Bacaan Ekaristi : Yes. 9:1-6; Luk 1:26-38.
“Seorang anak telah lahir untuk kita,
seorang putra telah diberikan untuk kita” (Yes 9:5).
Dengan kata-kata ini, dalam Bacaan
Pertama, Nabi Yesaya berbicara kepada penduduk Yerusalem. Saat itu merupakan
masa yang makmur bagi kota itu, tetapi sayangnya juga ditandai oleh kemerosotan
moral yang parah.
Kita melihat kemakmuran yang melimpah
di sana, tetapi kemakmuran ini membutakan orang-orang yang berkuasa, merayu
mereka untuk berpikir bahwa diri mereka berkecukupan, tidak membutuhkan Tuhan,
dan kesombongan mereka menuntun mereka untuk menjadi egois dan tidak berlaku
adil. Karena alasan ini, meskipun sangat makmur, orang miskin ditelantarkan dan
kelaparan, perselingkuhan merajalela, dan praktik keagamaan semakin
dimerosotkan menjadi formalisme belaka. Tampak luar dunia yang menipu ini yang
pada pandangan pertama tampak sempurna menyembunyikan kenyataan yang jauh lebih
gelap, lebih keras, dan lebih kejam. Sebuah kenyataan di mana ada banyak
kebutuhan untuk pertobatan, belas kasihan, dan penyembuhan.
Inilah sebabnya nabi mengumumkan kepada
orang-orang sebangsanya sebuah cakrawala baru, yang akan dibukakan Allah di
hadapan mereka: masa depan yang penuh harapan, masa depan yang penuh sukacita,
di mana penindasan dan perang akan disingkirkan selamanya (bdk. Yes 9:1-4). Ia
akan membuat terang yang besar bersinar atas mereka (bdk. ayat 1), yang akan
membebaskan mereka dari kegelapan dosa yang menindas mereka. Namun, Ia akan
melakukannya bukan dengan kekuatan tentara, senjata, atau kekayaan, tetapi
melalui pemberian seorang putra (bdk. ayat 6-7).
Marilah kita berhenti sejenak untuk
merenungkan gambaran ini: Allah memancarkan terang keselamatan-Nya melalui
pemberian seorang putra.
Di setiap tempat, kelahiran seorang
putra adalah momen sukacita dan perayaan yang cemerlang, dan juga dapat
menanamkan dalam diri kita keinginan untuk kebaikan, pembaruan kebaikan,
kembali kepada kemurnian dan kesederhanaan. Di hadapan seorang bayi yang baru
lahir, bahkan hati yang paling dingin pun menjadi hangat dan dipenuhi
kelembutan. Kerentanan seorang bayi selalu membawa pesan yang begitu kuat
sehingga menyentuh bahkan jiwa yang paling keras sekalipun, membawa serta
perasaan dan keinginan untuk rukun dan tenang. Saudara-saudari, kelahiran
seorang anak memang membawa keajaiban!
Kedekatan Allah datang melalui seorang
anak. Allah menjadi seorang anak, bukan hanya untuk membuat kita takjub dan
tergerak, tetapi juga untuk membuka hati kita terhadap kasih Bapa, dan agar
kita dapat membiarkan diri kita dibentuk oleh-Nya, sehingga Ia dapat
menyembuhkan luka-luka kita, mendamaikan perbedaan-perbedaan kita, dan menata
kembali kehidupan kita.
Alangkah indahnya bahwa di Timor-Leste
ada begitu banyak anak-anak. Sungguh, kamu adalah negara yang masih muda dan
kami dapat melihat setiap sudut negerimu penuh dengan kehidupan. Sungguh
anugerah yang luar biasa bahwa begitu banyak anak-anak dan kaum muda hadir,
terus-menerus memperbarui energi dan kehidupan kita. Lebih jauh, ini adalah
sebuah tanda, karena memberi ruang bagi orang-orang kecil, menyambut mereka,
peduli terhadap mereka, dan menjadikan diri kita "kecil" di hadapan
Allah dan satu sama lain, justru merupakan sikap yang membuka diri kita
terhadap tindakan Tuhan. Dengan menjadi seperti anak-anak, kita membiarkan
Allah bertindak dalam diri kita.
Hari ini, kita memuliakan Bunda Maria
sebagai Ratu, yaitu ibu dari seorang Raja, Yesus, yang memilih untuk dilahirkan
dalam keadaan kecil, menjadikan diri-Nya saudara kita, dan yang meminta jawaban
“ya” dari seorang perawan perempuan muda (bdk. Luk 1:38).
Maria memahami hal ini, hingga titik
memilih untuk tetap kecil sepanjang hidupnya, menjadikan dirinya semakin kecil,
melayani, berdoa, menarik diri untuk memberi ruang bagi Yesus, bahkan ketika
hal ini mengorbankan banyak hal.
Jadi, saudara-saudari terkasih,
janganlah kita takut untuk membuat diri kita kecil di hadapan Allah, dan di
hadapan satu sama lain, janganlah kita takut kehilangan hidup kita,
mengorbankan waktu kita, merevisi jadwal kita dan mengurangi rencana kita bila
perlu, bukan untuk meremehkannya tetapi untuk membuatnya lebih indah melalui
pemberian diri kita dan penerimaan orang lain.
Semua ini dilambangkan dengan baik oleh
dua harta tradisional yang indah dari negeri ini: Kaibauk dan Belak. Keduanya
terbuat dari logam mulia, yang menunjukkan betapa pentingnya keduanya!
Kaibauk melambangkan tanduk kerbau dan
cahaya matahari, dan dapat digunakan sebagai hiasan kepala yang dikenakan di
atas dahi, atau diletakkan di atas rumah. Kaibauk berbicara tentang kekuatan,
energi, dan kehangatan, dan dapat melambangkan kuasa Allah yang memberi
kehidupan. Terlebih lagi, melalui posisinya yang di atas dahi dan di atas atap
rumah, Kaibauk mengingatkan kita bahwa dengan terang sabda Tuhan dan kuasa
kasih karunia-Nya, kita juga dapat bekerja sama, melalui pilihan dan tindakan
kita, dalam rencana penebusan yang agung.
Sebagai pelengkap Kaibauk adalah Belak,
yang dikenakan di dada. Belak mengingatkan pada lembutnya cahaya bulan, yang
dengan rendah hati memantulkan cahaya matahari di malam hari, menyelimuti
segala sesuatu dalam cahaya fluoresensi. Belak berbicara tentang kedamaian,
kesuburan, dan kemanisan, serta melambangkan kelembutan seorang ibu, yang
dengan sikap kasih sayangnya yang lembut membuat apa pun yang disentuhnya
bersinar dengan cahaya yang sama yang diterimanya dari Allah.
Kaibauk dan Belak memperlihatkan
kekuatan dan kelembutan ayah dan ibu. Sesungguhnya, begitulah cara Tuhan
menyingkapkan kekuasaan-Nya, yang berupa amal dan belas kasihan.
Akhirnya, marilah kita bersama-sama
memohon dalam Ekaristi ini, sebagai perempuan dan laki-laki, sebagai Gereja dan
sebagai masyarakat, agar kita dapat memantulkan di dunia terang kasih Allah
yang kuat dan lembut, terang Allah yang, sebagaimana kita doakan dalam Mazmur
Tanggapan, “menegakkan orang yang hina dari dalam debu dan mengangkat orang
yang miskin dari lumpur, untuk mendudukkan dia bersama para bangsawan” (Mzm 113:7-8).
* * *
Saudara-saudari terkasih,
Saya sedang berpikir keras tentang apa
hal terbaik yang dimiliki Timor-Leste? Kayu cendana? Buah persik? Itu semua
bukanlah hal terbaik. Hal terbaik adalah rakyatnya. Saya tidak bisa melupakan
rakyat yang berada di pinggir jalan, bersama anak-anak. Betapa banyaknya
anak-anakmu! Rakyat, hal terbaik yang mereka miliki adalah senyuman anak-anak
mereka. Dan sebuah bangsa yang mengajarkan anak-anaknya untuk tersenyum adalah
sebuah bangsa yang memiliki masa depan.
Namun berhati-hatilah! Karena saya
pernah mendengar bahwa buaya datang ke beberapa pantai; buaya datang berenang
dan memiliki gigitan yang lebih kuat daripada yang dapat kita hindari.
Berhati-hatilah! Berhati-hatilah terhadap "buaya" yang ingin mengubah
budayamu, yang ingin mengubah sejarahmu. Tetaplah setia. Dan jangan mendekati
"buaya-buaya" tersebut karena mereka menggigit, dan mereka menggigit
dengan keras.
Saya mengharapkan kedamaian bagi kamu
semua. Saya mendoakan banyak anak bagimu: semoga senyuman bangsa ini adalah
anak-anaknya! Jagalah anak-anakmu; tetapi juga jagalah orang tuamu, yang
merupakan kenangan negeri ini.
Terima kasih; terima kasih banyak atas amalmu, atas imanmu. Bergerak dengan harapan!
Dan sekarang marilah kita memohon kepada Tuhan untuk memberkati kita semua, dan kemudian kita akan menyanyikan sebuah madah untuk Perawan Maria.
_____
(Peter Suriadi - Bogor, 10 September 2024)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.