Bacaan Ekaristi : Kej. 18:1-10a; Mzm. 15:2-3ab,3cd-4ab,5; Kol. 1:24-28; Luk. 10:38-42.
Saudara-saudari
terkasih,
Hari
ini saya sangat bahagia berada di sini, di Gereja Katedral yang indah ini,
untuk merayakan Ekaristi. Sebagaimana kamu ketahui, saya seharusnya berada di
sini pada tanggal 12 Mei, tetapi Roh Kudus bekerja dengan cara yang berbeda.
Namun, saya sungguh senang berada bersamamu serta dalam semangat persaudaraan
dan sukacita kristiani, saya menyapa kamu semua yang hadir di sini, Yang Mulia,
serta para uskup Keuskupan, dan para pemimpin yang hadir.
Dalam
Misa ini, baik Bacaan Pertama maupun Bacaan Injil mengajak kita untuk
merenungkan keramahtamahan, pelayanan, dan mendengarkan (bdk. Kej 18:1-10; Luk
10:38-42).
Pertama,
Allah mengunjungi Abraham dalam sosok "tiga orang" yang tiba di
kemahnya "pada saat hari panas terik" (bdk. Kej 18:1-2). Adegannya
mudah dibayangkan: cahaya matahari yang menyengat, keheningan padang gurun,
panas terik, dan ketiga orang asing yang mencari perlindungan. Abraham duduk
"di pintu kemahnya," posisi tuan rumah, dan sungguh menggugah melihat
bagaimana ia menjalankan peran ini. Menyadari kehadiran Allah dalam diri para
tamu, ia bangkit, berlari menyongsong mereka, dan bersujud sampai ke tanah
memohon agar mereka tetap tinggal. Dengan demikian, seluruh adegan menjadi
hidup. Keheningan senja dipenuhi dengan gestur kasih yang tidak hanya
melibatkan Sang Bapa Bangsa, tetapi juga istrinya, Sara, dan para hamba.
Abraham tidak lagi duduk, tetapi berdiri “di bawah pohon di dekat mereka” (Kej
18:8), dan di sanalah Allah memberinya kabar terbaik yang mungkin ia harapkan: “Sara,
istrimu, akan mempunyai seorang anak laki-laki” (Kej 18:10).
Dinamika
perjumpaan ini membawa kita untuk merenungkan bagaimana Allah memilih jalan
keramahtamahan untuk masuk ke dalam kehidupan Sara dan Abraham serta
menyampaikan bahwa mereka akan memiliki seorang anak, yang telah lama mereka
dambakan meski mereka telah putus asa. Setelah mengunjungi mereka sebelumnya
dalam banyak momen penuh rahmat, Allah kembali mengetuk pintu mereka, memohon
keramahtamahan dan kepercayaan. Pasutri yang telah lanjut usia itu menanggapi
dengan positif, meskipun belum memahami apa yang akan terjadi. Mereka menyadari
berkat dan kehadiran Allah dalam diri para tamu misterius itu, dan menawarkan
apa yang mereka miliki: makanan, kebersamaan, pelayanan, dan naungan pohon. Sebagai
balasannya, mereka menerima janji kehidupan baru dan keturunan.
Meskipun
situasinya berbeda, Bacaan Injil juga mengajarkan kita tentang cara Allah
bertindak. Di sini pun, Yesus menampakkan diri sebagai tamu di rumah Marta dan
Maria. Namun, kali ini, Ia bukanlah orang asing: Ia datang ke rumah
sahabat-sahabat-Nya di tengah suasana pesta. Salah satu saudari menyambut-Nya
dengan melayani-Nya, sementara yang lain duduk di kaki-Nya, mendengarkan
seperti seorang murid mendengarkan gurunya. Sebagaimana kita ketahui, Yesus
menanggapi keluhan saudari pertama yang membutuhkan bantuan untuk tugas-tugas
yang ada dengan mengajaknya untuk menyadari pentingnya mendengarkan (bdk. Luk
10:41-42).
Akan
tetapi, tidaklah tepat jika kita menganggap kedua sikap ini saling eksklusif,
atau membandingkan jasa kedua perempuan ini. Melayani dan mendengarkan,
sesungguhnya, merupakan dimensi kembar dari keramahtamahan.
Hubungan
kita dengan Allah adalah yang utama. Meskipun benar bahwa kita harus menghidupi
iman kita melalui tindakan nyata, dengan setia menjalankan tugas kita sesuai
dengan status hidup dan panggilan kita, penting bagi kita untuk melakukannya
hanya setelah merenungkan Sabda Allah dan mendengarkan apa yang dikatakan Roh
Kudus dalam hati kita. Untuk tujuan ini, kita hendaknya menyisihkan saat-saat
hening, saat-saat doa, saat-saat di mana, dengan meredam kebisingan dan
gangguan, kita merenungkan diri kita di hadapan Allah dalam kesederhanaan hati.
Inilah dimensi kehidupan kristiani yang khususnya perlu kita pulihkan saat ini,
baik sebagai nilai bagi individu maupun komunitas, maupun sebagai tanda
kenabian bagi zaman kita. Kita harus menyediakan ruang untuk hening, untuk
mendengarkan Bapa yang berbicara dan "melihat yang tersembunyi" (Mat.
6:6). Musim panas dapat menjadi waktu yang tepat untuk mengalami keindahan dan
pentingnya hubungan kita dengan Allah, dan betapa hal itu dapat membantu kita
menjadi lebih terbuka, lebih ramah terhadap orang lain.
Selama
musim panas, kita memiliki lebih banyak waktu luang untuk berpikir dan
merenung, serta bepergian dan menghabiskan waktu bersama. Marilah kita
manfaatkan waktu ini sebaik-baiknya, dengan meninggalkan hiruk-pikuk komitmen
dan kekhawatiran untuk menikmati sejenak kedamaian, refleksi, dan meluangkan
waktu untuk mengunjungi tempat-tempat lain serta ambil bagian dalam sukacita
bertemu orang lain — seperti yang saya lakukan di sini hari ini. Marilah kita
jadikan musim panas sebagai kesempatan untuk peduli terhadap sesama, saling
mengenal, dan menawarkan nasihat serta mendengarkan, karena semua itu adalah
ungkapan kasih, dan itulah yang kita semua butuhkan. Marilah kita melakukannya
dengan berani. Dengan demikian, melalui solidaritas, dalam berbagi iman dan
kehidupan, kita akan membantu mempromosikan budaya damai, membantu orang-orang
di sekitar kita mengatasi perpecahan dan permusuhan, serta membangun
persekutuan antarindividu, bangsa, dan agama.
Paus
Fransiskus berkata, “Jika kita ingin menikmati hidup dengan sukacita, kita
harus mengaitkan dua pendekatan ini: di satu sisi, ‘berada di kaki’ Yesus,
untuk mendengarkan-Nya saat Ia menyingkapkan rahasia segala sesuatu kepada
kita; di sisi lain, bersikap penuh perhatian dan siap sedia dalam
keramahtamahan, ketika Ia lewat dan mengetuk pintu kita, dengan wajah seorang
sahabat yang membutuhkan waktu istirahat dan persaudaraan” (Doa Malaikat Tuhan,
21 Juli 2019). Kata-kata ini diucapkan hanya beberapa bulan sebelum pandemi
melanda; pengalaman panjang dan sulit itu, yang masih kita ingat, mengajarkan
kita banyak hal tentang kebenarannya.
Tentu
saja semua ini membutuhkan usaha. Melayani dan mendengarkan tidak selalu mudah;
keduanya membutuhkan kerja keras dan kemampuan untuk berkorban. Misalnya,
dibutuhkan usaha dalam mendengarkan dan melayani agar dapat menjadi ibu dan
ayah yang setia dan penuh kasih dalam membesarkan keluarga, demikian juga
dibutuhkan usaha bagi anak-anak untuk menanggapi kerja keras orang tua mereka
di rumah dan di sekolah. Juga dibutuhkan usaha untuk saling memahami ketika
terjadi perselisihan, mengampuni ketika seseorang berbuat salah, menolong
ketika seseorang sakit, dan saling menghibur di saat sedih. Namun, justru
dengan berusaha, sesuatu yang berharga dapat dibangun dalam hidup; itulah
satu-satunya cara untuk membentuk dan memelihara hubungan yang kuat dan tulus
antarmanusia. Dengan demikian, dengan fondasi kehidupan sehari-hari, Kerajaan
Allah bertumbuh dan menyatakan kehadirannya (bdk. Luk 7:18-22).
Santo
Agustinus, merenungkan kisah Marta dan Maria dalam salah satu homilinya,
berkata: “Kedua perempuan ini melambangkan dua kehidupan: masa kini dan masa
depan; kehidupan yang dijalani dengan jerih payah dan kehidupan yang penuh
ketenangan; yang satu penuh masalah dan yang lainnya penuh berkat; yang satu
sementara, yang lainnya abadi” (Khotbah 104, 4). Dan merenungkan pekerjaan
Marta, Agustinus berkata, “Siapakah yang terbebas dari kewajiban merawat
sesama? Siapakah yang dapat beristirahat dari tugas-tugas ini? Marilah kita
berusaha melaksanakannya dengan kasih dan sedemikian rupa sehingga tak seorang
pun akan dapat menemukan kesalahan pada kita... Kelelahan akan berlalu dan
ketenangan akan datang, tetapi ketenangan hanya akan datang melalui usaha yang
dilakukan. Perahu akan berlayar dan mencapai tanah airnya; tetapi tanah air
tidak akan tercapai kecuali melalui perahu” (idem, 6-7).
Hari
ini, Abraham, Marta, dan Maria mengingatkan kita bahwa mendengarkan dan
melayani adalah dua sikap yang saling melengkapi yang memampukan kita untuk
membuka diri dan hidup kita bagi berkat-berkat Tuhan. Teladan mereka mengajak
kita untuk menyelaraskan kontemplasi dan tindakan, istirahat dan kerja keras,
keheningan dan kesibukan hidup kita sehari-hari dengan kebijaksanaan dan
keseimbangan, senantiasa menjadikan kasih Yesus sebagai ukuran kita, Sabda-Nya
sebagai terang kita, dan anugerah-Nya sebagai sumber kekuatan kita, yang
menopang kita melampaui batas kemampuan kita (bdk. Flp. 4:13).
_____
(Peter Suriadi - Bogor, 20 Juli 2025)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.