Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA DI STEPPE ARENA, ULAANBAATAR, MONGOLIA 3 September 2023 : IMAN KRISTIANI ADALAH JAWABAN ATAS KEHAUSAN AKAN KASIH

Bacaan Ekaristi : Yer. 20:7-9; Mzm. 63:2,3-4,5-6,8-9; Rm. 12:1-2; Mat. 16:21-27.

 

Dengan kata-kata Mazmur Tanggapan, kita berdoa : “ Ya Allah, ... jiwaku haus kepada-Mu, tubuhku letih merindukan Engkau, seperti tanah yang kering dan kehausan, tiada berair” (Mzm 63:2). Permohonan yang luar biasa ini menyertai perjalanan kita menjalani kehidupan, di tengah seluruh padang gurun yang harus kita lalui. Justru di padang gurun itulah kita mendengar kabar baik bahwa kita tidak sendirian dalam perjalanan kita; masa-masa kekeringan tersebut tidak dapat memandulkan kehidupan kita selamanya; jeritan kehausan kita bukan tidak terdengar. Allah Bapa telah mengutus Putra-Nya untuk memberi kita air hidup Roh Kudus untuk memuaskan jiwa kita (bdk. Yoh 4:10). Yesus, sebagaimana kita dengar dalam Bacaan Injil, menunjukkan kepada kita cara untuk memuaskan kehausan kita. Kehausan kita dipuaskan dengan jalan kasih, yang Ia ikuti bahkan hingga di kayu salib, dan yang melaluinya Ia memanggil kita untuk mengikuti-Nya, dengan mengurbankan nyawa kita agar memperoleh kepuasan tersebut (bdk. Mat 16:24-25).

 

Marilah kita renungkan bersama dua hal ini : kehausan yang ada di dalam diri kita, dan kasih yang memuaskan kehausan tersebut.

 

Pertama, kita dipanggil untuk mengakui kehausan dalam diri kita. Pemazmur berseru kepada Allah dalam kekeringannya, karena hidupnya laksana padang gurun. Kata-katanya bergema terutama di negeri seperti Mongolia : negeri yang luas, kaya akan sejarah dan budaya, namun juga ditandai dengan kegersangan padang rumput yang luas dan padang gurun. Banyak di antara kamu yang memahami kepuasan dan kehausan dalam perjalanan, yang membangkitkan aspek dasariah spiritualitas biblis yang diwakili oleh Abraham dan, dalam arti yang lebih luas, oleh umat Israel dan tentu saja setiap murid Tuhan. Karena kita semua adalah “pengembara Allah”, pengembara yang mencari kebahagiaan, pengembara yang haus akan kasih. Maka padang gurun yang dibicarakan Pemazmur adalah kehidupan kita. Kita adalah tanah kering yang haus akan air segar, air yang dapat memuaskan dahaga terdalam kita. Hati kita rindu untuk menemukan rahasia kebahagiaan sejati, kebahagiaan yang bahkan di tengah kegersangan keberadaan, dapat menemani dan menopang kita. Jauh di dalam diri kita, kita mempunyai kehausan akan kebahagiaan yang tak terpuaskan; kita mencari makna dan arah dalam kehidupan kita, alasan atas semua yang kita lakukan setiap hari. Meebihi segalanya, kita haus akan kasih, karena hanya kasih yang benar-benar dapat memuaskan kita, memberi kita kepuasan; hanya kasih yang bisa membuat kita bahagia, mengilhami kepastian batin, dan memungkinkan kita menikmati indahnya kehidupan. Saudara dan saudari terkasih, iman Kristiani adalah jawaban terhadap kehausan ini; sungguh, tanpa mengabaikannya atau berusaha menggantinya dengan obat penenang atau pengganti. Karena di dalam kehausan inilah terdapat misteri besar kemanusiaan kita: kehausan ini membuka hati kita kepada Allah yang hidup, Allah kasih, yang datang menjumpai kita dan menjadikan kita anak-anak-Nya, saudara saudari satu sama lain.

 

Hal ini membawa kita pada hal kedua: kasih yang memuaskan kehausan kita. Yang pertama adalah kehausan kita yang dalam dan menyangkut keberadaan, dan kini kita merenungkan kasih yang memuaskan kehausan kita. Inilah pokok iman Kristiani : Allah, yang adalah Kasih, telah mendekat kepadamu, kepadaku, kepada semua orang, dalam Putra-Nya Yesus, dan ingin ambil bagian dalam hidupmu, pekerjaanmu, impianmu dan kehausanmu akan kebahagiaan. Memang benar bahwa, kadang-kadang, kita merasa seperti “tanah yang kering dan kehausan, tiada berair”, tetapi juga benar bahwa Allah peduli terhadap kita dan menawarkan kepada kita air yang jernih dan menyegarkan, air hidup Roh Kudus, yang memancar di dalam diri kita untuk memperbaharui dan membebaskan kita dari risiko kekeringan. Yesus memberi kita air tersebut. Sebagaimana dikatakan Santo Agustinus kepada kita, “…jika kita mengenali diri kita sebagai orang yang haus, kita juga dapat mengenali diri kita sebagai orang yang memuaskan kehausan” (Tentang Mazmur, 63:1). Memang kalau dalam kehidupan ini kita sering mengalami padang gurun yang sarat kesepian, keletihan, dan kehampaan, hendaknya kita juga ingat, bersama Agustinus, bahwa, “jangan sampai kita pingsan di padang gurun ini, maka Allah akan menyegarkan kita dengan embun sabda-Nya… Benar, Ia membuat kita merasa haus, namun kemudian datang untuk memuaskan kehausan tersebut… Allah telah berbelas kasihan kepada kita; Ia telah membukakan kita jalan raya di padang gurun : Tuhan kita Yesus Kristus”. Dan itulah jalan melewati padang gurun kehidupan kita. “Ia telah menawarkan kepada kita sumber penghiburan di padang gurun: para pengkhotbah firman-Nya. Ia telah menawarkan kita air di padang gurun tersebut, dengan memenuhi para pengkhotbah itu dengan Roh Kudus, sehingga menciptakan, di dalamnya, sumber air yang memancar hingga kehidupan kekal” (idem., 1, 6). Kata-kata ini, para sahabat terkasih, berbicara kepadamu tentang sejarahmu. Di tengah padang gurun kehidupan dan kesulitan yang terkait dengan komunitas kecil, Tuhan telah memastikan bahwa kamu tidak kekurangan air sabda-Nya, terutama terima kasih kepada para pengkhotbah dan misionaris yang, diurapi oleh Roh Kudus, menaburkan benih keindahannya di antaramu. Sabda tersebut senantiasa membawa kita kembali pada hal yang penting, pada pokok iman kita: memperkenankan diri kita dikasihi Allah dan pada gilirannya menjadikan kehidupan kita sebagai persembahan kasih. Karena hanya kasih yang benar-benar memuaskan kehausan kita. Janganlah kita lupa: hanya kasih yang sungguh dapat memuaskan kehausan kita.

 

Hal itulah yang dikatakan Yesus kepada rasul Petrus dalam Bacaan Injil hari ini. Petrus tidak bisa menerima kenyataan bahwa Yesus harus menderita, didakwa para pemuka umat, menjalani sengsara-Nya dan kemudian wafat di kayu salib. Petrus bereaksi, ia memprotes, ia mencoba meyakinkan Yesus bahwa Yesus keliru, karena, dalam pikiran Petrus – dan kita juga sering mempunyai gagasan yang sama – Mesias tidak mungkin berakhir dengan kegagalan, wafat di kayu salib laksana penjahat yang ditinggalkan Allah. Tuhan kemudian menegur Petrus karena ia memikirkan “apa yang dipikirkan dunia”, dan bukan apa yang dipikirkan Allah (bdk. Mat 16:21-23). Jika kita berpikir bahwa kesuksesan, kekuasaan, atau materi sudah cukup untuk memuaskan kehausan dalam hidup kita, maka kita memikirkan apa yang dipikirkan dunia. Keduniawian semacam itu tidak membuahkan hasil; memang, hal ini membuat kita semakin haus. Yesus justru menunjukkan caranya kepada kita: "Jika seseorang mau menjadi pengikut-Ku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku. Sebab siapa yang mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; siapa yang  kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya” (Mat 16:24-25).

 

Saudara dan saudari terkasih, hal ini tentu saja merupakan cara terbaik: memeluk salib Kristus. Pokok kekristenan adalah sebuah pesan yang menakjubkan dan luar biasa. Jika kamu kehilangan nyawamu, jika kamu memberikannya sebagai persembahan yang murah hati dalam pelayanan, jika kamu mempertaruhkannya dengan memilih untuk mengasihi, jika kamu menjadikannya sebagai karunia cuma-cuma untuk orang lain, maka karunia tersebut akan kembali kepadamu dalam kelimpahan, dan kamu akan diliputi oleh sukacita tiada akhir, kedamaian hati, dan kekuatan serta dukungan batin; dan kita membutuhkan kedamaian batin.

 

Inilah kebenaran yang diinginkan Yesus untuk kita temukan, kebenaran yang ingin Ia ungkapkan kepada kamu semua dan negeri Mongolia ini. Kamu tidak perlu menjadi terkenal, kaya atau berkuasa untuk menjadi bahagia. Tidak! Hanya kasih yang memuaskan kehausan hati kita, hanya kasih yang menyembuhkan luka-luka kita, hanya kasih yang memberikan sukacita sejati. Inilah cara yang diajarkan Yesus kepada kita; inilah jalan yang Ia buka di hadapan kita.

 

Semoga kita juga, saudara dan saudari terkasih, mengindahkan apa yang dikatakan Tuhan kepada Petrus atas jawabannya : “Enyahlah Iblis” (Mat 16:23). Dengan kata lain, jadilah murid-Ku, ikutilah jejak langkah-Ku dan berhentilah memikirkan apa yang dipikirkan dunia. Jika kita melakukan hal ini, dengan rahmat Kristus dan Roh Kudus, kita akan mampu menempuh jalan kasih. Bahkan ketika kasih menuntut kita untuk menyangkal diri kita, melawan bentuk-bentuk keegoisan pribadi dan duniawi, dan mengambil risiko menjalani kehidupan persaudaraan sejati. Memang benar bahwa semua hal ini membutuhkan usaha dan pengorbanan, dan terkadang memikul salib, bahkan sungguh sangat benar bahwa, ketika kita kehilangan nyawa kita demi Injil, Tuhan akan mengembalikannya kepada kita secara berlimpah, dalam bentuk kepenuhan kasih dan sukacita untuk selama-lamanya.

[Sapaan Paus Fransiskus di akhir Misa Kudus]

 

Saya ingin menggunakan kesempatan ini, di hadapan dua saudara uskup ini – Uskup Emeritus Hong Kong (Kardinal John Tong Hon) dan Uskup Hong Kong saat ini (Stephen Chow) – untuk menyampaikan salam yang tulus kepada rakyat Tiongkok yang mulia. Saya menyampaikan harapan baik saya kepada mereka semua : selalu bergerak maju, selalu bergerak maju! Dan kepada umat Katolik Tiongkok: saya memintamu untuk menjadi umat Kristiani yang baik dan warga negara yang baik. Kepada kamu semua, terima kasih.

Terima kasih, Yang Mulia, atas kata-katamu yang ramah, dan terima kasih atas pemberianmu! Kamu menyebutkan bahwa pada hari-hari ini kamu dapat merasakan betapa saya sangat menyayangi umat Tuhan di Mongolia. Itu benar: Saya memulai peziarahan ini dengan penuh harap, dengan keinginan untuk bertemu dengan kamu semua dan mengenalmu. Sekarang saya bersyukur kepada Allah karenamu, karena melalui dirimu, Ia berkenan menggunakan apa yang kecil untuk mencapai hal-hal besar. Terima kasih, karena kamu adalah umat Kristiani yang baik dan warga negara yang jujur. Majulah, dengan lembut dan tanpa rasa takut, sadari kedekatan dan dorongan seluruh Gereja, dan yang terpenting adalah tatapan Tuhan yang lembut, yang tidak melupakan siapa pun dan memandang dengan kasih kepada setiap anak-anak-Nya.

 

Saya menyapa saudara-saudara saya para uskup, para imam, para pelaku hidup bakti, dan semua sahabat yang datang ke sini dari berbagai negara, khususnya dari berbagai wilayah di benua Asia yang luas, di mana saya merasa dihormati. Saya memeluk kamu semua dengan penuh kasih sayang. Secara khusus saya berterima kasih kepada semua orang yang membantu Gereja lokal dengan dukungan spiritual dan material.

Saat ini, delegasi penting Pemerintah Mongolia telah hadir di setiap acara. Saya mengucapkan terima kasih kepada Presiden dan Pemerintah Mongolia atas sambutan dan keramahtamahan mereka, serta atas segala persiapan yang telah dilakukan. Saya merasakan secara langsung keramahan tradisionalmu; terima kasih!

 

Saya juga menyampaikan salam hangat kepada saudara-saudari kita yang beragama kristiani lainnya dan penganut agama lain. Semoga kita terus bertumbuh semakin dekat dalam persaudaraan, sebagai benih perdamaian di dunia yang secara tragis hancur karena banyaknya peperangan dan pertikaian.

 

Terima kasih yang sebesar-besarnya juga saya sampaikan kepada semua orang yang telah bekerja keras dan dalam jangka waktu yang lama, sehingga perjalanan saya dapat terlaksana dan berhasil, dan kepada semua orang yang telah mempersiapkannya dengan doa-doa mereka.

 

Yang Mulia, kamu mengingatkan kami bahwa dalam bahasa Mongolia kata “Terima kasih” berasal dari kata kerja “bergembira ria”. Ucapan terima kasih saya sangat cocok dengan wawasan bahasa lokal yang luar biasa ini, karena penuh dengan sukacita. Ucapan “terima kasih” yang sebesar-besarnya kepada rakyat Mongolia, atas karunia persahabatan yang saya terima pada hari-hari ini, atas kemampuanmu yang tulus dalam menghargai aspek kehidupan yang paling sederhana sekalipun, dengan bijak menjaga hubungan dan tradisi, serta membina kehidupan sehari-hari dengan kepedulian dan perhatian.

 

Misa itu sendiri merupakan cara mengucap syukur : “Ekaristi”. Merayakan Misa di negeri ini mengingatkan saya pada doa yang dipanjatkan oleh Pastor Pierre Teilhard de Chardin, SJ, kepada Allah tepat seratus tahun yang lalu, di padang gurun Ordos, tidak jauh dari sini. Ia berdoa : “Ya Allah, aku bersujud di hadirat-Mu di dalam alam semesta yang kini menjadi kobaran api yang hidup: di hadapan raut muka semua orang yang akan kujumpai hari ini, semua yang terjadi padaku, semua yang kucapai, hanya Engkaulah yang aku inginkan, Engkau aku tunggu”. Pastor Teilhard de Chardin terlibat dalam penelitian geologi. Ia sangat ingin merayakan Misa Kudus, namun kekurangan roti dan anggur. Maka ia menyusun “Misa di Dunia”, mengungkapkan persembahannya dengan kata-kata berikut: “Terimalah, ya Tuhan, hosti yang merangkul segalanya ini, yang segenap ciptaan-Mu, tergerak oleh daya tarik-Mu, persembahkan kepada-Mu pada awal hari yang baru ini”. Doa serupa telah terbentuk dalam dirinya ketika ia bertugas sebagai pembawa tandu di garis depan selama Perang Dunia I. Imam ini, yang sering disalahpahami, memiliki naluri bahwa “Ekaristi selalu dirayakan di altar dunia” dan merupakan “pusat kehidupan alam semesta, pusat yang berkelimpahan kasih dan kehidupan yang tiada habisnya” (Laudato Sì', 236), bahkan di masa seperti sekarang ini, yang ditandai dengan pertikaian dan peperangan. Maka, marilah kita berdoa pada hari ini, seturut kata-kata Pastor Teilhard de Chardin: “Sabda yang bercahaya, Kekuatan yang menyala-nyala, Engkau yang membentuk berbagai macam hal untuk memberikan kehidupan ke dalamnya, aku berdoa kepada-Mu, serahkan kepada kami tangan-Mu itu - yang penuh kuasa, perhatian, ada di mana-mana”.

 

Saudara-saudari Mongolia yang terkasih, terima kasih atas kesaksianmu. Bayarlalaa! [Terima kasih!]. Semoga Allah memberkatimu. Kamu ada di hatiku, dan di hatiku kamu akan tetap ada. Tolong ingatlah aku, dalam doamu dan dalam pikiranmu. Terima kasih.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 3 September 2023)

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.