan sukacita, sebagaimana pernah
dilakukan oleh umat kristiani yang pemberani di Efesus, sebagai Bunda Allah
yang kudus. Karena kata-kata ini, Bunda Allah, mengungkapkan kepastian penuh
sukacita bahwa Tuhan, seorang Anak mungil dalam gendongan ibu-Nya, telah mempersatukan
diri-Nya selamanya dengan kemanusiaan kita, hingga titik di mana kemanusiaan
bukan lagi milik kita saja, melainkan milik-Nya juga. Bunda Allah: sebuah
ungkapan sederhana yang mengakui perjanjian kekal Tuhan dengan kita. Bunda
Allah: sebuah dogma iman, tetapi juga sebuah “dogma harapan”; Allah di dalam
manusia, dan manusia di dalam Allah, selamanya. Bunda Allah yang kudus.
Setelah
genap waktunya, Bapa mengutus Putra-Nya yang lahir dari seorang perempuan.
Namun Santo Paulus juga berbicara tentang pengutusan kedua : “Allah telah
menyuruh Roh Putra-Nya ke dalam hati kita, yang berseru, ‘Ya Abba, ya Bapa!’”
(Gal. 4:6). Dalam pengutusan Roh Kudus, Bunda Maria juga memainkan peran
sentral : Roh Kudus akan turun atasnya pada saat Kabar Sukacita (bdk. Luk
1:35); kemudian, pada saat kelahiran Gereja, Ia turun atas para rasul yang
berkumpul dalam doa “bersama Maria, ibu Yesus” (Kis 1:14). Penerimaan Maria
terhadap karya Roh Kudus memberikan kepada kita karunia terbesar: ia
“memungkinkan Tuhan Yang Maha Mulia menjadi saudara kita” (Thomas dari Celano,
Vita secunda, CL, 198: FF 786), sehingga Roh Kudus dapat berseru dalam hati
kita: “Ya Abba, ya Bapa!” Keibuan Maria adalah jalan yang menuntun kita menuju
kelembutan kebapaan Allah, jalan yang paling dekat, langsung dan termudah.
Inilah “gaya” Allah: kedekatan, kasih sayang, dan kelembutan. Sesungguhnya
Bunda Maria menuntun kita kepada permulaan dan pokok iman, yang bukan sekadar
teori atau tugas, melainkan karunia tak terbatas yang menjadikan kita putra dan
putri terkasih, tabernakel kasih Bapa. Oleh karena itu, menyambut Bunda Maria
ke dalam hidup kita bukanlah soal devosi melainkan syarat iman: “Jika kita
ingin menjadi umat Kristiani, kita harus menjadi 'pengikut Maria'” (Santo
Paulus VI, Homili di Cagliari, 24 April 1970), yaitu “anak-anak Maria”.
Gereja
membutuhkan Maria untuk memulihkan wajah perempuannya, semakin sepenuhnya
menyerupai perempuan, perawan dan ibu, yang menjadi teladan dan gambaran
sempurnanya (bdk. Lumen Gentium, 63), memberi ruang bagi perempuan dan menjadi
“generatif” melalui pelayanan pastoral yang ditandai dengan keprihatinan dan
kepedulian, kesabaran dan keberanian keibuan. Dunia juga perlu bergantung pada
para ibu dan perempuan untuk menemukan kedamaian, keluar dari jalinan kekerasan
dan kebencian, serta sekali lagi melihat segala sesuatunya dengan mata dan hati
manusiawi. Setiap masyarakat perlu menerima karunia yang dimiliki oleh
perempuan, setiap perempuan: menghormati, membela dan menghargai perempuan,
dengan kesadaran bahwa siapapun yang menyakiti seorang perempuan yang belum
bersuami, berarti mencemarkan nama Allah, yang “lahir dari seorang perempuan”.
Sama
seperti Maria yang memainkan peran menentukan dalam kegenapan waktu, perempuan
juga menentukan kehidupan kita masing-masing, karena tidak ada seorang pun yang
mengenal dengan lebih baik daripada seorang ibu mengenal tahap-tahap
pertumbuhan dan kebutuhan mendesak anak-anaknya. Maria menunjukkan kepada kita
hal ini dalam “permulaan” yang lain: tanda pertama yang dilakukan Yesus, pada
pesta perkawinan di Kana. Di sana, dialah yang menyadari bahwa anggur telah
habis, dan memohon kepada Yesus (bdk. Yoh 2:3). Kebutuhan anak-anaknya
menggerakkan Maria, sang ibu, untuk memohon agar Yesus turun tangan. Di Kana,
Yesus berkata, “'Isilah tempayan-tempayan itu penuh dengan air'. Mereka pun
mengisinya sampai penuh” (Yoh. 2:7). Maria mengetahui kebutuhan kita; ia berdoa
agar rahmat melimpah dalam kehidupan kita dan membimbing mereka menuju
penggenapan sejati. Saudara-saudara, kita semua mempunyai kekurangan, masa-masa
kesepian, kekosongan batin yang menuntut untuk diisi. Kita masing-masing
mengetahui hal ini dengan baik. Siapa yang dapat mengisi kekosongan kita kalau
bukan Maria, Bunda penggenapan? Kapan pun kita tergoda untuk menarik diri, marilah
kita berlari ke arahnya; kapanpun kita tidak mampu lagi melepaskan ikatan dalam
hidup kita, marilah kita berlindung padanya. Saat ini, yang kehilangan
kedamaian, membutuhkan seorang ibu yang dapat mempersatukan kembali keluarga
umat manusia. Marilah kita memandang Maria, untuk menjadi seniman persatuan.
Marilah kita melakukan hal ini dengan kreativitas dan kepedulian keibuannya
terhadap anak-anaknya. Karena ia mempersatukan dan menghibur mereka; ia
mendengarkan kesusahan dan mengeringkan air mata mereka. Dan marilah kita
melihat ikon lembut Madonna [dari Biara Montevergine]. Begitulah sikap ibu
kita: betapa lembutnya dia menjaga dan mendekatkan kita. Ia peduli pada kita
dan tetap dekat dengan kita.
Marilah
kita mempercayakan tahun yang datang ini kepada Bunda Allah. Marilah kita
mempersembahkan hidup kita kepadanya. Dengan cinta yang lembut, ia akan membuka
mata kita terhadap kegenapan. Sebab ia akan menuntun kita kepada Yesus, yang
adalah “kegenapan waktu”, kegenapan setiap waktu, kegenapan waktu kita, kegenapan
setiap kita. Memang benar, sebagaimana pernah ditulis : “Bukan kegenapan waktu
yang menyebabkan diutusnya Putra Allah, tetapi diutusnya Putra yang
menghasilkan kegenapan waktu” (bdk. Martin Luther, Vorlesung über den
Galaterbrief 1516-1517, 18). Saudara-saudari, semoga tahun ini dipenuhi dengan
penghiburan Tuhan! Semoga tahun ini dipenuhi dengan kelembutan cinta keibuan
Maria, Bunda Allah yang kudus.
Sekarang
saya mengajak kita semua bersama-sama untuk menyerukan tiga kali : Bunda Allah yang kudus! Bunda Allah yang kudus! Bunda Allah yang kudus!
______
(Peter Suriadi - Bogor, 1 Januari 2024)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.