Bacaan Ekaristi : Kel. 24:3-8; Mzm. 116:12-13,15,16bc,17-18; Ibr. 9:11-15; Mrk. 14:12-16,22-26.
“Yesus
mengambil roti, mengucap syukur” (Mrk 14:22). Dengan cara ini, Injil Santo
Markus memulai kisah tentang penetapan Ekaristi. Berangkat dari sikap Yesus
yang mengucap syukur atas roti ini, kita dapat merenungkan tiga aspek misteri
yang sedang kita rayakan: ucapan syukur, kenangan, dan kehadiran.
Pertama,
ucapan syukur. Memang benar, kata “Ekaristi” berarti “syukur”: “mengucap
syukur” kepada Allah atas karunia-karunia-Nya. Jadi, tanda roti itu penting,
karena merupakan santapan kehidupan sehari-hari, dan dengannya kita membawa ke
altar seluruh keberadaan kita dan seluruh yang kita miliki: kehidupan,
pekerjaan, keberhasilan, dan juga kegagalan kita. Dalam beberapa kebudayaan hal
ini dilambangkan dengan kebiasaan yang indah memungut dan mencium roti ketika roti
itu jatuh ke tanah, untuk mengingatkan kita bahwa roti terlalu berharga untuk
dibuang, bahkan setelah jatuh. Maka, Ekaristi mengajarkan kita untuk selalu
mengucap syukur, menyambut dan menghargai karunia-karunia Allah sebagai sebuah
tindakan syukur; tidak hanya dalam perayaan, tetapi juga dalam kehidupan
sehari-hari.
Contohnya,
kita tidak menyia-nyiakan milik dan talenta yang diberikan Tuhan kepada kita.
Demikian pula, kita harus mengampuni dan mendukung mereka yang melakukan
kesalahan dan terjatuh oleh karena kelemahan atau kesalahan, mengakui bahwa
segala sesuatu adalah sebuah karunia dan tidak ada yang boleh hilang, tidak ada
seorang pun yang boleh ditinggalkan, dan setiap orang berhak mendapatkan
kesempatan untuk bangkit. Kita dapat melakukan hal ini dalam kehidupan
sehari-hari, melaksanakan pekerjaan kita dengan kasih, ketelitian, dan
perhatian, mengakuinya sebagai karunia dan perutusan. Dan selalu membantu
mereka yang telah terjatuh: jangan sekali pun kita memandang rendah seseorang:
bantulah mereka bangkit kembali. Ini adalah perutuan kita.
Tentunya,
kita bisa menambahkan banyak hal lain yang layak kita syukuri. Ini adalah sikap
“Ekaristis” yang penting karena mengajarkan kita untuk menghargai nilai dari
apa yang sedang kita lakukan dan persembahkan.
Pertama,
ucapan syukur. Lalu, kedua, “mengucap syukur atas roti” artinya mengenang. Apa
yang kita kenang? Bagi Israel kuno, ini berarti mengenang kembali pembebasan
dari perbudakan Mesir dan awal keluaran menuju Tanah Terjanji. Bagi kita, ini
berarti mengenang Paskah Kristus, sengsara dan kebangkitan-Nya, yang melaluinya
Ia membebaskan kita dari dosa dan maut. Artinya mengenang kehidupan,
keberhasilan, kesalahan kita, uluran tangan Tuhan yang selalu membantu kita
bangkit kembali, kehadiran Tuhan dalam hidup kita.
Ada
yang mengatakan bahwa kebebasan sejati berarti hanya memikirkan diri sendiri,
menikmati hidup dengan melakukan apa pun yang kita inginkan tanpa peduli
terhadap orang lain. Ini bukan kebebasan, namun suatu bentuk perbudakan yang
tersembunyi, sebuah perbudakan yang semakin memperbudak kita.
Namun
kebebasan tidak ditemukan dalam brankas milik orang-orang yang menimbun
kekayaan untuk diri mereka sendiri, atau sofa orang-orang yang bermalas-malasan
menikmati pelepasan diri dan individualisme. Kebebasan ditemukan di Ruang Atas
di mana, hanya dimotivasi oleh kasih, kita membungkuk untuk melayani sesama,
menawarkan hidup kita sebagai orang-orang yang “diselamatkan”.
Ketiga,
roti Ekaristi adalah kehadiran nyata. Hal ini berbicara kepada kita tentang
Allah yang tidak jauh, yang tidak cemburu, namun dekat dan bersetia kawan
dengan umat manusia; sesosok Allah yang tidak meninggalkan kita tetapi selalu
mencari, menunggu, dan menyertai kita, bahkan sampai menyerahkan diri-Nya, tak
berdaya, ke dalam tangan kita. Dan kehadiran-Nya yang nyata juga mengajak kita
untuk dekat dengan saudara-saudari kita di manapun kasih memanggil kita.
Saudara-saudari,
dunia kita sangat membutuhkan roti ini, dengan keharuman dan aromanya, yang
mengenal rasa syukur, kebebasan dan kedekatan! Setiap hari kita melihat terlalu
banyak jalan yang dulunya dipenuhi semerbak roti yang baru dipanggang, namun
kini menjadi puing-puing karena perang, keegoisan, dan ketidakpedulian! Kita
perlu segera membawa kembali kepada dunia kita aroma roti kasih yang baik dan
segar, terus berharap tanpa kenal lelah dan membangun kembali apa yang
dihancurkan oleh kebencian.
Hal
ini juga merupakan makna dari isyarat yang akan segera kita lakukan dalam
Perarakan Ekaristi. Mulai dari altar, kita akan membawa Tuhan ke seluruh rumah
di kota kita. Kita melakukan ini bukan untuk pamer, atau memamerkan iman kita,
melainkan untuk mengajak semua orang ikut serta, dalam Roti Ekaristi, dalam
kehidupan baru yang telah diberikan Yesus kepada kita. Marilah kita melakukan
perarakan dengan semangat ini. Terima kasih.
______
(Peter Suriadi - Bogor, 3 Juni 2024)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.