Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA PESTA YESUS DIPERSEMBAHKAN DI BAIT ALLAH (HARI HIDUP BAKTI SEDUNIA KE-23) 2 Februari 2019

Bacaan Ekaristi : Mal. 3:1-4; Mzm. 24:7,8,9,10; Ibr. 2:14-18; Luk. 2:22-40.

Liturgi hari ini menunjukkan Yesus yang pergi keluar untuk menemui umat-Nya. Liturgi hari ini adalah hari pesta perjumpaan : kebaruan Sang Anak berjumpa dengan tradisi bait Allah; janji tergenapi; Maria dan Yosef yang masih muda berjumpa dengan Simeon dan Hana yang sudah tua. Oleh karena itu, segala sesuatunya bertemu ketika Yesus datang.


Apa artinya ini untuk kita? Terutama, berarti kita juga dipanggil untuk menyambut Yesus yang datang untuk menemui kita. Berjumpa dengan-Nya : Sang Allah kehidupan harus kita jumpai setiap hari dalam kehidupan kita; bukan sekarang dan kelak, tetapi setiap hari. Mengikuti Yesus bukanlah sebuah keputusan yang diambil sekali dan untuk semuanya, mengikuti Yesus adalah sebuah pilihan sehari-hari. Dan kita tidak bertemu Tuhan secara maya, tetapi secara langsung, kita berjumpa dengan-Nya dalam kehidupan kita, dalam kenyataan hidup. Kalau tidak, Yesus hanya akan menjadi ingatan yang indah tentang masa lalu. Namun, ketika kita menyambut-Nya sebagai Tuhan kehidupan, sebagai pusat dan detak jantung segalanya, maka Ia tetap hidup dan hidup baru di dalam diri kita. Dan apa yang terjadi di bait Allah juga terjadi pada diri kita : di sekeliling-Nya segala sesuatu bertemu, dan kehidupan menjadi selaras. Bersama Yesus kita kembali menemukan keberanian untuk melanjutkan dan kekuatan untuk tetap teguh. Perjumpaan dengan Tuhan adalah sumbernya. Maka kembali ke sumbernya adalah penting : menelusuri kembali dalam pikiran kita saat-saat yang menentukan perjumpaan dengan-Nya, memperbarui cinta pertama kita, mungkin menuliskan kisah cinta kita dengan Tuhan. Hal ini kiranya baik untuk hidup bakti kita, sehingga hidup bakti tidak menjadi sebuah waktu yang telah lewat, melainkan sebuah waktu perjumpaan.

Jika kita ingat pertemuan pertama kita yang sesungguhnya dengan Tuhan, kita menjadi sadar bahwa pertemuan tersebut tidak muncul sebagai sesuatu yang bersifat pribadi antara diri kita dan Allah. Tidak, pertemuan itu mekar dalam konteks orang-orang yang sedang percaya, bersamaan dengan banyak saudara dan saudari kita, pada waktu dan tempat yang tepat. Bacaan Injil memberitahu kita tentang hal ini, menunjukkan bagaimana perjumpaan itu terjadi di dalam umat Allah, dalam sejarahnya yang nyata, dalam tradisi-tradisinya yang hidup : di bait Allah, menurut hukum, dalam konteks nubuat, dalam kaum tua dan kaum muda bersama-sama (bdk. Luk 2:25-28,34). Juga seperti inilah dalam hidup bakti : hidup bakti mekar dan berkembang dalam Gereja; jika hidup bakti terasing, hidup bakti akan menjadi layu. Hidup bakti mejadi matang ketika kaum muda dan kaum tua berjalan bersama-sama, ketika kaum muda menemukan kembali akar-akar mereka dan kaum tua menyambut buah-buahnya. Namun, ketika kita berjalan sendirian, ketika kita tetap terpaku pada masa lalu atau melompat maju dalam upaya untuk bertahan hidup, maka hidup bakti akan mandek. Hari ini, pada hari pesta perjumpaan, kita memohon rahmat untuk menemukan kembali Tuhan yang hidup di tengah-tengah orang-orang yang sedang beriman, dan memungkinkan karisma yang telah kita terima untuk menjumpai berbagai rahmat hari ini.

Bacaan Injil juga memberitahu kita bahwa perjumpaan Allah dengan umat-Nya memiliki titik awal dan titik tujuan. Perjumpaan Allah dengan umat-Nya dimulai dengan panggilan di bait Allah dan berakhir pada penglihatan di bait Allah. Perjumpaan Allah dengan umat-Nya adalah panggilan ganda. Ada panggilan pertama, panggilan "menurut hukum" (ayat 22). Panggilan tersebut adalah panggilan Yosef dan Maria, yang pergi ke bait Allah untuk menggenapi apa yang ditentukan oleh hukum Taurat. Teks menekankan hal ini mirip sebuah refren, bahkan empat kali (bdk. ayat 22,23,24,27). Hal ini bukan sesuatu yang dipaksakan : Orang tua Yesus tidak terpaksa untuk pergi atau hanya untuk melakukan kewajiban lahiriah. Mereka menjawab panggilan Allah. Kemudian ada panggilan kedua, menurut Roh. Panggilan itu adalah panggilan Simeon dan Hana. Hal ini juga ditekankan dengan kuat : tiga kali, berkenaan dengan Simeon, panggilan ini mengacu pada Roh Kudus (bdk. ayat 25, 26, 27) dan panggilan diakhiri dengan Hana sang nabiah, yang terilhami untuk bersyukur kepada Allah (bdk. ayat 38). Dua orang muda bergegas ke bait Allah, terpanggil oleh hukum; dua orang lanjut usia tergerak oleh Roh. Apa arti panggilan ganda ini, menurut hukum dan menurut Roh, bagi kehidupan rohani kita dan hidup bakti kita? Panggilan tersebut berarti bahwa kita semua dipanggil untuk kepatuhan ganda : kepada hukum - dalam arti apa yang memberi keteraturan terhadap kehidupan kita - dan kepada Roh, yang melakukan hal-hal baru dalam kehidupan kita. Dan maka lahirlah perjumpaan dengan Tuhan : Roh mewahyukan Tuhan, tetapi untuk menyambut-Nya kita perlu bertekun setiap hari. Bahkan karisma-karisma terbesar, jika tidak memiliki kehidupan yang teratur, tidak dapat berbuah. Di sisi lain, bahkan peraturan-peraturan terbaik pun tidak memadai tanpa kesegaran Roh : hukum dan Roh berjalan bersama-sama.

Untuk lebih memahami panggilan ini, terlihat hari ini di bait Allah pada hari-hari pertama kehidupan Yesus, kita seharusnya bergerak menuju hari-hari pertama pelayanan-Nya di muka umum, di Kana, di mana Ia mengubah air menjadi anggur. Di sana ada juga panggilan untuk kepatuhan, bersama Maria, yang mengatakan : "Apa yang dikatakan kepadamu, buatlah itu!" (Yoh 2:5). Buatlah itu. Dan Yesus meminta sesuatu yang khusus; Ia tidak tiba-tiba melakukan sesuatu yang baru, tidak menghasilkan anggur yang habis dari ketiadaan - Ia bisa melakukannya - tetapi Ia meminta sesuatu yang nyata dan menuntut. Ia meminta mereka untuk mengisi enam tempayan yang disediakan untuk pembasuhan menurut adat orang Yahudi, yang mengingatkan pada hukum Taurat. Hal itu berarti menuangkan sekitar enam ratus liter air dari sumur : waktu dan usaha, yang tampaknya sia-sia, karena yang habis bukanlah air melainkan anggur! Namun, tepatnya dari tempayan-tempayan yang diisi "sampai penuh" (ayat 7) ini, Yesus mengeluarkan anggur yang baru. Demikian juga bagi kita : Allah memanggil kita untuk berjumpa dengan-Nya melalui kesetiaan pada hal-hal nyata - Allah selalu dijumpai dalam hal-hal nyata : doa sehari-hari, Misa Kudus, pengakuan dosa, amal kasih yang nyata, sabda Allah setiap hari, kedekatan, terutama kepada orang-orang yang paling membutuhkan secara rohani atau jasmani. Hal-hal nyata, seperti kepatuhan pada atasan kita dan pada peraturan hidup bakti. Jika kita menerapkan hukum ini dengan kasih - dengan kasih! - maka Roh akan datang dan membawa kejutan Allah, sama seperti di bait Allah dan di Kana. Dengan demikian air kehidupan sehari-hari diubah menjadi anggur kebaruan, dan kehidupan kita, yang tampaknya lebih terkekang, pada kenyataannya menjadi lebih bebas. Hal ini mengingatkan saya pada seorang biarawati yang rendah hati yang benar-benar memiliki karisma dekat dengan para imam dan para seminaris. belum lama berselang alasan beatifikasinya digelar di sini di Keuskupan [Roma]. Ia adalah seorang biarawati yang sederhana, tidak terkenal, tetapi ia memiliki keutamaan ketaatan, kesetiaan dan tidak takut akan hal-hal baru. Kita memohon kepada Tuhan, melalui perantaraan Suster Bernardetta, untuk memberi kita semua rahmat untuk berjalan di jalan ini.

Perjumpaan yang lahir dari panggilan tersebut memuncak dalam penglihatan. Simeon berkata, "Mataku telah melihat keselamatan yang dari pada-Mu" (Luk 2:30). Ia melihat Anak itu dan ia melihat keselamatan. Ia tidak melihat Mesias yang melakukan berbagai mukjizat, tetapi seorang Anak kecil. Ia tidak melihat sesuatu yang luar biasa, tetapi Yesus bersama kedua orangtua-Nya, yang membawa sepasang burung tekukur atau dua ekor anak burung merpati ke bait Allah, yang merupakan persembahan yang paling sederhana (bdk. ayat 24). Simeon melihat kesederhanaan Tuhan dan menyambut kehadiran-Nya. Ia tidak sedang mencari hal lain, tidak sedang meminta atau menginginkan sesuatu yang lain; cukup memandang Anak tersebut dan menatang-Nya : “nunc dimittis, sekarang biarkanlah hamba-Mu ini pergi” (bdk. ayat 29). Allah, sebagaimana adanya, sudah cukup baginya. Di dalam Allah ia menemukan makna tertinggi dari hidupnya. Inilah daya pandang hidup bakti, sebuah daya pandang yang sederhana dan bersifat kenabian dalam kesederhanaannya, di mana kita menjaga Tuhan di depan mata kita dan di antara tangan kita, serta bukan melayani sesuatu yang lain. Dialah hidup kita, Dialah harapan kita, Dialah masa depan kita. Hidup bakti berupa daya pandang kenabian dalam Gereja : hidup bakti adalah sebuah pandangan yang melihat Allah hadir di dunia, bahkan jika banyak orang yang tidak memperhatikan-Nya; hidup bakti adalah suara yang mengatakan : "Allah sudah memadai, lainnya berlalu"; hidup bakti adalah pujian yang menyembur ke luar terlepas dari segalanya, seperti yang ditunjukkan oleh Hana sang nabiah. Ia adalah seorang perempuan yang sudah berusia lanjut, yang telah hidup bertahun-tahun sebagai seorang janda, tetapi tidak bermuram diri, bernostalgia atau menarik diri; sebaliknya, ia bangkit, ia memuji Allah dan hanya berbicara tentang Dia (bdk. ayat 38). Saya ingin berpikir bahwa perempuan ini tahu bagaimana "cara berbicara yang baik", dan ia bisa menjadi seorang pelindung yang baik yang memanggil kita untuk bertobat dari kejahatan pergunjingan, karena ia pergi dari satu tempat ke tempat lain hanya berkata : "Itulah Dia! Itulah Sang Bayi! Pergi dan lihatlah Dia!”. Saya membayangkannya seperti ini, perempuan di pintu sebelah.

Lalu inilah hidup bakti : pujian yang memberikan sukacita bagi umat Allah, daya pandang kenabian yang mengungkapkan apa yang diperhitungkan. Ketika hidup bakti seperti ini, maka hidup bakti berkembang dan menjadi sebuah panggilan untuk kita semua guna melawan sifat biasa-biasa saja : melawan kemerosotan kehidupan rohani kita, melawan godaan untuk meremehkan pentingnya Allah, melawan penyediaan kehidupan yang nyaman dan duniawi, melawan berbagai keluh kesah! - ketidakpuasan dan mengasihani diri sendiri, melawan mentalitas pengunduran diri dan "kita selalu melakukannya dengan cara ini" : ini bukan cara Allah. Hidup bakti bukan tentang bertahan hidup, hidup bakti bukan tentang mempersiapkan diri kita untuk ars bene moriendi (seni sekarat dengan baik) : inilah godaan zaman kita, dalam menghadapi panggilan yang sedang menurun. Tidak, hidup bakti bukan tentang bertahan hidup, tetapi kehidupan baru. "Tetapi ... hanya ada beberapa dari kita ..." - hidup bakti tentang kehidupan baru. Hidup bakti adalah perjumpaan yang hidup dengan Tuhan di dalam umat-Nya. Hidup bakti adalah panggilan untuk kepatuhan yang setia dalam kehidupan sehari-hari dan berbagai kejutan Roh yang tak terduga. Hidup bakti adalah daya pandang tentang apa yang perlu kita rangkul guna mengalami sukacita : Yesus.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.