Kita
baru saja mendengar Yesus berkata kepada mereka : “Mari, ikutlah Aku … Lalu
mereka segera meninggalkan jala mereka dan mengikuti Dia” (Mrk 1:17-18). Sabda
Allah mempunyai kuasa yang sangat besar, sebagaimana kita dengar dalam Bacaan
Pertama: “Datanglah firman Tuhan kepada Yunus untuk kedua kalinya, 'Pergilah
segera ke Niniwe ... dan serukanlah kepadanya ... Yunuspun segera pergi ke
Niniwe, sesuai dengan firman Tuhan" (Yun 3:1-3). Sabda Allah melancarkan
kuasa Roh Kudus, sebuah kuasa yang menarik manusia kepada Allah, seperti
nelayan muda yang dilanda oleh perkataan Yesus itu, dan mengutus orang lain,
seperti Yunus, kepada mereka yang jauh dari Tuhan. Sabda menarik kita kepada
Allah dan mengutus kita kepada orang lain : sabda menarik kita kepada Allah dan
mengutus kita kepada orang lain: begitulah cara Sabda bekerja. Sabda tidak
membuat kita mementingkan diri sendiri, namun melapangkan hati, mengubah perjalanan,
menjungkirbalikkan kebiasaan, membuka skenario baru dan menyingkapkan cakrawala
yang tak terpikirkan.
Saudara-saudari,
itulah apa yang ingin dilakukan sabda Allah dalam diri kita masing-masing.
Seperti halnya murid-murid pertama yang, setelah mendengar perkataan Yesus,
meninggalkan jala mereka dan memulai petualangan yang luar biasa, demikian
pula, di tepi pantai kehidupan kita, di samping perahu keluarga kita dan jala
pekerjaan kita sehari-hari, sabda Allah membuat kita mendengar panggilan Yesus.
Sabda Allah memanggil kita untuk berangkat bersama-Nya demi kepentingan orang
lain. Sabda Allah menjadikan kita misionaris, utusan dan saksi Allah bagi dunia
yang tenggelam dalam kata-kata, namun haus akan sabda sejati yang seringkali terabaikan.
Gereja hidup dari dinamika ini: dipanggil oleh Kristus dan tertarik kepada-Nya,
Gereja diutus ke dunia untuk memberi kesaksian tentang Dia. Inilah dinamika dalam
Gereja.
Kita
tidak bisa hidup tanpa sabda Allah serta kuasanya yang teduh dan sederhana,
yang seolah-olah dalam dialog pribadi, menyentuh hati, berkesan dalam jiwa dan
memperbaharuinya dengan damai Yesus, yang pada gilirannya membuat kita peduli
terhadap orang lain. Jika kita memandang sahabat-sahabat Allah, para saksi
Injil sepanjang sejarah dan orang-orang kudus, kita melihat bahwa sabda Allah
sangat menentukan bagi mereka masing-masing. Kita memikirkan tentang biarawan
pertama, Santo Antonius, yang, karena terkesan dengan bacaan Injil ketika
sedang merayakan Misa, meninggalkan segalanya demi Tuhan. Kita memikirkan Santo
Agustinus, yang hidupnya mengalami perubahan yang menentukan ketika sabda Allah
membawa kesembuhan dalam hatinya. Kita memikirkan Santa Theresia dari
Kanak-kanak Yesus, yang menemukan panggilannya dengan membaca surat-surat Santo
Paulus. Dan kita juga memikirkan santo yang namanya saya sandang, Fransiskus
dari Asisi, yang, setelah berdoa, membaca Injil bahwa Yesus mengutus
murid-murid-Nya untuk berkhotbah dan berseru: “Itulah apa yang Kuinginkan;
itulah apa yang Kumohon, itulah apa yang ingin Kulakukan dengan segenap hati!”
(Thomas dari Celano, Vita Prima, IX, 22).
Hidup mereka diubah oleh sabda kehidupan, oleh sabda Tuhan.
Namun
saya bertanya-tanya: bagaimana bisa, bagi banyak dari kita, hal yang sama tidak
terjadi? Kita sering mendengar sabda Allah, namun masuk ke satu telinga dan
keluar di telinga yang lain: mengapa? Mungkin karena, sebagaimana dijelaskan
oleh para saksi di atas, kita perlu berhenti bersikap “tuli” terhadap sabda
Allah. Ini merupakan risiko bagi kita semua: karena terbebani oleh rentetan
kata-kata, kita membiarkan sabda Allah berlalu begitu saja: kita mendengarnya,
namun kita gagal mendengarkannya; kita mendengarkannya, namun kita tidak
menyimpannya; kita menyimpannya, namun kita tidak membiarkannya mendorong kita
untuk berubah. Melebihi segalanya, kita membacanya tetapi kita tidak berdoa
dengannya, padahal “doa harus menyertai pembacaan Kitab suci, supaya
terwujudlah wawancara antara Allah dan manusia” (Dei Verbum, 25). Kita jangan melupakan dua aspek dasariah doa
Kristiani: mendengarkan sabda dan menyembah Tuhan. Marilah kita memberikan
ruang untuk membaca sabda Yesus dengan penuh doa. Kemudian kita akan mempunyai
pengalaman yang sama seperti murid-murid pertama itu. Kembali ke Injil hari
ini, kita melihat dua hal yang terjadi setelah Yesus berbicara: “mereka
meninggalkan jala mereka dan mengikuti Dia” (Mrk 1:18). Mereka meninggalkan dan
mengikuti. Marilah kita renungkan secara singkat kedua hal ini.
Mereka
meninggalkan. Apa yang mereka tinggalkan? Perahu dan jala mereka, mau dikatakan
itulah kehidupan yang mereka jalani selama ini. Betapa seringnya kita berjuang
untuk meninggalkan rasa aman, rutinitas kita, karena hal ini menjerat kita
seperti ikan dalam jala. Namun mereka yang menanggapi sabda akan mengalami
kesembuhan dari jerat masa lalu, karena sabda yang hidup memberikan makna baru
dalam kehidupan mereka dan memulihkan ingatan mereka yang terluka dengan
mencangkokkan ke dalamnya ingatan akan Allah dan karya-karya-Nya bagi kita.
Kitab Suci meneguhkan kita dalam kebaikan dan mengingatkan kita siapa diri kita
sebenarnya: anak-anak Allah, yang diselamatkan dan dikasihi. “Sabda Tuhan yang
harum” (Santo Fransiskus dari Asisi,
Surat kepada Umat Beriman) ibarat madu, memberi rasa pada hidup kita dan
membuat kita merasakan manisnya Allah. Sabda Tuhan menyehatkan jiwa,
menyingkirkan rasa takut dan mengatasi kesepian. Sebagaimana sabda Tuhan
menuntun para murid untuk meninggalkan kehidupan monoton yang berpusat pada
perahu dan jala, sabda Tuhan juga memperbarui iman kita, memurnikannya,
membebaskannya dari sampah dan membawanya kembali ke asal-usulnya, sumber Injil
yang murni. Ketika menceritakan hal-hal menakjubkan yang telah dilakukan Allah
bagi kita, Kitab Suci melancarkan iman yang lumpuh dan membuat kita menikmati
kembali kehidupan Kristiani sebagaimana adanya: kisah cinta dengan Tuhan.
Para
murid meninggalkan dan kemudian mengikuti. Mengikuti jejak sang Guru, mereka
bergerak maju. Karena sabda Kristus tidak hanya membebaskan kita dari beban
yang kita tanggung, dulu dan sekarang; sabda Kristus juga membuat kita dewasa
dalam kebenaran dan amal kasih. Sabda Kristus menghidupkan hati, menantangnya,
memurnikannya dari kemunafikan dan memenuhinya dengan harapan. Kitab Suci juga
membuktikan bahwa sabda nyata dan efektif : “seperti hujan dan salju” bagi
tanah (bdk. Yes 55:10-11), seperti pedang bermata dua yang “menilai pikiran dan
niat hati” (Ibr 4:12), dan benih yang tidak fana (1Ptr 1:23), yang kecil dan
tersembunyi, namun bertunas dan menghasilkan buah (bdk. Mat 13). “Demikian
besarlah daya dan kekuatan sabda Allah, sehingga bagi putra-putri Gereja
menjadi kekuatan iman” (Dei Verbum,
21).
Saudara-saudara,
semoga Hari Minggu Sabda Allah menolong kita untuk kembali dengan sukacita
kepada sumber iman kita, yang lahir dari mendengarkan Yesus, Sabda Allah yang
hidup. Semoga kita, yang dihujani oleh kata-kata tentang Gereja, terbantu untuk
menemukan kembali sabda kehidupan yang bergema dalam Gereja! Jika tidak, kita
akhirnya lebih banyak berbicara tentang diri kita daripada tentang Dia, dan
sering kali kita berkonsentrasi pada pikiran dan masalah kita dibandingkan pada
Kristus dan sabda-Nya. Marilah kita kembali ke sumber, untuk menawarkan kepada
dunia air kehidupan yang dirindukan dan tidak dapat ditemukan, dan sementara
masyarakat dan media sosial mencerminkan kekerasan kata-kata, marilah kita
mendekat kepada, dan memupuk, sabda Allah yang teduh yang membawa keselamatan,
lemah lembut, tidak bersuara lantang dan masuk ke dalam hati kita.
Terakhir,
marilah kita mengajukan pada diri kita beberapa pertanyaan. Ruang apa yang
kubuat untuk sabda Allah di tempat tinggalku? Di tengah banyaknya buku, majalah,
televisi dan telepon, di manakah Kitab Suci? Di kamarku, apakah Injil mudah
dijangkau? Apakah aku membacanya setiap hari agar setia pada jalan hidupku?
Apakah aku membawa salinan kecil Injil agar aku dapat membacanya? Saya sering
berbicara tentang Injil yang selalu kita bawa, di saku dan tas kita, di telepon
genggam kita. Jika Kristus lebih kusayangi daripada apa pun, bagaimana aku bisa
meninggalkan Dia di rumah dan tidak membawa sabda-Nya bersamaku? Dan satu
pertanyaan terakhir: Sudahkah aku membaca setidaknya salah satu dari keempat
Injil? Injil adalah kitab kehidupan. Sederhana dan singkat, namun banyak orang
percaya bahkan belum pernah membaca satu pun Injil dari awal sampai akhir.
Saudara-saudari,
Allah, menurut Kitab Suci, adalah “sumber keindahan” (Keb 13:3). Marilah kita
memperkenankan diri kita ditaklukkan oleh keindahan yang dihadirkan sabda Allah
ke dalam hidup kita.
_____
(Peter Suriadi -
Bogor, 21 Januari 2024)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.