Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA DI STADION UTAMA GELORA BUNG KARNO 5 September 2024 : MENDENGARKAN DAN MENGHIDUPI SABDA

Bacaan Ekaristi : 1Kor 3:18-23; Mzm 24:1-2.3-4ab.5-6; Luk 5:1-11.

 

Perjumpaan dengan Yesus mengundang kita untuk menghidupi dua sikap mendasar yang memampukan kita menjadi murid-murid-Nya. Sikap pertama adalah mendengarkan sabda, dan sikap kedua adalah menghidupi sabda. Pertama, mendengarkan, karena semua hal berasal dari mendengarkan, dari membuka diri kita kepada-Nya, dari menyambut anugerah yang sangat berharga dari persahabatan dengan-Nya. Lalu, penting untuk menghidupi sabda yang telah kita terima, agar bukan hanya menjadi pendengar yang sia-sia dan menipu diri kita sendiri (bdk. Yak 1:22). Memang, mereka yang hanya mendengarkan dengan telinga berisiko tidak membiarkan benih sabda turun ke dalam hati mereka dan dengan demikian mengubah cara pikir, cara merasa dan cara bertindak mereka, dan ini tidak baik. Sabda yang dianugerahkan, dan yang kita dengar, butuh untuk menjadi kehidupan di dalam diri kita, mengubah rupa diri kita dan menjelma di dalam hidup kita.

 

Bacaan Injil yang baru saja diwartakan membantu kita merenungkan dua sikap penting ini: mendengarkan sabda dan menghidupi sabda.

 

Pertama, mendengarkan sabda. Penginjil bercerita bahwa orang banyak berbondong-bondong datang kepada Yesus dan “mengerumuni Dia hendak mendengarkan sabda Allah” (Luk 5:1). Mereka mencari Dia, lapar dan haus akan sabda Tuhan serta mendengarnya bergema dalam sabda Yesus. Adegan ini, kemudian, diulang berkali-kali dalam Injil, memberitahu kita bahwa hati manusia selalu mencari kebenaran yang dapat memenuhi dan memuaskan hasratnya akan kebahagiaan. Kita tidak dapat dipuaskan hanya dengan kata-kata manusia, pemikiran dunia dan penilaian duniawi ini. Kita selalu membutuhkan sebuah terang yang datang dari atas untuk menyinari langkah-langkah kita, air kehidupan yang dapat memuaskan dahaga padang gurun jiwa, sebuah penghiburan yang tidak mengecewakan karena ia berasal dari surga dan bukan dari hal-hal fana dunia ini. Di tengah kekacauan dan kefanaan kata-kata manusia, saudara-saudari, ada kebutuhan akan sabda Allah, satu-satunya pedoman sejati bagi perjalanan kita, yang di tengah begitu banyaknya luka dan kekacauan mampu menuntun kita menuju makna kehidupan sejati.

 

Saudara-saudari, janganlah kita lupa bahwa tugas pertama seorang murid – dan kita semua adalah murid! – bukanlah mengenakan jubah keagamaan yang tampak sempurna, melakukan hal-hal yang luar biasa atau terlibat dalam usaha yang muluk. Bukan, tugas pertama, langkah pertama, sebaliknya, adalah mengetahui bagaimana mendengarkan satu-satunya sabda yang menyelamatkan, yaitu sabda Yesus. Kita dapat melihat hal ini dalam adegan Injil, ketika Sang Guru menaiki perahu Petrus untuk sedikit menjauhkan diri dari pantai dan dengan demikian bisa mewartakan Injil dengan lebih baik kepada orang banyak (bdk. Luk 5:3). Kehidupan iman kita dimulai ketika kita menerima Yesus dengan rendah hati ke dalam perahu kehidupan kita, memberi ruang untuk-Nya, mendengarkan sabda-Nya serta membiarkan diri kita dipertanyakan, ditantang dan diubah oleh sabda-Nya.

 

Pada saat yang sama, saudara-saudari, sabda Tuhan menuntut untuk dijelmakan secara nyata dalam diri kita sehingga kita dipanggil untuk menghidupi sabda. Sekadar mengulang-ulang sabda, tanpa menghidupinya, membuat kita seperti burung beo: ya, kita mengucapkan sabda Tuhan, tetapi tidak memahaminya, tidak menghidupinya. Setelah Yesus selesai berkhotbah kepada orang banyak dari atas perahu, Ia berpaling kepada Petrus dan menantangnya untuk mengambil risiko dengan bertaruh pada sabda ini, “Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan” (ayat 4). Sabda Tuhan tidak dapat tetap tinggal sebagai gagasan abstrak yang indah atau hanya membangkitkan emosi sesaat. Sabda Tuhan menuntut kita untuk mengubah cara pandang kita dan membiarkan hati kita diubah rupa menjadi gambaran hati Kristus. Sabda Tuhan meminta kita untuk berani menebarkan jala Injil ke lautan dunia, berlari dengan risiko, ya, berlari dengan risiko menghidupi kasih yang telah Ia ajarkan kepada kita dan yang telah Ia hidupi lebih dahulu. Tuhan, dengan kekuatan sabda-Nya yang membara, juga meminta kita, saudara-saudari, untuk berlayar, melepaskan diri dari pantai yang tergenang akibat kebiasaan buruk, ketakutan dan keadaan biasa-biasa saja serta berani untuk menjalani kehidupan baru. Iblis menyukai keadaan biasa-biasa saja, karena keadaan biasa-biasa saja merasuki dan menghancurkan diri kita.

 

Tentu saja, selalu ada rintangan dan alasan untuk mengatakan tidak terhadap panggilan ini. Marilah kita melihat kembali sikap Petrus. Ia telah tiba di pantai setelah malam yang sulit karena ia tidak menangkap apa-apa. Ia marah, lelah, dan kecewa, namun, daripada tinggal dilumpuhkan oleh kehampaan atau terhalang oleh kegagalannya sendiri, ia berkata, “Guru, sepanjang malam kami telah bekerja keras, tetapi tidak menangkap apa-apa. Namun, karena perkataan-Mu itu, aku akan menebarkan jala” (ayat 5). Karena perkataan-Mu itu, aku akan menebarkan jala. Kemudian, sesuatu yang tidak pernah terdengar terjadi, mukjizat sebuah perahu yang terisi penuh ikan hingga hampir tenggelam (bdk. ayat 7).

 

Saudara-saudari, menghadapi berbagai tugas dalam kehidupan sehari-hari, bersama dengan panggilan yang kita semua rasakan untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan melangkah maju di jalan perdamaian dan dialog – jalan yang telah lama menjadi kenyataan di Indonesia – kita terkadang merasa tidak mampu. Kita terkadang merasakan beban komitmen dan dedikasi kita yang tidak selalu membuahkan hasil, atau kesalahan-kesalahan kita yang tampaknya menghambat perjalanan yang kita jalani. Kita juga diminta untuk tidak tinggal sebagai tawanan kegagalan kita, yang sangat buruk, karena kegagalan menguasai kita dan kita dapat menjadi tawanan kegagalan. Jangan, janganlah kita tetap menjadi tawanan kegagalan kita. Daripada hanya terpaku pada jala kita yang kosong, maka kita harus memandang Yesus dan percaya kepada-Nya. Jangan lihat jalamu yang kosong, lihatlah Yesus! Ia akan membuatmu berjalan, Ia akan menolongmu, percayalah kepada Yesus! Bahkan ketika kita telah melewati malam kegagalan dan saat kekecewaan ketika kita tidak menangkap apa-apa, kita selalu dapat mengambil risiko untuk melaut dan menebarkan jala lagi. Sekarang marilah kita hening sejenak dan kamu masing-masing merenungkan kegagalanmu. Dan melihat kegagalan ini, marilah kita mengambil risiko, marilah kita melangkah maju dengan keteguhan sabda Allah.

 

Santa Teresa dari Kalkuta, yang peringatannya kita rayakan hari ini, yang tanpa lelah peduli pada orang-orang termiskin serta menjadi penggiat perdamaian dan dialog, pernah berkata, “Ketika kita tidak memiliki apapun untuk diberikan, hendaklah kita memberikan ketiadaan itu. Dan ingatlah, bahkan ketika kamu tidak menuai apa-apa, jangan pernah lelah menabur”. Saudara-saudari, jangan pernah lelah menabur, karena ini adalah kehidupan.

 

Saudara-saudari, saya juga hendak mengatakan kepadamu, kepada bangsa ini, kepada nusantara yang mengagumkan dan beranekaragam ini, jangan lelah berlayar, jangan lelah menebarkan jala, jangan lelah bermimpi, jangan lelah membangun kembali peradaban perdamaian. Selalu berani bermimpi tentang persaudaraan, yang merupakan harta sejati di antara Anda. Dibimbing oleh sabda Tuhan, saya mendorongmu untuk menabur benih kasih, dengan percaya diri menapaki jalan dialog, terus menunjukkan kebaikan budi dan hatimu dengan senyumanmu yang khas. Apakah kamu pernah diberitahu bahwa kamu adalah orang-orang yang suka tersenyum? Tolong, jangan kehilangan senyumanmu, dan teruslah maju! Jadilah pembangun perdamaian. Jadilah pembangun harapan!

 

Para Uskup di negara ini baru-baru ini menyampaikan keinginan yang juga ingin saya sampaikan kepada seluruh rakyat Indonesia: berjalan bersama demi kebaikan masyarakat dan Gereja! Jadilah pembangun harapan. Dengarkanlah baik-baik: jadilah pembangun harapan, harapan Injil, yang tidak mengecewakan (bdk. Rm 5:5), yang tidak pernah mengecewakan, tetapi sebaliknya membuka kita pada sukacita yang tak berkesudahan. Terima kasih banyak.

 

[Sambutan pada akhir Misa]

 

Saya berterima kasih kepada Kardinal Ignatius, serta Ketua Konferensi Waligereja dan para uskup Gereja Indonesia lainnya, yang bersama para imam dan diakon melayani umat Allah yang kudus di negeri yang besar ini. Saya juga berterima kasih kepada para biarawan dan biarawati, seluruh relawan, dan dengan penuh kasih sayang, para orang tua, orang sakit, dan orang yang menderita, yang telah mendoakan kita. Terima kasih!

 

Kunjungan saya di tengah-tengahmu akan segera berakhir, dan saya ingin menyampaikan rasa syukur yang penuh sukacita atas sambutan luar biasa yang telah saya terima. Saya kembali mengucapkan terima kasih kepada Presiden Republik Indonesia, yang hadir di sini hari ini, kepada para pejabat sipil lainnya, dan aparat keamanan, saya juga menyampaikan penghargaan saya kepada seluruh rakyat Indonesia.

 

Dalam Kisah Para Rasul disebutkan bahwa pada hari Pentakosta terjadilah kegemparan besar di Yerusalem. Dan semua orang riuh rendah memberitakan Injil. Tolong, saudara-saudari terkasih, riuh rendahlah! Riuh rendahlah!

 

Semoga Tuhan memberkatimu. Terima kasih!

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 6 September 2024)

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.